Baju saya masih basah kuyup sewaktu masuk ke salah satu penerbit di Jogja, sore itu. Seperti biasa, saya sedang memasukkan beberapa naskah buku. Kali ini, naskah-naskah hasil revisi. Selesai basa-basi, seorang staf editor menunjukkan kepada saya dua buah buku. Kabarnya, dua buku tersebut hasil kreativitas timnya di penerbit tersebut. Tetapi, terus terang saja, saya sudah sinis duluan melihat buku-buku tersebut. “Buku kok kayak majalah! Di mana letak kewibawaan buku?”
Sambil menunggu hujan reda, saya coba bertanya kepadanya, “Bagaimana respon pasar?” Di luar dugaan! Buku yang didesain layaknya majalah itu malah termasuk kategori bestseller. Tentu saya sadar, standar bestseller penerbit tersebut berbeda dengan penerbit-penerbit lain.
BookMagz: Book Magazine. Sebuah istilah yang sudah pasti asing di telinga saya. Setelah saya amat-amati, di pojok kiri atas pada sampul kedua buku tersebut memang terdapat logo BookMagz: Buku Serasa Majalah. Mungkin maksudnya buku yang jika dibaca seperti rasa majalah: enteng, meriah, dan wah.
Mendengar namanya saja, BookMagz, sudah pasti terbanyang: desain covernya meriah, isinya ringan, penuh gambar/ilustrasi, dan sudah barang tentu warna-warni. Satu lagi, bahasa judulnya gaul abis! Maaf, saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut di sini. Takutnya, nanti saya dikira promosi.
Apa yang baru saya saksikan tersebut tidak lain berupa salah satu bentuk upaya penerbit Jogja untuk tetap eksis di tengah persaingan ketat antarpenerbit. Di zaman modern ini, ketika teknologi makin canggih, setiap usaha penerbitan buku dituntut supaya kreatif dan inovatif. Jika tidak, tunggu saja detik-detik gulung tikarnya.
Ternyata, BookMagz sudah beredar kurang lebih tiga tahun yang lalu. Berarti, saya sudah agak ketinggalan mengikuti perkembangan industri perbukuan di Jogja. Mungkinkah fenomena BookMagz ini yang pernah disinggung-singgung dalam rubrik ini (Di Balik Buku) beberapa tahun yang lalu? Entahlah, saya tidak tahu persis.
Seingat saya, istilah yang sering dipakai untuk fenomena yang satu ini disebut “tabloidisasi buku.” Maksudnya, buku yang dikemas layaknya tabloid. Atau, berdasarkan kesaksian saya baru-baru ini, istilah yang dipakai “majalahisasi buku.” Maksudnya, buku yang didesain layaknya majalah. Ah, ada-ada saja istilah zaman sekarang!
Sekalipun saya berusaha memahami kreativitas dan inovasi penerbit yang memproduksi BookMagz, tetapi perasaan sinis dan prihatin tetap saja terus menghantui. Saya selalu sinis melihat model kemasan buku yang demikian itu. Buku kok dikemas kayak majalah! Atau, buku kok didesain kayak tabloid! Saya jadi prihatin, “Di mana letak kewibawaan karya intelektual yang selama ini cukup terhormat itu?”
Mungkin saya akan dianggap pengarang kolot yang tidak gaul. Tapi, biarlah orang lain bilang begitu. Dalam benak saya, fenomena BookMagz dan yang sejenisnya benar-benar menjadi sebuah tantangan berat bagi para pengarang buku. Tampaknya, di zaman modern seperti sekarang ini, kata-kata sudah tidak lagi ampuh untuk mengusung ide-ide besar. Para pengarang yang terbiasa mengolah dan menabur kata sedang dalam situasi terpojok. Profesi dan keahlian mereka sedang tersodok. Buktinya, sebuah buku dianggap tidak cukup hanya disajikan dalam bentuk teks. Tapi, sebuah buku harus berupa paduan antara teks dan grafis. Malah ada yang lebih keterlaluan lagi, setiap halaman buku didominasi oleh gambar-gambar ilustrasi. “Ini buku apa komik?” pikirku.
Di tangah-tengah pikiran yang terus berkecamuk, saya mendapati sebuah informasi penting. Tapi, keprihatinan saya bukannya mereda, malah makin berkecamuk. Sewaktu membaca salah satu resensi yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10/2007), perasaan saya makin menjadi-jadi. Perasaan prihatin dan sekaligus sinis. Ternyata, fenomena BookMagz bukan hanya mewabah di Jogja, tetapi di Amerika Serikat pun juga begitu. Sepertinya, kejenuhan pada teks-teks sudah menjadi kenyataan yang mendunia.
BookMagz memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Tapi, di negeri Paman Sam ini, fenomena berkomunikasi dengan menggunakan perpaduan antara kata-kata dan seni grafis sudah mewabah di sana. Sekalipun sebuah buku berisi tema serius, tetapi kemasannya makin irit teks. Contohnya buku karya Will Eisner, The Plot: The Secret Story of The Protocols of Elder of Zion (2005). Atau misalnya buku karya Sid Jacobson dan Ernie Colon, 9/11 Report: A Graphic Adaptation Based on The 9/11 Commission Report (2006).
Kedua buku ini, sekalipun dikemas seperti buku komik (comic books), tapi lucunya bukan disebut sebagai buku komik. Umberto Eco memberi catatan komentar bahwa buku Will Eisner “bukan buku komik” (comic books), sekalipun kemasannya memang serupa buku komik (untuk membedakan antara buku komik yang lucu dengan buku dengan desain ilustrasi yang tampak serius).
Lewat artikel ini, saya bukannya sedang meremehkan sebuah karya kreatif lagi inovatif, seperti BookMagz atau buku-buku yang serupa komik. Sama sekali bukan! Di satu sisi, saya berusaha untuk menyadari bahwa fenomena yang demikian merupakan tuntutan zaman. Tujuannya agar penerbit-penerbit tetap bisa eksis di tengah-tengah persaingan ketat. Salah satu kuncinya ialah membaca secara cerdas kecenderungan pasar—untuk penerbit profit. Kecenderungan pasar pembaca harus dicermati baik-baik untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam berkarya secara kreatif dan inovatif.
Tapi, di sisi lain, setelah melihat kecenderungan pasar pembaca yang demikian, perasaan saya makin prihatin. Saya melihat pasar pembaca seakan-akan manja atau enggan bertatapan dengan teks-teks buku konvensional. Seolah-olah mereka malas mengernyitkan dahi untuk bergumul dengan tema-tema serius. Melihat fenomena yang demikian, saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Apakah mereka sudah enggan berkomunikasi dengan kata-kata?” Saya pun berusaha introspeksi diri, “Mungkin sekarang kata-kata sudah kehilangan ruhnya”
Menghadapi fenomena yang satu ini, para pengarang memang perlu merenungkannya kembali, termasuk juga saya. (Mu'arif)