Rabu, 24 Oktober 2007

Histeria Budaya Lebaran

Mudik (pulang kampung) dan Lebaran (Idul Fitri). Keduanya sudah menjadi bentuk budaya tersendiri yang unik di Indonesia. Fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjadi tradisi unik yang tidak akan dijumpai di negara-negara lain. Misalnya di Arab Saudi dan Mesir. Sekalipun sama-sama merayakan Idul Fitri, di Arab Saudi dan Mesir, tidak mengenal Lebaran, seperti halnya di Indonesia. Umat Islam di Arab Saudi tidak kenal budaya mudik. Begitu juga umat Islam di Mesir tidak kenal tradisi pulang kampung menjelang Idul Fitri. Atas dasar inilah, mudik dan Lebaran sudah menjadi tradisi yang unik di Indonesia.


Tetapi, fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjelma menjadi "histeria kebudayaan." Ironisnya, mudik justru "sarat beban." Saya menganggap Lebaran sudah menjadi "ajang prestise" bagi para pemudik. Saya juga menyebut mudik "sarat beban." Sebab, secara ekonomis, tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini cenderung memberatkan. Tetapi, anehnya, beban ekonomis tersebut justru dianggap "bukan sebagai beban." Ada "kesadaran magis" menyelimuti kesadaran para pemudik setiap kali menjelang Lebaran (Mu’arif, 2007).


Budaya Lebaran

Sesungguhnya, subtansi Lebaran sama dengan perayaan Idul Fitri di negara-negara lain. Hanya saja, makna Lebaran lebih kontekstual dengan tradisi keindonesiaan. Lebaran adalah perayaan Idul Fitri ala Indonesia.

Dalam filosofi Jawa, kata "lebaran" dipahami secara utuh lewat ungkapan "jaburan", (menu makanan)"lebaran" (luas, lapang), dan "leburan" (luluh, lebur). Ketiga istilah ini merupakan serangkaian makna utuh untuk memahami puasa Ramadhan yang kemudian diakhiri dengan kemenangan setelah masing-masing jiwa menjadi "suci" (fitri).


Istilah "jaburan" merupakan gambaran bagi orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. "Jaburan" sendiri adalah menu makanan yang disediakan untuk berbuka puasa. Adapun "lebaran" adalah proses hari raya yang secara khusus dimaknai lewat jalinan silaturahmi antar sanak keluarga. Lewat proses "lebaran," setiap orang meluaskan hati atau melapangkan dada untuk menerima ucapan maaf dan memaafkan dari orang lain. Sementara "leburan" adalah proses luluhnya setiap dosa setelah masing-masing saling memaafkan. Pada puncaknya, setiap orang yang merayakan Lebaran telah kembali suci.


Dengan memahami makna filosofi Lebaran, setiap orang yang berada di perantauan terdorong secara spiritual untuk pulang ke kampung halaman. Semangat Lebaran dan mungkin rasa kangen ingin bertemu keluarga di kampung mendorong para perantau untuk terus melestarikan tradisi mudik.

Para perantau yang umumnya berasal dari kampung memanfaatkan hari raya Idul Fitri (bukan Idul Adha) untuk mudik secara besar-besaran (nasional). Di sinilah letak perbedaan budaya Idul Fitri di Indonesia dengan negara-negara lain. Tradisi mudik hanya bisa ditemukan di Indonesia. Di negara-negara, seperti Arab Saudi dan Mesir, tidak akan ditemui tradisi unik semacam ini.

Histeria Kebudayaan

Tetapi sayang, fenomena mudik, yang hampir menyerupai karnaval tahunan, menjelma menjadi histeria budaya yang sarat beban. Mudik tidak dipahami sebagai kesadaran untuk kembali bertemu bersama keluarga di kampung setelah setahun merantau di kota, tetapi sudah menjadi ajang luapan emosi untuk memuaskan dahaga Lebaran.


Menurut Yasraf Amir Piliang (2004), histeria ialah ekses dari emosi yang tidak dapat dikendalikan. Di sini, saya memandang luapan emosi para pemudik yang ingin pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran sudah tidak terbendung lagi.


Semangat Lebaran telah mendorong luapan emosi para pemudik sampai ke batas paling irrasional. Mereka berlomba-lomba membelanjakan uang. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga (babu) berani menghabiskan tabungan selama setahun hanya untuk memuaskan dahaga Lebaran. Atau, seorang kuli bangunan berani memborong barang-barang elektronik mewah, seperti TV, HP, kipas angin, dan lain-lain.


Secara otomatis, pada detik-detik menjelang Lebaran, harga-harga di pasar melambung tinggi tak terkendali. Sebab, permintaan barang-barang selalu meningkat. Sekalipun harga-harga melambung tinggi mencapai dua kali lipat, tetapi seolah-olah tidak menjadi beban bagi para membelinya. Itu semua disebabkan karena dorongan semangat Lebaran.


Fenomena Lebaran memang sungguh dahsyat dan luar biasa. Semangatnya bisa menyihir kesadaran seseorang untuk belanja apa saja, sekalipun harga melambung tinggi. oleh karena itu, benar kata Hendrawan Supratikno (2007), sesungguhnya lebaran adalah ajang demonstrasi daya beli masyarakat.


Bahkan, sudah dianggap fenomena lumrah jika para pemudik berani membelanjakan uangnya tanpa mempertimbangkan harga di pasar. Sebab, mereka menjaga gengsi sebagai perantau untuk membawa oleh-oleh yang berharga selama pulang ke kampung. Setiap orang bepergian memang selalu diharapkan oleh-olehnya.

Puncak histeria budaya pada hari raya Lebaran (1 Syawwal). Setiap keluarga akan memperlihatkan keberhasilan anak-anak mereka selama merantau kepada orang lain. Ada kisah sukses selama merantau di kota. Ada banyak uang dan barang-barang mewah yang jadi buah bibir. Seseorang akan merasa prestise jika mengaku sudah sukses merantau di kota. Lebaran tiba-tiba menjelma menjadi ajang prestise.


Inilah fenomena ketika Lebaran sudah menjelma menjadi histeria kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer