KH Abdurrahman |
Awal abad
20, kampung Pekajangan tak menarik perhatian banyak orang. Kampung yang terletak
di sebelah selatan kota Pekalongan ini terpencil, penduduknya juga tak banyak. Mata
pencaharian utama penduduknya bertani, tapi hasil panen padi tak pernah
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi seabad silam ternyata telah
berubah setelah Pekajangan menjadi sentra industri kerajinan Batik yang pada
awal abad 20 hanya sebatas mata pencaharian sambilan. Bersamaan dengan
pertumbuhan ekonomi di kampung ini, lahir perkumpulan Ambudi Agama sebagai gerakan keagamaan tradisionalis yang di
kemudian hari bergabung dengan persyarikatan Muhammadiyah.
KH. Abdurrahman
Pada awal abad 20, mata pencaharian penduduk Pekajangan adalah bertani.
Tetapi sebagian kecil dari keluarga di kampung ini menekuni kerajinan tangan.
Di antara produk kerajinan tangan penduduk Pekajangan adalah tenun setagen (ikat pinggang perempuan) dan
kain batik (batikkerij/batikhandel).
Lahirnya industri rumah tangga memunculkan kelompok sosial baru, yaitu kelas
pedagang. Salah satu pengusaha muda di Pekajangan bernama KH Abdurrahman. Dia pengusaha
batik dan kerajinan tangan yang mendirikan perkumpulan Ambudi Agama di Pekajangan.
KH Abdurrahman lahir pada tahun 1879. Dia lahir di Pekajangan,
Kedungwuni, Pekalongan, dengan nama kecil Mutaman. Pada masa mudanya, Mutaman
pernah mengaji kepada Kiyai Amin di Banyuurip, kemudian kepada Kiyai Agus di
Kenajagan, dan kepada Kiyai Abdurrahman Thaif di Wonoyoso. Terakhir, Mutaman
belajar agama kepada Kiyai Idris di Pondok Jamsaren, Solo (RM Soediardjo dkk,
1968: 9).
Mutaman menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan ibadah haji
pertama kali pada tahun 1903. Sejak saat itulah namanya telah berganti menjadi
Haji Abdurrahman. Setelah menunaikan ibadah haji pertama, Haji Abdurrahman
menekuni profesi sebagai pedagang batik dan tenun setagen yang dijual ke luar kota Pekalongan. Jaringan
perdagangannya cukup luas meliputi beberapa kota besar di Jawa.
Haji Abdurrahman mulai merintis pengajian agama di desanya setelah
menunaikan ibadah haji yang kedua kali pada tahun 1921 bersama istri tercinta,
Nyai Shofiyah. Dia dibantu kawan-kawannya menyelenggarakan pendidikan Islam
tradisional bernama Ambudi Agama.
Pelajaran pokok yang diajarkan meliputi ‘aqaid
50 dan sifat 20 bakal weruh gusti Allah
(akan melihat Allah). Dari materi yang disampaikan, tampaknya, lembaga
pendidikan yang didirikan Haji Abdurrahman lebih mendalami akidah dan tasawuf.
Setelah sukses menyelenggarakan pendidikan Islam tradisional, Haji Abdurrahman
mendapat julukan “Kiyai” dari para santrinya.
Lembaga pendidikan yang dirintis KH Abdurrahman sedang tumbuh, tetapi
tantangan datang dari pemerintah kolonial. Sekolah agama yang baru saja
dirintis langsung dibubarkan oleh pemerintah. Peraturan pemerintah kolonial (staatblad 1905)
menegaskan, seluruh aktivitas pengajaran yang diselenggarakan oleh kaum
bumiputra dianggap liar. Pemerintah kolonial menyatakan sekolah-sekolah swasta
ilegal dan wajib dibubarkan. Sedangkan tenaga pengajar yang tidak mendapat izin
mengajar ditangkap. Kebijakan Goeroe Ordonantie memang bertujuan
membatasi jumlah guru agama di sekolah-sekolah bumiputra yang tidak dikelola
oleh pemerintah.
KH Abdurrahman sempat mendengar di Yogyakarta
telah berdiri persyarikatan Muhammadiyah yang bisa mengatasi kendala-kendala
akibat diterapkannya staatblad 1905.
Ia sendiri sempat ragu, apakah persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad
Dahlan itu sebuah perkumpulan Islam atau bukan. Chumasi Hardjosubroto, kawan
dekat KH Abdurrahman, membisikkan pesan kepadanya bahwa Persyarikatan
Muhammadiyah adalah ”Perkumpulan Kristen.” Hardjosubroto sempat mencegah KH
Abdurrahman yang berniat hendak pergi ke Yogyakarta menemui para pimpinan
Muhammadiyah. Namun, dengan keyakinan teguh, pendiri perkumpulan Ambudi Agama tersebut memberanikan diri
berkunjung ke kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah yang beralamat di Kauman no 44.
Dia datang ke Yogyakarta diantar oleh Kiyai Asmu’i, kawan dekatnya mantan lurah
di Pondok Jamsaren, Solo.
Di kantor Hoofdbestuur Muhammadiyah, KH
Abdurrahman disambut oleh Haji Mochtar, Haji Abdurrahman Machdun, Haji Wasool
Dja’far, dan lain-lain. Dalam kesempatan tersebut, KH Abdurrahman langsung ber-tabayyun, menanyakan apa dan bagaimana
sesungguhnya persyarikatan Muhammadiyah. Lantas dijelaskan bahwa Muhammadiyah
adalah perkumpulan Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Mendengar penjelasan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah, KH Abdurrahman langsung
insaf. Ia baru sadar bahwa anggapan yang telah tersiar di masyarakat Pekajangan
tentang Muhammadiyah sebagai ”Perkumpulan Kristen” salah besar.
Dalam kesempatan tersebut, KH Abdurrahman
mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapi selama menyelenggarakan
pengajian di bawah perkumpulan Ambudi
Agama yang dipimpinnya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan
lembaga pendidikannya dari penerapan kebijakan kolonial (staatblad 1905). Tetapi, tokoh Pekajangan ini sangat tertarik
dengan usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah di Yogyakarta. Terbetik dalam
pikirannya untuk mendirikan Muhammadiyah cabang (kring) Pekajangan.
Muhammadiyah
Pekajangan
Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta menyambut
baik niat KH Abdurrahman untuk mendirikan cabang di Pekajangan. Dijelaskan
bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan (organisasi) yang mendapat izin resmi
dari pemerintah (besluit Gubernur
Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914) yang diperkenankan mendirikan
cabang-cabang untuk menyelenggarakan pendidikan atau pengajaran agama,
penyantunan fakir-miskin, mendirikan panti asuhan dan poliklinik. Akhirnya, KH
Abdurrahman pulang ke Pekajangan dengan hati mantap. Dia rela melebur
perkumpulan Ambudi Agama menjadi
cabang Muhammadiyah di desanya. Pada 15 November 1922, Hoofdbestuur
Muhammadiyah Yogyakarta mengeluarkan surat keputusan berdirinya Muhammadiyah
cabang Pekajangan.
Di bawah Persyarikatan Muhammadiyah cabang
Pekajangan, seluruh kegiatan yang dirintis KH Abdurrahman berjalan lancar.
Pemerintah kolonial tidak bisa membubarkan setiap kegiatan pengajian, karena
Muhammadiyah adalah organisasi resmi yang mendapat izin dan pengakuan dari
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (AWF Idenburg). Di bawah bendera Muhammadiyah,
KH Abdurrahman merasakan kenyamanan berdakwah tanpa mendapat rintangan dari
pemerintah kolonial.
Inilah salah faktor yang menyebabkan Muhammadiyah
pada masa KH Ahmad Dahlan mampu memikat perkumpulan-perkumpulan keagamaan lokal
yang mendapat tantangan berat dari pemerintah kolonial untuk bergabung di bawah
bendera Muhammadiyah. Di samping memiliki visi Islam yang berkemajuan,
Muhammadiyah mampu menawarkan solusi cerdas yang tidak dimiliki oleh
perkumpulan atau organisasi Islam lain di tanah air ini.
Kini, masihkah Muhammadiyah memiliki visi Islam
berkemajuan dan daya pikat bagi perkumpulan-perkumpulan lain untuk bergabung di
bawah panji-panjinya? [Mu'arif]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar