Rabu, 07 November 2007

Pendidikan untuk Perubahan

Krisis moral yang melanda negeri ini bermula dari kerancuan dalam memahami arti dan peran pendidikan. Indikasinya lebih nyata ketika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdidik lulusan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi dianggap sebagai gerbang akhir dari proses pendidikan. Tetapi, mengapa para koruptor kelas kakap dan preman-preman politik justru dari mereka yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi? Tentu, terdapat sesuatu yang keliru dalam pendidikan kita.

Menurut Mochtar Buchori (1994), masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan sebatas sarana, bukan sebagai tujuan. Masyarakat juga masih menganggap pendidikan sebagai ‘batu loncatan’ demi mendongkrak status sosial. Lewat gelar-gelar akademik, status sosial seseorang dijamin bakal terangkat.

Jika memaknai pendidikan hanya sebatas sarana, tentu kemungkinan terjebak pada formalitas akan semakin besar. Orang-orang yang memiliki embel-embel akademik dianggap mumpuni, menguasai ilmu atau memiliki kecakapan hidup (live skill). Padahal, gelar-gelar akademik tidak sepenuhnya merepresentasikan kompetensi seseorang. Apalagi setelah terbongkar kasus sindikat jual-beli gelar, status seseorang yang menyandang gelar Profesor pun masih dipertanyakan. Sebab, seorang paranormal pun amat dengan mudah bisa memiliki gelar ini.

Bagi Mochtar Buchori, pendidikan dimaknai sebagai tujuan. Apa yang muncul dalam diri terdidik, maka itulah akhir dari proses pendidikan. Saya memahami ide Mochtar Buchori sebagai bagian dari proses yang terpadu. Pendidikan adalah proses secara terpadu yang melibatkan terdidik, medium pembelajaran, obyek pembelajaran, proses, dan tujuan akhir. Si terdidik adalah pelaku proses pendidikan (subyek). Medium pembelajaran berupa realitas kehidupan. Obyek pembelajaran adalah permasalahan-permasalahan hidup yang ia hadapi. Sedangkan proses pendidikan ialah dinamika yang melibatkan terdidik, medium, dan obyek pembelajaran. Adapun tujuan akhirnya berupa kemampuan berupa wawasan dan kecakapan hidup. Di sini pendidikan makin dekat maknanya dengan proses kehidupan. Seperti kata Prof Proopert Lodge, "Live is education and education is live."

Setiap proses menghendaki tujuan. Apa yang akan dicapai dalam proses pendidikan kita? Berupa materi atau merupakan konsep abstrak? Di sini kita sering berpikiran picik. Proses pendidikan disamakan dengan pembangunan riil. Padahal, dalam pendidikan, yang sedang dibangun berupa konstruksi mental. Yang akan dibentuk, lewat proses pendidikan, adalah jiwa-jiwa generasi bangsa. Dengan begitu, pola pikir berbasis pedagang atau kalkulasi-kalkulasi berorientasi ekonomis tidak layak masuk dalam pendidikan kita. Sekalipun pendidikan adalah investasi, tetapi keuntungan yang akan dicapai bukan materi, melainkan berupa konstruksi mentalitas bangsa Indonesia agar selaras dengan cita-cita nasional.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai proses "membangun manusia Indonesia seutuhnya." Tetapi, tujuan ini masih abstrak, masih perlu rumusan baru yang lebih kongkrit. Sebab, sebagai bangsa yang tergolong masih muda, konsep "manusia Indonesia seutuhnya" belum tampak jelas.

Untuk memaknai karakteristik bangsa Indonesia, kita perlu mengacu pada nilai-nilai dan tradisi peninggalan nenek moyang. Cikal-bakal bangsa Indonesia adalah orang-orang Proto-Melayu yang pada zaman Neolitikum sudah mendiami kepulauan Nusantara. Mereka memiliki tata nilai, sistem sosial, dan kepercayaan yang kuat. Sekalipun bukan sebagai bangsa yang menerima seruan para nabi, tetapi karakteristik orang-orang Proto-Melayu sebagai bangsa religius sangat kuat. Tata nilai yang dijadikan sebagai pegangan hidup mereka adalah budi pekerti luhur.

Cermin bangsa Indonesia sebagai bangsa religius dapat dilihat dari eksistensi agama-agama besar seperti: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Sekalipun berbeda-beda sistem ritual dan cara pandang dalam memahami hakekat Tuhan, tetapi agama-agama di Indonesia saling menganjurkan budi pekerti luhur. Namun kemudian, kenapa bangsa ini justru menduduki ranking ke-60 dari 120 negara di dunia yang marak dengan tindak korupsi? Jelas peran pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam mengemban tugasnya.

Visi pendidikan nasional memang lemah. Bahkan, masih dianggap belum mampu mengenalkan nilai-nilai dan tradisi luhur peninggalan nenek moyang. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa pendidikan tidak mampu mengenalkan karakteristik khas bangsa ini. Kasus penyiksaan dan pelecehan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan bahwa kita seakan-akan lupa bahwa zaman dahulu negara tetangga ini merupakan bagian dari wilayah nusantara.

Peran pendidikan nasional masih belum efektif dalam membawa bangsa ini menuju perubahan yang signifikan. Problem minus visi menyebabkan sistem pendidikan nasional berjalan acak-acakan. Sekalipun masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme—yang jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma agama—justru makin marak. Apakah pendidikan nasional sudah tidak lagi mementingkan nilai-nilai budi pekerti luhur sehingga para lulusan perguruan tinggi justru banyak yang menjadi koruptor kelas kakap? Apakah pendidikan sudah tidak lagi menanamkan rasa empati sehingga perilaku para elit politik kita makin kekanak-kanakan dan amat memalukan?

Tanpa membenahi problem visi yang belum jelas, selamanya pendidikan berjalan tanpa arah. Jika pendidikan tanpa visi, maka akan dengan mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain yang hendak memanfaatkannya. Seperti inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan anggaran minimal 20% (pasal pasal 31 ayat 4 UUD 45), kasus pelarangan buku sejarah berdasarkan keputusan Jaksa Agung tanggal 5 Maret 2007, dan penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kasus-kasus tersebut menjadi indikasi nyata bahwa pendidikan nasional tanpa visi sehingga mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan di luar pendidikan (kekuasaan).

Akhirnya, patut kita renungkan pesan Maroeli Simbolon berikut ini: "Pendidikan itu benih yang ditabur. Tanpa pendidikan, jangan pernah berharap untuk memetik hasil yang baik" (Maroeli Simbolon, 2004).

Menguak Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah

"Saya tidak membawa agama baru. Saya hanya menggenapkan nubuwat Allah dalam Al-Qur’an, seperti halnya Muhammad menggenapkan ajaran Isa dan Musa", begitu pernyataan Ahmad Moshaddeq, Ketua Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Kamis (18/10) di Jakarta (Pelita, 25/10/2007).

Moshaddeq sedang berapologi. Barangkali dia memang merasa terpojok setelah mendapat hujatan dari berbagai kalangan. Sewaktu tandang ke kantor majalah Tempo pada hari Kamis (18/10), dirinya langsung menanggapi Keputusan Majlis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 tahun 2007. Moshaddeq menolak jama’ahnya dinyatakan sebagai "aliran sesat."

Jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadhan, di Yogyakarta memang telah digegerkan oleh sebuah gerakan dakwah kontroversial Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Kasus ini makin mendapat sorotan dari kalangan ulama, karena kebetulan berbarengan dengan Pembukaan Musyawarah Majlis Ulama Indonesia Daerah II (meliputi Lampung dan Jawa).

Lewat penyelidikan MUI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemukan bukti sebuah buku Tafsir wa Ta’wil (2007). Tebalnya 104 halaman: 97 halaman isi dan 7 halaman tambahan. Isinya berupa doktrin-doktrin fundamental jama’ah ini yang dinilai cukup kontroversial. Doktrin-doktrin yang dianggap cukup kontroversial seperti: konsep umat akhir zaman, kenabian Ahmad Moshaddeq sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud", dan sinkretisme ajaran Islam-Kristen. Sekalipun mengaku mendapat "wahyu", Moshaddeq menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber doktrin-doktrinnya. Hanya saja dia menolak As-Sunnah. Moshaddeq juga menafsiri Al-Qur’an dengan caranya sendiri dan mengabaikan metode-metode tafsir yang ada.

Ahmad Moshaddeq

Ahmad Moshaddeq mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda DKI. Nama aslinya H. Salam. Sebelum membentuk Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dirinya pernah terlibat dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dia memang pengagum berat Kartosoewiryo. Bahkan, dirinya menganggap tokoh pendiri NII ini sebagai "seorang nabi."

Moshaddeq merintis jama’ah ini pada sekitar tahun 2000-an. Para pengikutnya bertambah banyak. Konon, bentuk kegiatan jama’ah ini persis seperti halaqah-halaqah atau majlis-majlis ta’lim. Untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan jama’ah ini, Moshaddeq mendirikan kantor pusat di Desa Gunung Bundar, Kabupaten Bogor.

Setelah 10 tahun terlibat dalam gerakan NII, dirinya merasa tidak puas. Lantas, dia memutuskan untuk menyepi. Bertapa sembari berharap-harap turunnya wangsit dari langit. Setelah menempuh laku prihatin (bertapa) selama 40 hari 40 malam di salah satu vilanya di Gunung Bunder, dia mengaku mendapat wahyu. Dalam buku Tafsir wa Ta’wil, dia menjelaskan: "…di malam yang ketigapuluh tiga, tiga hari menjelang empat puluh hari aku bertahannus, kembali aku bermimpi, di dalam mimpi itu aku sedang dilantik atau diangkat menjadi rasul Allah disaksikan para sahabat…" (h. 182)

Entah dapat bisikan setan atau iblis, tetapi tepat pada 23 Juli 2006 dirinya mengaku sebagai seorang nabi atau rasul. Pada waktu itulah namanya berubah dari Salam menjadi Ahmad Moshaddeq. Dirinya mengaku mendapat perintah supaya menyempurnakan ajaran Nabi Musa, Isa, dan Muhammad saw.

Moshaddeq menyebarkan ajaran-ajarannya di Bogor dan Jakarta. Lewat halaqah-halaqah dan majlis-majlis ta’lim, rupanya banyak juga yang terbujuk mengikuti ajaran-ajarannya. Sukses di Bogor dan Jakarta, sasaran berikutnya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Bahkan, menurut Ketua Komisi Fatwa MUI KH M Anwar Ibrahim, jama’ah ini sudah menyebar ke Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, dan Batam. Hingga saat ini, anggota Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah diperkirakan mencapai ribuan (Republika, 5/10/2007).

Umat Akhir Zaman

Dengan tegas, Moshaddeq menolak As-Sunnah (baik perkataan, perbuatan, maupun ikrar Nabi saw). Kasus semacam ini mengingatkan kita pada gerakan Inkar As-Sunnah yang sudah muncul berkali-kali dalam sejarah umat Islam. Mungkin sudah puluhan kasus, baik di dalam maupun di luar negeri, yang menodai agama Islam dengan cara menolak Sunnah Nabi.

Menurut anggapan Moshaddeq, Nabi Muhammad adalah nabi ummi (buta huruf). Beliau hanya diutus untuk kaum yang ummi (bangsa Arab). Jadi, Nabi Muhammad bukan diutus untuk umat sekarang, yang kata Moshaddeq, dianggap sebagai umat akhir zaman, yang mempunyai ilmu dan teknologi canggih. Selanjutnya, tanpa pengetahuan bahasa (Arab) dan metode penafsiran yang memadai, dirinya membuat tafsir membagi kelompok sosial menjadi tiga: Ashab Al-A’raf (dianggap sebagai As-Sabiquna Al-Awwalun); Ashab Al-Yamin (dianggap sebagai golongan Anshar); dan Ashab Asy-Syimal (dianggap sebagai kaum oposisi penentang rasul) (Asjmuni Abdurrahman, 2007).

Dia menafsiri Surat Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa dirinya menggenapkan nubuwat dari langit pasca Nabi Muhammad saw. Barangkali Moshaddeq sedang membuat tafsir sendiri terhadap Al-Qur’an. Tetapi, metodenya kacau-balau. Sewaktu menafsiri Surat Al-Jumu’ah ayat 2, dia mungkin lupa membuka Surat Al-Ahzab ayat 40. Di dalam surat ini disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Atau, bisa jadi dia memang tidak paham sama sekali kandungan Al-Qur’an. Sebab, dalam surat Al-An’am ayat 93 jelas-jelas menyatakan kedzaliman bagi orang yang mengaku sebagai nabi pasca Nabi Muhammad saw.
Seandainya Moshaddeq mengakui keberadaan As-Sunnah sebagai sumber ajarannya, tentu dia akan terbentur berkali-kali dengan beberapa Hadits yang membatalkan nubuwatnya. Sebab, tidak ada kenabian setelah Nabi Muhammad. Misalnya sebuah Hadits menyatakan: "Sesungguhnya akan ada tigapuluh orang pendusta di tengah-tengah umatku. Semuanya mengklaim sebagai nabi. Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku" (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Doktrin Messianisme

Ahmad Moshaddeq mengklaim sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud" (yang dijanjikan). Dalam buku Tafsir wa At-Ta’wil, dirinya mengaku: "Aku Al-Masih Al-Mau’ud menjadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang yang mengimaniku, dan aku telah menjelaskan kepada kalian tentang sunnah-Nya dan rencana-rencana-Nya di dalam hidup dan kehidupan ini sehingga dengan memahami sunnah dan rencana-rencana-Nya itu kalian dapat berjalan dengan pasti di bawah bimbingan-Nya…" (h. 178).

Dalam sejarah agama-agama, klaim Moshaddeq ini dikenal sebagai doktrin Messianisme (Al-Masih). Doktrin ini memang sudah berusia kurang lebih 3000 tahun yang silam. Berasal dari tradisi bangsa Yahudi yang berkali-kali mengalami penindasan.

Sewaktu bangsa Yahudi ditindas oleh Fir’aun (Ramses II), kehadiran Nabi Musa dianggap sebagai "Sang Messias." Begitu juga ketika bangsa Yahudi ditindas oleh bangsa Assyur, sosok Ezra (‘Uzair) dianggap sebagai "Sang Messias." Atau, ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Babilonia, kehadiran Jeremiah juga dianggap sebagai "Sang Messias." Tetapi, sewaktu Nabi Isa mengklaim sebagai "Al-Masih", justru sebagian besar bangsa Yahudi menentangnya.
Doktrin Messianisme merupakan luapan harapan atau bisa jadi ekspresi sebuah bangsa yang putus asa menghadapi penindasan oleh bangsa lain. Dalam keterputusasaan, mereka mengandaikan keadaan hidup bebas dan merdeka. Di dalam keterputusasaan tersebut juga terselip pengharapan akan datangnya "Sang Juru Selamat" yang akan membawa mereka kepada kehidupan lebih baik.

Dalam perjalanan sejarah umat Islam, doktrin Messianisme juga sempat dianggap relevan oleh kaum Syi’ah. Doktrin teologi kaum Syi’ah mengenal konsep "Imam Al-Mahdi Al-Muntadhar" (Imam Mahdi yang dinanti-nanti). Pengertian Al-Masih dan Al-Mahdi tidak jauh berbeda. Tetapi doktrin Messianisme ala Islam menjadi perdebatan yang hingga kini tidak pernah mencapai kata sepakat. Pada akhirnya, konsep Al-Mahdi Al-Muntadhar tidak hanya sekedar doktrin teologis, tetapi juga politis.

Dalam konteks bangsa Indonesia, khususnya dalam budaya Jawa, dikenal konsep "Ratu Adil" atau "Satria Piningit." Bangsa Indonesia mengenal konsep ini karena telah lama dijajah oleh kolonial Belanda. Dalam situasi terjajah sangat menyengsarakan sehingga bangsa Indonesia mengandaikan sang pemimpin datang yang bakal membebaskan mereka dari penjajahan.
Dengan demikian, antara konsep "Al-Masih", "Al-Mahdi Al-Muntadhar", "Ratu Adil" ataupun "Satria Piningit" memiliki kesamaan konteks dan visi. Konteksnya berupa kondisi tertindas (baik secara fisik maupun non fisik) yang dialami oleh suatu kelompok atau bangsa. Visinya berupa "penyelamatan". Oleh karena itu, konsep Messianisme sudah bukan hal baru lagi.
Sosok Ahmad Moshaddeq yang mengklaim sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud" menganggap dirinya sebagai "sang penyelamat." Dia mengaku diutus oleh Tuhan untuk umat di zaman modern. Umat zaman modern sekarang ini ditafsiri oleh Moshaddeq sebagai umat akhir zaman. Lebih berani lagi, Moshaddeq mengaku menggenapkan nubuwat pasca Nabi Musa, Isa, dan Muhammad. Seakan-akan dirinya adalah nabi terbesar akhir zaman.

Dalam konteks sejarah agama-agama, doktrin Messianisme sudah berakhir. Umat Yahudi menganggap Nabi Musa sebagai nabi terbesar mereka. Sosok Nabi Musa dianggap sebagai Sang Messias bagi umat ini. Kemudian, umat Nasrani menganggap Nabi Isa sebagai nabi terbesar mereka. Sosok Nabi Isa dianggap sebagai Sang Messias bagi umat ini. Begitu juga dengan umat Islam, menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terbesarnya. Maka, sosok Nabi Muhammad merupakan Sang Messias bagi umat terakhir ini. Doktrin Messianisme dalam Islam sudah berakhir. Hanya kelompok Syi’ah saja yang masih meyakini doktrin ini.

Ahmad Moshaddeq berani menghidupkan kembali doktrin teologis ini tanpa argumentasi kenabian yang berarti. Apalagi dirinya tetap menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber ajarannya. Seandainya benar Moshaddeq seorang nabi, tentu wahyu yang turun kepadanya memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an, karena konteks zaman dan umat yang berbeda. Tetapi justru Moshaddeq hanya memberikan tafsir terhadap Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sementara metode tafsirnya kacau-balau.

Sinkretisme Agama

Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah hanyalah bentuk sinkretisme antara agama Islam dan Nashrani. Membayangkan sosok Moshaddeq mengingatkan kita pada tokoh Manu (mengaku Nabi pada abad 5) di Persia. Atau sosok Harith bin Saad (mengaku Nabi di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan), Isa Al-Asfahan (mengaku Nabi di masa Khalifah Al-Mansur), Faris bin Yahya (mengaku Nabi di masa Khalifah Al-Muktaz), Ishak Al-Akhras (mengaku Nabi di Asfahan, Iran), Aswad Al-Insa (mengaku Nabi pada saat Nabi Muhammad jatuh sakit sebelum wafat).

Di Indonesia, banyak tokoh yang mengklaim sebagai nabi. Sebut saja Zikrullah (Sulteng) dan Lia Aminuddin (Jakarta). Umumnya, mereka yang mengklaim sebagai nabi mencampur-aduk antara berbagai ajaran agama menjadi satu. Seperti Zikrullah yang mencampur-aduk doktrin-doktrin fundamental agama Islam dan Kristen. Lia Aminuddin malah mencampur-aduk antara agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Terang saja ajaran-ajaran mereka jadi aneh-aneh. Seperti Zikrullah membuat persaksian (syahadat) yang berbeda pada umumnya. Bahkan dia membuat bangunan Ka’bah sendiri yang digunakan untuk ibadah haji oleh para pengikutnya. Begitu juga dengan Lia Aminuddin yang membuat ritual thawaf dengan cara berkeliling kampung ketika hujan turun.

Dalam konteks jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Moshaddeq juga membuat aturan macam-macam. Seperti syahadat yang aneh. Tidak shalat lima kali, tetapi cukup sekali di malam hari. Bahkan, Moshaddeq membenarkan konstruksi teologi Trinitas sekaligus Tauhid.

Apa yang dilakukan oleh para nabi palsu, seperti Manu,Harith bin Saad, Isa Al-Asfahan, Faris bin Yahya, Ishak Al-Akhras, Aswad Al-Insa, Zikrullah, Lia Aminuddin, dan Moshaddeq, merupakan bentuk sinkretisme agama-agama. Mereka telah mencampur-aduk doktrin-doktrin berbagai agama, yang pada hakekatnya memiliki subtansi berbeda, menjadi doktrin yang kemudian dianggap baru. Jelas mereka telah melakukan penjarahan doktrin agama-agama yang selama ini sudah memiliki pakem sendiri-sendiri.

Sekalipun nabi palsu mengklaim mendapat wahyu dan mengajarkan ajaran-ajaran baru, tetapi ketika sudah menjarah doktrin-doktrin konvensional masing-masing agama sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Tak Ada Toleransi

Konon, Ahmad Moshaddeq pandai bersilat-lidah. Dirinya gampang berkelit sewaktu dihujat secara bertubi-tubi. Jawabnya enteng: "Lana a’maluna, wa lakum a’malukum"
Apakah Moshaddeq sedang mengigau atau barangkali dia memang tidak paham ajaran Islam? Jika Moshaddeq berkelit dengan ayat tersebut, maka dia tidak paham dengan konteksnya.
Orang tentu akan memberi toleransi ketika dia yang mengaku sebagai nabi akhir zaman tidak menggunakan simbol-simbol, ajaran-ajaran, atau nama-nama yang sudah menjadi pakem bagi umat Islam. Seperti nama jama’ahnya yang memakai kata Islam. Atau Al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran-ajarannya. Apa yang dilakukan Moshaddeq telah merampas dasar-dasar teologi Islam yang sudah mapan. Apalagi, Moshaddeq juga mencampur-aduk antara ajaran Islam dan Nashrani. Berarti, Moshaddeq telah mempecundangi dua agama besar yang bersumber dari kawasan timur tengah ini.

Kasus Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq ini hanya menambah panjang deretan kasus "nabi palsu" dan penyelewengan ajaran Islam yang telah berkali-kali muncul dalam sejarah umat Islam. Moshaddeq betul-betul ceroboh. Mengklaim sebagai seorang nabi yang diutus kepada umat zaman modern sekarang ini adalah tindakan paling gegabah.
Barangkali dia malah dianggap tidak waras. Sementara doktrin-doktrin yang dia ajarkan kepada pengikut-pengikutnya telah menabrak pakem. Bahkan telah merampas pakem ajaran-ajaran agama milik umat lain (Nashrani). Sebab, doktrin-doktrin keyakinannya merupakan sintesa keyakinan umat Islam dan Nashrani.

Oleh karena itu, Moshaddeq dan jama’ahnya tidak bisa diberi toleransi lagi. Dirinya telah menodai otentisitas ajaran agama Islam dan Kristen sehingga keputusan MUI No. 4 tahun 2007 sudah tepat. Pemerintah dan masyarakat diharap selalu waspada terhadap aliran yang memang sesat dan menyesatkan ini.

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer