KH Mas Mansur |
“Sudah kita pegang sapu kawat Jawa Timur!” tegas KH
Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya pasca pertemuan dengan KH Mas Mansur di
Surabaya pada tahun 1920. Julukan “sapu kawat” kepada Mas Mansur masih mengundang
pertanyaan hingga kini. Apakah julukan tersebut berarti sesuatu yang kuat
(layaknya sapu terbuat dari kawat) atau menunjukkan arti sebuah alat (sapu)
yang berasal dari kampung Kawatan (tempat Mas Mansur mengajar di Nahdlatul
Wathan). Yang jelas, pasca pertemuan satu malam tersebut, Ahmad Dahlan menaruh
optimis bahwa Muhammadiyah di Jawa Timur akan berkembang pesat lewat Mas
Mansur.
Kisah pertemuan dua tokoh besar
ini bukan tanpa disengaja. Setelah kurang lebih empat tahun belajar agama di
Mesir, Mas Mansur pulang ke Surabaya. Di tanah air, Sarekat Islam (SI) di Solo
sedang redup. H.O.S. Tjokroaminoto yang memegang kendali SI cabang Surabaya
mengajak Mas Mansur bergabung dalam organisasi ini. Selama di Mesir, dia banyak
terpengaruh oleh gerakan nasionalisme yang sedang tumbuh, sehingga tawaran Tjokro diterima dengan senang
hati. Bersama Tjokro, Mas Mansur membentuk Tanbihul Ghafilin, sebuah organisasi tabligh di bawah struktur SI
cabang Surabaya (Saleh Said, 1952:
6).
Tidak hanya bergabung dengan Tjokro,
Mas Mansur berbagung bersama KH Abdul
Wahab Hasbullah membentuk majelis diskusi Taswir
al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Majelis ini telah mengilhami lahirnya
Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang bergerak di bidang pendidikan.
Tetapi karena perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah ijtihad dan
khilafiyah menyebabkan Mas Mansur memutuskan keluar dari Taswir al-Afkar.
Berbarengan dengan pembentukan Tanbihul
Ghafilin, di pesantren Pabean, Cantikan, berdiri sebuah perkumpulan bernama
Ihyaus Sunnah (S. Edy, 1952:
30). Pendirinya Fakih Hasyim, seorang
ulama dari kota Padang yang mengajar di pesantren Pabean milik Haji Ali. Dia
banyak mengritik tradisi keagamaan di Surabaya yang mulai menjauh dari
dasar-dasar pokoknya. Reaksi keras datang dari kelompok Islam tradisional
setelah Fakih Hasyim giat menyampaikan dakwahnya. Pondok Pabean dikecam karena
menjadi pusat paham baru. Pada saat itulah, Haji Ali mendapat kabar bahwa di
Yogyakarta terdapat seorang ulama besar yang dianggap mampu menyelesaikan
persoalan yang tengah dihadapinya. Dialah KH Ahmad Dahlan, pendiri dan
president Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Ahmad Dahlan melakukan kunjungan
tabligh pertama kali ke Surabaya pada 1920 atas undangan Haji Ali. Pengasuh
pesantren Pabean dan pengurus perkumpulan Ihyaus
Sunnah mengundang ulama-ulama setempat untuk mengikuti tabligh akbar
tersebut. Di antara para ulama yang diundang tampak seorang ulama muda dengan
postur tubuh tidak terlalu tinggi. Mengenakan peci hitam memakai kain sarung.
Dia mengikuti jalannya pengajian dengan serius. Di ujung ceramah Ahmad Dahlan,
ulama muda tersebut mengajukan pertanyaan. “Mengingat kerusakan masyarakat dan
kemerosotan derajat bangsa, bagaimana cara mengatasi keadaan masyarakat yang
demikian itu?”
“Obatnya tidak lain ialah ini!” jawab
Ahmad Dahlan seraya menunjukkan Al-Qur’an kepada para hadirin. “Kaji isinya
dengan betul-betul! Pergunakan segala ilmu untuk mengetahui mukjizat yang
tersimpan di dalamnya. “Amalkan! Amalkan! Tidak cukup dengan hanya pandai
membaca, yang harus tepat kena pula makhrajnya, dan melagukan dengan suara
merdu! Pergunakan otak dan mata hati untuk menyelami isi Al-Qur’an, niscaya
kita tahu rahasia alam, yang sengaja dibuat untuk manusia, yang dititahkan
Rabbul ‘Alamin”, terangnya.
Ulama muda yang cukup serius mengikuti
pengajian Ahmad Dahlan menganggukkan kepala. Dialah Mas Mansur. Mula-mula,
Ahmad Dahlan menginap di sebuah hotel di Surabaya, tetapi setelah Mas Mansur
mengetahui informasi tersebut, dia lantas menawarkan untuk menginap di
rumahnya. Menurut Mas Mansur, seorang ulama besar tidak pantas menginap di
sebuah hotel. Tawaran menginap di rumah Mas Mansur diterima dengan baik oleh
Ahmad Dahlan bersama rombongan Hoofdbestuur Muhammadiyah. Dengan menawarkan
menginap di rumahnya, Mas Mansur mendapat kesempatan waktu lebih banyak untuk
bertukar pikiran mengenai persoalan-persoalan keagamaan dan bagaimana jalan
mengentaskan kondisi bangsa.
Memang tak banyak sumber-sumber
yang merekam proses dialog antara Ahmad Dahlan dengan Mas Mansur selama
menginap di rumahnya. Tetapi, sebuah sumber sempat menyebutkan bahwa pasca
menginap di rumah Mas Mansur, Ahmad Dahlan mengatakan kepada murid-murinya,
“Sudah kita pegang sapu kawat Jawa Timur!” (Junus Salam, 1968: 58).
Julukan ”sapu kawat dari Jawa Timur” memang sepadan dengan pribadi Mas
Mansur. Selain memiliki kepribadian kuat, Mas Mansur adalah tokoh pemikir dan
aktivis pergerakan nasional. Dialah tokoh pertama dari luar Yogyakarta yang
mendapat amanat menjabat sebagai president Hoofdbestuur Muhammadiyah pasca
kepemimpinan Haji Hisyam. Kiprah Mas Mansur cukup diperhitungkan dalam pergerakan
nasional, seperti ketika pembentukan Partai Islam Indonesia (PII), Majlis Islam
A’la Indonesia (MIAI), dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Di Muhammadiyah, Mas
Mansur pertama kali mencetuskan pemikiran ideologis dalam sebuah pengajian yang
digelar secara rutin malam Selasa (Cursus Hoofdbestuur Moehammadijah) pada
tahun 1939. Buah pemikiran Mas Mansur ini kemudian diabadikan oleh Majlis Taman
Pustaka dalam buku Tafsir Langkah
Muhammadiyah Tahun 1938–1940.
Kini,
buah pemikiran dari tokoh dengan julukan ”sapu kawat dari Jawa Timur” itu masih
kokoh menopang struktur ideologi gerakan Muhammadiyah, yang pada tahun ini telah
melewati usia 106 tahun. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)