Tahun 1960-an, sebuah genre jurnalisme
baru (new journalism) diperkenalkan
di media massa di Amerika Serikat. Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis,
menginisiasi istilah new journalism
ini. Dia bersama sahabatnya, EW Johnson menerbitkan sebuah ontologi berjudul, The New Journalism.
Dari sinilah sejarah penulisan feature berawal.
Photo: http://blog.indeed.com |
Apa kaitan antara new journalism dengan feature?
Pertama kali dikenalkan, new journalism mengundang kritik. Apa
yang baru? New journalism
menghasilkan produk jurnalistik dengan ciri-ciri: mendalam (tidak hanya berita permukaan), penulisan menggunakan gaya sastra (lugas/bahasa tidak standard),
dan hasilnya enak dibaca
(komunikatif, cair). Pada umumnya, para jurnalis yang memproduksi karya
jurnalistik baru ini memiliki latar belakang sebagai sastrawan atau budayawa,
sehingga muncul babakan, karakter, dramatis, dan konflik. Dengan ini, new journalism dikenal sebagai literary journalism (jurnalisme
sastrawi). Di Amerika Serikat, muncul beragam istilah untuk menamai fenomena
baru dalam dunia jurnalistik ini, seperti narrative
reporting, passionate journalism, atau ada pula yang menyebut explorative journalism.[2] Produk
dari new journalism inilah yang lebih
akrab dikenal sebagai feature.
Jurnalisme sastrawi (literary journalism) adalah sebuah genre
baru dalam dunia persuratkabaran. Genre ini telah berkembang pesat di beberapa
media besar di Amerika Serikat, seperti majalah Time dan Newsweek atau
harian The New York Times dan The Woshington Post. Di tanah air, media
massa nasional yang telah mengadopsi genre jurnalisme baru ini seperti harian Kompas, majalah Tempo, dan belakangan beberapa media massa lainnya mulai menerapkan
gaya jurnalisme sastrawi.
Sesungguhnya, kehadiran genre jurnalisme
baru ini sudah mulai dirintis sejak Orde Lama, seperti ketika Mochtar Lubis
memimpi harian Indonesia Raya, ia
rajin menulis editorial dengan gaya khas jurnalisme sastrawi. Atau PK Ojong
ketika memimpir harian Kompas, ia
rutin mengisi rubrik Kompasiana dengan gaya khas jurnalisme sastrawi.
Dilanjutkan dengan penerbitan majalah Tempo
yang hingga kini memiliki ciri khas gaya jurnalisme sastrawi. Produk dari genre
jurnalisme sastrawi adalah feature dengan
penekanan pada aspek human interest.
Memang tidak mudah menghadirkan karya
jurnalistik dengan perpaduan standar jurnalisme konvensional dengan standar
karya sastra sehingga dibutuhkan sumber daya wartawan yang mumpuni. Dalam praktiknya, hanya beberapa media massa (baik harian
maupun majalah) yang menerapkan genre jurnalisme baru ini. Salah satu lembaga
yang concern terhadap pengembangan
mutu jurnalisme di tanah air adalah Yayasan Pantau[3]
yang dalam praktiknya menggunakan pola dan metode jurnalisme yang dikembangkan
di media-media besar di Amerika Serikat.
Yayasan Pantau membagi materi pokok
pelatihan jurnalistik untuk mahasiswa dan pemula menjadi empat tema: 1) reportase, 2) penulisan, 3) laku
wartawan, 4) dinamika ruang redaksi (news
room).[4]
Materi reportase mencakup: teknik wawancara, riset buku, internet, database, dan pengamatan di lapangan.
Materi penulisan meliputi latihan membuat deskripsi, menggunakan dialog,
diskusi tentang fokus tulisan, menyusun alur cerita naskah, mengenalkan genre
penulisan literary journalism—jurnalisme
sastrawi. Materi laku wartawan berkaitan dengan etika jurnalistik, seperti
tentang siapa yang layak dijadikan sebagai narasumber, bagaimana sikap wartawan
menghadapi narasumber, dan lain-lain. Sedangkan materi dinamika news room seputar aktivitas dalam rapat
redaksi, penentuan job-job khusus, penyeleksian naskah masuk, dan lain-lain.
Materi jurnalisme sastrawi adalah
tahapan kedua setelah peserta pelatihan menguasai bagaimana teknik wawancara,
riset buku, internet, penggunaan database
dan pengamatan di lapangan. Artinya, materi ini diberikan setelah seluruh bahan
atau kelengkapan data tercukupi (heuristic—istilah
dalam tahapan awal metode sejarah) untuk kemudian ditulis menjadi sebuah naskah
jurnalisme dengan genre tertentu. Bahan atau data yang diperoleh bisa dalam
bentuk 1) transkrip wawancara, catatan informasi yang diperoleh dari kajian
buku atau penelusuran di internet, 2) catatan/kliping informasi-informasi
pendukung yang diperoleh dari penggunaan database, dan 3) catatan hasil
pengamatan di lapangan. Penggunaan sumber-sumber data yang bervariasi sangat
membentu dalam proses verifikasi data untuk keperluan penulisan karya
jurnalisme. Proses verifikasi adalah penerapan prinsip berimbang, tidak memihak
dalam sebuah kasus/konflik yang melibatkan dua atau lebih kelompok/pihak.
Selanjutnya, bagaimana pengertian,
komponen, karakteristik dan fungsi, serta jenis-jenis dalam karya jurnalisme
sastrawi akan dibahas berikut di bawah ini.
Apakah yang disebut dengan tulisan feature?
Tentu banyak pendapat dari para pakar
dan praktisi jurnalisme. Tetapi beberapa pendapat yang setidak-tidaknya mudah
dipahami dan relevan dalam konteks belajar menulis feature bagi pemula perlu disajikan di sini.
Andreas
Harsono—wartawan senior ini tidak mendefinisikan tulisan feature secara eksplisit, tetapi ia
membuat perumpamaan ketika seorang jurnalis mengalami kesulitan membuat tulisan
feature. Ia mengandaikan bahwa, “Menulis
bisa diibaratkan membangun rumah. Ada rumah bambu, dibuat sehari selesai. Ada
rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. Ada juga rumah
bertingkat dari beton, butuh waktu setahun. Naskah mana yang hendak anda
bangun?”[5]
Gunawan
Mohamad—sekalipun tidak secara eksplisit mendefinisikan feature, pendiri majalah Tempo ini meringkas kiat membuat tulisan
feature dengan tiga langkah: “fokus,”
“sudut masuk,” dan “outline.”[6]
Yayasan
Pantau—mendefinisikan feature
sebagai reportase yang dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan
gaya sastrawi, dan produk jurnalistik yang dihasilkan terasa enak dibaca dan
menghibur.[7]
Farid
Gaban—wartawan senior ini mendefinisikan feature sebagai bentuk “artikel yang
kreatif, kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan
memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek
kehidupan.”[8]
Dengan demikian, tulisan feature adalah jenis tulisan dengan gaya
tertentu (sastrawi) yang bersifat fokus dan mendalam, menggunakan kerangka
tulisan yang unik, bersifat kreatif, informative, mengibur, dan berorientasi
pada human interest.
Sebagai produk jurnalisme, model tulisan
feature harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip
utama pembentuk karya jurnalistik. Prinsip-prinsip dalam karya jurnalistik
seperti yang digagas Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elemens of Journalism. Ada sembilan
prinsip meliputi:
1. Journalism first obligation is to
the truth (kewajiban jurnalisme pertama adalah berpihak pada
kebenaran)
2. Its first loyality is to the
citizen (loyalitas pertama kepada warga/publik)
3. Its essence is discipline of verification
(esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi)
4. Its practitioners must maintain an
independence from those they cover (para praktisi harus
independen dari objek liputannya)
5. It must serve as an independent
monitor of power (jurnalis harus membuat dirinya sebagai
pemantau yang independen terhadap sistem kekuasaan)
6. It must provide a forum for public
criticism and compromise (jurnalis harus memberi
ruang/forum bagi public untuk saling mengritik dan menemukan kompromi/problem solving)
7. It must strive to make the
significant interesting and relevant (jurnalis harus
berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan)
8. It must keep the news comprehensive
and proportional (jurnalis harus membuat berita secara
komprehensif dan proporsional)
9. Its practitioners must be allowed
to exercise their personal conscience (jurnalis harus
diperbolehkan mendengarkan suara hati personalnya).[9]
Sembilan prinsip utama jurnalisme
menjadi pondasi untuk “membangun rumah”—meminjam istilah Andreas Harsono untuk
analogi proses menulis naskah jurnalistik. Di atas pondasi akan tampak struktur
bangunan rumah yang kokoh dan khas, menggunakan komponen-komponen utama
jurnalisme—mengacu pada teori Rudyard Kipling. Berikut enam komponen dalam
jurnalisme:
1. What—(apa
yang terjadi?)
2. Who—(siapa
pelakunya?)
3. Where—(di
mana kejadian itu?)
4. When—(kapan
kejadian itu?)
5. Why—(apa
yang menyebabkan kejadian itu?)
6. How—(bagaimana
kejadian itu?)
Pada prinsipnya, news (berita) adalah fakta, bukan opini (pendapat) atau fiksi
(imajinasi). Proses menulis berita adalah rekonstruksi fakta berdasarkan prinsip-prinsip
kerja jurnalisme dengan menyajikan komponen-komponen utama. Setelah komponen-komponen
jurnalisme terbentuk, maka proses penulisan dimulai. Di sini, proses penulisan
naskah dihadapkan pada pilihan-pilihan: apakah hendak menulis kategori hard news atau soft news, apakah akan menulis straight
news atau feature news, atau jika
menghendaki berita mendalam dipilihlah kategori indept news.
Jika keputusan untuk menulis feature news, maka kiat-kiat dari
Andreas Harsono, Gunawan Mohamad, dan Farid Gaban dapat membantu membimbing
kita mengatasi kesulitan-kesulitan dalam proses penulisan feature. Menurut Andreas Harsono, “menulis bisa diibaratkan
membangun rumah.” Jenis bahan/material, model arsitektur, dan struktur bangunan
yang menentukan proses lama tidaknya penulisan. Jika menulis hard news, tentu dalam hitungan menit
atau jam sebuah karya jurnalistik dapat diselesaikan. Tetapi soft news biasanya membutuhkan sedikit
waktu lebih lama, karena biasanya menggunakan pakem yang lebih longgar dari konsep
‘piramida terbalik’ dan komponen 5 W 1 H. Begitu juga ketika menulis straight news biasanya lebih cepat
ketimbang feature news. Untuk
penulisan kategori indept news membutuhkan
kekuatan akurasi data dan analisis mendalam sehingga sebuah fakta mampu
dijelaskan secara jelas dan gamblang. Nah, untuk menulis feature sangat beda, struktur piramida terbalik tidak menjadi
acuan, malah sering diabaikan. Sebab, fokus pada topik harus diikuti dengan
aspek tertentu yang unik (engle). Sedangkan
kerangka tulisan (outline) mengikuti
alur, karakter, atau dramatisasi kejadian—sekalipun tidak mengada-ada. Pilihan
diksi, penggunaan kata-kata metaforis maupun analogis, mengiringi babakan dan
karakter. Karena proses penulisan melibatkan aspek olah rasa dan nurani—untuk memancing
dimensi emosional pembaca—maka biasanya sebuah karya jurnalisme sastrawi dirampungkan
dalam tempo yang cukup lama.
Gunawan Mohamad memberikan kiat khusus
dalam proses menulis feature,
terutama pada tahap awal ketika seorang jurnalis hendak mulai menulis. Apa yang
harus dilakukan oleh seorang jurnalis adalah fokus—yaitu menyatukan konsentrasi pada satu titik yang unik dan
menarik dari sekumpulan data/informasi dari sebuah obyek (topik). Sedangkan
“sudut masuk” (engle) adalah “perspektif
lain”—di luar perspektif umum—ketika membaca data/informasi yang unik dan
menarik dari sebuah objek. Langkah berikutnya adalah membuat outline atau kerangka tulisan—dengan
model piramida sesungguhnya.
Farid Gaban menyebut jenis feature sebagai artikel yang kreatif
untuk memberikan informasi dan hiburan bagi pembaca. Kreativitas seorang
jurnalis ditopang dengan kemampuan dan kepiawaian dalam memilah dan memilih
kata, membuat diksi-diksi, metafora-metafora, analogi-analogi yang khas, dan mampu
menyisipkan rasa emosional dalam struktur tulisan. Selain menghadirkan informasi,
tulisan feature juga menghibur
pembaca dengan keindahan gaya bahasanya.
Beberapa karakteristik dan fungsi
feature sebagai berikut:
1. Tulisan
sangat mendalam dan fungsinya untuk mengeksplorasi data/informasi yang lebih detail.
2. Tulisan
naratif dengan fungsinya untuk menyuguhkan informasi.
3. Tulisan
menggunakan gaya sastra dengan fungsinya untuk menghibur pembaca
4. Tulisan
mengandung human interest dengan
fungsinya untuk menggugah, menggerakkan, atau merangsang dimensi emosional pembaca
5. Struktur
tulisan melampaui pakem jurnalisme konvensional
Jenis-jenis feature sangat beragam karena objek atau ruang lingkupnya sangat
luas, meliputi kejadian, keadaan atau aspek kehidupan. Maka jenis-jenis feature dapat dikelompokan berdasarkan
topik-topiknya, seperti:
1. Feature
tokoh (Biographical feature)—riwayat
hidup seorang tokoh yang telah meninggal dunia dan memiliki prestasi unik
sehingga layak ditulis menjadi berita.
2. Feature
sejarah (Historical feature)—tentang
peristiwa di masa lalu namun memiliki makna dan relevansi dengan konteks
kekinian.
3. Feature
perjalanan (Travelogue feature)—cerita
tentang pengalaman perjalanan yang mengesankan sehingga layak ditulis menjadi
berita.
4. Feature
keahlian (How-to-do feature)—tentang
tips atau petunjuk praktis mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.
5. Feature
Ilmiah (Scientific feature)—tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembahasan mendalam, menggunakan data dan
informasi yang akurat.
Sesungguhnya, jurnalisme adalah dunia
pragmatis. Teori tanpa praktik tidak memiliki makna dan tidak relevan untuk hanya
dibicarakan. Dunia jurnalisme adalah dunia praktik—bertopang pada kerangka
teori yang telah tersedia—sehingga melahirkan karya jurnalistik, dalam konteks
ini berupa tulisan feature. Sekalipun
makalah ini sedikit mengulas teori tentang genre jurnalisme sastrawi, terutama
mengenal produk feature, tetapi ini
hanyalah pengantar singkat untuk praktik jurnalisme di lapangan. (Mu'arif/ Disampaikan dalam Pelatihan Penulisan Feature yang diselenggarakan
Kreskit Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, 10 Mei
2018)
[1] Andreas Harsono, “Feature:
Ibarat Menggoreng Telur Mata Sapi” www.andreasharsono.net/2013/05/ibarat-menggoreng-telur-mata-sapi.html?m=1 (Diakses 9 Mei 2018).
[2] Lihat “Jurnalisme Sastrawi”
www.pantau.or.id/?/=d/688 (Diakses 9 Mei
2018)
[4] Penetapan empat materi dalam
pelatihan jurnalistik ini berdasarkan standard materi yang telah dilaksanakan
di beberapa sekolah jurnalisme di Amerika Serikat. Lihat Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 37.
[5] Ibid., hlm. 87.
[6] Harsono, “Feature…” (Diakses
9 Mei 2018).
[7] Lihat “Jurnalisme Sastrawi”
www.pantau.or.id/?/=d/688 (Diakses 9 Mei
2018).
[8] Lihat http://www.komunikasipraktis.com/2015/10/pengertian-feature-tulisan-jurnalistik.html?m=1 (Diakses 9 Mei 2018).
[9] Sebagaimana diuraikan dalam
Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme,
hlm. 15-31.