Jagad
medsos baru saja dihebohkan oleh tweet Pak Mahfud MD yang mengunggah poto
sejumlah pengurus Muhammadiyah sedang berpose di depan istana negara bersama Bung
Karno (poto jadul). Di antara pengurus Muhammadiyah terdapat beberapa perempuan
yang mengenakan kain kebaya dan berkerudung. Lalu mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi itu menulis status, "Perempuan
Muhammadiyah pd tahun 1965 berbusana ala perempuan Indonesia dan budaya bangsa,
pakai kebaya anak kerudung kepala sdh islami. Muslimat NU juga begitu. Model
hijab Indonesia."
Gara-gara
status tersebut, tweet Pak Mahfud MD tidak hanya disanggah oleh orang-orang
yang merasa ‘paling tahu’ soal dokomen poto itu, tapi juga dibully habis-habisan
di medsos. Yah seperti biasa, jempol dan jari memang tak kenal etika. Orang-orang
yang membully di medsos memposting komentar-komentar yang sangat tidak pantas. Tidak
usah saya sebutkan contoh-contoh komentar yang tidak pantas itu. Karena bahasa
yang digunakan, ya ampun, bikin saya tidak simpatik lagi. Komentar-komentar
berisi nada cemoohan, hinaan, umpatan, atau yang populer disebut hate speech itu sungguh tidak pantas
dilayangkan kepada guru besar UII tersebut.
Belakangan,
muncul pula sanggahan dari aktivis Muhammadiyah yang konon menetap di Inggris. Saya
sebutkan nama orangnya, tapi maaf tidak saya sebutkan alamat atau nama media
onlinenya (nanti malah jadi promosi gratis!). Aktivis Muhammadiyah yang tinggal
di Inggris itu bernama Ardi Muluk. Sudah bisa ditebak, sanggahannya menghakimi
pendapat Pak Mahfud MD bahwa model hijab yang menjadi tradisi di Muhammadiyah
tahun 1950-an tidak seperti itu. Dengan judul yang agak bombastis, “Hati-hati, Pengaburan Kerudung Syarie
Aktivis Muhammadiyah Padahal Yang Asli Begini,” media online tersebut memposting
poto para siswi Madrasah Muallimat pada tahun 1950-an, poto aktivitas para
perempuan yang berdagang dengan pakaian berhijab (maaf saya kurang tahu persis
apakah poto ini merepresentasikan tradisi di Muhammadiyah atau tidak), dan
terakhir lukisan Nyai Ahmad Dahlan yang mengenakan hijab (kok lukisan?).
***
Setelah
melihat objek poto yang diposting oleh Pak Mahfud MD, sebenarnya saya langsung mbatin, “memang begitulah hijab zaman
dulu, kok heboh?” Apalagi, saya tahu persis sumber poto yang sudah beredar itu.
Poto itu bisa ditemukan di buku Bintang
Muhammadiyah yang disusun oleh Djarnawi Hadikusuma. Para pengurus
Muhammadiyah dan Aisyiyah baru saja memberikan gelar kehormatan “Bintang
Muhammadiyah” kepada Presiden Soekarno sebagai “Anggota Setia Muhammadiyah.” Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 10 April 1965. Biar penjelasan lebih afdol, peristiwa
ini terjadi pada 8 Dzulhijjah 1384 Hijriyah di Istana Merdeka, Jakarta.
Saya
memang sedang berusaha mengidentifikasi tokoh-tokoh yang ikut poto bersama Bung
Karno, namun sayang sekali hingga kini belum bisa menyebut nama mereka satu
persatu (maklum, kebanyakan orangnya sudah meninggal dunia!). Kebetulan sekali,
ketika menulis artikel ini, saya baru saja bertemu dengan keluarga HM Yunus
Anis di Kampung Kauman, Yogyakarta, dan sempat mendapat penjelasan seputar poto
yang kebetulan juga sama persis seperti yang diposting oleh Pak Mahfud MD. Beberapa
nama sudah berhasil teridentifikasi. Berdiri di sebelah kiri Presiden Soekarno,
seorang lelaki mengenakan jas (karena poto jadul hitam putih, warna jasnya cuma
kelihatan hitam) dan berkopiah adalah KH Ahmad Badawi, Ketua Umum PP
Muhammadiyah pada waktu itu yang juga sekaligus menjabat sebagai Penasehat
Presiden. Di sebelah kanan seorang perempuan mengenakan kain kebaya memakai
kerudung tampak berkaca mata, itulah Prof Siti Baroroh Baried, Ketua Umum PP
Aisyiyah pada waktu itu. Di belakang Bung Karno tampak seorang lelaki gemuk
sedang tersenyum mengenakan pakaian jas berdasi dan memakai kaca mata, itulah
Oei Tjen Hien atau Abdulkarim Oei, kawan dekat Bung Karno yang juga aktivis
Muhammadiyah dari Bengkulu (harap
dicatat: ternyata banyak keturunan China Muslim yang menjadi aktivis
Muhammadiyah lho!). Di deretan terdepan, nomor 2 dari kiri tampak Bapak Salman
Harun, kemudian di deretan nomor 4 ada Bapak Djarnawi Hadikusuma. Di bagian
belakang, saya amati secara seksama ternyata ada salah satu tokoh dalam poto
tersebut yang masih hidup hingga kini, dialah Bapak Sudibyo Markoes.
Selebihnya, saya masih dalam proses mengidentifikasi nama tokoh-tokoh dalam
poto tersebut.
Sumber: Buku Bintang Muhammadiyah hlm 27
Nah,
yang jadi objek perdebatan dalam tulisan ini, sebagaimana komentar Pak Mahfud
MD, para pengurus ‘Aisyiyah yang hadir dalam acara resmi penganugerahan “Bintang
Muhammadiyah” berpakaian kebaya dan berkerudung. Setelah saya hitung, ada 12
perempuan dalam poto tersebut yang memakai pakaian adat Jawa. Dan yang mengundang
pertanyaan adalah jenis atau model pakaian yang dikenakan oleh para pengurus
‘Aisyiyah pada waktu itu. Pakaian kebaya itu berupa kain jarit untuk bagian bawah dan biasanya memakai benting (kain ikat pinggang), kemudian baju kebaya yang biasanya
direnda dengan bahan agak transparan, lalu model rambut disanggul namun
ditutupi kerudung.
Pertanyaannya,
sudah islamikah pakaian seperti itu? Menurut Pak Mahfud MD, itu sudah Islami.
Bahkan, itulah ciri khas model hijab Indonesia. Sontak para netizen membantah
pendapat Pak Mahfud MD. Ada yang mencaci, mencemooh, seolah-olah Pak Mahfud MD
tidak tahu bagaimana berpakaian secara Islami. Bahkan, Ardi Muluk yang konon aktivis
Muhammadiyah di Inggris membantah sambil menyodorkan contoh hijab di
Muhammadiyah pada tahun 1950-an, seolah-olah dialah yang lebih tahu fakta
historis ini. Nah, bagaimana dengan pendapat saya?
Dari
sinilah saya tergerak untuk menulis artikel ini. Jujur, tulisan ini bukan untuk
membantah tafsiran Pak Mahfud MD soal hijab ala
Indonesia. Sama sekali bukan! Tulisan ini juga bukan untuk mengritik para netizen
yang seolah-olah merasa paling tahu seputar ‘hijab Islami’ yang berkembang di
lingkungan Muhammadiyah, khususnya pada tahun 1965. Tulisan ini hanya memperjelas
dan mempertegas informasi yang bersumber dari poto yang diposting Pak Mahfud MD
disertai dengan data-data historis lain sebagai pembanding. Tentu saja saya
akan melakukan penafsiran atas data-data historis pembanding tersebut agar dapat
memberikan perspektif lain dalam perdebatan ini.
***
Sejak
zaman kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, berbarengan dengan pertumbuhan industri
batik di Yogyakarta, Muhammadiyah memang telah mempelopori gerakan penertiban
pakaian perempuan. Dalam buku Sejarah
Kauman (2010) karya Ahmad Adabi Darban, sejak tahun 1917 Muhammadiyah telah
menggerakkan program wajib berkerudung bagi anggota-anggota Aisyiyah. Namun harap
diingat, program ini baru mewajibkan kaum perempuan untuk berkerudung. Karena
dalam praktiknya, pakaian kebaya ternyata masih menjadi pakaian umum anggota
Aisyiyah pada waktu itu. Maka lahirlah budaya unik yang disebut “Kudung
Aisyiyah,” berupa kain kerudung yang ditenun dan disulam dengan motif
bunga-bungaan. “Kudung Aisyiyah” inilah yang kemudian populer dikenal sebagai
“Songket Kauman.”
Siti Umniyah mengenakan Kudung Aisyiyah/Songket Kauman
Sumber: Majalah SM No 22 Tahun 2010.
Nah,
“Songket Kauman” inilah ciri khas anggota Aisyiyah pada waktu itu. Kebetulan
pula, pada tahun 2010, saya pernah meneliti tentang “Songket Kauman: Potret Budaya yang Tergerus Zaman” untuk keperluan publikasi
di salah satu majalah Muhammadiyah. Tentu, sedikit banyak saya telah
mengantongi informasi perihal kain songket ini. Songket ini bentuknya kerudung
yang dapat dimaknai sebagai penerapan hijab dalam konteks budaya Jawa pada
waktu itu. Persoalan Islami atau tidak Islami ya tergantung perspektif yang
digunakan orang. Kalau menggunakan perspektif zaman sekarang (bukan zaman now
ya!), mungkin jenis pakaian kebaya dan kerudung dinilai tidak atau kurang
Islami, karena perkembangan tren hijab saat ini memang sudah semakin
bervariasi. Tetapi jika menggunakan perspektif masa lalu, ketika kerudung masih
asing di kepala kaum perempuan Jawa, jangan pernah berkhayal terlalu tinggi bahwa
program penertiban pakaian perempuan yang dilakukan pada masa KH Ahmad Dahlan
itu dalam bentuk model pakaian burqa
atau niqab. Ya itu jelas sangat sulitlah!
Ini soal mengubah budaya yang sudah menjadi warisan turun temurun. Namun
catatan saya, “Songket Kauman” adalah sebuah kombinasi unik nan cerdas yang
memadukan antara nilai-nilai Islam, budaya, dan ekonomi di Kauman, Yogyakarta,
pada awal abad XX.
Dalam
konteks dakwah Muhammadiyah, konsep “Songket Kauman” sebenarnya dapat dipahami
sebagai bentuk dakwah kultural yang prosesnya masih terus berlangsung, tidak
boleh terhenti. Lagi-lagi saya jadi ingat, sewaktu menulis buku Dakwah Kultural (2005), saya meyakini
bahwa konsep dakwah ini bersifat kontinyu, tidak boleh terputus, bertujuan
untuk mengubah budaya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Kini, “Songket
Kauman” atau “Kudung Aisyiyah” telah menjadi mozaik dalam sejarah kebudayaan
Muhammadiyah dan Aisyiyah. Inilah kerudung Islami pada zamannya yang telah
mengubah model pakaian kaum perempuan Jawa sehingga agak lebih Islami.
Namun,
terdapat sebuah dokumen lain yang dapat menjelaskan bahwa model pakaian para
pengurus Aisyiyah pada masa KH Ahmad Dahlan memang bervariasi, tidak hanya satu
model. Seperti dalam sebuah verslag tahun
1922, KH Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, dan Siti Munjiyah pernah mengunjungi Openbare
Vergadering Sarekat Islam di Kediri (lihat
Suara
Muhammadiyah, no 1/th ke-4/1922). Dalam verslag tersebut ditemukan informasi
menarik bahwa Siti Munjiyah yang mewakili Aisyiyah dipersepsi oleh para peserta
Rapat Terbuka SI Cabang Kediri yang mayoritas kaum laki-laki sebagai sosok
perempuan yang memakai pakaian ala “pakaian
haji.” Persepsi tentang “pakaian haji” jelas dapat dimaknai sebagai pakaian perempuan
jenis tertutup layaknya hijab zaman sekarang. Sementara dalam sebuah dokumen
album poto milik HM Yunus Anis, terdapat poto para aktivis Aisyiyah yang sedang
menggelar rapat terbuka memakai pakaian tertutup juga layaknya hijab masa kini.
Nah, model hijab yang ini memang persis seperti contoh hijab dalam poto para
siswi Madrasah Muallimat yang disodorkan Ardi Muluk.
Rapat ‘Aisyiyah
Sumber: Album Poto HM Yunus Anis
Namun
janganlah terburu-buru menyumpulkan bahwa model hijab di Muhammadiyah,
khususnya para pengurus Aisyiyah, seperti yang diklaim saudara Ardi Muluk.
Jangan pula membuat framing berita
seperti media online yang memuat komentar Ardi Muluk bahwa pendapat Pak Mahfud
MD tentang model hijab di Muhammadiyah sebagai upaya mengaburkan fakta yang
sesungguhnya. Karena berdasarkan sumber album poto milik HM Yunus Anis, memang banyak
ditemukan informasi seputar model pakaian kaum perempuan Muhammadiyah pada
periode awal. Meskipun banyak ditemukan poto kaum perempuan Aisyiyah mengenakan
hijab tertutup layaknya hijab masa kini, tetapi banyak juga ditemukan model-model
pakaian yang masih sederhana, yaitu memadukan antara konsep kebaya dengan
kerudung. Jangan heran apalagi nyinyir karena ada poto Nyai Ahmad Dahlan pada
masa menjelang akhir hayatnya yang masih memakai jenis kebaya dan kerudung. Tidak
seperti contoh lukisan Nyai Ahmad Dahlan yang disodorkan oleh Ardi Muluk,
sumber album poto milik keluarga HM Yunus Anis jelas lebih shahih menggambarkan
fakta yang sebenarnya.
Nyai Ahmad Dahlan (Tengah)
Sumber: Album Poto HM Yunus Anis
***
‘Ala kulli hal, apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa model
hijab yang berkembang di kalangan Muhammadiyah memang bermacam-macam, tidak
satu model. Ada model hijab yang dalam istilah Pak Mahfud MD sebagai hijab ala
Indonesia. Ada pula model hijab tertutup yang mungkin oleh para netizen akan
dinilai lebih Islami. Data-data historis tentang penggunaan dua model pakaian
ini cukup kuat.
Model hijab Indonesia yang
merupakan perpaduan antara kebaya dan kerudung sudah jamak ditemukan di
kalangan Muhammadiyah periode awal. Bahkan, sampai tahun 1960-an, model hijab
ini masih ditemukan di Muhammadiyah, khususnya di kalangan aktivis Aisyiyah. Sosok
Prof Siti Baroroh Baried, Ketua Umum PP Aisyiyah yang ikut poto bersama dengan
Bung Karno masih mempertahankan tradisi ini, berkebaya dan berkerudung. Begitu
juga sosok Prof Dr Siti Chamamah Soeratno sampai kini masih mempertahankan
tradisi ini. Bahkan pada perhelatan Muktamar Seabad Muhammadiyah di Yogyakarta
(2010), dalam sebuah forum resmi, Bu Chamamah tampil pede mengenakan kebaya
dipadu Songet Kauman.
Sedangkan
model hijab tertutup seperti yang disodorkan saudara Ardi Muluk juga sudah dikenal
pada masa awal Muhammadiyah, khususnya di kalangan aktivis Aisyiyah. Sewaktu
masih kecil, saya sering mendengar bahwa model hijab semacam disebut “Baju
Kurung.” Nah, “Baju Kurung” sebenarnya lebih identik dengan budaya Melayu,
seperti pakaian kaum perempuan di Minang. Dalam konteks sejarah Muhammadiyah, memang
ada titik temu antara budaya Melayu dengan model pakaian hijab ini. Berawal
dari interaksi KH Ahmad Dahlan sebagai saudagar batik yang pernah berkunjung ke
Minangkabau, berguru kepada Syekh Djamil Djambek. Kemudian terjalin pertemanan
antara KH Ahmad Dahlan dengan Haji Rasul yang pernah singgah ke Kauman,
Yogyakarta. Lalu dikuatkan dengan pembentukan Cabang Muhammadiyah di
Minangkabau pada tahun 1927 sekaligus digelarnya congress Muhammadiyah pertama
di luar pulau Jawa. Ada adagium populer bahwa Muhammadiyah lahir di Kauman,
Yogyakarta, tetapi tumbuh besar di Minangkabau. Maka wajar jika pada tahun
1950-an, model hijab ala Minangkabau populer di lingkungan Muhammadiyah.
Persoalan
Islami atau tidak hijab ala Indonesia sebenarnya relative. Bahkan jika kita
amati pola berpakaian ibu-ibu aktivis Aisyiyah sejak zaman Nyai Ahmad Dahlan
hingga kini, mereka cukup fleksibel atau luwes dalam berpakaian. Dalam konteks
budaya Jawa, kebaya dan kerudung sudah sangat islami. Namun dalam konteks
budaya lain, barangkali kebaya dan kerudung tidak islami. Oleh karena itu, para
aktivis Aisyiyah cerdas menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kadang, Nyai Ahmad
Dahlan mengenakan hijab tertutup ketika menghadiri event-event resmi
Muhammadiyah dan Aisyiyah yang dihadiri banyak orang dengan beragam latar
belakang budaya. Tetapi kadang Nyai Dahlan juga mengenakan kebaya dan Songket
Kauman ketika menghadiri event-event di Muhammadiyah dan Aisyiyah, baik resmi
maupun tidak resmi, yang dihadiri oleh orang-orang dengan latarbelakang budaya
Jawa. Karena kebaya dan kerudung itu sudah islami dalam konteks budayanya. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar