Rabu, 07 November 2007

Pendidikan untuk Perubahan

Krisis moral yang melanda negeri ini bermula dari kerancuan dalam memahami arti dan peran pendidikan. Indikasinya lebih nyata ketika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdidik lulusan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi dianggap sebagai gerbang akhir dari proses pendidikan. Tetapi, mengapa para koruptor kelas kakap dan preman-preman politik justru dari mereka yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi? Tentu, terdapat sesuatu yang keliru dalam pendidikan kita.

Menurut Mochtar Buchori (1994), masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan sebatas sarana, bukan sebagai tujuan. Masyarakat juga masih menganggap pendidikan sebagai ‘batu loncatan’ demi mendongkrak status sosial. Lewat gelar-gelar akademik, status sosial seseorang dijamin bakal terangkat.

Jika memaknai pendidikan hanya sebatas sarana, tentu kemungkinan terjebak pada formalitas akan semakin besar. Orang-orang yang memiliki embel-embel akademik dianggap mumpuni, menguasai ilmu atau memiliki kecakapan hidup (live skill). Padahal, gelar-gelar akademik tidak sepenuhnya merepresentasikan kompetensi seseorang. Apalagi setelah terbongkar kasus sindikat jual-beli gelar, status seseorang yang menyandang gelar Profesor pun masih dipertanyakan. Sebab, seorang paranormal pun amat dengan mudah bisa memiliki gelar ini.

Bagi Mochtar Buchori, pendidikan dimaknai sebagai tujuan. Apa yang muncul dalam diri terdidik, maka itulah akhir dari proses pendidikan. Saya memahami ide Mochtar Buchori sebagai bagian dari proses yang terpadu. Pendidikan adalah proses secara terpadu yang melibatkan terdidik, medium pembelajaran, obyek pembelajaran, proses, dan tujuan akhir. Si terdidik adalah pelaku proses pendidikan (subyek). Medium pembelajaran berupa realitas kehidupan. Obyek pembelajaran adalah permasalahan-permasalahan hidup yang ia hadapi. Sedangkan proses pendidikan ialah dinamika yang melibatkan terdidik, medium, dan obyek pembelajaran. Adapun tujuan akhirnya berupa kemampuan berupa wawasan dan kecakapan hidup. Di sini pendidikan makin dekat maknanya dengan proses kehidupan. Seperti kata Prof Proopert Lodge, "Live is education and education is live."

Setiap proses menghendaki tujuan. Apa yang akan dicapai dalam proses pendidikan kita? Berupa materi atau merupakan konsep abstrak? Di sini kita sering berpikiran picik. Proses pendidikan disamakan dengan pembangunan riil. Padahal, dalam pendidikan, yang sedang dibangun berupa konstruksi mental. Yang akan dibentuk, lewat proses pendidikan, adalah jiwa-jiwa generasi bangsa. Dengan begitu, pola pikir berbasis pedagang atau kalkulasi-kalkulasi berorientasi ekonomis tidak layak masuk dalam pendidikan kita. Sekalipun pendidikan adalah investasi, tetapi keuntungan yang akan dicapai bukan materi, melainkan berupa konstruksi mentalitas bangsa Indonesia agar selaras dengan cita-cita nasional.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai proses "membangun manusia Indonesia seutuhnya." Tetapi, tujuan ini masih abstrak, masih perlu rumusan baru yang lebih kongkrit. Sebab, sebagai bangsa yang tergolong masih muda, konsep "manusia Indonesia seutuhnya" belum tampak jelas.

Untuk memaknai karakteristik bangsa Indonesia, kita perlu mengacu pada nilai-nilai dan tradisi peninggalan nenek moyang. Cikal-bakal bangsa Indonesia adalah orang-orang Proto-Melayu yang pada zaman Neolitikum sudah mendiami kepulauan Nusantara. Mereka memiliki tata nilai, sistem sosial, dan kepercayaan yang kuat. Sekalipun bukan sebagai bangsa yang menerima seruan para nabi, tetapi karakteristik orang-orang Proto-Melayu sebagai bangsa religius sangat kuat. Tata nilai yang dijadikan sebagai pegangan hidup mereka adalah budi pekerti luhur.

Cermin bangsa Indonesia sebagai bangsa religius dapat dilihat dari eksistensi agama-agama besar seperti: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Sekalipun berbeda-beda sistem ritual dan cara pandang dalam memahami hakekat Tuhan, tetapi agama-agama di Indonesia saling menganjurkan budi pekerti luhur. Namun kemudian, kenapa bangsa ini justru menduduki ranking ke-60 dari 120 negara di dunia yang marak dengan tindak korupsi? Jelas peran pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam mengemban tugasnya.

Visi pendidikan nasional memang lemah. Bahkan, masih dianggap belum mampu mengenalkan nilai-nilai dan tradisi luhur peninggalan nenek moyang. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa pendidikan tidak mampu mengenalkan karakteristik khas bangsa ini. Kasus penyiksaan dan pelecehan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan bahwa kita seakan-akan lupa bahwa zaman dahulu negara tetangga ini merupakan bagian dari wilayah nusantara.

Peran pendidikan nasional masih belum efektif dalam membawa bangsa ini menuju perubahan yang signifikan. Problem minus visi menyebabkan sistem pendidikan nasional berjalan acak-acakan. Sekalipun masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme—yang jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma agama—justru makin marak. Apakah pendidikan nasional sudah tidak lagi mementingkan nilai-nilai budi pekerti luhur sehingga para lulusan perguruan tinggi justru banyak yang menjadi koruptor kelas kakap? Apakah pendidikan sudah tidak lagi menanamkan rasa empati sehingga perilaku para elit politik kita makin kekanak-kanakan dan amat memalukan?

Tanpa membenahi problem visi yang belum jelas, selamanya pendidikan berjalan tanpa arah. Jika pendidikan tanpa visi, maka akan dengan mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain yang hendak memanfaatkannya. Seperti inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan anggaran minimal 20% (pasal pasal 31 ayat 4 UUD 45), kasus pelarangan buku sejarah berdasarkan keputusan Jaksa Agung tanggal 5 Maret 2007, dan penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kasus-kasus tersebut menjadi indikasi nyata bahwa pendidikan nasional tanpa visi sehingga mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan di luar pendidikan (kekuasaan).

Akhirnya, patut kita renungkan pesan Maroeli Simbolon berikut ini: "Pendidikan itu benih yang ditabur. Tanpa pendidikan, jangan pernah berharap untuk memetik hasil yang baik" (Maroeli Simbolon, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer