Rabu, 24 Oktober 2007

Sayat Baru di atas Luka Lama

Muslianah, istri seorang Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, ditangkap secara semena-mena oleh petugas Rela (semacam Hansip di Indonesia) baru-baru ini. Konon, dia sedang mengambil pakaian hasil jahitan di sebuah pusat perbelanjaan di Chow Kit, Kuala Lumpur. Pada waktu itu, serombongan petugas Rela datang untuk memeriksa identitasnya. Sekalipun dia sudah menunjukkan kartu identitas sebagai anggota keluarga diplomat, tapi tetap saja dikeler layaknya penyelundup atau imigran gelap (Sindo, 9/10/2007).

Ulah petugas Rela yang tidak profesional ini jelas bakal menambah runyam hubungan Indonesia-Malaysia. Apalagi, selama beberapa tahun terakhir, hubungan diplomatik kedua negara serumpun ini makin tak harmonis. Sederetan kasus memalukan telah menodai harga diri bangsa Indonesia. Jika tidak disikapi secara bijaksana, kasus-kasus memalukan tersebut bisa menggugah semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Layaknya bara api dalam sekam.

Titik Api Konflik

AH Mahally (2007) berusaha menunjukkan "titik api" konflik Indonesia-Malaysia. Seraya mengutip analisis Karim Raslan (2007), dia menyebutkan bahwa terdapat tiga masalah besar yang pemicu hubungan tidak harmonis Indonesia-Malaysia. Yaitu, problem Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perbatasan teritorial, dan illegal loging.

Terhadap tiga faktor di atas, saya memang tak bisa menyangkalnya. Sampai sejauh ini, jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Ironisnya, dari sejumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 800.000 orang dinyatakan illegal (Syafnijal Datuk Sinaro, 2007). Artinya, banyak TKI selundupan atau imigran gelap yang mencari rizki di negeri jiran ini.

Dari sebanyak 2 juta TKI di Malaysia, tidak semuanya bernasib mujur. Justru, kebanyakan nasib para TKI, khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW), acapkali menjadi sasaran penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan sampai ancaman bakal dibunuh. Sampai artikel ini ditulis, berita TKI tewas di negeri rantau masih terus mewarnai pemberitaan di media massa nasional.

Di antara TKI banyak juga yang tidak digaji. Data yang berhasil dihimpun KBRI di Kuala Lumpur menyebutkan, lebih dari 30% kasus yang menimpa para TKI berkaitan dengan pembayaran gaji (Halim Ambiya, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun bekerja di negeri jiran dengan iming-iming ringgit yang menggiurkan tidak selamanya berbuah kesejahteraan.

Konflik perbatasan antara kedua negara ini juga tak bisa sangkal lagi. Kasus memperebutkan pulau Sipadan dan Ligitan, dua gundukan pasir seukuran 23 hektar, ternyata sudah mencuat ke permukaan sejak 1969 (Orde Baru). Namun, pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan dua pulau di pantai timur Pulau Sebatik menjadi milik sah pemerintah Malaysia. Tentu saja keputusan ini sangat mengecewakan bagi bangsa Indonesia.

Terhadap kasus perebutan dua pulau ini, saya mengamati bahwa sejarah bangsa Indonesia telah diabaikan. Ti tahun 1917, ketika pemerintah Inggris menyebut dua pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah ordonasi, pemerintah Hindia Belanda pernah melayangkan protes. Sikap protes Hindia Belanda ini menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut telah direbut oleh Inggris. Sayangnya, protes tersebut tak pernah dihiraukan dan sejarah pun dilupakan (Nono Anwar Makarim, 2003). Pada akhirnya, kasus ini berakhir kekecewaan bagi bangsa Indonesia. Sementara kasus blok Ambalat dan perairan Karang Unarang juga masih belum tuntas.

Terakhir, kasus illegal loging. Tak saya pungkiri bahwa kasus ini pun menjadi salah satu pemicu hubungan kurang harmonis antara Indonesia-Malaysia. Kayu-kayu selundupan hasil pembalakan liar di hutan Riau, Jambi, dan beberapa kawasan di Indonesia, melibatkan pejabat dan konglomerat hitam—baik dari dalam negeri maupun negara tetangga (Malaysia, Singapura). Pencurian kayu-kayu hutan yang telah merugikan negara kira-kira sebesar 45 trilyun per tahun kemudian diselundupkan ke negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Anehnya, pemerintah kedua negara tetangga ini tidak bereaksi atas kasus penyelundupan asset negara Indonesia ini.

Mungkin benar analisis Karim Raslan, pengamat politik Islam asal Malaysia, sewaktu membaca fenomena hubungan tak harmonis antara dua negara bertetangga ini. Hanya saja saya melihat masih banyak faktor yang terlupakan. Faktor sejarah menjadi pemicu utama hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang boleh dibilang hangat-hangat tahi ayam. Selain sejarah, faktor psikologis, khususnya menyangkut rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang terus-menerus dilecehkan, juga amat menentukan.

Kedua faktor inilah yang menurut penulis menjadi pemicu konflik antara Indonesia-Malaysia dan sifatnya laten. Seperti bom waktu, sewaktu-waktu konflik bakal meledak jika tidak disikapi secara bijaksana.

Faktor Sejarah

Setiap bangsa memiliki latarbelakang historis dan kebudayaan tersendiri. Bagi sebuah bangsa merdeka, sejarah dan kebudayaan menjadi identitasnya di pentas peradaban dunia. Sejarah juga menjadi identitas politiknya. Sekalipun kebudayaan Indonesia dan Malaysia serumpun, tetapi catatan sejarah kedua negara ini berbeda. Berarti, identitas politik kedua negara ini berbeda.

Catatan sejarah bangsa Indonesia dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga masa kemerdekaan, menunjukkan bahwa bangsa Malaysia memang serumpun. Bahkan, pada masa pra-kolonial, wilayah Semenanjung Melayu (termasuk teritorial Malaysia dan Brunei Darussalam) menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (Abad 7-14 M). Pada tahun 1331-1364 M, Semenanjung Melayu juga telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit.

Memasuki masa kolonial (1602 M), bangsa yang tadinya disatukan oleh sejarah dan kebudayaan serumpun menjadi terpisah. Kolonialisme Inggris dan Belanda mengangkangi teritorial yang kini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Malaysia. Sepanjang masa kolonialisme, Inggris dan Belanda selalu berebut perbatasan wilayah jajahannya. Tercatat, pada 1917 pemerintah Hindia Belanda melayangkan protes kepada Inggris karena telah mengklaim pulau Sipadan masuk ke dalam wilayah ordonansinya.

Memasuki masa kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah terlibat sengketa politik dengan pemerintah Inggris. Atas nama bangsa Indonesia, proklamator kemerdekaan RI ini menentang pembentukan Federasi Malaysia. Terbakar oleh rasa nasionalisme, apalagi dengan membaca catatan sejarah bangsa Indonesia yang pernah berjaya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, maka pembentukan Federasi Malaysia sama artinya dengan sparatisme. Di samping itu, Soekarno telah membaca skenario Barat, terutama lewat peran Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, untuk mempengaruhi perpolitikan di kawasan Asia. Pada waktu itulah, lewat Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini, lahir semboyan politik yang membahana dan menggetarkan: "Ganyang Malaysia!", "Amerika kita setrika!", "Inggris kita linggis!"

Rasa nasionalisme memang menggetarkan. Soekarno menentang keputusan PBB mengakui kedaulatan Malaysia. Sewaktu negara tetangga ini menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia tegas mengambil sikap. Pada tanggal 20 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Bukan hanya itu. Soekarno malah menggalang kekuatan non PBB sebagai saingan. Apa yang dilakukan Soekarno, atas nama bangsa Indonesia, adalah bukti nyata bahwa dua negara bertetangga tidak akur.

Kita kembali ingat salah satu wejangan bapak proklamator RI ini, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah!)." Rupanya, akhir-akhir ini, bangsa Indonesia memang lupa pada sejarahnya sendiri. Ketika dimaki sebagai "Indon," kehormatan dinodai oleh kekerasan, pelecehan, dan ancaman terhadap para TKI, serta harga diri diinjak-injak oleh tindakan tidak profesional petugas Rela, namun bangsa ini hanya diam. Pemerintah juga hanya bisa prihatin. Barangkali pernyataan pemerintah yang tidak pernah tegas justru menunjukkan bahwa para pemimpin kita memang amat memprihatinkan? Suatu bangsa yang melupakan sejarahnya sendiri akan gagal di masa depan.

Ketegasan Sikap

Malaysia merupakan secuil dari sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Bahkan, Brunei Darussalam juga bagian dari sejarah dan kebudayaan bangsa ini. Dalam catatan sejarah lokal di Sumatra Barat, antara kesultanan Brunei, Serawak (Malaysia), dan Bukittinggi (Pagaruyung), merupakan tiga bangsa serumpun. Sebuah monumen sejarah "tiga serumpun" masih bisa dilihat di Bukittinggi hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah serumpun dengan Malaysia dan Brunei. Setelah memasuki masa-masa kolonial, masing-masing menciptakan sejarahnya secara terpisah.

Pada masa Orde Lama, bangsa Indonesia berhasil membangun citra politik di pentas dunia. Presiden Soekarno adalah sosok fenomenal. Sepak-terjangnya yang tidak pro Barat dan Timur membuat bangsa-bangsa lain terpana. Gagasan-gagasannya brilian membuat para pemimpin bangsa-bangsa lain terpukau. Indonesia pada waktu itu menjadi kekuatan politik alternatif yang kokoh dan amat disegani. Bahkan, terhadap kekuasaan PPB, Soekarno berani membelot. Namun sayang, setelah Indonesia ditinggalkan oleh figur pemimpin fenomenal Soekarno, berangsur-angsur bangsa ini tenggelam ditelan gelombang kepentingan politik bangsa-bangsa lain.

Yang paling menyedihkan dan sekaligus menjengkelkan, bangsa ini malah lupa pada sejarahnya sendiri. Bangsa Indonesia kehilangan jati diri di tengah-tengah persaingan bangsa-bangsa yang lain. Sampai-sampai harus mengemis di negeri orang yang pada hakekatnya adalah sempalan dari sejarah dan kebudayaan sendiri. Lihatlah! Betapa banyak TKI Indonesia yang berbondong-bondong ke Malaysia hanya untuk menjadi "kuli" di kebun-kebun kelapa sawit. Padahal, di negeri sendiri, hamparan kebun kelapa sawit tidak kalah luasnya. Para TKW rela menjadi "babu" di negeri seberang sekalipun mereka terancam tidak dibayar, disiksa, dilecehkan, bahkan sampai dibunuh. Anehnya, sekalipun kasus pembunuhan TKI sudah berkali-kali terjadi, namun bangsa ini masih saja menaruh harapan di negeri jiran.

Apakah mentalitas bangsa Indonesia seperti budak? Mungkinkah bangsa Indonesia bangsa kuli? Saya kembali ingat kritik YB Mangunwijaya semasa hidupnya. Dengan amat kritis, tokoh yang identik dengan "Komunitas Kali Code" (Yogyakarta) ini menyalahkan pemerintah Orde Baru dalam mengurus dan menata sistem pendidikan nasional. Dia berpendapat bahwa pendidikan nasional yang tidak pernah beres hanya mampu melahirkan bangsa dengan mentalitas "babu" dan "kuli" (Singgih Nugroho, 2004). Tampaknya, sekarang, kritik YB Mangunwijaya benar-benar jadi kenyataan.

Di antara mentalitas "babu" dan "kuli" adalah sifat inferior, tidak punya visi ke depan, dan tidak tegas mengambil sikap. Cobalah perhatikan! Kasus penangkapan, penyiksaan, sampai pembunuhan secara keji terhadap TKI hanya ditanggapi sebagai fenomena kewajaran. Maksudnya, kewajaran terhadap sebuah bangsa yang mengais rizki di negeri lain. Sikap semacam ini adalah cermin metalitas budak.

Kemudian, sekalipun tampak fenomena kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan di tanah air, tetapi pemimpin kita tidak punya visi ke depan untuk memperbaikinya. Akibatnya, bangsa Indonesia malah merasa pesimis dapat mencapai kesejahteraan hidup di negeri sendiri. Mereka pun merantau ke negeri orang. Karakteristik semacam ini merupakan cermin dari tipe kepemimpinan tanpa visi. Dan agenda pembangunan di tanah air pun dapat dinyatakan telah gagal.

Adapun pemerintah yang selama ini tak pernah tegas mengambil sikap atas berbagai kasus penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap harga diri bangsa mencerminkan hilangnya rasa nasionalisme. Kadang saya membayangkan, seandainya Soekarno masih hidup, tentu dia akan berang. Rasa nasionalismenya akan terbakar dan segera menyerukan, "Ganyang Malaysia!" Konfrontasi fisik sudah pasti bakal terjadi.

Sekedar mengambil pelajaran. Gunawan Mohammad—dalam Catatan Pinggir I (1982)—mengisahkan sebuah peristiwa menarik. Darius, seorang penguasa besar Persia (abad 5 SM), pernah mengirim seorang utusan (duta) ke Athena. Konon, utusan Persia tersebut diperlakukan tidak pantas. Kepada penguasa Athena, Darius menyatakan perang. Athena pun ditaklukkan. Kemudian, pada abad ke-6 M, Nabi Muhammad pernah mengirim seorang utusan (duta) kepada penguasa Persia (Kisra) di Chtesipon (Madain, Irak). Utusan tersebut justru malah dibunuh sehingga Nabi Muhammad menyatakan perang terhadap Persia.

Lewat dua kisah sejarah ini, saya bukan berarti sedang memanas-manasi pemerintah supaya segera melakukan konfrontasi fisik dengan Malaysia. Sama sekali bukan! Kebijakan perang bukanlah sikap bagi sebuah bangsa beradab. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa biadab. Lewat dua kisah tersebut, saya hanya sedang meyakinkan, bahwa kebijakan dan sikap tegas harus segera ditunjukkan kepada pihak Malaysia. Apalagi, negeri jiran ini sudah nyata-nyata menghina, merendahkan, bahkan melecehkan harga diri bangsa Indonesia.

Saya dukung sikap para dewan yang berencana demo di depan Kedubes Malaysia. Lebih dari itu, saya mengusulkan agar pemerintah segera menarik Duta Besar RI di Malaysia. Pemerintah juga perlu membuat jera negeri jiran ini lewat kebijakan travel warning dan penghentian pengiriman TKI ke Malaysia.

Dengan demikian, pemerintah Malaysia akan jera karena pembangunan negeri jiran ini, sebagian besar, dari hasil keringat dan darah para TKI. Kebijakan tersebut akan mengembalikan kewibawaan dan harga diri bangsa yang sudah dicabik-cabik. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan Malaysia menjadi sebuah ‘luka lama.’ Tetapi, kasus-kasus memilukan dan juga memalukan yang mencuat akhir-akhir ini seakan-akan menjelma menjadi ‘sayat baru di atas luka lama.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer