Ibadah Haji merupakan salah satu dari pilar Islam yang lima। Sekalipun menjadi pilar utama, ibadah ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang “mampu” menjalankannya. “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya…” (Qs. 3: 97). Secara otomatis, siapa yang tidak mampu, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menunaikannya.
Para ulama berbeda pendapat menafsiri kalimat “…man isthatha’a ilaihi sabilan…” (bagi orang-orang yang mampu menjalankannya)। Surat Ali Imran ayat 97 ini mengundang perdebatan yang terus mengalir hingga kini. Salah satu penyebabnya karena pelaksanaan ibadah Haji saat ini sudah menjadi bagian utuh melibatkan birokrasi negara, kesiapan bekal materi, kesehatan jasmani, mental, dan faktor letak geografis.
Mungkin tidak menjadi masalah pelaksanaan ibadah Haji bagi orang-orang di sekitar Makkah pada masa sekarang atau pada masa Nabi saw (abad 6 M)। Kalimat dalam surat Ali Imran ayat 97 mengundang perdebatan tafsir ketika para pelaku Haji berasal dari negara lain, apalagi yang letak geografisnya sangat jauh dari Makkah. Problem birokrasi, biaya perjalanan, kondisi kesehatan badan dan psikhis, kemudian menjadi bagian dari pemahaman utuh kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…”
Konteks Sosial
Lebih jauh, makna kalimat ini juga cukup relevan dengan konteks sosial। Selama ini, umat Islam memang masih mengemban “PR” yang cukup berat untuk memaknai doktrin ibadah Haji dalam konteks sosial. Sebagai doktrin agama, Ibadah Haji memiliki relevansi dengan konteks personal (hablun minallah) dan sosial (hablun minannas). Agama Islam bukan aliran “kebatinan” atau “mistisisme” yang hanya mengedepankan aspek hubungan personal antara para pemeluknya dengan Tuhan.
Dalam kontek Ibadah Haji, kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia diajak berpartisipasi dalam “Pertunjukan Haji” sebagai even maha besar ini। Menurut Ali Syari’ati (1983), Ibadah Haji mensyaratkan egalitanianisme. Tidak ada diskriminasi ras, jenis kelamin, atau bahkan status sosial. Semuanya adalah satu dan yang satu itu untuk semuanya.
Saya menangkap maksud pemikiran Ali Syari’ati sebagai bagian dari makna Haji dalam konteks sosial। Lebih jauh, pemikiran Ali Syari’ati memiliki relevansi dengan makna tersirat dalam kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…” Atas dasar inilah saya menganggap konsep Ibadah Haji, dalam perspektif maqashid asy-syari’ah, tidak hanya bermakna personal, tetapi memiliki muatan sosial yang tinggi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, makna Ibadah Haji harus diberi ruang seluas-luasnya untuk mendefinisikan kembali (redefinisi) atas dasar konteks sosio-kultural yang ada। Dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah fundamental dalam Ibadah Haji, prinsip maqashid asy-syari’ah harus diselaraskan dengan konteks sosio-kultural Indonesia.
Dalam perspektif sosiologis, masyarakat Indonesia masih terbelakang। Kehidupan ekonomi masih jauh dari kesejahteraan. Kemiskinan adalah fenomena lumrah di bumi nusantara ini. Menurut data BPS (2005-2006), jumlah angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 jumlah angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Di sisi lain, jumlah jama’ah Haji di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun। Padahal, Ongkos Naik Haji (ONH) selalu mengalami peningkatan. ONH tahun ini (2007) sekitar 26-28 juta rupiah dengan asumsi kurs dollar sebesar Rp. 9.000,-. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, biaya perjalanan Haji tahun ini mengalami kenaikan sebesar 70-85 dollar.
Data kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan, sementara jumlah jama’ah Haji terus meningkat pula। Dengan merujuk data-data BPS di atas, kita tidak akan mendapati titik temu yang logis antara statistik kemiskinan dan peningkatan jumlah jama’ah Haji di Indonesia. Mengapa di negara yang miskin justru terus meningkat jumlah jama’ah Hajinya? Di sini, saya memahami bahwa fenomena yang demikian sebagai sebuah ironi.
Haji Kontekstual
Fenomena jumlah warga miskin dan peningkatan jumlah jama’ah Haji di Indonesia merupakan sebuah indikasi nyata bahwa doktrin Islam yang satu ini baru dipahami sebatas hubungan personal antara hamba dan Tuhannya। Jika doktrin Islam ini dipahami secara utuh dalam konteks hablun minallah dan hablun minannas sekaligus, masalah keterbelakangan, kemiskinan, atau bahkan pengangguran, tidak akan terus meningkat. Minimal, angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia akan menurun.
Dalam hal ini, saya menganggap perlu mendefinisikan kembali tafsir “man isthatha’a ilaihi sabilan…” dalam konteks hablun minannas। Sebab, selama ini umat Islam masih menganggap ayat ini sebatas konteks personal. Jika seseorang punya biaya cukup, sehat jasmani dan rohani, maka ia sudah masuk dalam kategori orang-orang yang mampu menunaikan ibadah Haji. Padahal, permasalahan ini ternyata jauh lebih kompleks.
Asghar Ali Engineer (1999) berpendapat bahwa agama (Islam) menjadi sistem pengertian (signification), sistem simbol dan ibadah yang menyediakan sense of identity bagi penganutnya untuk hidup di dunia yang serba kompleks ini। Dengan merujuk pada definisi agama (Islam) versi Asghar Ali Engineer ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa umat Islam memiliki identitas yang satu. Ia bagaikan tubuh yang satu. Seperti isyarat Nabi saw, umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuh akan merasakan dampaknya.
Jika melihat fakta kemiskinan yang terus meluas, maka setiap umat Islam wajib tanggap terhadap fenomena ini. Sebab, mereka yang hidup dalam kemiskinan tidak lain adalah saudara sendiri. Mulai saat ini, umat Islam perlu mengalihkan orientasi ibadah haji, dari “haji personal” (ke tanah suci) menuju “haji sosial” (kontekstual). Caranya ialah dengan membantu proses pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terus meningkat. Pengertian “man isthatha’a ilaihi sabilan…” juga mendukung kenyataan ini bahwa tidak diwajibkan bagi umat Islam berkunjung ke tanah suci manakala belum mampu mengentaskan kemiskinan saudara-saudarannya. (Mu'arif)