Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia memang masih mengalami diskriminasi. Fenomena semacam ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di negara-negara lain yang menganut sistem budaya patriakhi juga menunjukkan gejala yang sama. Kaum perempuan di beberapa negara di dunia masih buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi negara-negara non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami wilayah politik kekuasaan.
Sesungguhnya, masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik.
Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum perempuan.
Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri, putri mendiang presiden pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti. Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih berhaluan literalis.
Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik. Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia.
Quota 30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden. Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).
Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.
Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.
Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Walaupun keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hahekanya sistem sosial bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan aktivis Feminisme yang menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan “setengah hati.” Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.
Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Peran aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan sudah siap menerimanya? (Mu'arif
Sesungguhnya, masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik.
Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum perempuan.
Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri, putri mendiang presiden pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti. Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih berhaluan literalis.
Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik. Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia.
Quota 30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden. Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).
Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.
Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.
Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Walaupun keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hahekanya sistem sosial bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan aktivis Feminisme yang menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan “setengah hati.” Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.
Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Peran aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan sudah siap menerimanya? (Mu'arif
Thanks to the owner of this blog. Ive enjoyed reading this topic.
BalasHapusartikel anda bagus dan menarik bagi pembaca di seluruh nusantara,promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!
BalasHapushttp://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/menanti_partisipasi_politik_perempuan