Haji Fachrodin |
Haji Fachrodin bukan K.H. AR.
Fachruddin! Ini harus dicamkan baik-baik. Selama ini, para aktivis
Muhammadiyah sering kecele sewaktu mendengar nama Haji Fachrodin. Dalam
benak mereka, membayangkan Haji Fachrodin sama dengan sosok K.H. AR.
Fachruddin, ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1968-1990). Selagi
para aktivis Muhammadiyah saja salah kaprah dalam memahami sosok Haji
Fachrodin, apalagi aktivis ormas lain atau para peneliti sejarah Indonesia,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Perlu dipertegas di sini, Haji
Fachrodin adalah salah putra Haji Hasyim Ismail (Lurah Kraton). Adapun AR.
Fachruddin adalah putra Kiai Fachruddin, seorang tokoh Muhammadiyah berasal
dari Kulonprogo.
Santri Mbeling
Haji Fachrodin kecil bernama Muhammad Jazuli, lahir pada tahun 1890
(H.M.J. Anies, 1930: 5). Adik kandung Daniel
(Kiai Syujak) ini tergolong anak yang memiliki watak tegas. Dia memiliki
kemauan kuat dan berjiwa mandiri. Perawakan Djazoeli memang tak sebesar dan
setinggi Daniel. Badannya tampak tegap. Kulitnya hitam manis dan hidungnya
mancung. Tatapan matanya begitu tajam. Di lihat dari kontur bibirnya
menggambarkan karakter seorang anak yang tak kenal rasa takut (Djarnawi
Hadikusumo, 1977).
Jazuli lahir dari keluarga ningrat. Ayahnya seorang abdi
dalem kraton Yogyakarta. Tetapi sejak kecil dia sudah tidak suka tradisi
feodalisme. Bahkan, dia tergolong anak yang cenderungan memberontak terhadap
tradisi. Terhadap kedudukan dan karakter ayahnya sebagai abdi dalem, Jazuli
merasa tidak cocok. Walaupun demikian, dia tidak pernah melawan ayahnya. Jazuli
tetap memberikan penghormatan yang layak kepada orang tua yang telah
membesarkannya.
Dalam tradisi
masyarakat Kauman yang dikenal religius, sewaktu memasuki usia sekolah, setiap
anak akan disekolahkan di pesantren. Begitu pula
Jazuli, ia disekolahkan di pesantren Wonokromo (Surabaya). Pernah juga nyantri
di Imogiri dan Bantul. Tetapi Jazuli tidak pernah betah di pesantren (Tamar Djaja, 1966: 6). Dasar karakter Jazuli yang tidak suka formalitas, dia
lebih menghendaki hidup bebas dan kerja keras. Jazuli sering mangkir dari
kewajiban mengaji. Dalam istilah zaman sekarang, sosok Jazuli lebih tepat
dijuluki sebagai ”santri mbeling.” Karena sering tak mengikuti
pengajian, ilmu yang diperolehnya selama mengaji di pesantren terasa tanggung.
Apa yang
dilakukan Djazoeli pasca keluar dari pesantren? Inilah anugerah Tuhan yang
diberikan kepada lelaki bernama Jazuli. Dia memang telah gagal menempuh
pendidikan formal di pesantren, tetapi minatnya untuk belajar tidak pernah
padam. Satu-satunya jalan bagi Djazoeli adalah belajar secara otodidak (Sasjardi, 1992: 5-6). Sebagai seorang otodidak, Jazuli merasa lebih leluasa belajar ilmu agama.
Dia bisa belajar lewat kitab-kitab klasik yang dibacanya secara mandiri.
Sekalipun dia tidak pernah merampungkan pendidikan di pesantren, tetapi
penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik tidak kalah dibanding dengan para
lulusan pesantren.
Pada awal abad
20, industri batik di Kauman sedang tumbuh pesat. Sejak tahun 1900-1930,
masyarakat Kauman mengalami kesetaraan di bidang ekonomi. Sumber penghasilan
mereka, selain sebagai pejabat abdi dalem, adalah dari industri kerajinan
batik yang sedang tumbuh pesat. Tidak jarang para pejabat kraton merambah dunia
perdagangan batik. Salah satu abdi dalem yang pernah menekuni bisnis
kain batik adalah K.H. Ahmad Dahlan. Konon, jaringan pemasarannya sampai ke
Medan, Surabaya, Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya (Ahmad Adabi Darban, 2000: 20).
Jazuli tumbuh
besar dalam kondisi perekonomian di Kauman yang sedang meningkat. Sebagai salah
seorang putra abdi dalem, dirinya tidak ketinggalan terjun di bisnis
kain batik. Pada saat yang bersamaan, di Laweyan (Solo), industri batik juga
sedang tumbuh pesat. Menurut sumber Junus Anis (1930: 19), Jazuli dikenal
sebagai sosok yang suka bekerja keras. Dia tidak hanya berdagang batik, tetapi
juga merintis percetakan sendiri, mengelola hotel, dan mendirikan pabrik rokok.
Di antara bisnis yang paling banyak mendatangkan keuntungan adalah bisnis
mengelola hotel. Hotel milik Djazoeli bernama Hotel Islam beralamatkan di
Ngabean Straat Telf. No. 734. Dia sendiri yang menjadi direkturnya.
Pada tahun
1905, Djazoeli adalah pedagang batik sukses yang jaringannya merambah ke luar
Yogyakarta. Dia dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menganjurkan media
massa sebagai sarana mempromosikan produk-produk batik di kampung Kauman. Di
tahun ini pula, Jazuli dapat menunaikan ibadah haji yang pertama kalinya. Sejak pulang dari tanah suci, Jazuli
sudah mengubah namanya menjadi Haji
Fachrodin.
Sang Wartawan
Di antara
santri Khatib Amin yang memiliki minat dan bakat dalam hal mengarang adalah Haji
Fachrodin (Junus Anis, 1969: 14). Khatib Amin memang
menganjurkan kepada santri-santrinya supaya masuk sekolah, aktif di organisasi,
dan terlibat dalam pergerakan politik nasional. Fachrodin mengawali karir di
dunia politik dan pergerakan diawali ketika dia belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Ketika surat kabar Sarotomo (organ SDI) tengah
redup, Mas Marco bersama beberapa jurnalis boemipoetra menerbitkan surat kabar Doenia
Bergerak pada 1914. Di tahun yang sama, pada usia sekitar 24 tahun, Mas
Marco mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Terhitung sejak
terbit surat kabar Doenia Bergerak, Haji Fachrodin dipercaya menjadi
penulis tetap yang bertanggungjawab memberikan informasi di seputar kawasan
Yogyakarta. Dalam usia yang kurang lebih sama dengan Mas Marco, Haji Fachrodin
juga sudah masuk menjadi anggota IJB (Takashi Shiraishi, 152).
Menurut sumber
Junus Anis (1969: 15), sejak kecil Fachrodin bercita-cita ingin bisa mengarang
tulisan dan menerbitkannya di surat kabar. Dalam pikiran Jazuli (Fachrodin),
betapa sulitnya mengarang tulisan yang bagus. Sewaktu Mas Marco menerbitkan
surat kabar Doenia Bergerak (1914), ia diminta untuk mengarang artikel atau
menulis laporan perkembangan politik di wilayah Yogyakarta. Sebelum terjadi
kesepakatan untuk menjadi koresponden tetap di Doenia Bergerak,
Fachrodin meminta agar Mas Marco bersedia memeriksa, mengedit, dan memperbaiki
karangannya.
Harap maklum,
Fachrodin adalah seorang otodidak yang tidak pernah mengenyam pendidikan
formal. Bakatnya mengarang tumbuh secara alamiah. Ketika dia harus mengarang
artikel atau menulis laporan untuk dikonsumsi publik, sudah barang tentu
karangannya harus memenuhi standar jurnalistik pada waktu itu. Fachrodin jelas
tidak memahami teori-teori jurnalistik berdasarkan standar umum karena dia memang
bukan ”orang sekolahan.”
Ciri khas Fachrodin
dalam mengarang tulisan menggunakan bahasa sederhana. Istilah pada waktu itu, Fachrodin
mengarang menggunakan bahasa ”Melayu rendah” (M.J. Anies, 1930: 7). Istilah ini
untuk menyebut bahasa awam yang dipakai khalayak ramai. Ciri-ciri bahasa
”Melayu rendah” adalah campuran antara bahasa ”Melayu tinggi” (cikal bakal
bahasa Indonesia) dan bahasa Jawa.
Setiap kali Fachrodin
mengarang artikel atau menulis laporan, dia selalu membuat rangkap dua. Satu
karangan akan diserahkan kepada Mas Marco dan satunya lagi disimpan sebagai
arsip pribadi. Sewaktu karangannya dimuat di surat kabar Doenia Bergerak,
dia dapat mencocokkan dengan arsipnya. Dia pelajari kekurangan dan kesalahan
dalam karangannya yang telah diedit oleh Mas Marco itu. Sebab, artikel yang
telah dimuat di surat kabar Doenia Bergerak merupakan hasil editan Mas
Marco. Dengan cara demikian, Fachrodin menjadi kontributor tulisan Doenia
Bergerak dan dia belajar mengasah keahlian di bidang jurnalistik. Inilah
proses Haji Fachrodin belajar jurnalistik kepada Mas Marco.
Kemampuan di
bidang tulis-menulis yang dimiliki Fachrodin terus dikembangkan dengan
melibatkan diri dalam beberapa penerbitan surat kabar. Dia merintis penerbitan
surat kabar Soewara Moehammadijah pertama kali pada tahun 1915. Temuan
ini sekaligus untuk meluruskan penelitian Muhidin M. Dahlan (Basis, no.
01-02, tahun ke-58/Januari-Februari 2009) bahwa K.H. Ahmad Dahlan bukanlah
pemimpin redaksi pertama Soewara Moehammadijah. Selaku Hoofdredacteur Soewara Moehammadijah
pertama adalah Haji Fachrodin, sementara K.H. Ahmad Dahlan duduk di jajaran
redaksi bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito,
dan KRH. Hadjid (lihat Soewara
Moehammadijah no 2 th ke-1/1915). Penerbitan
surat kabar ini sempat terhenti ketika Fachrodin bergabung bersama Haji Misbach
di Solo menerbitkan surat kabar Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak
(1917).
Pada tahun
1919, Fachrodin menerbitkan surat kabar mingguan Srie Diponegoro.
Sewaktu Haji Misbach mulai terlibat dalam kasus penghasutan para petani tebu di
Klaten (1920), Fachrodin menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin redaksi Medan-Moeslimin
dan Islam Bergerak. Pada waktu Fachrodin pergi ke Solo melewati Klaten
dalam rangka mengerjakan penerbitan Medan-Moeslimin dan Islam
Bergerak, dia mendapati pemandangan miris kehidupan petani tebu di Klaten.
Sepulang dari Solo, Fachrodin menulis artikel di halaman muka surat kabar Srie
Diponegoro yang diterbitkan di Yogyakarta ini. Dia mengomentari nasib para
petani tebu di Klaten. Tulisannya dihiasi sengan sebuah gambar ilustrasi.
Inilah salah satu kreativitas Fachrodin dalam bidang jurnalistik. Dihiasi
dengan gambar ilustrasi, tulisannya semakin efektif mempengaruhi para pembaca Srie
Diponegoro. ”Keboen teboe jang penoeh ditanami di atas tanah kita
dengan djalan jang koerang menjenangkan, hingga menjebabkan kelaparannja
anak-anak boemi...” tulis Fachrodin.
Menurut sumber
Yunus Anis (1969: 18), artikel Fachrodin dihiasi dengan gambar ilustrasi
seorang lelaki Jawa memakai ikat kepala (blangkon) tanpa mengenakan baju sedang
menggenggam keris dan akan menikam seekor harimau. Ternyata, pemuatan artikel
ini berbuntut panjang dan berujung pada kasus pers-delicht (delik pers).
Residen Yogyakarta memperkarakan artikel yang ditulis oleh Fachrodin sebagai
kasus penghasutan terhadap rakyat. Dalam kasus ini, Fachrodin mendapat tuntutan
hukuman penjara selama tiga bulan atau membayar denda sebesar f. 300,-.
Haji Fachrodin
juga merintis penerbitan surat kabar sewaktu dia masuk dalam jajaran Centraal
Sarekat Islam (CSI). Pada tahun 1920, ketika terbentuk kepengurusan baru di
tubuh CSI, Fachrodin mendapat amanat menjadi commissaris, lalu diangkat
menjadi penningmeester (bendahara). Selama menjabat sebagai penningmeester,
Fachrodin berjuang keras membidani lahirnya surat kabar organ CSI, Pemberita
CSI (Yunus Anis, 1969: 19).
Bersama kawan-kawan di jajaran struktural CSI, Fachrodin juga menerbitkan surat
kabar Bendera Islam di Yogyakarta pada sekitar tahun 1920-an. Salah seorang
kawan dekat Fachrodin yang terlibat mengelola surat kabar ini adalah Haji Agoes
Salim. Surat kabar ini tidak banyak berkembang di Yogyakarta. Setelah pindah ke
Weltevreden, surat kabar ini berganti nama menjadi Fadjar Asia.
Bakat alamiah
Fachrodin sebagai pengarang menjadikan dia selalu bersemangat menerbitkan
sebuah surat kabar. Sejak tahun 1923, Haji Fachrodin menerbitkan surat kabar Bintang
Islam. Dia mengajak kawan-kawan aktivis Muhammadiyah di Solo yang
disingkirkan dari Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak oleh Haji
Misbach untuk bergabung dalam penerbitan surat kabar baru ini (baca Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1923). Yunus Anies (1930: 47), salah seorang murid Haji Fachrodin, melukiskan
kesannya terhadap tokoh yang satu ini. “Penna didjalankan selaloe berhenti, apabila diboeroekan kerap patah dan
dawat ditoewang tidak mentjoeroeh, lama baharoe dapat menghitamkan warakat jang
poetih. Demikianlah karena pemegang qalam dan pengoeroes soerat-soerat chabar
itoe ada mengandoeng perkara jang haibat dalam dadanja...” Surat kabar Bintang Mataram (no. 43 edisi 28
Februari 1929) juga melukiskan kesan, “Ia selaen seorang pemimpin jang ahli berpidato, dalam kalangan
Journalistiek poen ia terhitoeng tadjem penanja.”
Pahlawan
Nasional
Pada hari
Rabu, 27 Februari 1929, Haji Fachrodin menghembuskan nafas terakhirnya setelah
dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiyah Yogyakarta. Pasca pemberlakuan disiplin
partai di tubuh Partai Sarekat Islam (PSI), Haji Fachrodin memang sudah sering
sakit-sakitan.
Kabar meninggal Haji Fachrodin
memang cukup mengejutkan pada waktu itu. Haji Fachrodin lahir pada tahun 1890
dan meninggal pada tahun 1929. Dengan demikian, Haji Fachrodin meninggal dalam
usia 39 tahun atau memasuki 40 tahun. Kerabat, kawan dekat, dan organisasi yang
pernah menjadi medan perjuangannya langsung memberikan ucapan bela sungkawa dan
apresiasi terhadap tokoh yang satu ini.
Beberapa tokoh
nasional hadir dalam acara pemakaman Haji Fachrodin, seperti Soekiman
Wirjosandjojo, Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Keluarga besar
Muhammadiyah dari berbagai daerah mengutus perwakilan untuk menghadiri
pemakaman ini. Beberapa surat kabar nasional yang memuat berita meninggal Haji
Fachrodin adalah: Bintang Timoer (edisi no. 48 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden),
Mataram (edisi no. 51 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), Fadjar
Asia (edisi no. 44 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden), Bintang
Mataram (edisi no. 43 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), De Locomotif
(edisi no. 57 tanggal 9 Maret 1929/Semarang), Pandji Poestaka (edisi no.
19 tanggal 5 Maret 1929/Weltevreden), Soeloeh Ra’jat Indonesia (edisi
no. 9 tanggal 27 Februari 1929), Soeara Moehammadijah dan Soeara
Aisjijah (edisi kongres).
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik
Indonesia memberikan anugrah Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin. Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 162 tahun 1964 menganugrahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin dan K.H. Mas Mansur. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)