Kiai Sangidu |
Sewaktu Hanung Bramantyo menyusun skenario film Sang Pencerah, beberapa
sesepuh Kauman dikumpulkan di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jalan K.H.A.
Dahlan untuk menyelidiki karakter beberapa tokoh yang sedianya akan ditampilkan
dalam film tersebut. Penulis menjadi salah satu narasumber yang memberikan
informasi seputar karakter Haji Fachrodin dan Haji Syujak. Ketika memasuki
pembahasan konflik antara K.H. Ahmad Dahlan dan Hoofdpenghulu Kraton Yogyakarta, beberapa narasumber mulai saling
lempar dugaan. Para narasumber mulai kesulitan untuk mengidentifikasi karakter Hoofdpenghulu Kraton yang bernama
Kamaludiningrat. Sebagian narasumber menilai Hoofdpenghulu Kamaludiningrat adalah musuh bebuyutan K.H. Ahmad
Dahlan. Tetapi sebagian lagi menganggap Hoofdpenghulu ini sebagai kawan
seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan. Dalam kondisi seperti itu, kita perlu menengok
kembali sejarah Kepenghuluan Kraton Yogyakarta, agar pemahaman kita tidak a-historis.
Kepenghuluan
Sejarah lembaga Kepenghuluan Kraton Yogyakarta
tidak lepas dari sejarah berdiri Masjid Gedhe.
Adapun sejarah Masjid Gedhe tak bisa lepas dari sejarah berdiri
Kerajaan Mataram. Pasca Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Pangeran
Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaan di Yogyakarta
(M.C. Riklefs, 2005: 98-99). Setelah kerajaan Yogyakarta didirikan, Masjid Gedhe dibangun di muka kraton, tepatnya di
sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid Gedhe didirikan pada tanggal 29 Mei 1773. Sang arsitek
pembangunan Masjid Gedhe adalah Kanjeng
Wirjakusuma di bawah pengawasan Penghulu Kraton, Kiai Faqih Ibrahim Dipaningrat
(Ahmad Adaby Darban, 2000: 9).
Pengelolaan Masjid Gedhe diserahkan kepada sekelompok ulama
kraton. Mereka yang bertugas mengurusi masjid gedhe bermukim di sekitar masjid.
Pemukiman para ulama yang mengurusi masjid inilah yang kemudian tumbuh menjadi
sebuah komunitas sosial tertentu. Komunitas sosial yang terbentuk di sekeliling
Masjid Gedhe saling terikat berdasarkan status sosial, agama (Islam), dan pertalian
darah (Darban, 2000: 16-19).
Pemukinan di sekitar Masjid Gedhe inilah yang kemudian dikenal dengan nama
”Kauman.” Nama “Kauman” sendiri berasal dari kata Arab, “qaum”, yang
berarti sekelompok orang atau kumpulan warga. Istilah ”kaum” yang berasal dari
kata Arab (qaum) memang identik dengan agama Islam. Kampung ini memang
tempat pemukiman para kaum (qaum), yaitu orang-orang yang taat
menjalankan agama Islam dan mendapat tugas untuk mengurusi berbagai aktivitas
di Masjid Gedhe Yogyakarta.
Letak kampung Kauman di sebelah barat, di sekitar Masjid Gedhe. Masjid ini milik kraton yang dikelola
oleh para takmir yang seluruh aktivitasnya dipusatkan di kantor Penghulu. Letak
kantor Penghulu di sebelah utara Masjid Gedhe, dengan pintu menghadap ke selatan (halaman masjid). Dalam tradisi Jawa
Islam, khususnya masyarakat Kauman, kantor penghulu disebut Pengulon.
Lembaga Kepenguluan dipimpin oleh seorang Kepala
Penghulu (Hoofdpenghulu). Adapun staf
Kepenghuluan dinamakan abdi dalem pamethakan (abdi dalem putihan). Fungsi lembaga Kepenghuluan
mengurusi administrasi keagamaan, meliputi: pernikahan, perceraian, rujuk,
juru kunci makam, naib, hukum dalem peradilan agama, dan kemasjidan.
Struktur lembaga Kepenghuluan Masjid Gedhe meliputi: Penghulu, Ketib (Khatib),
Modin, Berjamaah, dan Merbot. Kepala Penghulu adalah jabatan
tertinggi dalam struktur Kepenghuluan. Di bawah jabatan Kepala Penghulu adalah Ketib,
Modin, Berjamaah, dan Merbot. Jumlah Khatib terdiri atas
sembilan orang, yang meliputi: Ketib Anom, Ketib Tengah, Ketib Kulon, Ketib Wetan
(Tibetan), Ketib Lor (Tibelor), Ketib Senemi, Khatib Amin (Tibamin), Ketib Iman
(Tibiman), dan Ketib Cendana. Ketib Anom adalah Wakil Kepala Penghulu.
Masing-masing Ketib memiliki bawahan. Ketib bertugas sebagai imam dan khatib di
Masjid Gedhe (Darban, 2000: 11-12).
Pada akhir abad ke-19, jabatan Hoofdpenghulu dipegang oleh Kiyai
Mohammad Khalil Kamaludiningrat. Selaku Khatib Amin masjid Kauman Yogyakarta
dipercayakan kepada K.H. Abubakar bin K.H. Sulaiman (Junus Salam, 2009: 54). Pada tahun 1896, K.H. Abubakar
wafat, meninggalkan tujuh anak, dua laki-laki dan lima perempuan. Putra-putri
K.H. Abubakar adalah: Nyai
Chatib Arum, Nyai Muhsinah (Nyai Nur), Nyai Saleh, Mohammad Darwis (K.H. Ahmad
Dahlan), Nyai Abdurrahman, Nyai Mohammad Fakih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan
Mohammad Basir. Jabatan Khatib Amin dilimpahkan
kepada salah seorang putra tertuanya yang bernama K.H. Ahmad Dahlan.
K.H. Ahmad Dahlan, Khatib Amin Masjid Gedhe Kauman, lahir pada tahun 1868 M (Salam,
2009: 56; Tamar Djaja, 1966: 635). Dia lahir dengan nama kecil Mohammad Darwis.
K.H. Ahmad Dahlan menjabat sebagai Khatib Amin di Masjid
Gedhe
Yogyakarta pada tahun 1896, menggantikan K.H. Abubakar, yang telah meninggal
dunia pada tahun itu juga. Setahun pasca menyandang gelar Khatib Amin (1897),
K.H. Ahmad Dahlan membuat geger para ulama kraton. Dengan keyakinan yang teguh,
Khatib Amin mengusulkan pembetulan arah kiblat. Menurutnya, arah kiblat Masjid
Besar Kauman telah melenceng di sebelah utara garis katulistiwa di antara 24
derajat. Untuk menyadarkan umat Islam atas kesalahan arah kiblat Masjid Gedhe, Khatib Amin menggunakan cara
yang santun dan beradab. Dia mengundang para ulama kraton dan sesepuh Kauman di suraunya,
mendiskusikan persoalan kontroversi arah kiblat secara jernih. Kiai Syujak,
salah seorang murid Khatib Amin, mencatat peristiwa ini terjadi pada tahun 1897
(Kyai Syujak, 2009: 37-39).
Beberapa hari pasca musyawarah dengan
para ulama Kraton Yogyakarta, kampung Kauman dibuat geger. Pasalnya, arah
kiblat Masjid Gedhe telah digeser. Dengan cara
memberikan tanda garis shaf shalat seukuran 5 cm dari arah selatan ke utara,
arah kiblat dibuat agak serong ke arah barat laut. Peristiwa ini terjadi pasca
musyawarah para ulama dan sesepuh Kauman yang diundang oleh Khatib Amin di
suraunya. Pasca peristiwa inilah, Khatib Amin mendapat kecaman keras dari para
ulama senior kraton. Dia dianggap telah mengubah dasar-dasar agama. Para ulama
kraton merasa tertampar, terutama Mohammad Khalil Kamaludiningrat (Deliar Noer,
1996: 85), karena sikap dan perbuatan Khatib Amin dianggap mendahului
otoritasnya.
Kiai Penghulu marah dan meminta supaya
dicari pelakunya. Dia memutuskan untuk memanggil Khatib Amin, karena teringat
akan gagasan yang pernah diajukannya seputar pembetulan arah kiblat. Puncak
konflik antara Khatib Amin dengan para ulama dan penguasa kraton Yogyakarta
ketika suraunya dirobohkan. Inilah bibit pertengkaran antara K.H. Ahmad Dahlan
dengan Hoofdpenghulu Kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1914 (Darban, 2000: 41-43),
Mohammad Khalil Kamaludiningrat meninggal dunia, sehingga jabatan Hoofdpenghulu dilimpahkan kepada Khatib
Anom. Posisi Khatib Anom pada waktu itu dijabat oleh Kiai Sangidu. Setelah
diangkat sebagai Hoofdpenghulu, Kiai
Sangidu menyandang nama atau gelar Mohammad Kamaludiningrat.
Dari sini telah jelas siapa tokoh yang
berperan antagonis dan siapa yang protagonis terhadap gerakan K.H. Ahmad Dahlan
sekalipun sama-sama memiliki nama atau gelar ”Kamaludiningrat.” Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat
inilah yang dikenal sebagai musuh bebuyutan K.H. Ahmad Dahlan, sementara
Mohammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu) dikenal sebagai kawan seperjuangan
pendiri Muhammadiyah ini.
Kiai Sangidu
Dua nama Kamaludiningrat, tetapi
masing-masing memiliki karakter yang berbeda, pada masa kehidupan K.H. Ahmad
Dahlan. Kamaludiningrat yang pertama adalah Hoofdpenghulu
Mohammad Khalil yang pernah menghambat usaha K.H. Ahmad Dahlan dalam proses
pengajuan rechtpersoon Muhammadiyah (1912). Kamaludiningrat yang kedua
adalah Kiai Sangidu, kawan seperjuangan K.H. Ahmad Dahlan yang sebelumnya
menjabat sebagai Khatib Anom.
Kiai Sangidu menikah dengan putri
Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat mendapatkan tiga anak: K.H.
Djalal, Siti Salmah, dan Nafiah (Suara
Muhammadiyah, no. 14/Th. Ke-52/1972). Setelah putri Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat wafat, Kiai Sangidu
menikah lagi dengan Siti Djauharijah, putri K.H. Saleh (kakak ipar K.H. Ahmad
Dahlan). Pernikahan Kiai Sangidu dengan Djauharijah melahirkan Siti Umniyah,
salah satu pendiri Nasyi’atul ’Aisyiyah (dulu Siswo Proyo Wanito).
Ketika ayah kandung Kiai Sangidu
wafat, K.H. Ahmad Dahlan menikahi mantan jandanya, sehingga hubungan kekeluargaan
semakin dekat. Kiai Sangidu merupakan
ulama reformis yang sejak awal mendukung gerakan K.H. Ahmad Dahlan (Khatib Amin).
Meskipun mertua Kiai Sangidu sangat memusuhi gerakan yang dirintis oleh K.H.
Ahmad Dahlan, tetapi dia tetap mendukung berdirinya Muhammadiyah. Dalam Stamboek
Muhammadiyah 1912, nama Kiai Sangidu tercatat sebagai anggota nomor perdana.
Sebuah kisah yang cukup masyhur di
kalangan Muhammadiyah, tetapi sangat membingungkan bagi yang tidak memiliki dan
menguasai literatur-literatur sejarah ini. Dikisahkan, Khatib Amin pernah memerintahkan penyelidikan
dengan metode ru’yah bil ain. Ternyata, hasil dari perhitungan awal
bulan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain tidak berbeda.
Tetapi, hasil perhitungan dengan metode hisab dan ru’yah bil ain
menurut keputusan Muhammadiyah berbeda dengan kebijakan kraton yang masih
menggunakan kalender Aboge. Dengan keyakinan membawa kebenaran agama
Islam, Khatib Amin memberanikan diri menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VII
untuk menyampaikan informasi ini. Mendengar seorang abdi dalem
menyampaikan kebenaran agama, sang raja Yogyakarta bersikap sangat bijaksana. ”Berlebaranlah
kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi
menurut hitungan Aboge”, demikian jawab Sultan Hamengku Buwono VII kepada
Khatib Amin (Junus Salam, 2009: 156-157).
Kisah ini memang masyhur di kalangan warga
Muhammadiyah, tetapi hampir tidak ditemukan kejelasan bagaimana seorang pejabat
rendahan di dalam struktur pemerintahan Kraton Yogyakarta bisa melakukan
reformasi keagamaan secara struktural. Kapan peristiwa ini terjadi juga tidak
banyak buku yang menjelaskannya. Sebagai seorang Khatib, jabatan K.H. Ahmad
Dahlan jelas berada di bawah Hoofdpenghulu dalam struktur lembaga
Kepenghuluan Yogyakarta. Khatib Amin tidak mungkin bisa masuk ke dalam kraton
bertemu langsung dengan sang raja tanpa melewati otoritas Hoofdpenghulu.
Siapakah Hoofdpenghulu pada waktu K.H. Ahmad Dahlan menghadap Sang Raja
dalam kisah ini?
Jika tidak hati-hati membaca literatur sejarah,
para pembaca pasti bakal terjebak pada dua tokoh Kamaludiningrat sebagaimana
Hanung Bramantyo sewaktu membuat skenario film Sang Pencerah.
Sekali lagi, ada dua Kamaludiningrat. Yang pertama
adalah Hoofdpenghulu Mohammad Khalil
dan yang kedua adalah Hoofdpenghulu
Mohammad (Kiai Sangidu). Hoofdpenghulu
Mohammad Khalil Kamaludiningrat adalah musuh bebuyutan K.H. Ahmad Dahlan yang
meninggal pada tahun 1914. Hoofdpenghulu
Mohammad Kamaludiningrat adalah Kiai Sangidu, kawan seperjuangan K.H. Ahmad
Dahlan.
Dengan demikian, sangat tidak mungkin K.H. Ahmad
Dahlan menghadap Sang Raja dalam rangka mengajukan gagasan pembaruan di bawah
otoritas Hoofdpenghulu Mohammad
Khalil Kamaludiningrat. Yang paling mungkin adalah ketika jabatan Hoofdpenghulu sudah beralih ke tangan
Kiai Sangidu. Dengan demikian, peristiwa ini terjadi pasca tahun 1914, setelah
jabatan Hoofdpenghulu dipegang oleh
Kiai Sangidu.
Lewat dukungan Kiai Sangidu, K.H. Ahmad Dahlan memang
berhasil melakukan reformasi keagamaan di lembaga Kepenghuluan Kraton
Yogyakarta. Sejak K.H. Sangidu menjabat sebagai Hoofdpenghulu, K.H.
Ahmad Dahlan bekerjasama dengan lembaga Kepenguluan kraton Yogyakarta dan
Pakualaman. Hoofdpenghulu Muhammad Kamaludiningrat sangat kooperatif
dengan gerakan Muhammadiyah. Khatib Amin juga membuka kembali jalan
permusyawaratan para ulama yang sudah hilang. Musyawaratul Ulama di
Pakualaman yang dipimpin K.H. Abdulah Siraj juga merupakan partner
Muhammadiyah dalam memutuskan berbagai persoalan keagamaan.
Terhitung sejak tahun 1914, pasca peralihan
jabatan Hoofdpenghulu dari Mohammad
Khalil Kamaludiningrat kepada Mohammad Kamaludiningrat, gerakan Muhammadiyah mulai
memasuki Bangsal Priyayi, karena kantor Penghulu sudah bisa dipergunakan
sebagai wadah tabligh atas izin Kiai Sangidu. Sebelumnya, Bangsal Priyayi
adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu
dipegang oleh Kiai Sangidu, Bangsal Priyayi menjadi tempat penggemblengan
kader-kader muballigh Muhammadiyah. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar