Haji Misbach |
Siapa yang tak kenal ‘Haji
Merah’? Para peneliti sejarah, pustakawan, kerani buku, akademisi, atau para
jurnalis senior di negeri ini tentu mafhum siapa sosok ‘Haji Merah’ ini. Dia
Darmodiprono, juragan batik asal Kauman, Solo. Selepas naik haji, ia mengubah
namanya menjadi Misbach (Nor Hiqmah, 2008). Dengan nama terakhir ini, juragan
batik yang nama kecilnya Achmad ini mendadak tenar. Setidak-tidaknya, ia tenar
di kawasan Solo dan sekitarnya. Haji Misbach berhasil memprovokasi massa untuk
melakukan demonstrasi dan kerusuhan, mengorganisasi pemogokan kaum buruh,
melakukan sabotase rel kereta api, bahkan sampai terlibat pembakaran bangsal
kraton Solo.
Haji Merah
Apa yang membuat Misbach makin
revolusioner di usia matangnya? Keluarga, teman dekat, dan kondisi sosial-politik
di Solo pada waktu itu yang telah mengubah sang juragan batik menjadi sosok
aktivis pergerakan revolusionar. Ia lahir dari keluarga pedagang batik di
Kauman. Keluarganya tergolong pejabat Muslim di Kraton Solo. Misbach kecil yang
bernama Achmad mendapat pendidikan agama di pesantren. Ia juga sempat mengenyam
Sekolah Bumiputra kelas II selama delapan bulan. Rupanya, bangku sekolah telah
mengenalkannya pada dunia intelektual dan pergerakan. Ia pun tertarik. Setelah
dewasa, Darmodiprono yang telah sukses berbisnis kain batik senang berkumpul
dan berdialog dengan tokoh-tokoh pergerakan. Setelah menunaikan ibadah haji, ia
pun semakin mantap menempuh jalur pergerakan sebagai medan perjuangan.
Mas Marco Kartodikromo (1924)
mengisahkan, “Waktoe
kami mengeloearkan soerat chabar minggoean Doenia-Bergerak di Solo (1914),
djalan officieel orgaan dari Inlandsche Journalisten Bond, kami kenal dengan
H.M. Misbach, karna dia anggota dan langganan dari persarekatan dan soerat
chabar terseboet…”
Langkah pertama Haji Misbach
terjun ke medan pergerakan dengan cara bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB),
organisasi pers bumi putra pertama yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo
(1914). Lewat surat kabar Doenia-Bergerak, banyak
lahir para jurnalis handal dari kalangan bumi putra, di antaranya Haji Misbach.
Lewat IJB ini, Misbach
berkenalan dengan Haji Fachrodin dari Kauman, Yogyakarta. Kebetulan, keduanya
sama-sama pedagang batik. Keduanya juga sama-sama berasal dari keluarga pejabat
Kraton. Sama-sama berasal dari Kauman, tetapi beda tempat. Kedua putra Kauman
(beda tempat) ini bersama-sama menerbitkan majalah Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917)
sebagai corong perlawanan atas penindasan kolonial Belanda. Tidak
tanggung-tanggung, kedua putra Kauman tersebut menempatkan sosok Khatib Amin Yogyakarta
sebagai salah satu kontributor Medan-Moeslimin yang
namanya terpampang jelas di sudut kiri atas cover majalah ini. Khatib Amin Yogyakarta yang
dimaksud adalah Kyai Ahmad Dahlan.
Di Solo, Misbach mengajak
beberapa juragan batik untuk bergabung dalam ‘organisasi’ Sidik Amanah Tableg
Vathonah (SATV)—ejaan asli—yang bertujuan memajukan umat Islam dan membela kaum
tertindas. Rupanya, Misbach tidak bisa tinggal diam melihat umat Islam selalu
terbelakang, kalah bersaing dengan para cukong Belanda dan pengusaha China yang
sewenang-wenang. Ia juga muak dengan sepak terjang para pejabat kraton yang
justru menjadi ‘tukang palak’ rakyat jelata. Berawal dari forum pengajian agama
di rumahnya, muncul gagasan membentuk semacam perkumpulan sekalipun belum bisa
dikatakan sebagai sebuah organisasi. Akan tetapi, program-program SATV
sistematis dan nyata. Misalnya, menerbitkan majalah, menyelenggarakan
pengajian, bahkan mendirikan sekolah Islam. Akhirnya, Haji Misbach, Koesen,
Harsoloemekso, dan Darsosasmito berhasil membentuk perkumpulan SATV dengan
program monumentalnya menerbitkan majalah Medan-Moeslimin pada tahun
itu juga.
Selang dua tahun berikutnya,
perkumpulan ini menerbitkan majalah Islam Bergerak. Misbach makin lengket
saja dengan Fachrodin ketika menerbitkan kedua majalah ini. Bahkan, sosok Kyai
Dahlan ditempatkan sebagai kontributor resmi Medan-Moeslimin untuk
wilayah Yogyakarta. Kontributor wilayah Solo diisi oleh Haroen Rasid. Seorang
redaktur bernama Moechtar Boechari juga terpampang namanya di halaman cover
majalah ini. Terdapat pula sosok H.A. Hamid BKN (ayah Dasron Hamid) yang
membantu administrasi perusahaan. Sejak tahun 1915-1919, hubungan antara
Muhammadiyah dengan SATV sangat harmonis, saling mengisi. Kyai Dahlan sering
diundang ke Solo, di rumah Kyai Mochtar Boechari, mengisi pengajian forum SATV.
Menyerang Muhammadiyah
Retak hubungan harmonis SATV
dengan Muhammadiyah dimulai ketika Haji Misbach masuk bui pada tahun 1920.
Misbach ditangkap tentara kolonial karena ia menjadi provokator kerusuhan
dan pemogokan buruh tebu di Klaten (desa Nglungge). Mendekam di penjara
Klaten lalu dipindah ke Pekalongan, Misbach banyak bertemu dan berdialog dengan
para tahanan yang kebanyakan adalah aktivis dan propaganda ISDV. Di situlah
semangat dan haluan politik Misbach mengalami perubahan drastis. Semangat
revolusionernya bertegur sapa dengan jalan Marxisme. Keluar dari penjara,
Misbach mengambil alih kepemimpinan Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak yang
sebelumnya di bawah kendali Fachrodin. Telah terjadi perdebatan sengit antara
dua kawan akrab ini. Kawan lawan kawan, tetapi tak ada yang keluar sebagai
pemenang. Perdebatan itu berakhir dengan pilihan bahwa masing-masing akan
menempuh prinsip dan jalan hidup sendiri-sendiri. Sampai tahun 1922, jajaran
redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak telah
didominasi oleh orang-orang yang sehaluan dengan politik Misbach. Orang-orang
Muhammadiyah dan simpatisannya tersingkir dari kedua majalah ini.
Perdebatan sengit antara
Misbach dengan orang-orang Muhammadiyah tampaknya berlanjut sampai mimbar. Di
panggung pengajian SATV, Misbach menyerang Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya. Tak
cukup dengan pidato, ia menggunakan Medan-Moselimin dan Islam Bergerak untuk
menyerang Muhammadiyah. Dengan lantang, Haji Merah menuduh Muhammadiyah
membiarkan penindasan kolonial Belanda terhadap kaum pribumi. Itu karena
Muhammadiyah tidak menempuh jalur politik untuk membela rakyat tertindas,
seperti halnya gerakan Sarekat Islam (SI). Dalam artikel “Moekmin dan Moenafik”
(Islam Bergerak, 10 Desember
1922), Misbach mengritik orang-orang yang tidak memilih jalur politik sebagai
munafik (Muhammadiyah) dan mereka yang memilih jalur politik sebagai Islam
sejati (SI).
Misbach juga menyerang
Muhammadiyah karena dianggap tidak memerangi fitnah terhadap umat Islam, justru
organisasi yang didirikan oleh ‘kaum modal putih’ (kapitalis muslim, red) ini
dianggap hanya menyiarkan agama Islam tanpa membela kaum tertindas, bahkan
terlibat dalam kasus renten (Medan-Moeslimin, 20 November
1922).
Satu per satu tokoh-tokoh
Muhammadiyah menjadi objek sasaran kritik tajam dari Haji Misbach dan kubu SI
Merah. Kyai Ahmad Dahlan dituduh sebagai rentenir, karena terlibat dalam
skandal hutang Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) pada tahun 1922.
Haji Fachrodin dituduh sebagai tokoh munafik dan penipu. Hoofdbestuur (HB)
Muhammadiyah dianggap telah menjadi agen kapitalis. Konon, pada saat itulah
Misbach keluar dari Muhammadiyah (lihat Nor Hiqmah, 2008: 5).
Dengan semangat berapi-api,
Misbach datang ke Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923 di Yogyakarta menyampaikan
usulan (vorstel)
agar Muhammadiyah mengubah haluan organisasi menjadi partai politik pergerakan
layaknya SI (Soewara
Moehammadijah, no 5 & 6, Mei & Juni 1923). Akan tetapi, Djojosoegito
dalam catatan notulen Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923 menyebutkan bahwa “Haji
Misbach itu bukan sekutu Muhammadiyah.” Ia memilih keluar dari keanggotaan
Muhammadiyah karena tidak sehaluan lagi dengan perjuangan organisasi ini.
Catatan ini sudah cukup untuk menjelaskan status Haji Merah dan hubungannya
dengan Muhammadiyah.
Hidup di Pengasingan
Tak lama setelah menyerang
Muhammadiyah, Haji Misbach ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan
dibuang ke Manokwari (1923). Majalah Medan–Moeslimin dan Islam Bergerak sudah sulit
terbit. Dalam Medan
Moeslimin edisi 15 Juli 1924, keterangan di box redaksi, selaku
pengarang yang bertanggungjawab di muka hakim: Haroen Rasid. Selaku pengurus:
Sjarif. Selaku pembantu yang khas: Nasurdin (guru bahasa Melayu di Penang).
Haji Misbach sebagai ketua, dalam keterangan, masih dalam bui (Manokwari).
Sebuah sumber menyebutkan,
ketika di Manokwari, Misbach menjalin komunikasi dengan Firma Abdullah Lie,
sebuah perusahaan jasa yang melayani pengiriman barang-barang dari Ambon ke
Manokwari. Sumber ini berasal dari kesaksian Haji Ismail Abu Kasim, alumni MULO
dan HIK Muhammadiyah (Solo). Menurut Ismail Abu Kasim, perintis Muhammadiyah di
Ambon adalah Haji Misbach dari Solo. Misbach menggunakan jasa Firma Abdullah
Lie milik Haji Muhammad Abu Kasim, ayah kandung Haji Ismail Abu Kasim, untuk
memesan berbagai kebutuhan hidupnya. Menariknya, selama di pembuangan, Misbach
justru berusaha memesan beberapa buku bacaan dan majalah. Rupanya, sekalipun
Misbach telah keluar dari Muhammadiyah, ternyata ia tetap menjadi pelanggan
majalah Suara
Muhammadiyah. Firma Abdullah Lie inilah yang menyuplai kebutuhan
Misbach selama di Manokwari (baca M. Amin Eli, “Muhammadiyah Maluku: Hasil
Penyemaian Kyai Misbach”, Suara Muhammadiyah no. 20
Th. Ke-61/1981).
Nah, dari hasil korespondensi
antara Haji Misbach dengan Haji Muhammad Abu Kasim muncul gagasan mendirikan
Muhammadiyah di Ambon. Haji Abu Kasim sendiri seorang Muslim keturunan
Tionghoa. Ia berhasil meyakinkan kawannya yang bernama Auw Yong Koan, seorang
Muslim keturunan Tionghoa pula. Kemudian ada Abdurrahman Didin, seorang perawat
di rumah sakit militer di Ambon. Akhirnya, pada sekitar tahun 1930-an, gagasan
untuk mendirikan Muhammadiyah di Ambon berhasil terwujud. Haji Muhammad Abu
Kasim, Auw Yong Koan, dan Abdurrahman Didin adalah tokoh-tokoh perintis yang
sekaligus menjadi pengurus pertama Muhammadiyah di Ambon. (Mu'arif)