Selasa, 11 September 2018

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito
Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelektual pribumi lulusan pendidikan Belanda yang mengabdi pertama kali di Muhammadiyah pada periode K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Ibrahim. Pertama kali masuk jajaran hoofdbestuur Muhammadiyah pada 1918, Ngabehi Djojosoegito menjabat sebagai Sekretaris I menggantikan posisi Haji Fachrodin. Jabatan Sekretaris II dipegang oleh Moh. Hoesni, seorang intelektual progresif.
Ngabehi Djojosoegito adalah seorang intelektual progresif yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kepada Djojosoegito, Ki Bagus Hadikusumo pernah belajar bahasa Belanda.
Adapun Moh. Hoesni seorang intelektual progresif yang memiliki visi keagamaan modernis. Dalam Peringatan Perkumpulan Tahunan Muhammadiyah tanggal 30 Maret sampai 2 April 1923 di Yogyakarta, dia memberi peringatan dan menyadarkan pengurus dan anggota Muhammadiyah yang baru saja kehilangan pendiri Muhammadiyah. Kata Moh. Hoesni, “Adakah kemajuanmu itu karena K.H. Ahmad Dahlan? Atau adakah kema­juanmu itu karena Allah? Jika kemajuanmu itu karena K.H. Ahmad Dahlan, sekarang ia sudah meninggalkan dunia, meninggalkan kamu, diambil oleh yang mempunyai dan menguasai dia. Tetapi jika kemaju­anmu kepada kebajikan itu karena Allah, ketahuilah, bahwa Allah itu tiada meninggal selama-lamanya.”
Pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Djojosoegito terpilih sebagai Sekretaris I sejak tahun 1918-1922. Selanjutnya, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Djojosoegito menjabat sebagai sekretaris sejak tahun 1923-1928. Pada Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, nama Ngabehi Djojosoegito sudah tidak tercantum dalam daftar hoofdbestuur Muhammadiyah bersama Moh. Hoesni. Sejak tahun 1929, jabatan sekretaris hoofdbestuur Muhammadiyah dipegang oleh M. Junus Anies. Kemudian, pada tanggal 16 Juni 1929, perubahan struktur hoofdbestuur Muhammadiyah menempatkan H. Hasjim sebegai Sekretaris I dan M. Junus Anies sebagai Sekretaris II.
Pada tahun 1924, seorang propagandis Ahmadiyah aliran Lahore bernama Mirza Wali Ahmad Beg berkunjung ke Yogyakarta menyampaikan pandangan keagamaan versi Ahmadiyah di rumah R. Soetopo. Selanjutnya, propagandis Ahmadiyah ini juga mengisi pengajian di Masjid Perempuan Muhammadiyah di Kauman pada tanggal 28 Maret 1924. Pidato Mirza Wali Ahmad Beg sangat modernis sehingga mempengaruhi beberapa aktivis Muhammadiyah yang berhaluan modern. Di antara aktivis Muhammadiyah yang terpengaruh oleh pemikiran Mirza Wali Ahmad Beg adalah Ngabehi Djojoseogito dan Moh. Hoesni.
Pada tahun 1925, Haji Fachrodin melakukan wawancara yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham keagamaan Ahmadiyah. Dalam wawancara tersebut, Mirza Wali Ahmad Beg dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan seputar paham kenabian Ghulam Ahmad. Pada tahun 1926, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah Buya HAMKA, berdebat dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham kontroversial kenabian Ghulam Ahmad. Perdebatan ini dimenangkan oleh Haji Rasul sehingga pendukung Mirza Wali Ahmad Beg terkucilkan. Di antara tokoh Muhammadiyah pendukung Mirza Wali Ahmad Beg ialah Djojosoegito dan Moh. Husni.   
Terhitung sejak Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, nama Ngabehi Djojosoegito dan Moh. Hoesni tidak tercantum dalam daftar hoofdbestuur Muhammadiyah, karena keduanya sudah keluar dari Muhammadiyah dan mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore. Salah satu keputusan Congres Muhammadiyah ke-18 menegaskan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir.”
Djojosoegito dan Moh. Husni dikeluarkan dari hoofdbestuur Muhammadiyah. Atas dukungan Mirza Wali Ahmad Beg, Djojosoegito dan Moh. Husni mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore di Indonesia. Djojosoegito menjabat sebagai ketua pertama.
Organisasi Ahmadiyah aliran Lahore bercorak modern liberal. Ketika umat Islam di Indonesia masih asing dengan al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa selain bahasa Arab, organisasi Ahmadiyah sudah menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Bahkan Djojosoegito menerjemahkan Tafsir Al-Qur’an karya Maulana Muhammad Ali dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa. Tetapi langkah gerakan Ahmadiyah ini kemudian diikuti oleh organisasi Islam modern lain, termasuk Muhammadiyah. [Mu’arif]

Senin, 10 September 2018

KRH. Hadjid, Ulama Kharismatik Muhammadiyah

KRH. Hadjid
K.R.H. Hadjid lahir di Yogyakarta pada tahun 1989. Dia salah seorang santri didikan langsung dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Setelah ber-Sekolah Rendah umum dan belajar Agama, beliau naik haji ke Makkah sambil mengaji di sana. Kembali dari Makkah, mengaji di Pesantren Jamsaren dan Madrasah Mambaul Ulum di Solo. Kemudian pindah ke Pesantren Termas, Pacitan dan Madrasah Al-Atas di Jakarta. Selama lima tahun, dari tahun 1917-1922, beliau menjadi santri langsung dari K.H. Ahmad Dahlan, untuk menjadi kader Muhammadiyah. Beliau banyak belajar sendiri dengan cara membaca dan melakukan munadharah dengan K.H. Bakir Shaleh.
Dalam Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid mendapat tugas khusus dari K.H. Ahmad Dahlan bersama dengan K.H. Mochtar dan H.M. Syarbini membentuk kepanduan Muhammadiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Hizbul Wathan (HW). Hizbul Wathan adalah usul K.R.H. Hadjid untuk memberi nama kepanduan ini. K.R.H. Hadjid bersama K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dalam proses penerbitan majalah Suara Muhammadiyah sebagai redaksi. Dalam box redaksi Suara Muhammadiyah tahun 1921, nama K.R.H. Hadjid tercantum sebagai redaksi bersama K.H. Ahmad Dahlan, H.M. Hisyam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, dan Ngabehi Djojosoegito.
K.R.H. Hadjid pernah menjadi guru Standaard School dan HIS Muhammadiyah. Kemudian dia  pernah menjadi Kepala Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Yogyakarta. Pernah juga menjadi dosen di Akademi Tabligh yang kemudian menjadi FIAD Universitas Muhammadiyah.
Dalam kepengurusan Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Ketua Majlis Tabligh. Jabatan terakhirnya adalah sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (periode H.M. Junus Anies).
Di samping aktif di Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid bergerak di bidang politik dengan terjun di Sarekat Islam (SI) bersama K.H. Ahmad Dahlan. K.R.H. Hadjid aktif menentang kebijakan Ordonansi Sekolah Liar untuk menghambat perkembangan sekolah-sekolah swasta bersama Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya.
Bersama Haji Fachrodin, K.R.H. Hadjid pernah menjabat sebagai Ketua Bestuur Umat Islam yang menggelar pawai akbar di Alun-alun Utara dalam rangka peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw pada tahun 1925. Pawai akbar peringatan Isra Mi’raj pada tahun 1925 sangat fenomenal karena sebanyak 35.000 kaum Muslimin berhasil dikumpulkan di Alun-alun Utara Yogyakarta. Di tangan masing-masing peserta pawai tergenggam bendera hijau berlambang matahari dan dua kalimah syahadat. Seribu orang Pandu Hizbul-Wathan siap dengan terompet dan genderang untuk menjadi pelopor pawai. Tetapi pawai akbar ini gagal karena Resident Yogyakarta tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan kegiatan massal ini.     
Pada masa pendudukan Jepang, mendekati persiapan kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Masyumi (belum jadi partai), K.R.H. Hadjid menjadi ketua Masyumi Yogyakarta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dibentuk Komite Nasional lndonesia (KNI) di daerah-daerah, beliau menjadi Wakil Ketua II KNI Yogyakarta dengan ketua Mohammad Saleh Werdisastro.
Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, K.R.H. Hadjid aktif berjuang angkat senjata. Beliau ikut membentuk Markas Ulama dan menjadi Wakil Imam Angkatan Perang Sabil (APS). K.R.H. Hadjid juga menjadi ketua Hizbullah periode pertama.
Ketika terbentuk Partai Islam Masyumi, K.H. Hadjid menjadi Makil Ketua Majlis Syura Pusat dan pada tahun 1957 menjadi anggota Konstituante dari Fraksi
Masyumi.
K.H.R. Hadjid meninggal dunia pada malam Jumat tanggal 22 Desember 1977 di rumah kediamannya di Kauman GM 4/189 setelah sebelumnya pernah dirawat di RS PKU Muhammadiyah. Beliau meninggalkan 10 putra-putri, 21 cucu dan 7 orang cicit. Putra sulung beliau H.R. Haiban Hadjid, mantan Kepala Jawatan Pendidikan Agama DIY dan ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah DIY. Putra beliau, M. Zar’an Hadjid, seorang Panca dan Legium Veteran. [Mu’arif]

Minggu, 09 September 2018

Tan Malaka: Ki Bagus Hadikusuma Sang Penyejuk

Ki Bagus Hadikusuma
Selain aktif sebagai muballigh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif di Sarekat Islam (SI). Dalam sebuah pertemuan besar tokoh-tokoh SI, Ki Bagus Hadikusumo tampil sebagai penengah. Perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh SI-Merah dan SI-Putih mengancam perpecahan dalam tubuh SI. Ki Bagus tampil sebagai penenang di antara dua kelompok yang sedang bertikai. Ki Bagus mengatakan bahwa pada saat genting, umat Islam perlu persatuan dalam perjuangan. Dia sempat mengecam dan menganggap sesat orang Islam yang tidak menyetujui persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Tan Malaka, seorang tokoh Sosialis yang misterius, dalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara, menyebut Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh “penyejuk.” 
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Yogyakarta pada hari Senin tanggal 24 November 1890 M dengan nama kecil Hidayat. Beliau adalah putra dari R.H. Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Hidayat adalah adik kandung H. Syuja’ (Daniel) dan H. Fachrodin (Djazuli). Pendidikan Ki Bagus hanya SD, kemudian masuk pondok pesantren di Wonokromo dan Pekalongan. Pernah menjadi ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian Tabligh pada 1923, ketua Majlis Tarjih pada masa kepemimpinan K.H. Hisyam, dan Wakil Ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur, dan mendapat amanat sebagai ketua HB Muhammadiyah periode 1944-1953. 
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan. K.H. Mas Mansur dipercaya sebagai salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bentukan Jepang. Dia terpaksa harus pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua HB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Dia menerima penyerahan kepemimpinan dari K.H. Mas Mansur dan menempatkan K.H. Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketua.
Ki Bagus Hadikusumo dipilih sebagai ketua HB Muhammadiyah pada tahun 1944 dalam Pertemuan Silaturahmi Muhammadiyah se-Jawa, karena memang beliau yang bersemangat menghidupkan kembali Muhammadiyah setelah dibekukan oleh Jepang. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Ki Bagus Hadikusumo kembali terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD). Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”
Dalam perdebatan di sidang PPKI, Ki Bagus terkesan kolot dan kaku. Dia adalah tokoh yang paling keras memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara. Salah satu yang membedakan Ki Bagus dengan tokoh yang lain ialah sikapnya yang “keras kepala.” Namun demikian, dia juga memiliki pandangan yang luas tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Dia paham tentang keberagaman masyarakat di sekelilingnya. Keberagaman apabila tidak disikapi dengan cara bijaksana akan menyebabkan perpecahan. Dia paham betul bagaimana rentannya perselisihan golongan, baik suku, ras, maupun agama pada saat itu. Dengan penuh kelapangan hati, dia kemudian rela mengalah untuk menerima penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, sehingga Dasar Negara Indonesia, terutama sila pertama, “Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa.
Meskipun secara eksplisit tidak dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Bersama dengan Profesor K.H. Abdul Kahar Muzakkir, beliau menerima Pancasila dengan syarat Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai Tauhid. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Ki Bagus Hadikusumo cukup produktif menulis buku. Beberapa buku karangannya antara lain, Islam Sebagai Dasar Negara, Achlaq Pemimpin, Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Ki Bagus Hadikusumo wafat pada hari Jumat 3 September 1954. [Mu'arif]

Sabtu, 08 September 2018

KH. Mas Mansur: 'Sapu Kawat' dari Jawa Timur

KH Mas Mansur
“Sudah kita pegang sapu kawat Jawa Timur!” tegas KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya pasca pertemuan dengan KH Mas Mansur di Surabaya pada tahun 1920. Julukan “sapu kawat” kepada Mas Mansur masih mengundang pertanyaan hingga kini. Apakah julukan tersebut berarti sesuatu yang kuat (layaknya sapu terbuat dari kawat) atau menunjukkan arti sebuah alat (sapu) yang berasal dari kampung Kawatan (tempat Mas Mansur mengajar di Nahdlatul Wathan). Yang jelas, pasca pertemuan satu malam tersebut, Ahmad Dahlan menaruh optimis bahwa Muhammadiyah di Jawa Timur akan berkembang pesat lewat Mas Mansur.
Kisah pertemuan dua tokoh besar ini bukan tanpa disengaja. Setelah kurang lebih empat tahun belajar agama di Mesir, Mas Mansur pulang ke Surabaya. Di tanah air, Sarekat Islam (SI) di Solo sedang redup. H.O.S. Tjokroaminoto yang memegang kendali SI cabang Surabaya mengajak Mas Mansur bergabung dalam organisasi ini. Selama di Mesir, dia banyak terpengaruh oleh gerakan nasionalisme yang sedang tumbuh, sehingga tawaran Tjokro diterima dengan senang hati. Bersama Tjokro, Mas Mansur membentuk Tanbihul Ghafilin, sebuah organisasi tabligh di bawah struktur SI cabang Surabaya (Saleh Said, 1952: 6).
Tidak hanya bergabung dengan Tjokro, Mas Mansur berbagung bersama KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Majelis ini telah mengilhami lahirnya Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang bergerak di bidang pendidikan. Tetapi karena perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah ijtihad dan khilafiyah menyebabkan Mas Mansur memutuskan keluar dari Taswir al-Afkar.
Berbarengan dengan pembentukan Tanbihul Ghafilin, di pesantren Pabean, Cantikan, berdiri sebuah perkumpulan bernama Ihyaus Sunnah (S. Edy, 1952: 30). Pendirinya Fakih Hasyim, seorang ulama dari kota Padang yang mengajar di pesantren Pabean milik Haji Ali. Dia banyak mengritik tradisi keagamaan di Surabaya yang mulai menjauh dari dasar-dasar pokoknya. Reaksi keras datang dari kelompok Islam tradisional setelah Fakih Hasyim giat menyampaikan dakwahnya. Pondok Pabean dikecam karena menjadi pusat paham baru. Pada saat itulah, Haji Ali mendapat kabar bahwa di Yogyakarta terdapat seorang ulama besar yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Dialah KH Ahmad Dahlan, pendiri dan president Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Ahmad Dahlan melakukan kunjungan tabligh pertama kali ke Surabaya pada 1920 atas undangan Haji Ali. Pengasuh pesantren Pabean dan pengurus perkumpulan Ihyaus Sunnah mengundang ulama-ulama setempat untuk mengikuti tabligh akbar tersebut. Di antara para ulama yang diundang tampak seorang ulama muda dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi. Mengenakan peci hitam memakai kain sarung. Dia mengikuti jalannya pengajian dengan serius. Di ujung ceramah Ahmad Dahlan, ulama muda tersebut mengajukan pertanyaan. “Mengingat kerusakan masyarakat dan kemerosotan derajat bangsa, bagaimana cara mengatasi keadaan masyarakat yang demikian itu?”
“Obatnya tidak lain ialah ini!” jawab Ahmad Dahlan seraya menunjukkan Al-Qur’an kepada para hadirin. “Kaji isinya dengan betul-betul! Pergunakan segala ilmu untuk mengetahui mukjizat yang tersimpan di dalamnya. “Amalkan! Amalkan! Tidak cukup dengan hanya pandai membaca, yang harus tepat kena pula makhrajnya, dan melagukan dengan suara merdu! Pergunakan otak dan mata hati untuk menyelami isi Al-Qur’an, niscaya kita tahu rahasia alam, yang sengaja dibuat untuk manusia, yang dititahkan Rabbul ‘Alamin”, terangnya.
Ulama muda yang cukup serius mengikuti pengajian Ahmad Dahlan menganggukkan kepala. Dialah Mas Mansur. Mula-mula, Ahmad Dahlan menginap di sebuah hotel di Surabaya, tetapi setelah Mas Mansur mengetahui informasi tersebut, dia lantas menawarkan untuk menginap di rumahnya. Menurut Mas Mansur, seorang ulama besar tidak pantas menginap di sebuah hotel. Tawaran menginap di rumah Mas Mansur diterima dengan baik oleh Ahmad Dahlan bersama rombongan Hoofdbestuur Muhammadiyah. Dengan menawarkan menginap di rumahnya, Mas Mansur mendapat kesempatan waktu lebih banyak untuk bertukar pikiran mengenai persoalan-persoalan keagamaan dan bagaimana jalan mengentaskan kondisi bangsa.
Memang tak banyak sumber-sumber yang merekam proses dialog antara Ahmad Dahlan dengan Mas Mansur selama menginap di rumahnya. Tetapi, sebuah sumber sempat menyebutkan bahwa pasca menginap di rumah Mas Mansur, Ahmad Dahlan mengatakan kepada murid-murinya, “Sudah kita pegang sapu kawat Jawa Timur!” (Junus Salam, 1968: 58).
Julukan ”sapu kawat dari Jawa Timur” memang sepadan dengan pribadi Mas Mansur. Selain memiliki kepribadian kuat, Mas Mansur adalah tokoh pemikir dan aktivis pergerakan nasional. Dialah tokoh pertama dari luar Yogyakarta yang mendapat amanat menjabat sebagai president Hoofdbestuur Muhammadiyah pasca kepemimpinan Haji Hisyam. Kiprah Mas Mansur cukup diperhitungkan dalam pergerakan nasional, seperti ketika pembentukan Partai Islam Indonesia (PII), Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Di Muhammadiyah, Mas Mansur pertama kali mencetuskan pemikiran ideologis dalam sebuah pengajian yang digelar secara rutin malam Selasa (Cursus Hoofdbestuur Moehammadijah) pada tahun 1939. Buah pemikiran Mas Mansur ini kemudian diabadikan oleh Majlis Taman Pustaka dalam buku Tafsir Langkah Muhammadiyah Tahun 1938–1940.
Kini, buah pemikiran dari tokoh dengan julukan ”sapu kawat dari Jawa Timur” itu masih kokoh menopang struktur ideologi gerakan Muhammadiyah, yang pada tahun ini telah melewati usia 106 tahun. [Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id]  

Jumat, 07 September 2018

KH. Abdurrahman, Perintis Muhammadiyah Pekajangan

KH Abdurrahman
Awal abad 20, kampung Pekajangan tak menarik perhatian banyak orang. Kampung yang terletak di sebelah selatan kota Pekalongan ini terpencil, penduduknya juga tak banyak. Mata pencaharian utama penduduknya bertani, tapi hasil panen padi tak pernah mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi seabad silam ternyata telah berubah setelah Pekajangan menjadi sentra industri kerajinan Batik yang pada awal abad 20 hanya sebatas mata pencaharian sambilan. Bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi di kampung ini, lahir perkumpulan Ambudi Agama sebagai gerakan keagamaan tradisionalis yang di kemudian hari bergabung dengan persyarikatan Muhammadiyah.

KH. Abdurrahman
Pada awal abad 20, mata pencaharian penduduk Pekajangan adalah bertani. Tetapi sebagian kecil dari keluarga di kampung ini menekuni kerajinan tangan. Di antara produk kerajinan tangan penduduk Pekajangan adalah tenun setagen (ikat pinggang perempuan) dan kain batik (batikkerij/batikhandel). Lahirnya industri rumah tangga memunculkan kelompok sosial baru, yaitu kelas pedagang. Salah satu pengusaha muda di Pekajangan bernama KH Abdurrahman. Dia pengusaha batik dan kerajinan tangan yang mendirikan perkumpulan Ambudi Agama di Pekajangan. 
KH Abdurrahman lahir pada tahun 1879. Dia lahir di Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan, dengan nama kecil Mutaman. Pada masa mudanya, Mutaman pernah mengaji kepada Kiyai Amin di Banyuurip, kemudian kepada Kiyai Agus di Kenajagan, dan kepada Kiyai Abdurrahman Thaif di Wonoyoso. Terakhir, Mutaman belajar agama kepada Kiyai Idris di Pondok Jamsaren, Solo (RM Soediardjo dkk, 1968: 9).
Mutaman menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan ibadah haji pertama kali pada tahun 1903. Sejak saat itulah namanya telah berganti menjadi Haji Abdurrahman. Setelah menunaikan ibadah haji pertama, Haji Abdurrahman menekuni profesi sebagai pedagang batik dan tenun setagen yang dijual ke luar kota Pekalongan. Jaringan perdagangannya cukup luas meliputi beberapa kota besar di Jawa.
Haji Abdurrahman mulai merintis pengajian agama di desanya setelah menunaikan ibadah haji yang kedua kali pada tahun 1921 bersama istri tercinta, Nyai Shofiyah. Dia dibantu kawan-kawannya menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional bernama Ambudi Agama. Pelajaran pokok yang diajarkan meliputi ‘aqaid 50 dan sifat 20 bakal weruh gusti Allah (akan melihat Allah). Dari materi yang disampaikan, tampaknya, lembaga pendidikan yang didirikan Haji Abdurrahman lebih mendalami akidah dan tasawuf. Setelah sukses menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional, Haji Abdurrahman mendapat julukan “Kiyai” dari para santrinya.
Lembaga pendidikan yang dirintis KH Abdurrahman sedang tumbuh, tetapi tantangan datang dari pemerintah kolonial. Sekolah agama yang baru saja dirintis langsung dibubarkan oleh pemerintah. Peraturan pemerintah kolonial (staatblad 1905) menegaskan, seluruh aktivitas pengajaran yang diselenggarakan oleh kaum bumiputra dianggap liar. Pemerintah kolonial menyatakan sekolah-sekolah swasta ilegal dan wajib dibubarkan. Sedangkan tenaga pengajar yang tidak mendapat izin mengajar ditangkap. Kebijakan Goeroe Ordonantie memang bertujuan membatasi jumlah guru agama di sekolah-sekolah bumiputra yang tidak dikelola oleh pemerintah.
KH Abdurrahman sempat mendengar di Yogyakarta telah berdiri persyarikatan Muhammadiyah yang bisa mengatasi kendala-kendala akibat diterapkannya staatblad 1905. Ia sendiri sempat ragu, apakah persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu sebuah perkumpulan Islam atau bukan. Chumasi Hardjosubroto, kawan dekat KH Abdurrahman, membisikkan pesan kepadanya bahwa Persyarikatan Muhammadiyah adalah ”Perkumpulan Kristen.” Hardjosubroto sempat mencegah KH Abdurrahman yang berniat hendak pergi ke Yogyakarta menemui para pimpinan Muhammadiyah. Namun, dengan keyakinan teguh, pendiri perkumpulan Ambudi Agama tersebut memberanikan diri berkunjung ke kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah yang beralamat di Kauman no 44. Dia datang ke Yogyakarta diantar oleh Kiyai Asmu’i, kawan dekatnya mantan lurah di Pondok Jamsaren, Solo.
Di kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah, KH Abdurrahman disambut oleh Haji Mochtar, Haji Abdurrahman Machdun, Haji Wasool Dja’far, dan lain-lain. Dalam kesempatan tersebut, KH Abdurrahman langsung ber-tabayyun, menanyakan apa dan bagaimana sesungguhnya persyarikatan Muhammadiyah. Lantas dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Mendengar penjelasan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah, KH Abdurrahman langsung insaf. Ia baru sadar bahwa anggapan yang telah tersiar di masyarakat Pekajangan tentang Muhammadiyah sebagai ”Perkumpulan Kristen” salah besar.
Dalam kesempatan tersebut, KH Abdurrahman mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapi selama menyelenggarakan pengajian di bawah perkumpulan Ambudi Agama yang dipimpinnya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan lembaga pendidikannya dari penerapan kebijakan kolonial (staatblad 1905). Tetapi, tokoh Pekajangan ini sangat tertarik dengan usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah di Yogyakarta. Terbetik dalam pikirannya untuk mendirikan Muhammadiyah cabang (kring) Pekajangan.

Muhammadiyah Pekajangan
Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta menyambut baik niat KH Abdurrahman untuk mendirikan cabang di Pekajangan. Dijelaskan bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan (organisasi) yang mendapat izin resmi dari pemerintah (besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914) yang diperkenankan mendirikan cabang-cabang untuk menyelenggarakan pendidikan atau pengajaran agama, penyantunan fakir-miskin, mendirikan panti asuhan dan poliklinik. Akhirnya, KH Abdurrahman pulang ke Pekajangan dengan hati mantap. Dia rela melebur perkumpulan Ambudi Agama menjadi cabang Muhammadiyah di desanya. Pada 15 November 1922, Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta mengeluarkan surat keputusan berdirinya Muhammadiyah cabang Pekajangan.
Di bawah Persyarikatan Muhammadiyah cabang Pekajangan, seluruh kegiatan yang dirintis KH Abdurrahman berjalan lancar. Pemerintah kolonial tidak bisa membubarkan setiap kegiatan pengajian, karena Muhammadiyah adalah organisasi resmi yang mendapat izin dan pengakuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda (AWF Idenburg). Di bawah bendera Muhammadiyah, KH Abdurrahman merasakan kenyamanan berdakwah tanpa mendapat rintangan dari pemerintah kolonial.
Inilah salah faktor yang menyebabkan Muhammadiyah pada masa KH Ahmad Dahlan mampu memikat perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal yang mendapat tantangan berat dari pemerintah kolonial untuk bergabung di bawah bendera Muhammadiyah. Di samping memiliki visi Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah mampu menawarkan solusi cerdas yang tidak dimiliki oleh perkumpulan atau organisasi Islam lain di tanah air ini.

Kini, masihkah Muhammadiyah memiliki visi Islam berkemajuan dan daya pikat bagi perkumpulan-perkumpulan lain untuk bergabung di bawah panji-panjinya? [Mu'arif]

Kamis, 06 September 2018

Siti Umniyah, Perintis TK ABA

Siti Umniyah
Sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan Hoofdpenghulu dari Mohammad Khalil Kamaludiningrat kepada Mohammad Kamaludiningrat (Ahmad Adaby Darban, 2000: 41-43), gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah dapat dipergunakan sebagai wadah tabligh. Sebelumnya, Bangsal Priyayi adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu (Mohammad Kamaludiningrat), Bangsal Priyayi menjadi tempat terbuka bagi umat Islam, bahkan menjadi sentra penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah. Di Bangsal Priyayi inilah berlangsung kegiatan belajar khusus untuk anak-anak (Dirasatul Banat—salah satu departemen dalam Siswo Proyo Wanito), tepatnya di masa awal diselenggarakannya pendidikan khusus anak yang kemudian disebut Bustanul Athfal, yang dirintis salah satunya oleh putri K.H. Sangidu. Dialah Siti Umniyah, salah seorang perintis Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA).

Siti Umniyah
Siti Umniyah binti K.H. Sangidu lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 29 Agustus 1905 (H.A. Basuni, 1972). Umniyah putri Kiai Sangidu dari istrinya, Siti Jauhariyah (putri K.H. Sholeh, kakak ipar K.H. Ahmad Dahlan). Dari pernikahannya ini, keduanya dikaruniai tujuh anak: Umniyah, Darim, Wardan, Janah, Jundi, Burhanah, dan War’iyah (Wawancara dengan Djadwan pada 8 Mei 2010). Umniyah, termasuk murid perempuan yang langsung mendapat didikan dari Kiai Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah ini pula yang menyuruhnya mengenakan kerudung. Saat itu, tak banyak perempuan di Kauman memakai kerudung. Umniyah berkerudung memakai kain songket khas Kauman, dengan bordir motif bunga di samping tengah, sehingga terlihat apik begitu dipakai, bordir bunga akan menghias tepat di ujung depan sepanjang garis muka.
Pada tahun 1913, K.H. Ahmad Dahlan berhasil menyakinkan tiga gadis Kauman untuk menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan (Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah). Selain memasukkan tiga gadis Kauman ke sekolah umum, K.H. Ahmad Dahlan juga mengelola Madrasah Diniyah Ibtidaiyah di rumahnya. Di antara murid-murid pertama Madrasah Diniyah Ibtidaiyah adalah Siti Munjiyah dan Siti Umniyah. Kelak, Munjiyah yang notabene lulusan Madrasah Diniyah Ibtidaiyah pada tahun 1929 berhasil mengharumkan nama Muhammadiyah (Aisyiyah) dalam momentum Kongres Perempuan pertama di Mataram (Yogyakarta). Sedangkan Umniyah berkiprah di internal Muhammadiyah, khususnya lewat organisasi Aisyiyah yang diawali dari kiprahnya di Siswo Proyo Wanito (cikal bakal Nasyi’atul Aisyiyah).    
Selain Siti Munjiyah, saudara kandung Haji Fachrodin, Siti Umniyah mendapat gemblengan langsung di sekolah agama yang dirintis Kiai Ahmad Dahlan. Sementara gadis-gadis di Kauman yang lain, seperti Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Wadingah, dimasukkan ke Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Baik yang bersekolah umum (Sekolah Netral), atau sekolah agama (Madrasah Diniyah), dimaksudkan untuk saling melengkapi dalam proses kaderisasi oleh Kiai Ahmad Dahlan.
Tiga tahun rampung dari Madrasah Diniyah, Umniyah melanjutkan ke Al-Qismul Arqa, sekolah yang dimaksudkan untuk melatih kader muballigh dan guru agama Muhammadiyah. Jumlah murid Al-Qismul Arqa tak banyak, hanya 10 orang (6 laki-laki 4 perempuan). Mereka adalah tamatan Madrasah Diniyah dan Sekolah Standar di Suronatan. Umniyah termasuk satu dari empat murid perempuan yang berhasil menamatkan pendidikannya di Al-Qismul Arqa pada tahun 1924, sekalipun dengan kondisi susah payah karena menikah dan dalam kondisi sedang mengandung putra sulungnya. Sedangkan tiga murid perempuan lainnya berhenti sekolah begitu menikah dan punya anak (H.Mh. Mawardi, 1978).
Setamat Al-Qismul Arqa, Siti Umniyah menjadi guru di Kweekschool Muhammadiyah (bagian putri)—di kemudian hari menjadi Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta—sampai tahun 1954. Ia termasuk guru generasi awal Mu’allimat. Mulai tahun 1940, ia membuka asrama di rumahnya, tetapi sempat terhenti ketika agresi militer II Belanda, dan asrama kembali dibuka setelah situasi memungkinkan.

Merintis TK ABA
Hasil proses kaderisasi Kiai Dahlan pada diri Siti Umniyah dapat dilihat dalam kiprahnya di Siswa Praja Wanita (SPW) yang kemudian berubah menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (1931). Siti Umniyah bersama Siti Wasilah, Siti Zuchrijah, Siti Sa’adah, Siti Djalalah, dan beberapa teman lainnya membangun dan menggerakkan Siswa Praja Wanita.
SPW adalah kumpulan remaja putri oleh anak-anak perempuan di Kauman. Dibangun tahun 1919 (lihat Taman Nasjiah, no. 3, Th. II, September 1940), dengan kegiatan-kegiatan seperti berpidato, mengaji, berkumpul, berjama’ah sembahyang Subuh, serta beberapa kegiatan lain. Siti Wasilah terpilih sebagai pimpinan pertama SPW. Namun, baru lima bulan menjadi pimpinan SPW, Siti Wasilah kemudian undur diri karena menikah dengan R.H. Hadjid.
Setelah Siti Wasilah Hadjid undur diri dari kepemimpinan SPW, Siti Umniyah yang melanjutkan estafet kepemimpinan. Di bawah kepemimpinan Umniyah, markas SPW dipindah dari Mushalla Aisyiyah ke rumahnya di nDalem Pengulon. Kegiatan-kegiatan SPW semakin berkembang, bahkan di bawah kepemimpinan Umniyah dibentuk divisi/departemen meliputi Thalabussa’adah, Tajmilul Akhlak, dan Dirasatul Banat. Dari divisi Dirasatul Banat inilah, Umniyah dan kawan-kawan menginisiasi program pendidikan untuk anak-anak usia dini—yang kemudian dikenal dengan Bustanul Athfal (Frobel School). Pada awalnya, Bustanul Athfal bertempat di rumah Siti Umniyah, tepatnya di muka rumahnya, lalu berpindah ke belakang rumah, satu tempat dengan markas SPW. Sekolah Bustanul Athfal yang tadinya berlangsung sore hari, diubah menjadi pagi hari.
Awalnya, Sekolah Bustanul Athfal juga bertempat di rumah Siti Umniyah, tepatnya di muka rumah, lalu berpindah ke belakang rumah, satu tempat dengan markas SPW. Sekolah Bustanul Athfal yang tadinya berlangsung sore hari, diubah menjadi pagi hari. Cukup lama Umniyah memimpin SPW, baru sekitar tahun 1929, atau hampir 10 tahun dari berdirinya SPW, Zoechrijah menggantikannya menjadi pimpinan SPW.
Mengutip majalah Taman Nasjiah nomor 3 tahun II, September 1940, di bawah kepemimpinan Siti Umniyah, “SPW makin lama makin bertambah maju sehingga mempunyai tambahan gerakan, ialah Tholabussa’adah, Tajmilul Achlaq, dan Dirasatul Banat, kemudian dapat mendirikan pula sekolahan Bustaanul Athfaal.” (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Rabu, 05 September 2018

Siti Badilah Zubair: Guru, Wartawati, dan Aktivis Aisyiyah

Siti Badilah Zubair
Pada tahun 1913, tiga gadis yang mengawali tradisi baru di kampung Kauman dengan cara melanjutkan studi ke sekolah netral ialah Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah. Keberhasilan tiga gadis Kauman ini dalam menuntut ilmu di sekolah umum kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya, yaitu Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, dan Siti Badilah (Ahmad Adaby Darban, 2000: 47).
Empat tahun kemudian (1917), gadis-gadis Kauman yang telah mendapat pendidikan umum tergugah kesadaran mereka untuk merintis pergerakan perempuan Islam. Dalam sebuah pertemuan dengan jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah yang diselenggarakan pada tahun 1917, para gadis Kauman tersebut mengajukan usul pembentukan organisasi perempuan. Mereka mendiskusikan dengan para tokoh Muhammadiyah dalam rangka pembentukan sebuah organisasi yang mewadahi aspirasi kaum perempuan di Muhammadiyah (Baca “Tarich Moehammadijah dan ‘Aisjijah.” Soeara ‘Aisjijah no. 10 Tahun XV/Oktober 1940). Di antara para gadis Kauman yang hadir dalam pertemuan penting tersebut adalah Siti Badilah.

Siti Badilah
Siti Badilah lahir di Yogyakarta pada tahun 1904. Dia termasuk salah satu dari 6 murid perempuan Kiai Ahmad Dahlan yang disiapkan sebagai kader-kader pimpinan perempuan Islam. Mereka inilah murid-murid lulusan Sekolah Netral yang pada sore harinya dikumpulkan oleh Kiai Dahlan untuk digembleng dengan pelajaraan keagamaan lewat cursus singkat. Cursus singkat membaca al-Qur’an inilah yang kemudian berkembang menjadi perkumpulan Sapa Tresna.
Selain mengasai ilmu-ilmu agama, ternyata Kiai Ahmad Dahlan seorang pendidik yang humanis. Di rumahnya disediakan berbagai macam alat permainan untuk anak-anak. Selama belajar dan mengaji di rumah Kiai Dahlan, anak-anak dipersilahkan menyalurkan bakat dan hobi masing-masing, misalnya menyanyi, bermain musik, mengarang, dan menggambar. Namun, Kyai Dahlan berpesan, jika waktu shalat tiba, seluruh kegiatan bermain harus dihentikan (Wawancara Syukriyanto A.R. dan Cholifah Syukri dengan Ibu Hj. Badilah Zuber tahun 1982-1983). Karakter Kiai Ahmad Dahlan sebagai seorang guru yang humanis juga tampak dalam proses pengaji atau belajar. Beliau sangat memperhatikan anak-anak muda, terutama mereka yang memiliki karakter ngeyelan (kritis). Menurutnya, karakter ngeyel dipandang sebagai potensi kejiwaan yang positif. Dalam suasana pengajian yang kritis didampingi oleh seorang guru atau kiai yang humanis seperti itulah Siti Badilah mendapatkan pelajaran agama.
Selain pendidikan di Sekolah Netral, Siti Badilah mendapat pendidikan di MULO. Dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah no. 13 tahun ke-59/1979, Siti Badilah mengaku bahwa di samping mendapat didikan langsung dari Kiai Ahmad Dahlan, beliau juga mendapat didikan dari guru-guru di MULO yang dikenal progresif. ”Guru-guru pada masa itu betul-betul ahli sehingga segala pelajaran yang diberikan benar-benar terikat di otak para pelajar”, kata Badilah Zubair. “Hingga sekarang, semua pelajaran yang diberikan ketika saya mula-mula sekali masuk MULO masih terbayang jelas dan melekat di ingatan saya”, kesannya.
Selama belajar di MULO, Badilah dikenal sebagai siswi pemberani. Menurut penuturannya, semasa masih sekolah di MULO, pernah Badilah mendapat nilai jelek. Karena setiap murid diajarkan bagaimana mendapatkan hak-haknya selama belajar, Badilah memberanikan diri menanyakan perihal nilai raportnya yang jelek. Badilah merasa aktif mengikuti proses belajar dan dalam setiap ulangan selalu mendapat nilai bagus. Setelah sang guru memeriksa kembali catatan-catatan nilai Badilah, ternyata benar bahwa telah terjadi kekeliruan dalam penulisan nilai di raportnya.     
Usia Siti Badilah terpaut satu tahun lebih muda dibanding Siti Aisyah, putri Kiai Dahlan. Sejak muda hingga memasuki usia senja, Badilah tetap gemar membaca dan berdakwah. Berbeda dengan Siti Aisyah, Badilah memiliki mata yang awas, sehingga tidak memakai kaca mata minus hingga usia senja, meskipun memiliki hobi membaca.
Setamat dari MULO, Siti Badilah sering mendapat tugas dari Kiai Ahmad Dahlan untuk bertabligh di kalangan kaum terpelajar. Siti Badilah sering ditugasi bertabligh di Kweekschool, baik di Yogyakarta maupun di luar kota. Konon, sebelum bertabligh, Badilah selalu mempersiapkan materi pengajian dengan membaca buku dan ensiklopedi, baik yang menggunakan bahasa Belanda maupun bahasa Inggris.

Peran di Aisyiyah
Siti Badilah termasuk salah satu di antara gadis-gadis Kauman yang menghadiri pertemuan sewaktu HB Muhammadiyah membentuk bahagian ’Asiyiyah pada 1917. Bahkan, dalam pembentukan struktur HB Aisyiyah pertama, Siti Badilah tercatat sebagai penulis (secretaris) (Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII). Adapun ketuanya dipercayakan kepada Siti Bariyah. Pada tahun 1926, ketika HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah memutuskan untuk menerbitkan majalah Soeara ’Aisjijah, Siti Badilah termasuk di antara empat jajaran redaksi pertama bersama Siti Juhainah (pimred), Siti Aisjah, dan Siti Jalalah (baca “Riwajat Soeara ‘Aisjijah.” Soeara ‘Aisjijah no. 10 tahun 1940).
Dalam kongres perempuan pertama di Mataram (Yogyakarta) pada tahun 1928, Badilah memang tidak masuk dalam struktur panitia penyelenggara. Akan tetapi, dia bersama utusan HB Aisyiyah ikut sebagai undangan atau anggota kongres. Sekalipun tidak terlibat dalam turut dalam kepanitian kongres perempuan pertama kali di tanah air ini, tetapi Badilah dan jajaran HB Aisyiyah turut menyukseskan kongres yang dinilai sukses oleh pemerintah kolonial pada waktu itu.
Siti Badilah berkali-kali terlibat dalam struktur Aisyiyah, bahkan sejak kepemimpinan Siti Bariyah (1917-1920) pun dia sudah terlibat aktif dalam jajaran HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah. Dalam kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta (1941), Badilah mendapat amanat sebagai ketua Majelis Aisyiyah untuk periode 1941-1943 (Soeara Moehammadijah no. 5 Th ke XXIII/Dj. Awal 1360 (Juni 1941).“Keputusan Muktamar Muhammadijah ke-31 di Yogyakarta tahun 1951 memilih dan menetapkan Siti Badilah sebagai ketua Aisyiyah untuk periode 1951-1953. Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto pada tahun 1953 kembali memilih Siti Badilah sebagai ketua Aisyiyah.
Sekalipun sudah tidak menjabat sebagai pimpinan di Aisyiyah, Badilah tetap semangat berjuang di Muhammadiyah. Semangatnya terinspirasi dari para tokoh perintis Muhammadiyah yang berani mengorbankan segala-galanya. ”Orang-orang Muhammadiyah tidak hanya merelakan harta benda dan waktunya untuk muhammadiyah, tetapi dirinya juga direlakan. Seorang bapak mengorbankan seluruh waktunya untuk Muhammadiyah dan si ibu berjuang memenuhi keperluan hidup rumah tangga. Sebaliknya, bila ibu yang berdakwah untuk Muhammadiyah, maka si bapak yang mencukupi segala keperluan rumah tangga, ” kata Badilah Zubair bersemangat.     
Suami Siti Badilah, H. Zubair, adalah misan dari Kiai Ahmad Dahlan. Anak-anak Siti Badilah Zubair empat orang: Zahanah, Baroidah (meninggal dunia dalam usia delapan belas bulan), Wusthon (pensiunan ABRI dengan pangkat Mayor yang aktif sejak masa PETA), dan Arshan yang gugur ketika pendudukan Belanda di Yogyakarta. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Selasa, 04 September 2018

Kiai Sangidu, Sang Penghulu Reformis

Kiai Sangidu
Sewaktu Hanung Bramantyo menyusun skenario film Sang Pencerah, beberapa sesepuh Kauman dikumpulkan di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jalan K.H.A. Dahlan untuk menyelidiki karakter beberapa tokoh yang sedianya akan ditampilkan dalam film tersebut. Penulis menjadi salah satu narasumber yang memberikan informasi seputar karakter Haji Fachrodin dan Haji Syujak. Ketika memasuki pembahasan konflik antara K.H. Ahmad Dahlan dan Hoofdpenghulu Kraton Yogyakarta, beberapa narasumber mulai saling lempar dugaan. Para narasumber mulai kesulitan untuk mengidentifikasi karakter Hoofdpenghulu Kraton yang bernama Kamaludiningrat. Sebagian narasumber menilai Hoofdpenghulu Kamaludiningrat adalah musuh bebuyutan K.H. Ahmad Dahlan. Tetapi sebagian lagi menganggap Hoofdpenghulu ini sebagai kawan seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan. Dalam kondisi seperti itu, kita perlu menengok kembali sejarah Kepenghuluan Kraton Yogyakarta, agar pemahaman kita tidak a-historis.     

Kepenghuluan
Sejarah lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta tidak lepas dari sejarah berdiri Masjid Gedhe. Adapun sejarah Masjid Gedhe tak bisa lepas dari sejarah berdiri Kerajaan Mataram. Pasca Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaan di Yogyakarta (M.C. Riklefs, 2005: 98-99). Setelah kerajaan Yogyakarta didirikan, Masjid Gedhe dibangun di muka kraton, tepatnya di sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 29 Mei 1773. Sang arsitek pembangunan Masjid Gedhe adalah Kanjeng Wirjakusuma di bawah pengawasan Penghulu Kraton, Kiai Faqih Ibrahim Dipaningrat (Ahmad Adaby Darban, 2000: 9).
Pengelolaan Masjid Gedhe diserahkan kepada sekelompok ulama kraton. Mereka yang bertugas mengurusi masjid gedhe bermukim di sekitar masjid. Pemukiman para ulama yang mengurusi masjid inilah yang kemudian tumbuh menjadi sebuah komunitas sosial tertentu. Komunitas sosial yang terbentuk di sekeliling Masjid Gedhe saling terikat berdasarkan status sosial, agama (Islam), dan pertalian darah (Darban, 2000: 16-19).
Pemukinan di sekitar Masjid Gedhe inilah yang kemudian dikenal dengan nama ”Kauman.” Nama “Kauman” sendiri berasal dari kata Arab, “qaum”, yang berarti sekelompok orang atau kumpulan warga. Istilah ”kaum” yang berasal dari kata Arab (qaum) memang identik dengan agama Islam. Kampung ini memang tempat pemukiman para kaum (qaum), yaitu orang-orang yang taat menjalankan agama Islam dan mendapat tugas untuk mengurusi berbagai aktivitas di Masjid Gedhe Yogyakarta.
Letak kampung Kauman di sebelah barat, di sekitar Masjid Gedhe. Masjid ini milik kraton yang dikelola oleh para takmir yang seluruh aktivitasnya dipusatkan di kantor Penghulu. Letak kantor Penghulu di sebelah utara Masjid Gedhe, dengan pintu menghadap ke selatan (halaman masjid). Dalam tradisi Jawa Islam, khususnya masyarakat Kauman, kantor penghulu disebut Pengulon.
Lembaga Kepenguluan dipimpin oleh seorang Kepala Penghulu (Hoofdpenghulu). Adapun staf Kepenghuluan dinamakan abdi dalem pamethakan (abdi dalem putihan). Fungsi lembaga Kepenghuluan mengurusi administrasi keagamaan, meliputi: pernikahan, perceraian, rujuk, juru kunci makam, naib, hukum dalem peradilan agama, dan kemasjidan.
Struktur lembaga Kepenghuluan Masjid Gedhe meliputi: Penghulu, Ketib (Khatib), Modin, Berjamaah, dan Merbot. Kepala Penghulu adalah jabatan tertinggi dalam struktur Kepenghuluan. Di bawah jabatan Kepala Penghulu adalah Ketib, Modin, Berjamaah, dan Merbot. Jumlah Khatib terdiri atas sembilan orang, yang meliputi: Ketib Anom, Ketib Tengah, Ketib Kulon, Ketib Wetan (Tibetan), Ketib Lor (Tibelor), Ketib Senemi, Khatib Amin (Tibamin), Ketib Iman (Tibiman), dan Ketib Cendana. Ketib Anom adalah Wakil Kepala Penghulu. Masing-masing Ketib memiliki bawahan. Ketib bertugas sebagai imam dan khatib di Masjid Gedhe (Darban, 2000: 11-12).
Pada akhir abad ke-19, jabatan Hoofdpenghulu dipegang oleh Kiyai Mohammad Khalil Kamaludiningrat. Selaku Khatib Amin masjid Kauman Yogyakarta dipercayakan kepada K.H. Abubakar bin K.H. Sulaiman (Junus Salam, 2009: 54). Pada tahun 1896, K.H. Abubakar wafat, meninggalkan tujuh anak, dua laki-laki dan lima perempuan. Putra-putri K.H. Abubakar adalah: Nyai Chatib Arum, Nyai Muhsinah (Nyai Nur), Nyai Saleh, Mohammad Darwis (K.H. Ahmad Dahlan), Nyai Abdurrahman, Nyai Mohammad Fakih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan Mohammad Basir. Jabatan Khatib Amin dilimpahkan kepada salah seorang putra tertuanya yang bernama K.H. Ahmad Dahlan.
K.H. Ahmad Dahlan, Khatib Amin Masjid Gedhe Kauman, lahir pada tahun 1868 M (Salam, 2009: 56; Tamar Djaja, 1966: 635). Dia lahir dengan nama kecil Mohammad Darwis. K.H. Ahmad Dahlan menjabat sebagai Khatib Amin di Masjid Gedhe Yogyakarta pada tahun 1896, menggantikan K.H. Abubakar, yang telah meninggal dunia pada tahun itu juga. Setahun pasca menyandang gelar Khatib Amin (1897), K.H. Ahmad Dahlan membuat geger para ulama kraton. Dengan keyakinan yang teguh, Khatib Amin mengusulkan pembetulan arah kiblat. Menurutnya, arah kiblat Masjid Besar Kauman telah melenceng di sebelah utara garis katulistiwa di antara 24 derajat. Untuk menyadarkan umat Islam atas kesalahan arah kiblat Masjid Gedhe, Khatib Amin menggunakan cara yang santun dan beradab. Dia mengundang para ulama kraton dan sesepuh Kauman di suraunya, mendiskusikan persoalan kontroversi arah kiblat secara jernih. Kiai Syujak, salah seorang murid Khatib Amin, mencatat peristiwa ini terjadi pada tahun 1897 (Kyai Syujak, 2009: 37-39).
Beberapa hari pasca musyawarah dengan para ulama Kraton Yogyakarta, kampung Kauman dibuat geger. Pasalnya, arah kiblat Masjid Gedhe telah digeser. Dengan cara memberikan tanda garis shaf shalat seukuran 5 cm dari arah selatan ke utara, arah kiblat dibuat agak serong ke arah barat laut. Peristiwa ini terjadi pasca musyawarah para ulama dan sesepuh Kauman yang diundang oleh Khatib Amin di suraunya. Pasca peristiwa inilah, Khatib Amin mendapat kecaman keras dari para ulama senior kraton. Dia dianggap telah mengubah dasar-dasar agama. Para ulama kraton merasa tertampar, terutama Mohammad Khalil Kamaludiningrat (Deliar Noer, 1996: 85), karena sikap dan perbuatan Khatib Amin dianggap mendahului otoritasnya.
Kiai Penghulu marah dan meminta supaya dicari pelakunya. Dia memutuskan untuk memanggil Khatib Amin, karena teringat akan gagasan yang pernah diajukannya seputar pembetulan arah kiblat. Puncak konflik antara Khatib Amin dengan para ulama dan penguasa kraton Yogyakarta ketika suraunya dirobohkan. Inilah bibit pertengkaran antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Hoofdpenghulu Kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1914 (Darban, 2000: 41-43), Mohammad Khalil Kamaludiningrat meninggal dunia, sehingga jabatan Hoofdpenghulu dilimpahkan kepada Khatib Anom. Posisi Khatib Anom pada waktu itu dijabat oleh Kiai Sangidu. Setelah diangkat sebagai Hoofdpenghulu, Kiai Sangidu menyandang nama atau gelar Mohammad Kamaludiningrat.
Dari sini telah jelas siapa tokoh yang berperan antagonis dan siapa yang protagonis terhadap gerakan K.H. Ahmad Dahlan sekalipun sama-sama memiliki nama atau gelar ”Kamaludiningrat.” Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat inilah yang dikenal sebagai musuh bebuyutan K.H. Ahmad Dahlan, sementara Mohammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu) dikenal sebagai kawan seperjuangan pendiri Muhammadiyah ini.

Kiai Sangidu
Dua nama Kamaludiningrat, tetapi masing-masing memiliki karakter yang berbeda, pada masa kehidupan K.H. Ahmad Dahlan. Kamaludiningrat yang pertama adalah Hoofdpenghulu Mohammad Khalil yang pernah menghambat usaha K.H. Ahmad Dahlan dalam proses pengajuan rechtpersoon Muhammadiyah (1912). Kamaludiningrat yang kedua adalah Kiai Sangidu, kawan seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan yang sebelumnya menjabat sebagai Khatib Anom.
Kiai Sangidu menikah dengan putri Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat mendapatkan tiga anak: K.H. Djalal, Siti Salmah, dan Nafiah (Suara Muhammadiyah, no. 14/Th. Ke-52/1972). Setelah putri Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat wafat, Kiai Sangidu menikah lagi dengan Siti Djauharijah, putri K.H. Saleh (kakak ipar K.H. Ahmad Dahlan). Pernikahan Kiai Sangidu dengan Djauharijah melahirkan Siti Umniyah, salah satu pendiri Nasyi’atul ’Aisyiyah (dulu Siswo Proyo Wanito).
Ketika ayah kandung Kiai Sangidu wafat, K.H. Ahmad Dahlan menikahi mantan jandanya, sehingga hubungan kekeluargaan semakin dekat. Kiai Sangidu  merupakan ulama reformis yang sejak awal mendukung gerakan K.H. Ahmad Dahlan (Khatib Amin). Meskipun mertua Kiai Sangidu sangat memusuhi gerakan yang dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan, tetapi dia tetap mendukung berdirinya Muhammadiyah. Dalam Stamboek Muhammadiyah 1912, nama Kiai Sangidu tercatat sebagai anggota nomor perdana.
Sebuah kisah yang cukup masyhur di kalangan Muhammadiyah, tetapi sangat membingungkan bagi yang tidak memiliki dan menguasai literatur-literatur sejarah ini. Dikisahkan, Khatib Amin pernah memerintahkan penyelidikan dengan metode ru’yah bil ain. Ternyata, hasil dari perhitungan awal bulan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain tidak berbeda. Tetapi, hasil perhitungan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain menurut keputusan Muhammadiyah berbeda dengan kebijakan kraton yang masih menggunakan kalender Aboge. Dengan keyakinan membawa kebenaran agama Islam, Khatib Amin memberanikan diri menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk menyampaikan informasi ini. Mendengar seorang abdi dalem menyampaikan kebenaran agama, sang raja Yogyakarta bersikap sangat bijaksana. ”Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge”, demikian jawab Sultan Hamengku Buwono VII kepada Khatib Amin (Junus Salam, 2009: 156-157).
Kisah ini memang masyhur di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi hampir tidak ditemukan kejelasan bagaimana seorang pejabat rendahan di dalam struktur pemerintahan Kraton Yogyakarta bisa melakukan reformasi keagamaan secara struktural. Kapan peristiwa ini terjadi juga tidak banyak buku yang menjelaskannya. Sebagai seorang Khatib, jabatan K.H. Ahmad Dahlan jelas berada di bawah Hoofdpenghulu dalam struktur lembaga Kepenghuluan Yogyakarta. Khatib Amin tidak mungkin bisa masuk ke dalam kraton bertemu langsung dengan sang raja tanpa melewati otoritas Hoofdpenghulu. Siapakah Hoofdpenghulu pada waktu K.H. Ahmad Dahlan menghadap Sang Raja dalam kisah ini?
Jika tidak hati-hati membaca literatur sejarah, para pembaca pasti bakal terjebak pada dua tokoh Kamaludiningrat sebagaimana Hanung Bramantyo sewaktu membuat skenario film Sang Pencerah.
Sekali lagi, ada dua Kamaludiningrat. Yang pertama adalah Hoofdpenghulu Mohammad Khalil dan yang kedua adalah Hoofdpenghulu Mohammad (Kiai Sangidu). Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat adalah musuh bebuyutan K.H. Ahmad Dahlan yang meninggal pada tahun 1914. Hoofdpenghulu Mohammad Kamaludiningrat adalah Kiai Sangidu, kawan seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan.
Dengan demikian, sangat tidak mungkin K.H. Ahmad Dahlan menghadap Sang Raja dalam rangka mengajukan gagasan pembaruan di bawah otoritas Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat. Yang paling mungkin adalah ketika jabatan Hoofdpenghulu sudah beralih ke tangan Kiai Sangidu. Dengan demikian, peristiwa ini terjadi pasca tahun 1914, setelah jabatan Hoofdpenghulu dipegang oleh Kiai Sangidu.  
Lewat dukungan Kiai Sangidu, K.H. Ahmad Dahlan memang berhasil melakukan reformasi keagamaan di lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta. Sejak K.H. Sangidu menjabat sebagai Hoofdpenghulu, K.H. Ahmad Dahlan bekerjasama dengan lembaga Kepenguluan kraton Yogyakarta dan Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat kooperatif dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di Pakualaman yang dipimpin K.H. Abdulah Siraj juga merupakan partner Muhammadiyah dalam memutuskan berbagai persoalan keagamaan.
Terhitung sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan Hoofdpenghulu dari Mohammad Khalil Kamaludiningrat kepada Mohammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah bisa dipergunakan sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu, Bangsal Priyayi menjadi tempat penggemblengan kader-kader muballigh Muhammadiyah. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Senin, 03 September 2018

RH Sjarkawi, Sang Anemer Muhammadiyah

RH Sjarkawi
Gedung di Jalan Kauman (dulu bernama Jalan Jagang) nomor 44 itu sudah beralih fungsi. Sepintas, gerai kacamata itu tampak biasa-biasa saja, menempati gedung tua seperti pada umumnya bangunan berstatus cagar budaya (heritage) di kampung Kauman, Yogyakarta. Mungkin pemilik gerai tidak tahu, siapa sebenarnya sang arsitek gedung tersebut. Barangkali pemilik gerai juga tidak tahu apa yang melatarbelakangi pembangunan gedung dan apa serta bagaimana statusnya dalam lintasan sejarah. Itulah gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama ketika K.H. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah pada 1912 silam. Sang arsitek gedung tersebut adalah R.H. Sjarkawi, salah seorang pengurus di jajaran teras HB Muhammadiyah, yang berprofesi sebagai arsitek (anemer) dan seorang saudagar di Kauman.

Gedung HB Muhammadiyah Pertama    
Tidak banyak yang tahu status gedung yang terletak di pojok barat daya Kauman hingga saat ini. Adalah almarhum Ahmad Adaby Darban (2010), sejarawan Muhammadiyah, yang pernah mengungkap status gedung tersebut. Penulis sendiri pernah meminta informasi kepada almarhum tentang status gedung yang kini telah beralih fungsi tersebut. Jawaban almarhum tegas, bahwa gedung di Jalan Kauman nomor 44 adalah bekas kantor HB Muhammadiyah yang dirancang oleh R.H. Sjarkawi.
Gedung HB Muhammadiyah sebenarnya cukup besar dan menempati lahan yang luas. Namun yang tersisa dari gedung tersebut adalah bagian yang kini menjadi sebuah gerai kacamata. Gedung HB Muhammadiyah pertama sebenarnya dibangun di atas tanah milik K.H. Ahmad Dahlan. Rumah K.H. Ahmad Dahlan dan Langgar Kidul—yang pernah dirobohkan atas perintah Hoofdpenghulu K.H. Cholil Kamaludiningrat—terletak di belakang gedung ini. Dengan demikian, kita dapat membayangkan bahwa sosok K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya seorang saudagar yang kaya raya, selain mengelola bisnis batik ia juga memiliki tanah yang sangat luas.
R.H. Sjarkawi, sang anemer yang merancang gedung HB Muhammadiyah pertama, adalah salah seorang murik K.H. Ahmad Dahlan. Selain berstatus sebagai arsitek, ia juga dikenal sebagai salah seorang saudagar kaya di Kauman. Dalam daftar Sekoetoe Moehammadijah yang dimuat di Soeara Moehammadijah nomor 3 tahun 1924 tertera nama R.H. Sjarkawi pada nomor urut 4. Terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa R.H. Sjarkawi adalah saudagar dari Kauman. Selain menjadi saudagar batik dan abdi dalem Kraton Yogyakarta, R.H. Sjarkawi juga seorang ahli bangunan (anemer). Berdasarkan keterangan Hamron (salah satu cicit R.H. Sjarkawi), keterampilan R.H. Sjarkawi sebagai ahli bangunan digunakan untuk membangun gedung yang terkenal cukup kokoh dan megah. Hingga saat ini, gedung peninggalan hasil karya R.H. Sjarkawi masih kokoh berdiri di Jalan Kauman no. 44. Gedung inilah yang pernah dijadikan sebagai kantor HB Muhammadiyah pertama.

R.H. Sjarkawi    
Raden Haji Sjarkawi adalah putra K.H. Abdul Jalil, Khatib Tengah. Dia bersaudara dengan Kiai Sangidu, murid K.H. Ahmad Dahlan yang menggantikan posisi K.H. Cholil Kamaludiningrat sebagai Hoofdpenghulu Keraton Yogyakarta (1914). Setelah menjabat sebagai Hoofdpenghulu, Kiai Sangidu menyandang gelar Kanjeng Kiai Penghulu Haji (K.H.P.H) Muhammad Kamaludiningrat (Ahmad Adaby Darban, 2010). Nah, sosok penghulu yang satu inilah yang sempat membingungkan tim ahli sejarah ketika Hanung Bramantyo mempersiapkan naskah film Sang Pencerah. Sumber-sumber sejarah banyak yang menyebutkan bahwa sosok Penghulu Kamaludiningrat adalah pihak antagonis—penentang gerakan reformis yang diusung K.H. Ahmad Dahlan—sementara terdapat pula sumber-sumber sejarah yang menyebutkan bahwa sosok ini justru dinilai sebagai partner/protagonis gerakan K.H. Ahmad Dahlan. Maka penulis menyimpulkan bahwa sosok penghulu yang menjadi pihak antagonis adalah K.H. Cholil Kamaludiningrat, sementara sosok yang menjadi pihak protagonis adalah K.H. Muhammad Kamaludiningrat.
Lantas, bagaimana status hubungan antara R.H. Sjarkawi dengan K.H. Muhammad Kamaludiningrat? Dalam monograf ”Silsilah Almarhum K.H. Ahmad Ma’lum,” R.H. Sjarkawi dan K.H. Muhammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu) berstatus sebagai saudara kandung. Kiai Khatib Tengah, ayah dari R.H. Sjarkawi dan Kiai Sangidu, bersaudara dengan K.H. Ahmad Ma’lum—Hoofdpenghulu sebelum K.H. Cholil Kamaludiningrat. Dengan demikian, jabatan penghulu kraton Yogyakarta sebenarnya diwariskan secara turun-temurun dari salah satu klan dalam sistem keluarga di masyarakat Kauman.  
R.H. Sjarkawi menikah dengan salah seorang putri Khatib Wetan, yang masih bersaudara dengan H. Abdul Hamid dan H.A. Djawad. Istri Khatib Wetan masih bersaudara dengan ayah R.H. Sjarkawi (Kiai Khatib Tengah). Dengan demikian, perkawinan R.H. Sjarkawi masih memiliki kedekatan ikatan darah dengan istrinya. Model perkawinan seperti ini memang sudah jamak di kalangan masyarakat Kauman sejak zaman dahulu. Atas dasar inilah, Ahmad Adaby Darban (2010) menyebut salah satu karakteristik Kauman yang dikenal dengan masyarakat endogami.
Sayang sekali, penulis tidak berhasil melacak tahun kelahiran dan kapan wafat R.H. Sjarkawi. Lewat informasi berdasarkan sumber-sumber lisan pun, penulis tidak berhasil melacak tahun kelahiran tokoh yang satu ini. R.H. Sjarkawi tercatat sebagai salah satu di antara tujuh tokoh Kauman yang menyatakan bersedia membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman sebagai salah satu syarat untuk mempermudah dalam proses mengurus surat permohonan rechtpersoon Muhammadiyah. Setelah kepengurusan pada tahun 1912 terbentuk, nama R.H. Sjarkawi juga tercatat di antara sembilan tokoh yang menduduki struktur HB Muhammadiyah pertama. Tercatat sembilan tokoh yang menduduki struktur HB Muhammadiyah pertama adalah: K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Abdoellah Siradj, Haji Ahmad, Haji Abdoelrahman, Haji Mohammad, R.H. Djaelani, Haji Anies, Haji Mohammad Fakih, dan R.H. Sjarkawi (Lihat Statuten Muhammadiyah 1912 artikel 5). (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Minggu, 02 September 2018

Haji Hisyam, Sang Arsitek Pendidikan Muhammadiyah

Haji Hisyam
”Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya” (Haji Hisyam).

Itulah ikrar Haji Hisyam di hadapan rapat anggota Muhammadiyah yang dipimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika pembentukan empat departemen pertama di Muhammadiyah: Bagian Sekolahan, Bagian Tabligh, Bagian Taman Pustaka, dan Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem. Rapat anggota Muhammadiyah diselenggarakan pada tanggal 17 Juli 1920 di gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta. Haji Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Haji Fachrodin mendapat amanat sebagai ketua Bagian Tabligh. Haji Mochtar mendapat amanat sebagai ketua Bagian Taman Pustaka. Haji Syujak mendapat amanat sebagai ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (Syujak, 1989: 31).

Ketua Pertama Bagian Sekolahan
Sejak tahun 1912-1919, perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah meski tidak terlalu pesat tetapi cukup signifikan. Berawal dari Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang dirintis K.H. Ahmad Dahlan, konsep pendidikan Islam terpadu ini menjadi model bagi pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah di luar kampung Kauman. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang dikenal dengan nama ”Sekolah Kiai” berubah status menjadi Volkschool (3 tahun). Kemudian berdiri Standaardschool (4 tahun) di Suronatan. Sampai memasuki tahun 1919, sekolah-sekolah Muhammadiyah sudah mencapai puluhan. Setelah Bagian Sekolahan (Departement van Onderwijs) terbentuk di bawah kepemimpinan Haji Hisyam, pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin pesat. Sumber H.Mh. Mawardi (1977) menyebutkan, sampai memasuki tahun 1932, jumlah Volkschool Muhammadiyah mencapai 103 sekolah dan Standaardschool Muhammadiyah 47  sekolah.
Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang cukup pesat tidak bisa lepas dari peran Bagian Sekolahan. Sosok Haji Hisyam adalah sang arsitek yang meletakkan roadmap pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mulai menjangkau sekolah tingkat lanjutan. Namun Haji Hisyam tidak sendirian dalam merancang pengembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ia mendapat suntikan pemikiran dan tenaga dari dua sosok penting yang nama mereka kurang populer di kalangan warga Muhammadiyah saat ini. Kedua sosok tersebut adalah Sosrosoegondo dan Djojosoegito. Alfian dalam bukunya Politik Kaum Modernis (2010) menempatkan dua sosok ini sebagai peletak fundamen pendidikan Muhammadiyah. Sosrosoegondo adalah guru di Kweekschool Jetis yang menjadi kawan dekat K.H. Ahmad Dahlan. Sedangkan Djojosoegito adalah Guru Sejarah yang menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Sosrosoegondo kemudian bergabung di Muhammadiyah menduduki posisi sebagai wakil ketua Bagian Sekolahan. Sedangkan Djojosoegito masuk jajaran struktural HB Muhammadiyah menduduki posisi sebagai sekretaris umum, mendampingi K.H. Ahmad Dahlan.
Mulai tahun 1920, di bawah Manajemen Bagian Sekolah, HB Muhammadiyah merintis sekolah berbahasa Belanda, seperti: Holland Inlandsche School (HIS) met de Qur’an. Pada tahun 1926 HIS met de Qur’an mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1930, Muhammadiyah merintis Schakelschool yang diperuntukkan bagi anak-anak lulusan Volksschool yang ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi. Pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah memiliki 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Sejak tahun 1918, sepuluh lulusan Standaardschool dikumpulkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan diberi pelajaran agama tingkat lanjutan. Sekolah ini diberi nama ”Qismul Arqa” (Hooger School). Qismul-Arqa berubah nama menjadi Kweekschool Islam lalu diganti dengan nama Kweekschool Muhammadiyah. Kweekschool Muhammadiyah inilah yang kemudian berubah menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Pada tahun 1929, murid-murid putri dipisahkan menjadi Madrasah Mu’allimat. Pada tahun 1926, Muhammadiyah membuka Kursus Guru Volksschool (CVO) untuk mempersiapkan calon guru Volksschool. Tahun 1938, Muhammadiyah merintis Klein Handel-School (Sekolah Dagang Kecil) dan Huishoud School (Sekolah Kerumahtanggaan). Pada tahun 1937, Muhammadiyah membuka Inlandsche MULO Muhammadiyah (SMP Pribumi) dengan mendapat subsidi dari pemerintah. Pada tahun 1934, Muhammadiyah mendirikan Algemeene Middelbare School (AMS) di Batavia yang dipimpin oleh Ir. Juanda.

Haji Hisyam
Haji Hisyam adalah salah satu di antara murid-murid K.H. Ahmad Dahlan yang berjuang sampai akhir hayat di persyarikatan Muhammadiyah. Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 10 November 1883, dia putra Wedana Haji Hoesni. Hisyam bin Haji Hoesni masih termasuk kerabat jauh K.H. Dahlan (Djarnawi Hadikusuma, t.t.: 35). Selain menjabat sebagai abdi dalem, Hisyam muda seorang pengusaha batik (batikhandel) di Kauman. Dalam iklan hari raya Idul Fitri yang dimuat di Soeara Moehammadijah nomor 5 dan 6 tahun 1925 disebutkan nama-nama tokoh Muhammadiyah, salah satunya ialah istri Haji Hisyam. Dalam iklan tersebut disebutkan identitas istri Haji Hisyam sebagai lid (anggota) ’Aisyiyah dan batikhandel Kauman, Yogyakarta.
Menurut sumber Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 35), Haji Hisyam dikenal sebagai seorang pakar hukum Islam. Dia juga memiliki keahlian dalam manajemen dan administrasi. Keahliannya boleh dikata cukup mahir untuk ukuran zamannya. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan diterapkan dalam keluarga. Semua putra dan putri Haji Hisyam mendapat pendidikan formal, baik pendidikan umum dan agama. Muhammad Ziad, putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Europes Kweekschool di Surabaya. Muhammad Hadjam, juga putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Hogere Kweekschool di Purworejo.
Karir organisasi Haji Hisyam dimulai ketika dia bersedia bergabung dengan K.H. Ahmad Dahlan membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Hisyam termasuk salah satu di antara murid-murid inti yang mendapat pengajian dan pengajaran langsung dari K.H. Ahmad Dahlan. Selagi mudah, Hisyam sudah terlihat sebagai pemuda cakap yang mementingkan pengajaran bagi generasi muda.
Ketika Muhammadiyah dideklarasikan (1912), Hisyam berumur sekitar 29 tahun. Ketika HB Muhammadiyah membentuk empat unsur pembantu pimpinan, Haji Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Jabatan ketua pertama unsur pembantu pimpinan ini diamanatkan kepada Haji Hisjam yang berumur sekitar 37 tahun.
Haji Hisyam adalah satu-satunya murid inti hasil didikan K.H. Ahmad Dahlan yang berhasil menduduki posisi sebagai president HB Muhammadiyah. Pasca wafat K.H. Ibrahim (1934), dalam Congres Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, Haji Hisyam terpilih sebagai president HB Muhammadiyah. Bersama Djiwosewojo, Haji Hisyam mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Anugrah ini diberikan kepada para pejabat, priyayi atau orang-orang yang dianggap berjasa kepada pemerintah Belanda dan masyarakat pada waktu itu.
Kepemimpinan Haji Hisyam berlangsung sejak tahun 1934-1937. Dalam Congres Muhammadiyah ke-26, kelompok pemuda, M. Basiran, Abdul Hamid, Farid Ma’ruf, dan lain-lain, menolak kepemimpinan kelompok tua, Haji Hisyam, Haji Mochtar, dan Haji Syujak. Ki Bagus Hadikusumo menjembatani konflik antara kubu kaum muda dan kaum tua ini. K.H. Mas Mansur, Konsul Muhammadiyah Surabaya, kemudian diminta untuk menjabat sebagai president HB Muhammadiyah.
Selain menjabat sebagai president HB Muhammadiyah, Haji Hisyam juga pernah menjabat sebagai Penghulu di kabupaten Magelang pada tahun 1937. Haji Hisyam meninggal dunia pada 20 Mei 1945. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)