Tiga umat agama Smitik—Yahudi, Nasrani, dan Islam—meyakini peristiwa ‘banjir besar’ pada zaman Nabi Nuh (Noah). Tidak hanya itu. Dalam tradisi bangsa Sumeria, Babilonia, Akkadia, Jerman, Irlandia, dan Yunani juga mengenal kisah ini. Tetapi, bukti-bukti arkeologis yang mendukung kebenaran kisah ini memang tidak atau belum pernah ditemukan. Pada akhirnya, kisah maha hebat tersebut cenderung dianggap sebagai mitos.
Tradisi umat Yahudi dan Nasrani mengandalkan kitab Perjanjian Lama untuk menjelaskan kisah besar ini. Menurut Maurice Bucaille (1979), kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh terdapat dalam Kitab Kejadian Fasal 6, 7 dan 8. Berdasarkan sumber-sumber Biblikal disebutkan dua jenis penyebab banjir: hujan deras dan air tanah yang meluap.
Kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh juga diyakini oleh umat Islam. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat Al-A'raf ayat 64, Al-Qamar ayat 12, Hud ayat 48, Yunus ayat 73, Al-Furqan ayat 37, Al-Ankabut ayat 14, 120, Nuh ayat 25, dan lain-lain.
Berdasarkan sumber Islam, penyebab utama banjir besar adalah mata air di bumi yang terus memancar sehingga mengalir bersatu menjelma menjadi banjir besar (Qs. Al-Qamar: 12). Pada surat lain dijelaskan indikasi bencana alam di masa Nabi Nuh lewat "at-tannur" yang terus meleleh (Qs. Hud: 40).
Kebenaran agama diyakini bersifat mutlak. Ketika kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh masuk ke dalam doktrin agama, maka untuk melacak kebenarannya menjadi teramat sulit. Padahal, dalam perspektif Ilmu Pengetahuan (Science), suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai "peristiwa sejarah" ketika terdapat bukti-bukti arkeologis yang mendukungnya. Oleh karena itu, hingga saat ini, di antara para ilmuwan masih menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh hanya sebatas mitos.
Uniknya, beberapa bangsa di dunia memiliki tradisi mitologi yang boleh dikata sejenis. Seolah-olah kisah banjir besar ini merupakan kejadian maha hebat yang telah menyatukan memori kolektif antarbangsa.
Mitos Banjir Besar
Di luar doktrin agama-agama Smitik, bangsa-bangsa lain di dunia mengenang peristiwa banjir besar dalam bentuk mitologi. Misalnya bangsa Sumeria mengenal mitos Ziusudra. Mitologi ini terdapat dalam Kitab Kejadian Eridu yang konon ditulis pada sekitar abad ke-17 SM. Kisahnya tentang banjir besar di kota Shuruppak yang meluas sampai ke kota Kish. Oleh para pakar mitologi, mitos Ziusudra dianggap padanan dari kisah Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Babilonia juga dikenal epos Gilgames. Bangsa Babilonia memiliki pertalian etnik maupun kultural dengan bangsa Sumeria. Oleh karena itu, epos Gilgames juga memiliki kaitan erat dengan mitos Ziusudra. Sekalipun karakteristik kedua tokoh ini berbeda, tetapi latarbelakang epos Gilgames persis seperti pada kisah Ziusudra, yakni peristiwa banjir besar.
Dalam tradisi bangsa Akkadia yang juga memiliki keterkaitan etnik dan kultural dengan bangsa Babilonia dan Sumeria dikenal epos Atrahasis. Konon, epos ini ditulis kurang lebih pada 1700 SM. Yang cukup unik, sosok Atrahasis hampir mirip seperti figur Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Yunani kuno. Orang-orang Yunani mengenal dua peristiwa banjir besar: Ogigian dan Deukalion. Sumber mitologi ini terdapat dalam The Library karya Apolloardus. Khusus untuk epos Deukalion, kisahnya sangat mirip dengan peristiwa pada zaman Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Jerman dikenal mitologi Norse. Kisah ini sama persis seperti dalam mitologi Yunani, Deukalion. Dalam konteks tradisi Jerman, tokoh utamanya diperankan oleh Bergelmir. Pakar mitologi Brian Banston menganggap mitologi bangsa Jerman ini setera dengan kisah banjir bah di zaman Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Irlandia. Orang-orang Irlandia kuno menganggap nenek moyang mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa Irlandia kuno dipimpin oleh cucu perempuan Nabi Nuh, Cessair. Sewaktu banjir bah selama 40 hari 40 malam, seluruh bangsa Irlandia tenggelam. Dalam mitologi ini dikisahkan bahwa hanya satu orang saja yang berhasil selamat dari peristiwa banjir besar tersebut (lihat Wikipedia Indonesia).
Kebenaran Mitos
Para ilmuwan masih beranggapan bahwa peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh as. hanya sebatas mitos. Mereka merasa sangsi seandainya menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh sebagai peristiwa sejarah. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa mitos dijadikan sebagai bukti dalam menelusuri jejak-jejak historis? Bukankah mitos hanya sebatas kisah fiktif?
Mungkin benar bagi mereka yang beranggapan bahwa mitos-mitos yang dimiliki oleh setiap bangsa tidak lain hanya sebatas kisah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingat. Mungkinkah mitos-mitos itu lahir hanya berdasarkan kekuatan imajinasi semata? Dapatkah sebuah ide berdiri sendiri secara independen? Tentu saja tidak. Sekalipun mitos-mitos itu cenderung fiktif, tetapi ide pokok (subtansi) yang melatarbelakangina jelas tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut penulis, terdapat suatu peristiwa penting yang melatarbelakangi keberadaan mitologi-mitologi yang dimiliki oleh beberapa bangsa di atas. Ketika masing-masing bangsa memiliki mitos-mitos yang boleh dikata identik dengan bangsa-bangsa lain, justru di situlah "benang merah" yang dapat menghubungkan memori kolektif antarbangsa. Memori kolektif tersebut bersumber dari sebuah peristiwa maha hebat yang terjadi pada suatu masa, namun tidak jelas diketahui kapan terjadinya. Masing-masing bangsa mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra, baik berupa hymne maupun epos, yang sudah barang tentu amat bervariasi. Identitas bahasa dan latarbelakang sosiologis yang dimiliki oleh sebuah bangsa mengungkapkannya dalam tradisi bertutur dengan sentuhan-sentuhan imajinasi kreatif dari para penyair dan sastrawan.
Terdapat dua kesimpulan penting berdasarkan argumentasi penulis ini. Pertama, setiap mitos yang diciptakan oleh suatu bangsa tidak mungkin terlepas dari latarbelakang historisnya. Kedua, mitos-mitos yang dimiliki oleh banyak suku bangsa, tetapi subtansinya menggambarkan suatu kejadian yang mirip, menjadi sebuah indikasi akan kebenaran faktual di dalamnya. Atas dasar inilah, penulis tetap meyakini bahwa pada suatu masa, di zaman dahulu, telah terjadi peristiwa banjir besar—sebagaimana dalam kisah Nabi Nuh—yang kemudian memusnahkan separoh kehidupan di muka bumi ini.
Mitos Banjir Besar dan Fenomena Global Warming
Penulis menganggap relevan mengangkat kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh berkaitan dengan fenomena "pemanasan global" (global warming) yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan publik dunia. Pemanasan global sudah bukan lagi sebatas wacana. Hampir seluruh negara di dunia telah merasakannya. Perubahan iklim secara drastis menyebabkan musim tak teratur. Di Indonesia, batas antara musim hujan dan kemarau sudah sulit diidentifikasi.
Akibat dari pemanasan global, suhu bumi terus meningkat. Dampaknya, gunung-gunung es di kutub utara dan selatan terus mencair. Otomatis, permukaan air laut terus naik. Jika pemanasan global terus berlanjut, diprediksikan pada tahun 2100 beberapa pulau bakal terancam tenggelam. Fenomena pemanasan global menjadi ancaman bagi masa depan peradaban umat manusia di muka bumi ini.
Perubahan suhu dan iklim yang tidak teratur mengakibatkan munculnya berbagai macam bentuk bencana alam. Banjir besar, angin topan, dan kekeringan merebak di mana-mana. Akibatnya, korban jiwa dan kerugian materi hampir tak terhitung lagi.
Kampanye penyelamatan dunia terhadap ancaman global warming memang sudah dimulai pada tahun 1992. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) sudah menyepakati Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang terus mengancam peradaban manusia. Sebanyak 154 kepala negara telah terlibat dalam penandatanganan Convention on Climate Change ini. Hanya saja, sampai saat ini masih dipertanyakan komitmen masing-masing.
Ancaman global sudah di depan mata, sementara hampir semua pihak malah mengabaikannya. Hanya beberapa LSM dan tokoh pencinta lingkungan saja yang kelihatan serius melihat ancaman global ini. Oleh karena itu, menjelang Conference to the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Bali nanti (Desember 2007), perlu digaet beberapa elemen masyarakat dunia agar masing-masing sadar bahwa peradaban umat manusia sedang terancam.
Agama-agama besar dunia yang dalam sumber ajaran masing-masing mengenal kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh perlu mencermati fenomena pemanasan global ini. Dengan menengok kembali kisah maha hebat pada zaman Nabi Nuh, setiap umat beragama akan sadar bahwa dunia sedang dalam ancaman besar. Fenomena alam berupa perubahan iklim secara drastis, suhu bumi yang terus memanas, dan permukaan air laut yang terus naik, menjadi pertanda akan bahaya besar yang sedang mengancam peradaban umat manusia. Fenomena pemanasan global jelas identik dengan kisah pada masa Nabi Nuh.
Oleh karena itu, lewat artikel ini, penulis terus berharap kepada para pemuka agama, baik para rahib, pendeta, ulama dan cendekiawan supaya menengok kembali kejadian besar pada masa Nabi Nuh untuk memahami fenomena global warming dalam perspektif agama-agama. (Mu'arif)
Tradisi umat Yahudi dan Nasrani mengandalkan kitab Perjanjian Lama untuk menjelaskan kisah besar ini. Menurut Maurice Bucaille (1979), kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh terdapat dalam Kitab Kejadian Fasal 6, 7 dan 8. Berdasarkan sumber-sumber Biblikal disebutkan dua jenis penyebab banjir: hujan deras dan air tanah yang meluap.
Kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh juga diyakini oleh umat Islam. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat Al-A'raf ayat 64, Al-Qamar ayat 12, Hud ayat 48, Yunus ayat 73, Al-Furqan ayat 37, Al-Ankabut ayat 14, 120, Nuh ayat 25, dan lain-lain.
Berdasarkan sumber Islam, penyebab utama banjir besar adalah mata air di bumi yang terus memancar sehingga mengalir bersatu menjelma menjadi banjir besar (Qs. Al-Qamar: 12). Pada surat lain dijelaskan indikasi bencana alam di masa Nabi Nuh lewat "at-tannur" yang terus meleleh (Qs. Hud: 40).
Kebenaran agama diyakini bersifat mutlak. Ketika kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh masuk ke dalam doktrin agama, maka untuk melacak kebenarannya menjadi teramat sulit. Padahal, dalam perspektif Ilmu Pengetahuan (Science), suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai "peristiwa sejarah" ketika terdapat bukti-bukti arkeologis yang mendukungnya. Oleh karena itu, hingga saat ini, di antara para ilmuwan masih menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh hanya sebatas mitos.
Uniknya, beberapa bangsa di dunia memiliki tradisi mitologi yang boleh dikata sejenis. Seolah-olah kisah banjir besar ini merupakan kejadian maha hebat yang telah menyatukan memori kolektif antarbangsa.
Mitos Banjir Besar
Di luar doktrin agama-agama Smitik, bangsa-bangsa lain di dunia mengenang peristiwa banjir besar dalam bentuk mitologi. Misalnya bangsa Sumeria mengenal mitos Ziusudra. Mitologi ini terdapat dalam Kitab Kejadian Eridu yang konon ditulis pada sekitar abad ke-17 SM. Kisahnya tentang banjir besar di kota Shuruppak yang meluas sampai ke kota Kish. Oleh para pakar mitologi, mitos Ziusudra dianggap padanan dari kisah Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Babilonia juga dikenal epos Gilgames. Bangsa Babilonia memiliki pertalian etnik maupun kultural dengan bangsa Sumeria. Oleh karena itu, epos Gilgames juga memiliki kaitan erat dengan mitos Ziusudra. Sekalipun karakteristik kedua tokoh ini berbeda, tetapi latarbelakang epos Gilgames persis seperti pada kisah Ziusudra, yakni peristiwa banjir besar.
Dalam tradisi bangsa Akkadia yang juga memiliki keterkaitan etnik dan kultural dengan bangsa Babilonia dan Sumeria dikenal epos Atrahasis. Konon, epos ini ditulis kurang lebih pada 1700 SM. Yang cukup unik, sosok Atrahasis hampir mirip seperti figur Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Yunani kuno. Orang-orang Yunani mengenal dua peristiwa banjir besar: Ogigian dan Deukalion. Sumber mitologi ini terdapat dalam The Library karya Apolloardus. Khusus untuk epos Deukalion, kisahnya sangat mirip dengan peristiwa pada zaman Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Jerman dikenal mitologi Norse. Kisah ini sama persis seperti dalam mitologi Yunani, Deukalion. Dalam konteks tradisi Jerman, tokoh utamanya diperankan oleh Bergelmir. Pakar mitologi Brian Banston menganggap mitologi bangsa Jerman ini setera dengan kisah banjir bah di zaman Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Irlandia. Orang-orang Irlandia kuno menganggap nenek moyang mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa Irlandia kuno dipimpin oleh cucu perempuan Nabi Nuh, Cessair. Sewaktu banjir bah selama 40 hari 40 malam, seluruh bangsa Irlandia tenggelam. Dalam mitologi ini dikisahkan bahwa hanya satu orang saja yang berhasil selamat dari peristiwa banjir besar tersebut (lihat Wikipedia Indonesia).
Kebenaran Mitos
Para ilmuwan masih beranggapan bahwa peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh as. hanya sebatas mitos. Mereka merasa sangsi seandainya menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh sebagai peristiwa sejarah. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa mitos dijadikan sebagai bukti dalam menelusuri jejak-jejak historis? Bukankah mitos hanya sebatas kisah fiktif?
Mungkin benar bagi mereka yang beranggapan bahwa mitos-mitos yang dimiliki oleh setiap bangsa tidak lain hanya sebatas kisah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingat. Mungkinkah mitos-mitos itu lahir hanya berdasarkan kekuatan imajinasi semata? Dapatkah sebuah ide berdiri sendiri secara independen? Tentu saja tidak. Sekalipun mitos-mitos itu cenderung fiktif, tetapi ide pokok (subtansi) yang melatarbelakangina jelas tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut penulis, terdapat suatu peristiwa penting yang melatarbelakangi keberadaan mitologi-mitologi yang dimiliki oleh beberapa bangsa di atas. Ketika masing-masing bangsa memiliki mitos-mitos yang boleh dikata identik dengan bangsa-bangsa lain, justru di situlah "benang merah" yang dapat menghubungkan memori kolektif antarbangsa. Memori kolektif tersebut bersumber dari sebuah peristiwa maha hebat yang terjadi pada suatu masa, namun tidak jelas diketahui kapan terjadinya. Masing-masing bangsa mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra, baik berupa hymne maupun epos, yang sudah barang tentu amat bervariasi. Identitas bahasa dan latarbelakang sosiologis yang dimiliki oleh sebuah bangsa mengungkapkannya dalam tradisi bertutur dengan sentuhan-sentuhan imajinasi kreatif dari para penyair dan sastrawan.
Terdapat dua kesimpulan penting berdasarkan argumentasi penulis ini. Pertama, setiap mitos yang diciptakan oleh suatu bangsa tidak mungkin terlepas dari latarbelakang historisnya. Kedua, mitos-mitos yang dimiliki oleh banyak suku bangsa, tetapi subtansinya menggambarkan suatu kejadian yang mirip, menjadi sebuah indikasi akan kebenaran faktual di dalamnya. Atas dasar inilah, penulis tetap meyakini bahwa pada suatu masa, di zaman dahulu, telah terjadi peristiwa banjir besar—sebagaimana dalam kisah Nabi Nuh—yang kemudian memusnahkan separoh kehidupan di muka bumi ini.
Mitos Banjir Besar dan Fenomena Global Warming
Penulis menganggap relevan mengangkat kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh berkaitan dengan fenomena "pemanasan global" (global warming) yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan publik dunia. Pemanasan global sudah bukan lagi sebatas wacana. Hampir seluruh negara di dunia telah merasakannya. Perubahan iklim secara drastis menyebabkan musim tak teratur. Di Indonesia, batas antara musim hujan dan kemarau sudah sulit diidentifikasi.
Akibat dari pemanasan global, suhu bumi terus meningkat. Dampaknya, gunung-gunung es di kutub utara dan selatan terus mencair. Otomatis, permukaan air laut terus naik. Jika pemanasan global terus berlanjut, diprediksikan pada tahun 2100 beberapa pulau bakal terancam tenggelam. Fenomena pemanasan global menjadi ancaman bagi masa depan peradaban umat manusia di muka bumi ini.
Perubahan suhu dan iklim yang tidak teratur mengakibatkan munculnya berbagai macam bentuk bencana alam. Banjir besar, angin topan, dan kekeringan merebak di mana-mana. Akibatnya, korban jiwa dan kerugian materi hampir tak terhitung lagi.
Kampanye penyelamatan dunia terhadap ancaman global warming memang sudah dimulai pada tahun 1992. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) sudah menyepakati Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang terus mengancam peradaban manusia. Sebanyak 154 kepala negara telah terlibat dalam penandatanganan Convention on Climate Change ini. Hanya saja, sampai saat ini masih dipertanyakan komitmen masing-masing.
Ancaman global sudah di depan mata, sementara hampir semua pihak malah mengabaikannya. Hanya beberapa LSM dan tokoh pencinta lingkungan saja yang kelihatan serius melihat ancaman global ini. Oleh karena itu, menjelang Conference to the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Bali nanti (Desember 2007), perlu digaet beberapa elemen masyarakat dunia agar masing-masing sadar bahwa peradaban umat manusia sedang terancam.
Agama-agama besar dunia yang dalam sumber ajaran masing-masing mengenal kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh perlu mencermati fenomena pemanasan global ini. Dengan menengok kembali kisah maha hebat pada zaman Nabi Nuh, setiap umat beragama akan sadar bahwa dunia sedang dalam ancaman besar. Fenomena alam berupa perubahan iklim secara drastis, suhu bumi yang terus memanas, dan permukaan air laut yang terus naik, menjadi pertanda akan bahaya besar yang sedang mengancam peradaban umat manusia. Fenomena pemanasan global jelas identik dengan kisah pada masa Nabi Nuh.
Oleh karena itu, lewat artikel ini, penulis terus berharap kepada para pemuka agama, baik para rahib, pendeta, ulama dan cendekiawan supaya menengok kembali kejadian besar pada masa Nabi Nuh untuk memahami fenomena global warming dalam perspektif agama-agama. (Mu'arif)