Laporan World Bank dalam Education in Indonesia-From Crisis to Recovery (1998) memaparkan bahwa minat dan kemampuan baca anak-anak Indonesia amat rendah. Minat baca untuk siswa-siswa kelas enam SD dinilai 51,7. Nilai ini merupakan paling rendah di antara minat baca anak-anak bangsa lain setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5). Oleh Ki Supriyoko, minat dan kemampuan membaca anak-anak Indonesia dinilai paling buruk dibandingkan anak-anak dari negara-negara lain (Ki Supriyoko, 2004).
Sebuah perspektif menyebutkan bahwa sumber utama permasalahan ini bukan terletak pada faktor mentalitas bangsa, tetapi merupakan dampak dari sistem politik yang tidak pernah beres. Kebijakan-kebijakan strategis sering dimanfaatkan oleh segelintir oknum sehingga kepentingan rakyat tercampakkan. Dengan demikian, kondisi SDM bangsa ini merupakan bagian dari "problem struktural" yang tidak pernah beres.
Masalah kesejahteraan yang belum pernah terwujud di negeri ini sering menjadi "kambing hitam" untuk menyikapi kualitas SDM yang boleh dikata terus menurun. Penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tidak mungkin sempat memikirkan untuk membeli buku atau media cetak.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 7-8 Februari 2005 disebutkan bahwa minimnya buku-buku yang dibeli oleh masyarakat disebabkan karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja kesulitan, apalagi memikirkan untuk membeli buku. Boro-boro beli buku atau koran, buat beli makan saja masih kesulitan, begitu kira-kira analoginya.
Kita memang tidak bisa menutup mata atas fenomena kemiskinan di Indonesia. Harus diakui, angka kemiskinan masih cukup dominan. Menurut data BPS tahun 2005-2006, jumlah angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 jumlah angka kemiskinan naik mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Secara logis memang perspektif di atas memang dapat diterima. Sebab, budaya baca memang ditopang oleh minat baca. Kemudian, minat baca ditopang pula oleh kondisi ekonomi yang mapan. Faktor kesejahteraan hidup sangat mempengaruhi daya beli terhadap buku.
Tetapi, apakah benar faktor kemapanan ekonomi sangat menentukan bagi perkembangan budaya baca? Sebab, berdasarkan data BPS 2006, bangsa Indonesia mengalami peningkatan dalam hal perolehan informasi dari televisi yang mencapai sebesar 85,9 %. Padahal, bangsa ini sudah divonis sebagai bangsa miskin. Bangsa Indonesia terus terpuruk dalam krisis multidimensional.
Di Indonesia, budaya baca makin langka, tetapi produk-produk teknologi informasi yang canggih mewarnai kehidupan sehari-hari. Televisi sudah mewabah di Indonesia. Percaya atau tidak, anak-anak di Indonesia lebih banyak menonton televisi dibanding anak-anak Kanada, Australia, dan Amerika. Penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adolesc Med 2005 berhasil mengungkap fakta ini. Kesimpulan yang cukup mengagetkan dari penelitian ini, anak di bawah 3 tahun yang menonton televisi mengalami gejala penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori.
Berangkat dari sinilah, menurut penulis, lemahnya budaya baca merupakan cermin dari problem mentalitas. Harus diakui bahwa bangsa ini belum bisa menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan. Bangsa Indonesia juga cenderung konsumtif dan berpikir instan.
Survei yang dilakukan oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (2007) telah memberi gambaran nyata akan karakteristik mentalitas bangsa ini. Berdasarkan survei tersebut, ternyata penduduk Indonesia jauh lebih mementingkan untuk beli rokok ketimbang beli koran atau buku-buku. Dari sini sudah dapat dipastikan bahwa membaca sudah menjadi sesuatu yang tidak akrab bagi kehidupan bangsa Indonesia (Kompas, 9/2/2007).
Bangsa Indonesia tengah dilanda penyakit mental yang cukup akut. Kualitas SDM bangsa ini berada diurutan paling bawah di antara bangsa-bangsa lain. Belum lagi karakteristik mentalitas bangsa ini yang menjadi makin konsumtif dan cenderung berpikir instan. Bangsa ini tidak siap menghadapi kepungan arus globalisasi dengan mewabahnya teknologi informasi. Di samping itu, bangsa ini juga jadi "pelupa" ketika a-historis membaca sejarah peradabannya sendiri. Kasus penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan seakan-akan kita lupa bahwa di zaman dahulu, negari jiran ini merupakan bagian dari wilayah Nusantara.
Seluruh elemen bangsa Indonesia perlu menyadari penyakit akut ini. Untuk mengobatinya, menurut penulis, diperlukan upaya membangun kesadaran akan pentingnya budaya baca dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kampanye-kampanye budaya baca harus mendapat dukungan bagi pemerintah. Proses penyadaran juga perlu terus dilakukan lewat LSM-LSM yang selama ini getol menyuarakan gerakan gemar membaca. (Mu'arif)
Berdasarkan data BPS 2003 disebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun membaca koran sekitar 55,11 %. Sedangkan yang membaca tabloid atau majalah hanya sebesar 29,22 %. Untuk penduduk yang membaca buku kategori fiksi sebesar 44,28 %. Selebihnya, yaitu sekitar 21,07 %, mereka membaca buku pengetahuan. Apabila dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun sebelumnya (1993), maka akan kita dapati kenaikan tingkat membaca buku hanya sebesar 0,2 %. Namun, terdapat sesuatu yang cukup unik dan sekaligus mencengangkan di sini. Jika budaya baca tidak berkembang di negeri ini, tetapi penduduk Indonesia secara umum mengalami peningkatan dalam tradisi menonton televisi (21,1 %). Kemudian, data BPS 2006 juga menunjukkan bahwa penduduk yang mendapatkan informasi lewat cara membaca baru mencapai 23, 5 %. Kondisi yang demikian jelas amat kontras dengan jumlah penduduk yang menggunakan sarana televisi untuk memperoleh informasi yang mencapai 85,9 % (Surachman Nugroho, 2007).
Sebuah perspektif menyebutkan bahwa sumber utama permasalahan ini bukan terletak pada faktor mentalitas bangsa, tetapi merupakan dampak dari sistem politik yang tidak pernah beres. Kebijakan-kebijakan strategis sering dimanfaatkan oleh segelintir oknum sehingga kepentingan rakyat tercampakkan. Dengan demikian, kondisi SDM bangsa ini merupakan bagian dari "problem struktural" yang tidak pernah beres.
Masalah kesejahteraan yang belum pernah terwujud di negeri ini sering menjadi "kambing hitam" untuk menyikapi kualitas SDM yang boleh dikata terus menurun. Penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tidak mungkin sempat memikirkan untuk membeli buku atau media cetak.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 7-8 Februari 2005 disebutkan bahwa minimnya buku-buku yang dibeli oleh masyarakat disebabkan karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja kesulitan, apalagi memikirkan untuk membeli buku. Boro-boro beli buku atau koran, buat beli makan saja masih kesulitan, begitu kira-kira analoginya.
Kita memang tidak bisa menutup mata atas fenomena kemiskinan di Indonesia. Harus diakui, angka kemiskinan masih cukup dominan. Menurut data BPS tahun 2005-2006, jumlah angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 jumlah angka kemiskinan naik mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Secara logis memang perspektif di atas memang dapat diterima. Sebab, budaya baca memang ditopang oleh minat baca. Kemudian, minat baca ditopang pula oleh kondisi ekonomi yang mapan. Faktor kesejahteraan hidup sangat mempengaruhi daya beli terhadap buku.
Tetapi, apakah benar faktor kemapanan ekonomi sangat menentukan bagi perkembangan budaya baca? Sebab, berdasarkan data BPS 2006, bangsa Indonesia mengalami peningkatan dalam hal perolehan informasi dari televisi yang mencapai sebesar 85,9 %. Padahal, bangsa ini sudah divonis sebagai bangsa miskin. Bangsa Indonesia terus terpuruk dalam krisis multidimensional.
Tampaknya, argumentasi bahwa faktor kemapanan ekonomi mempengaruhi budaya baca atau kualitas SDM bangsa agak lemah. Bagaimana mungkin bangsa yang sudah divonis miskin justru lebih akrab dengan barang-barang mewah atau teknologi informasi?
Di Indonesia, budaya baca makin langka, tetapi produk-produk teknologi informasi yang canggih mewarnai kehidupan sehari-hari. Televisi sudah mewabah di Indonesia. Percaya atau tidak, anak-anak di Indonesia lebih banyak menonton televisi dibanding anak-anak Kanada, Australia, dan Amerika. Penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adolesc Med 2005 berhasil mengungkap fakta ini. Kesimpulan yang cukup mengagetkan dari penelitian ini, anak di bawah 3 tahun yang menonton televisi mengalami gejala penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori.
Berangkat dari sinilah, menurut penulis, lemahnya budaya baca merupakan cermin dari problem mentalitas. Harus diakui bahwa bangsa ini belum bisa menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan. Bangsa Indonesia juga cenderung konsumtif dan berpikir instan.
Survei yang dilakukan oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (2007) telah memberi gambaran nyata akan karakteristik mentalitas bangsa ini. Berdasarkan survei tersebut, ternyata penduduk Indonesia jauh lebih mementingkan untuk beli rokok ketimbang beli koran atau buku-buku. Dari sini sudah dapat dipastikan bahwa membaca sudah menjadi sesuatu yang tidak akrab bagi kehidupan bangsa Indonesia (Kompas, 9/2/2007).
Bangsa Indonesia tengah dilanda penyakit mental yang cukup akut. Kualitas SDM bangsa ini berada diurutan paling bawah di antara bangsa-bangsa lain. Belum lagi karakteristik mentalitas bangsa ini yang menjadi makin konsumtif dan cenderung berpikir instan. Bangsa ini tidak siap menghadapi kepungan arus globalisasi dengan mewabahnya teknologi informasi. Di samping itu, bangsa ini juga jadi "pelupa" ketika a-historis membaca sejarah peradabannya sendiri. Kasus penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan seakan-akan kita lupa bahwa di zaman dahulu, negari jiran ini merupakan bagian dari wilayah Nusantara.
Seluruh elemen bangsa Indonesia perlu menyadari penyakit akut ini. Untuk mengobatinya, menurut penulis, diperlukan upaya membangun kesadaran akan pentingnya budaya baca dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kampanye-kampanye budaya baca harus mendapat dukungan bagi pemerintah. Proses penyadaran juga perlu terus dilakukan lewat LSM-LSM yang selama ini getol menyuarakan gerakan gemar membaca. (Mu'arif)