Milad Muhammadiyah ke-105 dengan tema ”Muhammadiyah Merekat Kebersamaan” (18
November 2017) digelar di Kraton Yogyakarta. Tema ini tidak tidak hanya
signifikan dalam konteks dinamika sosial politik nasional, tetapi sekaligus
memiliki makna historis yang selama ini nyaris terputus. Sejak pertama kali
didirikan (1912), Muhammadiyah memiliki hubungan yang harmonis dengan kraton
Yogyakarta. Hubungan Muhammadiyah dengan Pakualaman juga cukup harmonis. Tetapi
dalam beberapa periode kepemimpinan terakhir, hubungan antara Muhammadiyah
dengan kraton Yogyakarta terasa makin renggang atau bahkan saling menjauh. Momentum
milad kali ini tampaknya hendak merekatkan kembali hubungan yang selama ini
agak renggang.
Khatib Amin, Pendiri Muhammadiyah
Pada tahun 1896, K.H. Abubakar (Khatib
Amin masjid gedhe Yogyakarta) meninggal dunia sehingga jabatan Khatib Amin digantikan
oleh putranya, K.H. Ahmad Dahlan. Setahun pasca menyandang gelar Khatib Amin
(1897), Ahmad Dahlan membuat geger para ulama kraton. Dengan keyakinan yang
teguh, Khatib Amin mengusulkan pembetulan arah kiblat. Dia mengundang para
ulama kraton dan sesepuh Kauman di suraunya, mendiskusikan persoalan
kontroversi arah kiblat secara jernih.
Beberapa hari pasca musyawarah dengan
para ulama kraton Yogyakarta, kampung Kauman dibuat geger. Pasalnya, arah
kiblat masjid gedhe telah digeser dengan cara memberikan tanda garis shaf
shalat seukuran 5 cm dari arah selatan ke utara. Arah kiblat dibuat agak serong
ke arah barat laut. Pasca peristiwa inilah, Khatib Amin menjadi tertuduh. Dia mendapat
kecaman keras dari para ulama senior kraton. Kiai Penghulu Mohammad Khalil
Kamaludiningrat merasa tertampar karena sikap dan perbuatan Khatib Amin dianggap
melangkahi otoritasnya. Puncak konflik antara Khatib Amin dengan para ulama
kraton Yogyakarta ketika suraunya di Kauman dirobohkan.
Pasca peristiwa pelurusan arah kiblat masjid gedhe
(1897), nama K.H. Ahmad Dahlan atau Khatib
Amin semakin populer. Nama Khatib Amin harum di kalangan generasi muda, tetapi
dianggap jelek di mata para ulama tradisional. Gagasan pembaruannya menarik
simpati para pemuda dan pemudi di Kauman. Apalagi ketika surau K.H. Ahmad
Dahlan yang terletak di depan rumahnya dirobohkan atas perintah hoofdpenghulu.
Para pemuda Kauman yang masih idealis dan memiliki jiwa progresif sudah dapat
menimbang secara rasional siapa yang benar dalam peristiwa ini.
Reformasi Kepenghuluan Kraton
Sekitar 15 tahun pasca pengrusakan surau Khatib
Amin, pada akhir Desember 1912, sebuah organisasi keagamaan reformis
dideklarasikan di Loodge Gebouw Malioboro (sekarang gedung DPRD DIY). Organisasi tersebut adalah persyarikatan
Muhammadiyah. Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan berhasil mengajukan rechtspersoon
kepada pemerintah kolonial lewat bantuan para pengurus Boedi Ooetomo cabang
Yogyakarta untuk mendirikan sebuah organisasi. Gubernur Jenderal A.W.F.
Idenburg mengeluarkan besluit tanggal 22 Agustus 1914. Perkumpulan tersebut di
kemudian hari dikenal dengan nama ”Muhammadiyah.” Berdasarkan Statuten 1912,
Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330
Hijriyah.
Lewat persyarikatan Muhammadiyah, Khatib Amin
berhasil melakukan reformasi keagamaan di lembaga kepenghuluan kraton Yogyakarta.
Sebuah kisah yang cukup masyhur di kalangan Muhammadiyah menyebutkan bahwa pada
suatu ketika Khatib Amin memerintahkan penyelidikan dengan metode ru’yah bil
ain. Hasil dari perhitungan awal bulan dengan metode hisab dan ru’yah
bil ain tidak berbeda. Tetapi, hasil perhitungan dengan metode hisab
dan ru’yah bil ain menurut keputusan Muhammadiyah berbeda dengan
kebijakan kraton yang masih menggunakan kalender Aboge. Dengan keyakinan
membawa kebenaran agama Islam, Khatib Amin memberanikan diri menghadap Sri
Sultan Hamengku Buwono VII untuk menyampaikan informasi ini.
Mendengar seorang abdi dalem menyampaikan
kebenaran agama, sang raja Yogyakarta bersikap sangat bijaksana. ”Berlebaranlah
kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi
menurut hitungan Aboge”, demikian jawab Sultan Hamengku Buwono VII kepada
Khatib Amin. Kisah ini bisa dibaca dalam buku K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan
Perjuangannya (2009: 156-157) karya Junus Salam.
Kisah ini memang masyhur di kalangan warga
Muhammadiyah, tetapi hampir tidak ditemukan kejelasan bagaimana seorang pejabat
rendah di dalam struktur pemerintahan kraton Yogyakarta bisa melakukan
reformasi keagamaan secara struktural. Kapan peristiwa ini terjadi juga tidak
banyak buku yang menjelaskannya.
Sebagai seorang khatib, jabatan K.H. Ahmad Dahlan
jelas berada di bawah hoofdpenghulu dalam struktur lembaga Kepenghuluan
Yogyakarta. Khatib Amin tidak mungkin bisa masuk ke dalam kraton bertemu
langsung dengan sang raja tanpa melewati otoritas hoofdpenghulu.
Siapakah hoofdpenghulu pada waktu K.H. Ahmad Dahlan menghadap sang raja
dalam kisah ini?
Kiai Sangidu (Dok. Siti Umniyah) |
Dalam buku Sejarah Kauman karya Ahmad Adabi
Darban (2000: 41-43) dijelaskan, pada tahun 1914, hoofdpenghulu Muhammad
Khalil Kamaludiningrat wafat. Berdasarkan peraturan dalam tradisi kraton
Yogyakarta, Ketib Anom berhak menggantikan jabatan hoofdpenghulu
di lembaga Kepenghuluan yang tengah kosong ini. Pada waktu itu, jabatan Ketib
Anom dipegang oleh K.H. Sangidu. Dia termasuk salah seorang ulama kraton
yang sehaluan dengan Khatib Amin. Ketika menjabat sebagai hoofdpengulu,
K.H. Sangidu menyandang gelar Kiai Pengulu Mohammad Kamaludiningrat.
Sejak K.H. Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu,
hubungan antara Muhammadiyah dan lembaga kepenghuluan semakin harmonis.
Hubungan harmonis antara institusi Kepenghuluan kraton dengan Muhammadiyah
semakin kentara ketika Khatib Amin bersama hoofdpenghulu Mohammad
Kamaludiningrat (K.H. Sangidu) menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk
membicarakan persoalan hilal Syawal yang berbeda dengan ketentuan
kalender Aboge.
Dengan demikian, Ketib Amin bisa menghadap sang
raja Yogyakarta menyampaikan usulan tentang hilal Syawal berdasarkan metode hisab
dan ru’yah ain lewat otoritas dan jasa hoofdpenghulu Muhammad
Kamaludiningrat. Jika Muhammad Kamaludiningrat (K.H. Sangidu) adalah ulama
kraton yang sehaluan dengan Khatib Amin, maka Muhammad Khalil Kamaludiningrat
adalah ulama kraton yang berseberangan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah ini.
Muhammad Khalil Kamaludiningrat adalah tokoh yang pernah memerintahkan supaya
surau Khatib Amin dirobohkan. Dengan demikian, kisah K.H. Ahmad Dahlan menghadap
sang raja Yogyakarta untuk menyampaikan usulan tentang hilal Syawal
berdasarkan metode hisab dan ru’yah bil ain terjadi pasca
meninggal hoofdpenghulu Muhammad Khalil Kamaludiningrat (1914).
Sejak K.H. Sangidu menjabat sebagai hoofdpenghulu,
Khatib Amin bekerja sama dengan lembaga Kepenguluan kraton Yogyakarta dan
Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat kooperatif
dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan
permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di
Pakualaman yang dipimpin K.H. Abdulah Siraj merupakan partner
Muhammadiyah dalam memutuskan berbagai persoalan keagamaan.
Dengan memahami langkah-langkah perjuangan K.H.
Ahmad Dahlan ini, kita dapat memahami bahwa hubungan antara Muhammadiyah dengan
kraton Yogyakarta dan Pakualaman memang sangat dekat. Bahkan, pada sekitar
tahun 1970-an, ketua majlis tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dipegang oleh
K.H. Wardan Dipaningrat, kiai Penghulu Kraton Yogyakarta. Posisi Kiai Penghulu
sangat strategis yang menjembatani antara Muhammadiyah dengan Kraton
Yogyakarta. (Mu'arif)