Ki Bagus Hadikusuma |
Selain aktif sebagai muballigh
Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif di Sarekat Islam (SI).
Dalam sebuah pertemuan besar tokoh-tokoh SI, Ki Bagus Hadikusumo tampil sebagai
penengah. Perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh SI-Merah dan SI-Putih
mengancam perpecahan dalam tubuh SI. Ki Bagus tampil sebagai penenang di antara
dua kelompok yang sedang bertikai. Ki Bagus mengatakan bahwa pada saat genting,
umat Islam perlu persatuan dalam perjuangan. Dia sempat mengecam dan menganggap
sesat orang Islam yang tidak menyetujui persatuan dalam menghadapi musuh
bersama. Tan Malaka, seorang tokoh Sosialis yang misterius, dalam bukunya, Dari
Penjara Ke Penjara, menyebut Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh “penyejuk.”
Ki Bagus Hadikusumo lahir di
Yogyakarta pada hari Senin tanggal 24 November 1890 M dengan nama kecil Hidayat.
Beliau adalah putra dari R.H. Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Hidayat
adalah adik kandung H. Syuja’ (Daniel) dan H. Fachrodin (Djazuli). Pendidikan Ki Bagus hanya SD, kemudian
masuk pondok pesantren di Wonokromo dan Pekalongan. Pernah menjadi ketua
Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian Tabligh pada 1923, ketua Majlis Tarjih pada
masa kepemimpinan K.H. Hisyam, dan Wakil Ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah
pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur, dan mendapat amanat sebagai ketua HB
Muhammadiyah periode 1944-1953.
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah
memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan. K.H. Mas Mansur dipercaya
sebagai salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bentukan Jepang. Dia
terpaksa harus pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua HB Muhammadiyah
diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Dia menerima penyerahan kepemimpinan
dari K.H. Mas Mansur dan menempatkan K.H. Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketua.
Ki Bagus Hadikusumo dipilih sebagai ketua HB
Muhammadiyah pada tahun 1944 dalam Pertemuan Silaturahmi Muhammadiyah se-Jawa,
karena memang beliau yang bersemangat menghidupkan kembali Muhammadiyah setelah
dibekukan oleh Jepang. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta,
Ki Bagus Hadikusumo kembali terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pembukaan (Preambule)
Undang-undang Dasar (UUD). Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang
sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan
Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam
Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”
Dalam perdebatan di sidang PPKI, Ki Bagus terkesan
kolot dan kaku. Dia adalah tokoh yang paling keras memperjuangkan Islam sebagai
Dasar Negara. Salah satu yang membedakan Ki Bagus dengan tokoh yang lain ialah
sikapnya yang “keras kepala.” Namun demikian, dia juga memiliki pandangan yang
luas tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Dia paham tentang
keberagaman masyarakat di sekelilingnya. Keberagaman apabila tidak disikapi dengan cara bijaksana akan menyebabkan
perpecahan. Dia paham betul
bagaimana rentannya perselisihan golongan, baik suku, ras, maupun agama pada
saat itu. Dengan penuh kelapangan hati, dia kemudian rela mengalah untuk
menerima penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, sehingga Dasar Negara
Indonesia, terutama sila pertama, “Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir
melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam
konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan
diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah, Ki
Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan
bangsa.
Meskipun secara eksplisit tidak
dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat
Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Bersama
dengan Profesor K.H. Abdul Kahar Muzakkir, beliau menerima Pancasila dengan
syarat Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai Tauhid. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di
Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga
hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Ki Bagus Hadikusumo cukup produktif menulis buku.
Beberapa buku karangannya antara lain, Islam Sebagai Dasar Negara, Achlaq
Pemimpin, Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka
Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Ki Bagus
Hadikusumo wafat pada hari Jumat 3 September 1954. [Mu'arif]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar