Minggu, 26 Agustus 2018

WS Rendra tentang Stamina Kebudayaan Kita

WS Rendra
(Photo: http://superweb.id)
Sebagai aktor dalam panggung sejarah, manusia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensinya. Untuk menopang daya hidupnya, manusia dibekali dengan akal. Daya hidup dan anugrah akal memungkinkan manusia bertahan hidup. Sejarah kemudian merekam proses dialog interaktif antara manusia dengan realitas kehidupan yang kompleks.

Daya Hidup
Menurut budayawan WS. Rendra, daya hidup manusia dalam perspektif kebudayaan meliputi: pertama, keharmonisan alam dengan irama kehidupan manusia; kedua, kesadaran menghayati dan mencerna pengalaman-pengalaman yang berarti; ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi; keempat, kemampuan beradaptasi; kelima, daya mobilitas; keenam, daya tumbuh dan berkembang; ketujuh, kemampuan regenerasi (WS Rendra, 2001: 51-52).
Prinsip harmoni antara manusia dengan alam semesta merupakan sunatullah. Ia mengada di alam semesta ini bukan sebagai entitas yang lain. Manusia merupakan bagian dari alam semesta. Menurut Paulo Freire, setiap manusia membutuhkan alam ini. Begitu juga sebaliknya, alam membutuhkan manusia. Oleh karena itu, relasi harmonis antara manusia dengan alam merupakan jalinan proses “mengada bersama” (Paulo Freire, 2001: 34).
Realitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia begitu kompleks. Tetapi manusia mampu menghayati dan mencerna pengalaman-pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Kemampuan ini tidak bisa lepas dari peran akal dalam dirinya. Ia senantiasa bisa mengambil pelajaran dari setiap pengalaman dalam hidupnya. Apakah binatang mampu mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman dalam hidupnya?
Manusia hidup di dunia tidak sendirian. Ia berinteraksi dengan manusia lain. Lewat peran akal, proses interaksi antara manusia satu dengan yang lain tercipta bahasa, tatanan sosial, tradisi, norma-norma, dan sebagainya. Atas dasar inilah, menurut Aristoteles (384-322 SM), manusia merupakan “makhluk sosial” (zon politicon).
Binatang pun tidak sendirian di dunia ini. Tetapi binatang tidak mampu menciptakan bahasa sebagai alat komunikasi, tidak memiliki tatanan kehidupan, tradisi, dan norma-norma. Binatang cenderung mengikuti daya insting untuk terus hidup bersama yang lain.
Setiap manusia memiliki kemampuan beradaptasi. Dalam iklim dan struktur geografis yang berbeda-beda, manusia maupun beradaptasi dengan baik. Kemampuan beradaptasi ditopang oleh kekuatan akal sehingga manusia mampu merasionalisasikan setiap keadaan. Manusia tidak akan memaksakan diri bertahan hidup dalam sebuah lingkungan yang secara logis tidak memungkinkan baginya untuk bertahan hidup. Hal ini jelas berbeda dengan binatang. Sekalipun secara fisik daya tahan binatang lebih kuat ketimbang manusia, tetapi tidak memiliki kapasitas merasionalisasikan keadaan.
Daya tumbuh, berkembang, dan mobilitas merupakan karakter dasar kehidupan makhluk secara umum. Manusia memiliki daya tumbuh, berkembang, dan juga bergerak secara dinamis. Begitu juga dengan kehidupan binatang. Akan tetapi, kekuatan akal membedakan karakteristik dasar kehidupan antara manusia dan binatang.
Sebuah kelompok sosial yang menghadapi populasi tak terkendali, manusia memiliki jalan alternatif untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satu solusinya ialah dengan tradisi ekspansi (penyebaran), baik dalam skala besar maupun kecil. Bagi masyarakat modern, transmigrasi merupakan salah satu bentuk solusi alternatif untuk mengatasi populasi yang tak terkendali. Tentu saja binatang tidak mengenal transmigrasi yang merupakan konsep terencana dan terpadu.
Kemampuan regenerasi merupakan proses keberlangsungan hidup agar setiap makhluk tidak punah. Sebagai karakteristik daya hidup yang berlaku secara universal, manusia dan binatang juga memiliki daya regenerasi. Tetapi, proses regenerasi yang tidak ditopang dengan peran akal cenderung destruktif. Manusia yang diberi anugrah akal sehingga memiliki sistem regenerasi yang berbeda dengan binatang. Bagi binatang, proses regenerasi dilangsungkan lewat perkawinan. Tetapi, manusia memiliki tatacara perkawinan tersendiri yang sudah menjelma menjadi bentuk kebudayaan tersendiri. Tidak setiap manusia bisa kawin layaknya binatang. Sebaliknya, tidak setiap binatang bisa melangsungkan proses perkawinan layaknya manusia.

Stamina Kebudayaan
Pada kenyataannya, daya hidup manusia-manusia di zaman modern tidak ditopang oleh stamina yang kuat. Peran akal dalam merasionalisasi keadaan cenderung dikalahkan oleh kepentingan materi. Zaman sekarang, kekuatan akal yang mengusung kebenaran amat dengan mudah ditepis oleh kepentingan materi atau kekuasaan. Sistem kapitalis telah merajai dunia sehingga sesuatu yang irrasional amat dengan mudah mengalahkan rasionalitas. Inilah kondisi di mana stamina kebudayaan kian menurun.
Gejala-gejala yang termasuk dalam kategori penurunan stamina kebudayaan meliputi: pertama, disharmoni peran dan posisi manusia dengan alam. Manusia modern cenderung menempatkan diri di alam ini sebagai entitas tersendiri. Manusia memposisikan diri sebagai subyek sementara alam semesta sebagai obyek. Akibatnya, manusia yang menempatkan diri sebagai subyek cenderung mengeksploitasi obyek (alam) secara serakah.
Kedua, hilangnya kesadaran untuk menghayati dan mencerna pengalaman hidup. Ini berarti bahwa manusia-manusia di zaman modern enggan belajar dari pengalaman. Ketika sebuah bangsa yang berkali-kali mendapat musibah bencana alam setiap tahunnya, tetapi tidak mampu mengantisipasi atau memberi solusi alternatif, maka stamina kebudayaannya sudah turun.  
Ketiga, individualisme dan absolutisme. Stamina kebudayaan kian menurun manakala kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dalam sebuah masyarakat sudah menjelma menjadi individualisme dan absolutisme. Manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri, tidak butuh orang lain. Kehendaknya seakan-akan harus diwujudkan, tanpa peduli orang lain. Secara otomatis, individualisme dan absolutisme bertentangan dengan kehidupan demokratis. Stamina kebudayaan kian menurun manakala sebuah masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai demokratis.
Keempat, gagap realitas. Manusia hidup di alam semesta menghadapi realitas yang terus berubah. Kehidupannya dinamis. Begitu juga dengan realitas kebudayaan yang terus berkembang. Tetapi, di zaman sekarang ini, manusia-manusia modern dibuat bingung, tak punya sikap tegas, pilihan mengambang dan idealisme terombang-ambing, oleh “budaya tanding” yang datang dari luar. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi (TI), menawarkan budaya baru yang secara prinsipil bertentangan dengan daya hidup. Kemampuan mengcounter budaya tanding yang tidak sejalan dengan budaya bangsa kian lemah. Ini merupakan gejala gagap realitas yang sama artinya stamina kebudayaan sedang menurun.
Kelima, pemikiran dan sikap semakin statis. Akar kebudayaan manusia berawal dari ide. Proses dialog interaktif manusia menghadapi realitas kehidupannya secara dinamis melahirkan ide-ide. Dari ide-ide melahirkan norma-norma, tradisi-tradisi, atau bentuk-bentuk budaya yang beragam. Sedangkan realitas kebudayaan tidak menempati ruang steril, melainkan berada dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, kebudayaan harus dinamis. Indikasi bahwa stamina kebudayaan kian menurun manakala daya mobilitas, tumbuh, dan berkembang, menjadi statis.
Keenam, terputusnya generasi. Kebudayaan lahir lewat proses historis yang panjang sehingga eksistensinya akan tetap lestari manakala terdapat proses regenerasi. Jika tidak, maka kebudayaan bakal sirna dan dilupakan oleh sejarah. Generasi muda merupakan pewaris utama kebudayaan para pendahulu. Jika tidak terdapat proses regenerasi lewat institusi pembelajaran (pendidikan) yang dinamis, maka suatu kebudayaan bakal tenggelam atau dilupakan.
Sebagai aktor-aktor dalam panggung sejarah, manusia-manusia Indonesia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensi masing-masing. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, manusia-manusia Indonesia juga dibekali akal untuk menopang daya hidup. Daya hidup dan anugrah akal memungkinkan manusia-manusia Indonesia  bertahan hidup.
Dengan enam indikasi di atas, kita sebagai aktor-aktor sejarah kebudayaan Indonesia bisa mengukur sendiri seberapa kuat “stamina kebudayaan” bangsa ini. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer