Rabu, 29 Agustus 2018

Siti Bariyah, Dari Ketua ‘Aisyiyah Pertama Hingga Penafsir Ideologi Muhammadiyah

Siti Bariyah
Dia satu di antara tiga gadis Kauman (Yogyakarta) yang mengenyam pendidikan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School). Bersama dua sahabatnya, ia berani menerobos tradisi, masuk sekolah netral yang dikelola oleh orang-orang Belanda. Pada waktu itu, persepsi masyarakat Kauman tentang budaya orang-orang Belanda dianggap sebagai kekufuran. Siapa yang mengikuti atau menyerupai budaya orang-orang Belanda, maka ia dianggap termasuk bagian dari mereka (man tasyabaha bi qaumin, fa huwa min hum). Apalagi, masyarakat Kauman pada waktu itu juga masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah, tidak patut menuntut ilmu yang tinggi, karena ujung-ujungnya hanya akan mengurusi dapur. Namun ia memberanikan diri menerobos tradisi, mengikuti arahan yang disampaikan seorang kiai kharismatik bernama K.H. Ahmad Dahlan (Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta). Gadis berparas ayu itu bernama Siti Bariyah.   

Ketua ’Aisyiyah Pertama
Bukan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan ketua ’Aisyiyah pertama, tetapi Siti Bariyah, santriwati-ideologis K.H. Ahmad Dahlan yang sejak awal telah dipersiapkan untuk menjadi kader Muhammadiyah. Tesis ini dipertegas untuk meluruskan kekeliruan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan ketua ’Aisyiyah pertama adalah Nyai Ahmad Dahlan. Siapakah Siti Bariyah?
Dalam monograf ”Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berhidmat kepada Muhammadiyah” (2009), Mu’tasimbillah Al-Ghozi mengutip catatan pribadi Haji Hasyim Ismail sebagai berikut: “Tatkolo dhahiripun Bariyah amarengi ing dinten Jum’ah legi, kaping 21 wulan Shafar tahun be Sanat 1325” (Ketika lahir anak perempuan Bariyah bersamaan dengan hari Jum’at legi, tanggal 21 bulan Shafar tahun Be sanat 1325). Manuskrip Haji Hasyim Ismail inilah satu-satunya sumber primer yang memberi informasi seputar tahun kelahiran Siti Bariyah.
Siti Bariyah adalah salah satu di antara putra-putri Haji Hasyim Ismail yang berjumlah 8 orang. Merujuk pada manuskrip Haji Hasyim Ismail, Bariyah bersaudara dengan Yasimah, Daniel, Jazuli, Hidayat, Zaini, Munjiyah, dan Walidah. Mereka inilah yang dikenal sebagai “Bani Hasyim” Kauman—merujuk pada istilah yang digunakan Pak AR Fakhruddin untuk menyebut anak-anak Haji Hasyim Ismail yang semuanya mengabdi dan berjuang di Muhammadiyah. Siti Bariyah, Siti Munjiyah, dan Siti Walidah (bukan Nyai Ahmad Dahlan) adalah kader-kader ‘Aisyiyah generasi pertama. Daniel—di kemudian hari berganti nama “Haji Syujak” (Ketua Pertama Penolong Kesengsaraan Oemoem/PKO), Jazuli—di kemudian hari berganti nama “Haji Fachrodin” (Ketua Pertama Bagian Tabligh Muhammadiyah (Bendahara Centraal Sarekat Islam, pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah, Bintang Islam, Srie Diponegoro), Hidayat—di kemudian hari berganti nama “Ki Bagus Hadikusuma” (Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah pasca K.H. Mas Mansur), dan Zaini—muballigh dan pakar kristologi (dari silsilah ini menurunkan tokoh: Busyro Muqoddas, Muhammad Muqoddas,  dan Fahmi Muqoddas).
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail yang lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1325 H, bersama Siti Wadingah dan Siti Dawimah pada tahun 1913 menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan atas arahan K.H. Ahmad Dahlan (Ahmad Adaby Darban, 2000: 47). Langkah K.H. Ahmad Dahlan yang menganjurkan anak-anak perempuan di Kauman masuk sekolah umum merupakan gagasan baru yang sesungguhnya masih sangat sulit diterima oleh masyarakat setempat. Gagasan Kiai Ahmad Dahlan ini sempat dianggap sebagai langkah kontroversial, karena masyarakat setempat memang masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus ke luar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda. Langkah Kiai Dahlan tersebut jelas dianggap sebagai upaya menjerumuskan kaum perempuan dalam kekafiran.
Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Khatib Amin tetap mendidik dan menjaga anak-anak gadis yang dianjurkannya menuntut ilmu di sekolah Belanda. Lewat perkumpulan pengajian Sapa Tresna, mereka dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam. Perkumpulan pengajian perempuan Islam pertama di kampung Kauman bernama Sapa Tresna inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah. Didirikan pada tahun 1914, Sapa Tresna beranggotakan  murid-murid perempuan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School) dan Sekolah Agama (Diniyah Ibtidaiyah) (Junus Anies, 1968: 20).
Siti Bariyah adalah adik kandung Siti Munjiyah, aktivis Sapa Tresna—cikal bakal ‘Aisyiyah. Dia gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek. Mata bulat lebar, tatapan matanya tajam. Di antara santri-santri perempuan Kiai Dahlan, Bariyah paling sering diajak bertabligh di kantor-kantor pejabat pemerintahan dan di sekolah-sekolah umum. Santri perempuan lain yang sering diajak bertabligh oleh Khatib Amin adalah Siti Wasilah (istri K.R.H. Hadjid). Keduanya memang memiliki kemampuan dan wawasan yang melebihi santri-santri perempuan yang lain. Bariyah mahir berbahasa Belanda, juga bahasa Melayu, sedang Wasilah mahir melatunkan tilawatil Qur’an. Sebelum pengajian dimulai, Khatib Amin menyuruh Wasilah untuk membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an sambil dilagukan dengan merdu. Bariyah mendapat giliran untuk menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan Belanda. Konon, dengan model pengajian seperti ini, banyak orang yang senang dan berlomba-lomba mengikuti pengajian (Wawancara dengan Wasingah Syarbini, 10 Oktober 2010).
Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan organ sayap perempuan Muhammadiyah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kiai Ahmad Dahlan, H. Fachrodin, H. Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro (putri K.H. Ahmad Dahlan), Siti Wadingah, dan Siti Badilah yang masing-masing masih berusia belasan tahun hadir mewakili kelompok Sapa Tresna.
Kiai Dahlan mendapat usulan agar Muhammadiyah membentuk organisasi yang secara khusus bertujuan untuk memajukan kaum perempuan. Dalam pertemuan ini, mula-mula nama yang diajukan untuk perkumpulan yang akan dibentuk adalah ”Fatimah.” Nama ini tidak disepakati dalam pertemuan tersebut. Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Bariyah, mengajukan nama ”Aisyiyah.” Pemberian nama ini dinisbatkan kepada istri Nabi SAW yang bernama Siti Aisyah. Para pengikut Siti Aisyah dinamakan ’Aisyiyah. Nama inilah yang berhasil disepakati dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan tersebut berhasil memutuskan pembentukan Muhammadiyah Bahagian Isteri (perempuan) yang diberi nama ’Aisyiyah (Darban, 2000: 48).
Dalam proses pembentukan Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, Siti Bariyah, lulusan Sekolah Netral, dipercaya sebagai ketua (president) pertama (Pimpinan Pusat Aisyiyah, t.t.: 23). Dia sebagai lulusan Neutraal Meisjes School dan aktivis pengajian Sapa Tresna dipandang memiliki kecakapan khusus dalam memimpin salah satu orgaan di Persyarikatan Muhammadiyah ini. Struktur pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah adalah sebagai berikut: Ketua Siti Bariyah, Penulis Siti Badilah, Bendahari Siti Aminah Harowi, Pembantu Nj. H. Abdullah, Nj. Fatimah Wasool, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Busyro (Lihat St. Ibanah Muchtar, “Pemandangan Umum ‘Aisjijah” dalam Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII).   

Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah
Selain dikenal sebagai ketua ‘Aisyiyah pertama, Siti Bariyah adalah tokoh intelektual perempuan yang cukup menonjol pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, terutama pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim. Jika selama ini pendapat bahwa pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah dicetuskan oleh KH Mas Mansur lewat Tafsir Langkah Muhammadiyah (1939), maka teori ini mungkin akan segera digeser, atau paling tidak direvisi, dalam narasi historiografi Muhammadiyah. Sebab, temuan terbaru berdasarkan penelusuran dokumentasi Soewara Moehammadijah tahun 1923, justru pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah digagas oleh seorang intelektual perempuan bernama Siti Bariyah. Ia telah mendapat otoritas untuk memberikan tafsiran terhadap rechtpersoon Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1933). Berdasarkan hasil analisis terhadap dokumen Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923 pada artikel “Tafsir Maksoed Moehammadijah” yang ditulis Siti Bariyah telah ditemukan gugus pemikiran ideologis jauh sebelum Mas Mansur melahirkan buah pemikiran Tafsir Langkah Muhammadiyah.
Apa yang ditulis Bariyah lebih dari sekedar gagasan pribadi, tetapi sebuah upaya memaknai konsep-konsep umum sebagaimana tertuang dalam rechtpersoon (badan hukum) Muhammadiyah yang terdiri atas ’artikel-artikel’ (pasal-pasal) yang membutuhkan penjelasan lebih rinci. Biasanya kewenangan untuk menafsirkan maksud dari pasal-pasal dalam anggaran dasar diberikan kepada sebuah tim khusus atau seseorang yang memang telah diakui kapasitas intelektualnya. Pada masa kepemimpinan KH Ibrahim banyak intelektual di HB Muhammadiyah, tetapi sosok Bariyah justru yang dipercaya untuk memberikan tafsiran ideologis atas tujuan persyarikatan.
Pemikiran ideologis Bariyah tampak ketika ia memberikan tafsiran terhadap tujuan Muhammadiyah. Dalam rechtpersoon Muhammadiyah (artikel 2) disebutkan: ”Hadjat perserikatan itoe: a. Memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama Islam di seloeroeh Hindia-Nederland.” Di sinilah pemikiran subjektif Bariyah mulai tampak ketika memberikan penafsiran atas konsep ”memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama.” Menurutnya, tujuan didirikan persyarikatan Muhammadiyah untuk mengatur, membesarkan, dan memajukan pengajaran agama Islam di Hindia-Belanda dengan sistem modern atau ”berkemadjoean.” Karena istilah ”kemadjoean” sering diiringi dengan penjelasan ”setjara jaman sekarang.” Dalam pandangan Muhammadiyah, di kalangan umat Islam di Hindia-Belanda belum ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam menggunakan sistem dan metode yang sesuai zaman berkemajuan. ”...pada saat ini, beloemlah ada kaoem Islam jang bekerdja kepada agama Islam dan pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean,” tulis Bariyah. 
Menurut Bariyah, umat Islam terbelakang dan bodoh karena sistem dan metode pengajaran agama yang tidak menyesuaikan kondisi zaman. Akibatnya, umat Islam sering menjadi hinaan dan ejekan bangsa lain, terutama bangsa pendatang. Dengan demikian, dibutuhkan upaya besar mengubah sistem dan metode pengajaran agama yang kemudian menjadi tujuan persyarikatan Muhammadiyah.  
Apa yang dimaksud pengajaran agama Islam sesuai peraturan dan ”tjara menoeroet zaman kemadjoean” dalam pandangan Bariyah adalah sistem sekolah, bukan model pondok pesantren. Karena di pondok pesantren, orang hanya belajar agama tanpa menguasai ilmu pengetahuan umum yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, di sekolahan orang hanya belajar ilmu pengetahuan umum tanpa mengasai ilmu agama yang berguna bagi kehidupan akhirat. Atas dasar inilah Bariyah menulis, ”Moehammadijah mengadjarkan agama dengan memakai tjara sekolah.” Kita memang tidak bisa membaca pikiran Bariyah secara menyeluruh, tetapi apa yang telah diartikulasikan dalam bentuk tulisan tersebut dapat mewakili sebagian isi pikirannya. Dengan konsep mengajarkan agama Islam dengan sistem sekolah berarti ia menghendaki integrasi kurikulum yang sekaligus dapat menepis dikotomi pendidikan pada waktu itu.  
Pada artikel 2 poin b ditegaskan bahwa Muhammadiyah ”memadjoekan dan menggembirakan tjara kehidupan sepanjang kemaoean agama Islam kepada lid-lidnja.” Bariyah menggunakan interpretasi subjektifnya ketika memahami pasal ini. Menurutnya, tujuan Muhammadiyah adalah menuntun dan mengajar para anggotanya agar hidup sejalan dengan prinsip-prinsip dalam agama Islam. ”...maksoed persarikatan Moehammadijah hendak mengatoer dan membesarkan atau menoendjoekan kebaikan kehidoepan lid-lidnja menoeroet sepandjang kemaoean agama Islam,” tulis Bariyah. Akan tetapi, Bariyah menegaskan bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melewati proses bimbingan dan belajar berdasarkan tuntunan Islam agar dapat berinteraksi antara sesama anggota maupun antara sesama manusia. Di sini tampak jelas bahwa visi kemanusiaan universal dalam pikiran Bariyah sudah melampaui zamannya. Bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melalui proses bimbingan dan belajar agar menjadi muslim kaffah. Muslim kaffah bukan hanya dapat berinteraksi antara sesama muslim, tetapi seluruh umat manusia tanpa mengenal latar belakang kelompok, etnis, dan agama.
   
Pengusaha Batik
Siti Bariyah menikah dengan Muhammad Wasim, seorang anggota atau keturunan dari masyarakat Kauman. Salah satu karakteristik masyarakat Kauman adalah masyarakat endogami, masyarakat yang terbentuk lewat perkawinan antarkeluarga atau klan (Darban, 2000: 1-6). Sebagai anggota masyarakat Kauman, Siti Bariyah juga menikah dengan seorang keturunan anggota masyarakat Kauman. Dalam catatan silsilah Bani Hasyim, Siti Bariyah diketahui menikah dengan Muhammad Wasim bin K.H. Ibrahim (President HB Muhammadiyah 1923-1932). K.H. Ibrahim putra Penghulu K.H. Muhammad Fadhil. Dia saudara kandung Siti Walidah atau adik ipar Kiai Ahmad Dahlan (Suratmin, 2005: 13). Setelah menikah, K.H. Ibrahim menetap di kampung Ngadiwinatan dan menekuni profesi sebagai juragan batik. Dengan demikian, anak-anak K.H. Ibrahim termasuk keturunan warga Kauman.
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang profesi Bariyah sebagai pengusaha batik memang masih perlu diverifikasi kembali. Kauman, pada awal abad ke 20, memang menjadi sentra kerajinan batik. Namun demikian, tidak semua kategori pengusaha batik adalah pembuat batik. Jika K.H. Ibrahim adalah pengusaha batik dalam arti yang sesungguhnya, yakni pengusaha yang membuka pabrik pembuatan batik, maka Bariyah dan suaminya hanya menyediakan jasa mengetel atau menghaluskan kain dengan kanji sebelum diproses menjadi batik (Wawancara dengan Wasingah Syarbini, 10 Oktober 2010). Rumah Siti Bariyah yang menyediakan jasa pengetelan terletak di Jalan Gerjen.
Pernikahan Bariyah dengan Muhammad Wasim menurunkan tiga anak: Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad. Siti Bariyah meninggal dunia setelah melahirkan Fuad, anak ketiganya. Setelah meninggal dunia, anak-anak Bariyah yang masih kecil diasuh oleh Siti Munjiyah, kakak kandungnya. Dalam asuhan Munjiyah inilah anak-anak Bariyah tumbuh dewasa. Bariyah memang meninggal dunia dalam usia relatif muda, tetapi namanya telah tercatat dengan tinta emas bahwa dialah president (ketua) pertama ‘Aisyiyah dan perempuan pertama yang menjadi penafsir ideologi Muhammadiyah. (Mu'arif/tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer