Senin, 19 November 2007

Jika Pendidikan Minus Visi

Dua tahun kebijakan Ujian Nasional (2005), sudah banyak peristiwa memilukan dan sekaligus memalukan mewarnai kebijakan "sarat beban" ini. Cobalah perhatikan baik-baik. Berapa banyak sekolah yang tidak bisa meluluskan siswa-siswinya? Sudah berapa kali demonstrasi para siswa dan guru menolak Ujian Nasional (UN)? Sampai detik ini, sudah berapa banyak kasus siswa bunuh diri karena menanggung rasa malu akibat tidak lulus ujian? Kemudian, seberapa jauh intervensi pemerintah terhadap proses otonomi pendidikan?
Belum lagi tuntas kasus UN sudah diganti dengan kebijakan baru: Ujian Nasional Terintegrasi Ujian Sekolah (UNTUS). Kebijakan ini diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SD/MI. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dalam jumpa persnya di Jakarta, Selasa (13/11), mengeluarkan kebijakan bahwa ujian nasional tingkat SD akan diintegrasikan dengan ujian akhir sekolah. Kebijakan UNTUS berlaku mulai Mei 2008. Di mata saya, kebijakan ini jelas-jelas sarat beban. Saya kira kebijakan ini hanya bakal memicu polemik baru yang akan mewarnai pendidikan nasional.
Kasus UN
Selama ini saya cukup prihatin, mengapa pemerintah (Depdiknas) masih saja mempertahankan kebijakan UN yang diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SMP/SMA? Padahal, kebijakan ini merupakan suatu bentuk inkonsistensi sekaligus arogansi eksekutif (Mendiknas). Sebelum kebijakan UN, Komisi X DPR telah sepakat mencabut Ujian Akhir Nasional (UAN). Tetapi, Mendiknas tetap saja ngotot menggantinya dengan UN (Mu’arif, 2005). Masyarakat Indonesia sudah dikelabuhi oleh kebijakan mengambang ini. Sebab, konsep UN dan UAN sesungguhnya ibarat beda label tapi isi tetap sama. Kebijakan hanya sekedar ganti baju.
Di samping sebagai bentuk inkonsistensi dan arogansi eksekutif, kebijakan UN juga sudah sangat jauh mengintervensi proses pendidikan di daerah-daerah. Konsep otonomi pendidikan telah diabaikan. Kebijakan UN seakan-akan sedang mengembalikan sistem sentralistik yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Dengan menentukan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25, pemerintah pusat jelas sudah bertindak sewenang-wenang. Pada tahun 2007 standar kelulusan naik menjadi 5,0. Tetap saja intervensi pemerintah sangat dominan. Sementara tahun depan (2008), standar kelulusan dipatok menjadi 5,25. Betapa mudahnya pemerintah pusat menentukan standar kelulusan.
Pada kasus UN, proses penggandaan soal atau bahan ujian dilakukan sebagian besar oleh pemerintah pusat (60%). Selebihnya diserahkan kepada daerah (40%). Apakah pemerintah tidak menyadari bahwa standar ini merupakan bentuk penyeragaman yang jelas-jelas mengabaikan potensi-potensi lokal?
Kebijakan UN jelas sarat beban. Kondisi sekolah di daerah-daerah jelas tidak mungkin diseragamkan. Generalisasi cara pandang seperti ini jelas tidak mungkin diterima. Sebab, tidak semua sekolah di daerah-daerah memiliki fasilitas penunjang UN. Tidak semua siswa di daerah-daerah memiliki tingkat kemampuan menyerap soal-soal yang diajukan pemerintah pusat. Akibatnya, kebijakan ini hanya jadi "momok" yang mengerikan.
Ketika UN berlangsung, kita semua menyaksikan siswa-siswi SMP/SMA yang menghadapi ujian nasional layaknya sedang menghadapi hantu yang menakutkan. Setelah ujian selesai, para siswa-siswi berharap-harap cemas menanti pengumuman kelulusan. Pasca pengumuman kelulusan, kita kemudian banyak disuguhi berita-berita miris di media massa. Ternyata banyak lembaga pendidikan yang tidak mampu meluluskan para siswa-siswinya.
Saya masih ingat betul pada pelaksanaan UN pertama kali di Yogyakarta, sebanyak 18.657 siswa di dinyatakan tidak lulus (Bernas Jogja, 1/7/2005). Padahal, Yogyakarta jadi icon sekaligus barometernya pendidikan di Indonesia. Para siswa-siswi yang tidak lulus juga harus menanggung beban psikologis yang tidak enteng. Begitu juga para orang tua wali murid yang juga kena imbasnya.
UNTUS
Kasus UN belum tuntas sudah muncul lagi kebijakan baru: Ujian Nasional Terintergasi Ujian Sekolah (UNTUS). Dugaan saya pun tidak meleset. Banyak lembaga pendidikan di daerah-daerah yang mengajukan protes.
Mungkin dapat dipahami bahwa kebijakan UNTUS untuk meningkatkan standar kelulusan pada jenjang pendidikan SD/MI. Itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia memang perlu dihargai. Siapapun orangnya pasti setuju dan akan mendukung itikad baik semacam itu. Tetapi kebijakan yang tidak populis, karena cenderung mengabaikan potensi lokal, bisa menjadi bumerang. Itikad baik saja ternyata belum cukup. Perlu strategi khusus yang bijak dalam melihat realitas pendidikan di daerah-daerah.
Berdasarkan pernyataan Mendiknas, komposisi soal yang akan diujikan 25% dari pusat dan selebihnya (75%) diserahkan ke daerah. Mungkin Mendiknas mulai merespon kritik yang selama ini dilayangkan kepada pemerintah dalam kasus UN. Sebab, selama ini intervensi pemerintah pusat terlalu dominan dalam kasus UN. Namun kebijakan Mendiknas ini juga bukan tanpa beban.
Satu persoalan penting: keberadaan sekolah-sekolah di Indonesia sangat beragam. Dalam kasus UNTUS, keberadaan SD-SD antara satu daerah dengan daerah lain tidak mungkin disamakan. Meminjam istilah Ai Deti Heryanti (2007), keberadaan SD di Indonesia memiliki disparitas yang tinggi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Ini jelas harus disadari betul oleh pemerintah pusat.
Sementara membaca skenario kebijakan UTUS, tampaknya pemerintah pusat sedang melakukan proses uji coba. Dari kebijakan UN (SMP/SMA) sampai UNTUS (SD/MI) belum sama sekali menunjukkan kematangan konsep. Yang demikian jelas suatu kegamangan. Dan menurut pandangan saya, apa yang terjadi di balik kasus UN dan UNTUS merupakan manifestasi dari ketidakmatangan visi pendidikan kita. Inilah yang terjadi jika pendidikan minus visi. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer