Kamis, 04 Oktober 2007

Matinya Sang Singa

Pagi itu Sajida Talfah tampak gelisah। Di saat kesibukan umat Islam hendak merayakan Idul Adha (2006), perasaannya tambah gundah. Hatinya teriris-iris sewaktu mendengar berita kematian sang suaminya tercinta. Beberapa saat menjelang shalat Id, suaminya menghadapi tiang gantung. Seperti tak ada kata kompromi. Eksekusi harus dilaksanakan pagi itu juga: Sabtu, 30 Desember 2006.

Sajida pasrah। Pikirannya kosong dan hatinya tercabik-cabik. Pagi itu, suaminya mati mengenaskan. Suaminya menyusul anak dan cucunya, Uday dan Qusay.

Kalah itu menyakitkan। Apalagi kekalahan dalam politik, terasa makin menyakitkan. Yang kalah harus tersingkir. Sesudah itu, pasti bakal terpojok. Lebih menyakitkan lagi ketika kekalahan dimanfaatkan oleh musuh untuk balas dendam. Kisah Saddam Hussein, "Singa Padang Pasir," penguasa Irak selama 24 tahun itu, tak lebih dari sebuah kisah orang yang kalah secara politik. Matinya di tiang gantung akibat balas dendam musuh-musuhnya.

Putra Tikrit itu lahir di desa Awja, 28 April 1937। Dia berasal dari keluarga miskin. Dengan didikan keluarga yang keras, wataknya jadi garang seperti singa. Sewaktu ia berkuasa, maka kekuasaannya kian kokoh. Dan sepak-terjangnya pun tambah garang. Tak jarang musuh-musuhnya dibuat keder sewaktu berhadapan dengan Sang Singa ini.

Irak tahun 1957। Jenderal Abdul Karim Qassem berhasil menggulingkan pemerintahan Faisal II. Sang Singa termasuk orang yang tidak setuju dengan kudeta ini. Di tahun 1959, dia merencanakan pembunuhan terhadap Jenderal Qassem. Sang Singa didukung oleh Setan Besar, tapi rencananya gagal.

Di tahun 1969, bersama Partai Baath, Sang Singa berhasil merebut kekuasaan Presiden Abdul Karim Qassem। Jenderal Ahmad Hassan Al-Bakr diangkat menjadi Presiden dan Sang Singa menjadi wakilnya.

Karir politiknya di Partai Baath terus melejit। Dia terus berambisi menjadi "orang nomor satu" di Negeri Seribu Satu Malam itu. Pada tahun 1979, dia pun berhasil merebut kekuasaan dari Jenderal Ahmad Hassan Al-Bakr. Sang Singa menduduki jabatan sebagai kepala Negara, perdana menteri, pemimpin partai Baath, dan komandan militer angkatan darat sekaligus. Lengkap sudah kekuasaannya.

Tapi Sang Singa bukanlah orang suci। Dia bukan seorang nabi, apalagi malaikat. Dalam dunia politik hanya mengenal dua tipe manusia: teman atau musuh. Tapi, sungguh sulit menebak isi hati manusia. Siapakah teman? Siapakah musuh? Sulit sekali membedakannya. Seperti ketika Sang Singa berkuasa, teman-temannya ternyata banyak yang berkhianat.

Kekuasaan, seperti kata orang bijak, ibarat air laut। Tak bisa menghilangkan rasa dahaga. Air laut makin diteguk justru makin mendatangkan rasa haus. Begitulah ketika Sang Singa berkuasa. Ambisi kekuasaannya makin meluap-luap. Di tahun 1980-1988, dia melibatkan rakyatnya berperang melawan saudaranya sendiri, Iran. Ratusan ribu rakyat Irak mati sia-sia demi memenuhi ambisi kekuasaan Sang Singa. Dan dia pun kalah.

Di tahun 1990-1991 dia melibatkan rakyat Irak menginvasi tetangganya, Kuwait। Celakanya, justru Kuwait didukung oleh Setan Besar. Rupanya Setan Besar geram melihat ladang-ladang minyak santapannya diosak-asik Sang Singa. Dengan kekuatan perang yang canggih, Setan Besar melindungi ladang-ladang minyak santapannya itu. Singa kembali menelan ludah kekalahan.

Sang Singa marah besar karena sepak-terjangnya selalu diganjal oleh Setan Besar। Tak peduli lagi pertemanan. Dalam kekuasaan, tiap orang yang berbeda paham adalah musuh. Tahun 1990 hubungan pertemanan antara Setan Besar dan Singa putus. Saat itulah Singa sering mengaum, memperlihatkan taring-taringnya, juga kuku-kukunya, untuk menakut-nakuti Setan Besar. Sebaliknya, Setan Besar pun bertambah geram. Dengan berbagai taktik dan muslihat, Setan Besar berusaha mendongkel kekuasaan Sang Singa.

Setiap orang yang berkuasa memang selalu dihantui oleh muslihat musuh-musuhna। Ada syndrome bagi tiap orang yang berkuasa: khawatir kekuasaannya bakal tumbang! Begitu pula yang terjadi pada Sang Singa. Dan semua orang yang tidak sepaham dengannya dianggap musuh, termasuk Setan Besar. Sebaliknya, orang-orang yang selalu mengekor kepadanya dianggap teman.

Setan Besar berkoalisi dengan setan-setan kecil untuk memukul mundur pasukan Sang Singa। Tanggal 20 Maret 2003 awal mula jatuhnya kekuasaan Sang Singa. Atas nama demokrasi, keadilan, dan HAM, koalisi Setan Besar menghalalkan perang. Tapi yang namanya Setan tetaplah Setan, meskipun berkedok wajah manusia. Tugas Setan di dunia membuat kerusakan. Menjerumuskan umat manusia dalam kesengsaraan. Kerusakan di seluruh kawasan Irak akibat perang menjadi pemandangan paling bengis dan mematikan. Kesengsaraan ratusan ribu warga Irak jadi tontonan publik dunia. Tak ada media massa yang tak meluangkan ruang untuk pemberitaan korban perang warga Irak. Kota Baghdad yang dalam sejarah merupakan pusat peradaban dunia, kini tinggal puing-puing kehancuran. Baghdad tidak lebih dari sebuah potret kota mati.

Sang Singa akhirnya berhenti mengaum pada 13 Desember 2003। Dia tertangkap. Dia dikeler dari bungkernya di Tikrit. Tangannya diborgol dan mulutnya dibekap. Rupanya orang terdekatnya berkhianat. Dan dia pun makin sulit mempercayai orang. Karena, siapa kawan, siapa lawan, sungguh terasa sulit membedakannya.

Benar kata orang bijak, kekuasaan itu cenderung menindas। Saddam Hussein, Singa Padang Pasir, banyak melakukan dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahannya dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan. Dia pun tak bisa mengelak. Lewat pengadilan 19 Oktober 2005 dia dituduh mendalangi pembunuhan terhadap warganya sendiri. Dia dituntut hukuman mati untuk kasus pembantaian 148 warga Syi’ah di Dujail tahun 1982.

Hukuman mati mungkin setimpal untuknya। Sebab, Sang Singa masih menghadapi sekian banyak tuntutan. Di tahun 1983 dia terlibat pembunuhan 8.000 marga Barzani. Tahun 1988 juga terlibat pembunuhan 5.000 warga Kurdi di Halbaja dengan senjata kimia. Kemudian di tahun 1991 terlibat pembunuhan 1.000 warga Syi’ah di Irak Utara. Dan di tahun 1987-1989 terlibat pembantaian missal dengan senjata kimia menewaskan 182.000 warga Kurdi. Mungkin dosa-dosanya sulit diampuni. Putusan pengadilan memvonisnya mati. Usahanya naik banding pun ditolak.

Politik memang bisa mengubah segala-galanya। Teman bisa jadi lawan. Atau sebaliknya, lawan bisa jadi teman. Setan Besar yang dulu temannya, kini justru jadi seturu abadinya. Orang-orang terdekatnya banyak yang khianat. Dan Sang Singa tinggal mengaum sendirian, tapi tanpa taring-taringnya dan tanpa cakar-cakarnya yang tajam.

Pagi itu, beberapa saat menjelang shalat Id, Sang Singa mati tercekik dan Setan Besar tertawa menang। Kita lantas disadarkan pada sebuah doktrin: Kullu nafs dzaiqatu al-maut. Mati itu pasti. Setiap jiwa pasti bakal menuai ajal. Seperti Sang Singa itu.

Benar, di dunia ini tak ada yang kokoh. Segalanya rapuh. Di dunia ini juga tak ada yang digdaya. Sebab, semuanya pasti binasa. Umur digerogoti masa hingga badan meregang nyawa. Terenggut oleh maut yang tiap saat siap menjemput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer