Sabtu, 06 Oktober 2007

Cinta dan Pengorbanan

Tidak saya pungkiri, setiap orang yang mencintai memang dituntut supaya berkorban. Sebab, cinta butuh pengorbanan. Cinta dan pengorbanan bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Cinta mensyaratkan pengorbanan. Adapun pengorbanan adalah bukti atas cintanya seseorang kepada yang dicintainya.

Cinta itu anugrah. Lazimnya manusia normal diliputi rasa cinta. Misalnya, cinta terhadap lawan jenis. Cinta kepada orangtua atau anak-anaknya. Cinta terhadap harta dunia yang mewah. Atau, cinta terhadap kedudukan yang bisa menjadikannya bagaikan seorang raja.

Pikiran saya terngiang pada kenangan beberapa tahun silam, ketika masih menempati kos di Wisma Bintang Harapan (Sapen). Ketika itu, saya berdebat. Dengan seorang teman. Perdebatan tentang hakekat cinta sejati. Adakah?

Sebuah pertanyaan klasik. Barangkali pertanyaan ini akan dianggap terlalu idealis. Tapi, kita memang tak bisa berkelit darinya. Pikiran kita pasti akan mengandaikannya.

Saya sempat mengandaikannya. Andaikan cinta sejati betul-betul ada, lantas, kepada siapakah kita menghambakan diri? Kepada istri yang cantik jelita? Kepada anak-anak? Kepada harta dunia? Atau, kepada pangkat? Waktu itu, saya belum menemukan jawaban.

Lewat pengembaraan maya dalam berbagai pertemuan dialogis, saya mendapati seberkas cahaya. Saya temukan harapan. Harapan untuk sebuah jawaban. Sewaktu menelusuri jejak-jejak kehidupan Nabi Ibrahim, pintu hati ini langsung terketuk. Saya tertegun sewaktu baca buku Jerald F. Dirks, Ibrahim Sang Kekasih Tuhan (2007). Rupanya, sejarahnya telah mengajari kita mengenal "cinta sejati."

Kota Ur, 4.159 tahun yang silam (2.152 SM). Anak muda itu mulai beranjak dewasa dan ia sedang mencari cintanya. Umurnya baru 14 tahun. Perangainya lembut. Sikapnya juga sopan. Tapi, jiwanya selalu gelisah. Pikirannya juga tak pernah tenang. Apa saja yang dilihatnya selalu jadi tanda tanya. Dalam gelisah, seakan-akan ia sedang bertanya, "Di manakah engkau wahai cinta sejati?"

Di tengah hiruk-pikuk kaumnya di kota Ur, yang memuja-muja Sin (Dewi Bulan), ia tetap tak bergeming. Ibrahim memang sempat mengamati bulan purnama yang elok (Qs. Al-An’am: 76). Malam yang bening membuat bulan terasa angkuh sendirian di langit. Planet Venus (Ishtar) pun diamatinya (Qs. Al-An’am: 77). Ibrahim juga menemukan satu planet cantik yang amat genit ini setiap kali senja menjelang. Matahari begitu mempesona (Qs. Al-An’am: 78). Shamash, Dewa Matahari, sempat membuatnya kagum. Tapi, ia bersikukuh tak akan jatuh cinta kepada mereka. Sebab, bulan itu bisa redup. Bintang juga sirna. Matahari pun tenggelam. Ia tak ingin cintanya redup. Juga tak menghendaki cintanya sirna, apalagi tenggelam.

Dalam keresahan hati dan kekalutan pikirannya, ia terus mencari cinta sejati. Ibrahim tak putus asa. Juga tak pernah bosan dalam pencarian yang meletihkan itu. Sampai suatu ketika, cintanya datang menghampiri.

Cintanya hanya ditujukan kepada Allah, Tuhan pencipta segala sesuatu. Rupanya, cinta sejati Ibrahim bukan kepada istrinya, Sarah, yang terkenal cantik lagi jelita. Cintanya juga bukan kepada anak-anaknya, Ismail dan Ishaq. Apalagi cinta terhadap harta bendanya yang konon berlimpah-ruah. Cinta sejatinya hanya kepada Allah (lillah), Dzat yang telah menciptakan dirinya (Al-Khaliq).

Karena cinta, Ibrahim rela diusir oleh kaumnya. Karena cinta, dirinya rela tidak diakui sebagai anak oleh ayahnya. Karena cinta, ia harus rela menerima hukuman dibakar oleh kaumnya. Itu semua hanya untuk mempertahankan cinta sejatinya—hanya cita kepada Allah.

Seberapa besar kadar cinta seseorang, hanya pengorbanan yang bisa membuktikannya. Ketulusan cinta sejati Ibrahim kepada Allah pun masih diuji dengan perintah supaya mengorbankan anak kesayangannya, Isma’il, sewaktu usianya masih belia (Qs. Ash-Shaffat: 102).

Isma’il adalah anak pertama Ibrahim. Ia memperoleh karunia seorang anak saleh ini dari istri keduanya, Hajar. Perempuan ini merupakan hamba sahaya hadiah dari salah seorang raja Mesir (Amaliq Hexos: Amaliqah Al-Heksus). Darinya, lahir keturunan Ibrahim yang kemudian menetap di lembah Bakkah.

Ketulusan hati Ibrahim mengorbankan Isma’il telah membuktikan kualitas cintanya kepada tuhannya. Cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Bahkan, sampai terhadap anak kesayangannya rela dikorbankan. Itu hanya untuk memenuhi tuntutan dari Kekasih Agungnya.
Sekali lagi, cinta memang butuh pengorbanan. Kata "korban" berasal dari bahasa Arab, "qurban", yang biasa diartikan "kurban." Dalam bahasa induknya, bahasa Arab, kata "qurban" berasal dari "qaraba" yang artinya "dekat" atau "mendekatkan." Jadi, pengorbanan dalam cinta bertujuan untuk mendekatkan seseorang kepada yang dicintainya. Seperti ketika Ibrahim mengorbankan Isma’il, tujuannya tidak lain agar dia makin dekat kepada Allah (taqarrub ilallah). Dengan menuruti keinginan dari yang dicintai (al-mahbub), seseorang akan makin dekat dengan yang dicintainya.

Merenungkan hakekat korban, kita dapat memahami hakekat cinta yang sesungguhnya. Cinta adalah keinginan yang tulus (ikhlas) untuk memberi. Cinta sejati ialah keinginan untuk mengabdi hanya kepada yang dicintai.

Tentu lain dengan hasrat. Hasrat itu hanya untuk memiliki. Biasanya, hasrat ditujukan kepada istri yang cantik. Atau, kepada anak-anak yang sehat dan cerdas. Atau pula, kepada harta benda yang penuh kemewahan.

Dalam cinta sejati, yang paling berhak untuk dicintai hanyalah Allah, sebagaimana pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Nabi Ibrahim. Dia telah menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang dicintai. Cinta kepada selain Allah adalah fana (profan). Sebaliknya, cinta kepada Allah adalah baqa (kekal).

Segenap ujian yang telah dijalani oleh Nabi Ibrahim adalah bukti ketulusan cintanya kepada Allah. Berbagai cobaan yang telah dia jalani adalah pengorbanan untuk membuktikan kualitas cintanya kepada Allah. Pengorbanannya yang tulus telah diterima oleh Allah sehingga dia berhak mendapatkan ridla-Nya. Maka, wajarlah jika Allah menjadikan Ibrahim sebagai "Kekasih-Nya" (Khalilullah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer