Selasa, 02 Oktober 2007

Bisikan

Aku masih mencium aroma kesibukan manusia di Jalan Bimokurdo. Terdengar riuh. Aku yakin mereka berjejal di pinggir-pinggir jalan hanya untuk menghabiskan sisa hari ini.

Ah, masih sore! Baru pukul sembilan! pikirku. Aku memang lebih terbiasa dalam kesunyian. Ketika orang-orang sudah lengah dibuai selimut tidur. Ketika malam tinggal sekeping, aku baru memulai aktivitasku. Menulis.

"Tapi aku tidak bisa menunggu hanya untuk sebuah keheningan…"

Bisikan lembut menyeberang di benakku. Dingin dan lembut. Selembut asap putih yang tiba-tiba menyapu keningku. Dari sebatang rokok kretek yang baru saja kusulut.

Bisikan itu jelas sekali. Di sela-sela alunan musik natural Kitaro yang selalu menemaniku memainkan tombol-tombol keyboard, bisikan itu amat membekas di benakku. Tapi aneh. Sungguh aneh sekali. Mengapa telingaku tak mendengar bisikan? Mengapa tak terdengar suara? Apakah aku sudah tidak menghiraukan lagi orang-orang di sekitarku?

"Mungkin dia setan atau iblis yang bersarang dalam benakku!"

Di atas meja, dua lembar Buletin Jum’at masih tampak baru. Dan memang baru saja dicetak. Hari ini hari Kamis. Besok bulletin itu pasti bakal beredar di seluruh masjid-masjid di Sapen. Tadi baru saja dua orang pengelola bulletin itu berkunjung ke kosku yang sempit ini. Aku selalu diminta untuk mengoreksi sekaligus mengritisi karya jurnalistik mereka.

Malam ini, sekalipun masih sore, tapi udara terasa dingin sekali. Dinginnya menusuk tulang. Perubahan musim memang terasa sekali. Aku yakin, di kampung halamanku sedang pesta panen padi musim rendheng. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku melayang ke kampung halaman. Memang sudah lama aku tidak pulang kampung.

Sejak tadi sore aku sudah berniat dalam hati. Aku berniat malam ini aku harus menulis. Ya, menulis sesuatu. Memang tidak terlalu penting. Tidak terlalu menarik untuk khalayak umum. Tapi, bagiku teramat penting. Sebab ini menyangkut profesiku sebagai penulis.

Secarik kertas warna biru muda masih tersimpan baik di saku jaketku. Kupungut dan kutimang-timang. Lipatan-lipatannya masih tampak baru. Di atas pojok kiri terpampang logo sebuah penerbit:

Tajidu Press
Nyutran MG II/1465 A Yogyakarta
Telp. (0274) 413708 Faks. (0274) 413732

Ini kuitansi pembayaran royalty dari penerbit buku yang telah mengorbitkan karyaku pertama kali: Muslim Liberal. Kuitansi ini merupakan pembayaran royalty yang ketiga kalinya. Kali pertama di tahun 2003. Kali kedua di bulan Maret 2007. Kali ketiga hari Kamis tanggal 26 Juli 2007 pukul 16.30.

Seminggu yang lalu, aku sudah mempersiapkan sebuah rencana. Aku ingin membeli buku History of Arabs. Karya Philip K. Hitti. Harganya lumayan mahal. Sekitar Rp.125.000,- Tak masalah bagiku untuk buku sekelas ini. Aku memang tidak terlalu berhitung-hitung untuk beli buku bagus. Asalkan uang cukup, segera aku beli. Tapi jika tak ada uang, aku terus sabar menanti.

Tapi sungguh tragis sore ini bagiku. Tragis sekali. Yang membuat hatiku miris ketika harus mengeja besarnya nominal uang pembayaran royalty ini. Sampai-sampai aku tak percaya melihatnya. Di pojok kiri bawah tertulis sebuah angka. Lidahku jadi terasa kaku untuk mengejanya.

Rp. 31.000,-

Aku pun terpaksa mengejanya. Terasa berat tapi aku harus menerimanya. Inilah kenyataan. Aku mengejanya seraya membuang jauh-jauh rencanaku semula. Harapan memiliki buku karya Philip K. Hitti tinggal angan-angan. Bagaimana aku dapat membelinya jika uang pembayaran royalty buku ini hanya sebesar Rp. 31.000,-? Padahal hidupku selama ini bergantung kepada pembayaran royalty buku-bukuku yang tersebar di beberapa penerbit.

Hari ini aku dipaksa menelan kekecewaan. Jantungku berdetak kencang dan darahku pun mendesir. Pikiranku tiba-tiba jadi kalut. Dalam batinku berontak. Apakah kenyataan ataukah rekayasa para penerbit yang tidak pernah memikirkan nasib penulis? Aku ragu jika kenyataan ini suatu kebenaran. Di depan kuitansi ini, seakan-akan aku ragu bahwa "kebenaran itu pahit."
Aku mulai melupakan sosok misterius yang dari tadi terus membisikiku.

Sayup-sayup terdengar mesin motor dari kejauhan. Di Jalan Bimokurdo. Suaranya semakin menderu-deru. Sesekali knalpotnya digeber-geber. Aku tahu! Jangan dikira aku tuli pada tanda-tanda! Bukankah knalpot-knalpot itu sedang mengepulkan sisa-sisa ketamakan manusia?! Tarik lagi gasnya biar semua orang mendengar suara motormu!

"Kebenaran laksana jadam yang kau kunyah. Pahit. Tetapi hasilnya akan terasa lebih manis daripada madu"

Bisikan itu kembali hadir!

Di benakku dia melintas. Kali ini bisikan itu terasa amat bijaksana. Siapakah sebenarnya sang pembisik itu? Jika dia setan atau mungkin iblis, mengapa memperingatkanku dengan bijaksana sekali? Mengapa dia tidak memprovokasiku biar jadi beringas? Mengapa dia tidak menyuruhku membanting gelas kopi di sampingku ini? Mengapa dia tidak menghasutku supaya mencerca penerbit Tajidu yang membayar royaltiku amat kecil?

Tanda tanya menyelimuti pikiranku. Aku diam sejenak sambil menikmati alunan musik terapi yang konon bisa merangsang imajinasi. Lagu Mirage baru berakhir. Kini telingaku disuguhi lagu yang hanya berisi syair: hong wani feh-feh hong!

Syairnya monoton tapi musiknya teduh. Irama biolanya yang mengalun membuat jiwaku mengawang-awang. Tak peduli telingaku harus dijejali syair yang monoton itu. Toh, duniaku mulai terasa damai dan pikiranku kembali jernih. Detak jantungku kembali normal dan desiran darahku mulai mereda.

Sst! Ada yang aneh. Ini jelas terasa aneh dan membuatku makin penasaran. Mengapa sosok misterius itu tidak kembali membisikiku? Seakan-akan dia menghilang seiring dengan terbukanya batin dan terangnya pikiranku?

Dia memang misterius. Datang tanpa diundang, pergi tanpa permisi. Dalam sekejap dia menghilang tanpa memberi tanda-tanda. Tapi biar. Aku akan acuh kepadanya.

Malam ini, aku disadarkan pada sebuah kenyataan. Profesi menjadi penulis tidak sehebat yang dikira banyak orang. Aku sadar bahwa menjadi penulis, meskipun memiliki beban yang berat, tapi hasilnya tidak seperti yang diangan-angan.

Aku memang harus menelan kenyataan pahit ini. Apa yang aku harapkan sering tidak sesuai dengan apa yang aku terima.

Sapen, 26 Juli 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer