Selasa, 17 Juni 2008

Budaya Lokal dalam Pusaran Arus Globalisasi



Tanggal 11 Februari, seratus tahun yang silam (1908), di ranah Minang (Sumatra Utara) telah lahir seorang pujangga besar. Bahkan, ia bukan hanya seorang pujangga, tetapi merupakan tokoh nasional yang berhasil mengangkat bahasa Indonesia sebagai identitas budaya bangsa. Pada sekitar 1930-an, tokoh yang satu ini berhasil menggelindingkan “polemik kebudayaan” yang juga berhasil menyita konsentrasi para budayawan di tanah air. Dialah Sutan Takdir Alisjahbana, pemimpin redaksi majalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru, dan penulis novel Layar Terkembang.

Dalam sebuah paper dengan judul “Suatu Filosofi untuk Masa Depan Menuju Kebudayaan yang Inklusif” (Kompas, 11/2/ 2008), Sutan Takdir Alisjahbana, menulis: “Dewasa ini, kecepatan transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kita tak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kita yang seolah-olah semakin menyusut.”

”Proses globalisasi” tulis Sutan Takdir Alisjahbana, ”mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapi di mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan media massa.”

Apa yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, lewat paper yang konon belum pernah diterbitkan ini, merupakan fenomena global yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi kita semua. Inilah yang dinamakan dengan proses globalisasi. Lewat peran media massa yang terus marak di seantero jagad, proses globalisasi seakan-akan tak terbendung lagi. Dampaknya cukup signifikan mempengaruhi kebudayaan lokal. Proses akulturasi budaya pun kian cepat. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, “Saat ini telah terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.”

Teknologi informasi dan sarana transportasi memang terus berkembang. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, proses globalisasi ini seakan-akan semakin menyusutkan dunia. Jika pada awal penemuan radio dan televisi, orang masih bisa menikmati perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia lewat “kotak ajaib” bernama radio dan televisi, maka sekarang dunia telah dilipat semakin tipis dalam bentuk handphone yang memiliki fasilitas untuk mengakses internet. Jaringan internet telah melipat batas-batas ruang dan waktu sehingga apa saja yang sedang terjadi di belahan dunia lain akan dengan mudah diakses oleh orang-orang di manapun. Gejala seperti ini persis seperti yang telah diramalkan oleh Yasraf Amir Piliang (1998) bahwa "dunia telah dilipat."

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak steril dari kepentingan-kepentingan. Justru kepentingan bisnis telah menguasai seluruh teknologi, khususnya teknologi informasi. Dampaknya makin mengakhawatirkan karena setiap budaya yang diekspos lewat media massa belum tentu sejalan dengan nilai-nilai budaya lokal.

Di era globalisasi sekarang ini, eksistensi budaya lokal sedang menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Kebudayaan lokal sedang menghadapi tantangan berat berupa sistem kapitalisme dan ideologi hedonisme. Sistem kapitalisme dan pola hidup hedonis merupakan produk sejarah bangsa Barat yang berhasil mendominasi dunia dengan memanfaatkan jaringan media, pasar bebas, dan kekuatan modal.

Dampak globalisasi sudah merambah ke semua lini kehidupan. Media massa menawarkan “budaya tanding”—meminjam istilah Emha Ainun Najib—yang kian menggerus budaya lokal. Pola pikir dan gaya hidup hedonis terus dipupuk lewat tayangan iklan dan berbagai macam siaran di TV. Gaya hidup hedonis dan individualisme terus menguat. Tetapi, ironisnya kebahagiaan manusia semakin semu. Barang-barang mewah yang sudah pasti mahal harganya menjadi pusat kepuasan batin. Tingkat kepedulian seseorang terhadap orang lain kian menurun.
Sistem pasar menghendaki persaingan individu secara ketat. Lewat peran media massa, segala sesuatunya mesti diseragamkan. Dari sinilah fenomena budaya pop kian massif. Tingkah laku orang jadi aneh-aneh karena meniru-niru budaya asing. Dalam hal ini, globalisasi juga telah menciptakan individualisme semu karena antara ruang private dan public sudah bercampur-aduk. Seorang top figure seperti artis, model, atau tokoh tertentu, akan diungkap seluk-beluk kehidupannya, bahkan sampai pada hal-hal yang sesungguhnya termasuk dalam kategori privacy.

Namun demikian, dampak paling nyata dalam proses globalisasi ialah kehadiran “budaya tanding” yang terus mendesak budaya lokal sampai ke dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Budaya lokal kian tergusur sementara budaya tanding terus marak. Apakah globalisasi yang terus mengepung bakal melenyapkan budaya-budaya lokal yang sudah menjadi kekayaan bangsa kita?

Jika ‘budaya tanding’ telah menggerus keberadaan budaya lokal, maka bagaimanakah reaksi para budayawan kita saat ini? Baru-baru ini, budayawan Ahmad Munif (2008), penulis novel Perempuan Yogya, memberikan komentar cukup kritis kepada penulis. Ia tidak mengkambinghitamkan globalisasi, karena itu memang suatu keniscayaan. Tetapi Munif justru melontarkan sebuah autokritik: apakah kita mampu bertahan menghadapi arus globalisasi? “Seperti diketahui dewasa ini, globalisasi di segala bidang telah melanda dunia. Termasuk globalisasi di bidang kebudayaan. Yang jadi pertanyaan, mampukah kita bertahan dari pengaruh budaya lain yang negatif?” tanya Ahmad Munif.

Merenungkan pertanyaan Ahmad Munif ini mengingatkan penulis pada stamina kebudayaan kita yang barangkali sedang diuji lewat kehadiran budaya tanding. Stamina kebudayaan merupakan “daya hidup” yang menjadi ruh kebudayaan yang dimiliki oleh setiap bangsa.
Menurut budayawan WS. Rendra (2001), sebagai aktor dalam panggung sejarah, manusia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensinya. Daya hidup dalam perspektif kebudayaan, salah satu di antaranya, seperti kemampuan beradaptasi. Kemampuan ini menjadi tolak ukur sejauhmana sebuah kebudayaan akan tetap bertahan di tengah arus perubahan zaman yang sangat ekstrim. Dalam hal ini, apakah kita mampu beradaptasi dengan baik di tengah-tengah tawaran kebudayaan lain yang datang dari luar.

Dalam kepungan arus globalisasi, terutama lewat kehadiran budaya tanding yang tak mungkin dapat ditolak lagi, stamina kebudayaan kita memang harus tetap terjaga. Mungkin benar gagasan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa kita harus mampu menciptakan kebudayaan inklusif. Menurutnya, sikap inklusif dan solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusif dapat terhapus dan digantikan oleh kebersamaan dan solidaritas universal demi membangun kebudayaan baru. Inilah yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana disebut sebagai suatu kebudayaan dunia baru yang inklusif.

Tetapi gagasan ini, menurut penulis, tidak mampu membendung kekuatan arus globalisasi yang telah ditopang oleh tiga pilar: pasar, media, dan modal. Ketika semangat keterbukaan menerima kebudayaan lain tanpa ditopang oleh penguatan akar tradisi lokal, bukannya tidak mungkin bangsa ini bakal tergerus oleh arus budaya tanding yang kadang kelihatan jauh lebih unggul dan menggiurkan. Namun juga sebaliknya, dalam kepungan arus modernitas yang tak mungkin dapat ditolak lagi, sikap melakukan aksi boikot atau mengisolasi diri terhadap kebudayaan dari luar hanya akan mengucilkan bangsa ini dari kemajuan zaman. Pengalaman bangsa China yang telah melakukan isolasi diri terhadap dunia luar menjadi catatan tersendiri. Untunglah, para pemimpin China berhasil mengubah kebijakan pembangunan Negeri Tirai Bambu ini. Bahkan, saat ini negeri China merupakan kekuatan peradaban yang cukup disegani di Timur. Tetapi, bangsa China mulai kehilangan identitas budaya lokal mereka karena terlalu inklusif menerima kebudayaan dari luar.

Dalam konteks ini, untuk menangkal arus globalisasi dan menyelamatkan kebudayaan lokal, gerakan kembali kepada tradisi dengan semangat eksklusif tentu bukan merupakan solusi yang tepat. Begitu juga sebaliknya. Bersikap selalu terbuka terhadap kebudayaan lain tanpa ditopang oleh penguatan akar tradisi lokal hanya akan menyeret bangsa ini ke dalam pusaran arus globalisasi yang kian menjadi-jadi.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, proses adaptasi kebudayaan nasional terhadap kebudayaan lain harus ditopang dengan penguatan akar budaya lokal. Ini bertujuan agar kita tidak menjadi bangsa yang terombang-ambing dalam pusaran arus globalisasi. Sebaliknya, kita juga tidak ingin menjadi bangsa terbelakang hanya karena terlalu eksklusif, apalagi cenderung defensif, terhadap kebudayaan lain yang datang dari luar. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelekt...

Populer