Minggu, 09 September 2018

Tan Malaka: Ki Bagus Hadikusuma Sang Penyejuk

Ki Bagus Hadikusuma
Selain aktif sebagai muballigh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif di Sarekat Islam (SI). Dalam sebuah pertemuan besar tokoh-tokoh SI, Ki Bagus Hadikusumo tampil sebagai penengah. Perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh SI-Merah dan SI-Putih mengancam perpecahan dalam tubuh SI. Ki Bagus tampil sebagai penenang di antara dua kelompok yang sedang bertikai. Ki Bagus mengatakan bahwa pada saat genting, umat Islam perlu persatuan dalam perjuangan. Dia sempat mengecam dan menganggap sesat orang Islam yang tidak menyetujui persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Tan Malaka, seorang tokoh Sosialis yang misterius, dalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara, menyebut Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh “penyejuk.” 
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Yogyakarta pada hari Senin tanggal 24 November 1890 M dengan nama kecil Hidayat. Beliau adalah putra dari R.H. Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Hidayat adalah adik kandung H. Syuja’ (Daniel) dan H. Fachrodin (Djazuli). Pendidikan Ki Bagus hanya SD, kemudian masuk pondok pesantren di Wonokromo dan Pekalongan. Pernah menjadi ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian Tabligh pada 1923, ketua Majlis Tarjih pada masa kepemimpinan K.H. Hisyam, dan Wakil Ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur, dan mendapat amanat sebagai ketua HB Muhammadiyah periode 1944-1953. 
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan. K.H. Mas Mansur dipercaya sebagai salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bentukan Jepang. Dia terpaksa harus pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua HB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Dia menerima penyerahan kepemimpinan dari K.H. Mas Mansur dan menempatkan K.H. Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketua.
Ki Bagus Hadikusumo dipilih sebagai ketua HB Muhammadiyah pada tahun 1944 dalam Pertemuan Silaturahmi Muhammadiyah se-Jawa, karena memang beliau yang bersemangat menghidupkan kembali Muhammadiyah setelah dibekukan oleh Jepang. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Ki Bagus Hadikusumo kembali terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD). Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”
Dalam perdebatan di sidang PPKI, Ki Bagus terkesan kolot dan kaku. Dia adalah tokoh yang paling keras memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara. Salah satu yang membedakan Ki Bagus dengan tokoh yang lain ialah sikapnya yang “keras kepala.” Namun demikian, dia juga memiliki pandangan yang luas tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Dia paham tentang keberagaman masyarakat di sekelilingnya. Keberagaman apabila tidak disikapi dengan cara bijaksana akan menyebabkan perpecahan. Dia paham betul bagaimana rentannya perselisihan golongan, baik suku, ras, maupun agama pada saat itu. Dengan penuh kelapangan hati, dia kemudian rela mengalah untuk menerima penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, sehingga Dasar Negara Indonesia, terutama sila pertama, “Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa.
Meskipun secara eksplisit tidak dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Bersama dengan Profesor K.H. Abdul Kahar Muzakkir, beliau menerima Pancasila dengan syarat Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai Tauhid. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Ki Bagus Hadikusumo cukup produktif menulis buku. Beberapa buku karangannya antara lain, Islam Sebagai Dasar Negara, Achlaq Pemimpin, Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Ki Bagus Hadikusumo wafat pada hari Jumat 3 September 1954. [Mu'arif]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar