Sabtu, 06 Oktober 2007

Karya Besar Seorang Butet

Malam itu, ia sakit. Tubuhnya yang kerempeng dan wajahnya yang pucat pasi betul-betul mengatakan kalau ia sedang sakit. Saya menjenguknya di Jalan Kaliurang ditemani kawan-kawan yang masih peduli pada masa depan kemanusiaan. Tapi, pertemuan malam itu betul-betul menggoda imajinasi saya. Terbetik dalam benak ini, "Karya besar lahir dari sebuah tindakan besar." Saya sadar, sejarah bukan hanya milik orang besar saja.

Namanya Saur Mariana Manurung. Tapi ia lebih akrab dipanggil Butet Manurung. Sarjana Antropologi lulusan FISIP Unpad ini telah mengawali ‘kerja besar’ yang tidak semua orang bisa melakukannya. Berbekal tekad dan ketulusan mengabdi, ia berhasil ‘menyadarkan’ suku-suku di pedalaman Jambi dan Riau untuk mengenali diri dan realitas rimba yang selama ini dipahami secara bersahaja. "Orang Rimba" (OR) selalu menganggap kedatangan "Orang Luar" (untuk menyebut orang yang bermukim di kampung atau kota) sebagai pihak yang akan merusak adat. Sebagai seorang antropolog, Butet jelas paham dengan pola pikir semacam itu.

Sewaktu membaca buku catatan hariannya, Sokola Rimba (2007), imajinasi saya terbang ke alam rimba belantara di pedalaman Jambi. Butet bercerita banyak tentang pahit-getirnya menjelajah rimba dan selama mengenal OR yang hidup amat bersahaja. Tidak jarang saya tertawa geli menikmati kisah-kisah udik, konyol, dan lugu, yang dituturkan secara lugas. Namun, tidak jarang timbul decak kagum dalam hati saya sewaktu Butet mengungkap tradisi luhur dan sistem sosial yang penuh toleransi. Ternyata, OR tidak pernah mengenal kekerasan, apalagi sampai membunuh sesama. Mereka juga sangat santun dan menghormati para tamu, sekalipun berasal dari "Orang Luar."

Sekalipun demikian, OR sangat tertutup dengan dunia luar. Walaupun dunia luar jauh lebih maju, tetapi mereka merasa telah cukup dengan kehidupan bersahaja di dalam rimba. Keluguan OR dimanfaatkan oleh Orang Luar. Mereka yang tidak kenal baca-tulis dengan mudah ditipu. OR tidak bisa mengelak karena mereka sendiri tidak tahu. Secara sistematis dan terencana, keberlangsungan hidup OR terus tergerus oleh laju pembangunan. Sementara OR sendiri tidak memiliki daya upaya untuk menangkalnya.

Membayangkan Butet Manurung mengingatkan saya kepada sosok guru bijak di Brazil, Paulo Freire. Sekalipun setting sosio-historisnya jauh berbeda, tetapi kedua tokoh ini menghadapi fenomena serupa: penindasan. Di satu sisi penindasan itu dijalankan oleh sistem yang mengatasnamakan pembangunan, tetapi di sisi lain menjelma dalam bentuk kultur yang turut melestarikan penindasan itu.

Pengalaman Butet ini juga merupakan satu bukti bahwa dia telah mengenalkan model pola pikir kepada suku-suku rimba yang tidak seperti lazimnya. Biasanya para aktivis LSM selalu mengenalkan nilai-nilai baru dengan dalih pendampingan terhadap suku-suku yang terancam punah. Tetapi pendekatan yang dipakai selalu menyeberang dari norma-norma adat setempat. Sudah pasti, OR akan enggan menerima ajakan para aktivis LSM. OR dianggap tidak berperadaban, padahal mereka mengaku memiliki sistem kebudayaan sendiri. Banyak program LSM dalam rangka pendampingan terhadap suku-suku rimba sebatas formalitas belaka.
Norma-norma dan tradisi yang telah mengkristal membuat OR tidak mudah dipengaruhi oleh orang luar. Satu hal yang membuat mereka tak berdaya menghadapi tekanan budaya orang luar: mereka tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Misalnya ketika OR menjual hasil hutan kepada orang luar, mereka tidak tahu seandainya ditipu. Mereka tidak bisa baca-tulis, apalagi menghitung.

Tampaknya, Butet melihat celah yang satu ini. Dia lantas mengajak suku-suku rimba untuk mengenal baca-tulis agar mereka tidak mudah dibodohi. Dengan tekun dia meyakinkan OR agar mereka memiliki wawasan yang luas supaya mampu memahami sumber permasalahan hidup secara kritis. Butet pun menawarkan sekolah kepada mereka.

Setiap perjuangan selalu melewati aral yang melintang. Butet hampir saja putus asa karena OR sudah sinis duluan mendengar kata "sekolah." Perasaan gengsi, dan mungkin curiga, sudah tertanam di benak para OR. Rupanya kesalahan pendekatan dan strategi yang dilakukan para aktivis LSM yang jadi biangnya. Mereka menerapkan program pendidikan untuk para OR tanpa memahami situasi batin, norma-norma adat, dan dan sistem sosial yang berlaku bagi masyarakat rimba. Niatan yang pada mulanya baik justru berbalik dengan disikapi secara sinis.

Butet masih tetap bersemangat untuk menyadarkan para OR. Mungkin ajakannya kepada para OR untuk bersekolah menjadi kesalahan yang teramat mahal harganya. Namun, di tengah-tengah situasi kritis, sebuah pemikiran cemerlang acapkali menyeberang di dalam benak. Butet berusaha melepaskan segala teori dan formalitas akademik demi menyelamatkan masyarakat rimba yang hampir punah itu. Jadilah konsep pembelajaran kritis yang tidak perlu teori muluk-muluk dan formalitas basa-basi. Bagi Butet, tujuan sekolah tidak untuk mengubah tata nilai adat setempat, namun untuk meningkatkan profesionalisme kerja.

Butet seorang antropolog dan mungkin dia tidak banyak membaca kisah sukses Paulo Freire sewaktu mengentaskan para petani buta huruf di Brazil pada tahun 1963. Kesombongan intelektualnya muncul ketika dia tiba-tiba mengajak orang-orang rimba supaya belajar kepadanya.

Ajakan Butet kepada orang-orang rimba itu justru menjadi batu sandungan baginya. Orang-orang rimba merasa gengsi ketika harus belajar kepada orang luar, apalagi kepada seorang perempuan seperti Butet. Ditambah lagi kesalahan fatal telah dilakukan oleh para aktivis LSM sebelum Butet yang memperkenalkan sistem pembelajaran formal kepada orang-orang rimba.
Konon, sekolah yang diselenggarakan oleh WARSI bersifat formal. Metode pembelajarannya statis. Bahkan memiliki kecenderungan bersifat doktriner. Tidak jarang anak-anak rimba yang malas mendapat hukuman fisik. Seorang guru dengan seenaknya main instruksi suruh ini dan itu tanpa dimengerti sama sekali oleh anak-anak rimba. Citra pendidikan formal telah dirusak sendiri oleh para aktivis LSM yang sesungguhnya mengemban tanggungjawab menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak rimba.

Butet mengenalkan baca-tulis kepada anak-anak rimba tidak seperti lazimnya para guru yang merasa sok paling tahu. Dia memang jadi guru, tetapi pada saat yang bersamaan dia adalah murid bagi anak-anak rimba. Inilah sebenarnya metode pembelajaran partisipatif seperti yang pernah diterapkan oleh Paulo Freire. Mungkinkah Butet Manurung telah membaca karya-karya Paulo Freire sebelumnya? Saya tidak tahu persis. Dalam buku Sokola Rimba, Butet tidak menyebut nama "Bapak Pendidikan Kritis" ini.

Dalam proses pembelajaran partisipatif, pola interaksi antara guru dan murid tidak bersifat formal. Seorang guru tidak harus mengenakan dasi dan bersepatu, tetapi Butet malah bertelanjang kaki dan kadang hanya mengenakan kain kemben. Tidak ada instruksi ini dan itu. Juga tidak ada ceramah yang menjadi simbol kesombongan intelektualnya. Yang ada hanyalah keterlibatan aktif antara guru dan murid. Status guru seakan-akan lebur menjadi seorang sahabat yang baik bagi murid-muridnya. Seperti Butet yang tengah mendidik anak-anak rimba, dia senantiasa siap menjadi murid bagi mereka. Atau sebaliknya, anak-anak rimba sewaktu-waktu dapat menjadi guru baginya.

Kurikulum nasional jelas tidak akan terpakai di sini. Mungkin saja masih dibutuhkan sistem evaluasi, tetapi dalam hal ini tidak terlalu diutamakan. Justru, anak-anak rimba lebih membutuhkan pengetahuan praktis berkaitan dengan kondisi alam di sekitar mereka. Untuk meningkatkan produktivitas kerja, orang-orang rimba lebih membutuhkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung.

Dengan kemampuan membaca, mereka bisa memahami setiap surat-surat penting yang datang dari pihak luar. Dengan kemampuan menulis, mereka bisa menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan sewaktu selesai membuat suatu perjanjian. Dengan kemampuan menghitung, mereka bisa mengetahui sendiri jumlah hasil hutan yang dijual kepada para penadah.

Belajar dari pengalaman Butet ini, kita menemukan arti pendidikan yang sesungguhnya. Butet telah melakukan kerja besar yang menghasilkan karya besar dalam menyadarkan suku-suku rimba di pedalaman Jambi dan Riau. Lewat karya besar ini, Butet juga telah menyadarkan kita akan arti pendidikan yang sesungguhnya.

Cinta dan Pengorbanan

Tidak saya pungkiri, setiap orang yang mencintai memang dituntut supaya berkorban. Sebab, cinta butuh pengorbanan. Cinta dan pengorbanan bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Cinta mensyaratkan pengorbanan. Adapun pengorbanan adalah bukti atas cintanya seseorang kepada yang dicintainya.

Cinta itu anugrah. Lazimnya manusia normal diliputi rasa cinta. Misalnya, cinta terhadap lawan jenis. Cinta kepada orangtua atau anak-anaknya. Cinta terhadap harta dunia yang mewah. Atau, cinta terhadap kedudukan yang bisa menjadikannya bagaikan seorang raja.

Pikiran saya terngiang pada kenangan beberapa tahun silam, ketika masih menempati kos di Wisma Bintang Harapan (Sapen). Ketika itu, saya berdebat. Dengan seorang teman. Perdebatan tentang hakekat cinta sejati. Adakah?

Sebuah pertanyaan klasik. Barangkali pertanyaan ini akan dianggap terlalu idealis. Tapi, kita memang tak bisa berkelit darinya. Pikiran kita pasti akan mengandaikannya.

Saya sempat mengandaikannya. Andaikan cinta sejati betul-betul ada, lantas, kepada siapakah kita menghambakan diri? Kepada istri yang cantik jelita? Kepada anak-anak? Kepada harta dunia? Atau, kepada pangkat? Waktu itu, saya belum menemukan jawaban.

Lewat pengembaraan maya dalam berbagai pertemuan dialogis, saya mendapati seberkas cahaya. Saya temukan harapan. Harapan untuk sebuah jawaban. Sewaktu menelusuri jejak-jejak kehidupan Nabi Ibrahim, pintu hati ini langsung terketuk. Saya tertegun sewaktu baca buku Jerald F. Dirks, Ibrahim Sang Kekasih Tuhan (2007). Rupanya, sejarahnya telah mengajari kita mengenal "cinta sejati."

Kota Ur, 4.159 tahun yang silam (2.152 SM). Anak muda itu mulai beranjak dewasa dan ia sedang mencari cintanya. Umurnya baru 14 tahun. Perangainya lembut. Sikapnya juga sopan. Tapi, jiwanya selalu gelisah. Pikirannya juga tak pernah tenang. Apa saja yang dilihatnya selalu jadi tanda tanya. Dalam gelisah, seakan-akan ia sedang bertanya, "Di manakah engkau wahai cinta sejati?"

Di tengah hiruk-pikuk kaumnya di kota Ur, yang memuja-muja Sin (Dewi Bulan), ia tetap tak bergeming. Ibrahim memang sempat mengamati bulan purnama yang elok (Qs. Al-An’am: 76). Malam yang bening membuat bulan terasa angkuh sendirian di langit. Planet Venus (Ishtar) pun diamatinya (Qs. Al-An’am: 77). Ibrahim juga menemukan satu planet cantik yang amat genit ini setiap kali senja menjelang. Matahari begitu mempesona (Qs. Al-An’am: 78). Shamash, Dewa Matahari, sempat membuatnya kagum. Tapi, ia bersikukuh tak akan jatuh cinta kepada mereka. Sebab, bulan itu bisa redup. Bintang juga sirna. Matahari pun tenggelam. Ia tak ingin cintanya redup. Juga tak menghendaki cintanya sirna, apalagi tenggelam.

Dalam keresahan hati dan kekalutan pikirannya, ia terus mencari cinta sejati. Ibrahim tak putus asa. Juga tak pernah bosan dalam pencarian yang meletihkan itu. Sampai suatu ketika, cintanya datang menghampiri.

Cintanya hanya ditujukan kepada Allah, Tuhan pencipta segala sesuatu. Rupanya, cinta sejati Ibrahim bukan kepada istrinya, Sarah, yang terkenal cantik lagi jelita. Cintanya juga bukan kepada anak-anaknya, Ismail dan Ishaq. Apalagi cinta terhadap harta bendanya yang konon berlimpah-ruah. Cinta sejatinya hanya kepada Allah (lillah), Dzat yang telah menciptakan dirinya (Al-Khaliq).

Karena cinta, Ibrahim rela diusir oleh kaumnya. Karena cinta, dirinya rela tidak diakui sebagai anak oleh ayahnya. Karena cinta, ia harus rela menerima hukuman dibakar oleh kaumnya. Itu semua hanya untuk mempertahankan cinta sejatinya—hanya cita kepada Allah.

Seberapa besar kadar cinta seseorang, hanya pengorbanan yang bisa membuktikannya. Ketulusan cinta sejati Ibrahim kepada Allah pun masih diuji dengan perintah supaya mengorbankan anak kesayangannya, Isma’il, sewaktu usianya masih belia (Qs. Ash-Shaffat: 102).

Isma’il adalah anak pertama Ibrahim. Ia memperoleh karunia seorang anak saleh ini dari istri keduanya, Hajar. Perempuan ini merupakan hamba sahaya hadiah dari salah seorang raja Mesir (Amaliq Hexos: Amaliqah Al-Heksus). Darinya, lahir keturunan Ibrahim yang kemudian menetap di lembah Bakkah.

Ketulusan hati Ibrahim mengorbankan Isma’il telah membuktikan kualitas cintanya kepada tuhannya. Cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Bahkan, sampai terhadap anak kesayangannya rela dikorbankan. Itu hanya untuk memenuhi tuntutan dari Kekasih Agungnya.
Sekali lagi, cinta memang butuh pengorbanan. Kata "korban" berasal dari bahasa Arab, "qurban", yang biasa diartikan "kurban." Dalam bahasa induknya, bahasa Arab, kata "qurban" berasal dari "qaraba" yang artinya "dekat" atau "mendekatkan." Jadi, pengorbanan dalam cinta bertujuan untuk mendekatkan seseorang kepada yang dicintainya. Seperti ketika Ibrahim mengorbankan Isma’il, tujuannya tidak lain agar dia makin dekat kepada Allah (taqarrub ilallah). Dengan menuruti keinginan dari yang dicintai (al-mahbub), seseorang akan makin dekat dengan yang dicintainya.

Merenungkan hakekat korban, kita dapat memahami hakekat cinta yang sesungguhnya. Cinta adalah keinginan yang tulus (ikhlas) untuk memberi. Cinta sejati ialah keinginan untuk mengabdi hanya kepada yang dicintai.

Tentu lain dengan hasrat. Hasrat itu hanya untuk memiliki. Biasanya, hasrat ditujukan kepada istri yang cantik. Atau, kepada anak-anak yang sehat dan cerdas. Atau pula, kepada harta benda yang penuh kemewahan.

Dalam cinta sejati, yang paling berhak untuk dicintai hanyalah Allah, sebagaimana pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Nabi Ibrahim. Dia telah menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang dicintai. Cinta kepada selain Allah adalah fana (profan). Sebaliknya, cinta kepada Allah adalah baqa (kekal).

Segenap ujian yang telah dijalani oleh Nabi Ibrahim adalah bukti ketulusan cintanya kepada Allah. Berbagai cobaan yang telah dia jalani adalah pengorbanan untuk membuktikan kualitas cintanya kepada Allah. Pengorbanannya yang tulus telah diterima oleh Allah sehingga dia berhak mendapatkan ridla-Nya. Maka, wajarlah jika Allah menjadikan Ibrahim sebagai "Kekasih-Nya" (Khalilullah).

Kamis, 04 Oktober 2007

Samy

Takdir itu tak kenal kompromi। Ia sewenang-wenang। Juga misterius। Gumpalan kabut menyelimutinya. Tak bisa ditebak. Juga tak mudah dipecahkan. Apa yang telah ditetapkan tak mungkin dapat diubah. Apa yang telah ditakdirkan tak dapat dibatalkan. Tapi nasib bukanlah takdir. Manusia memang tak dapat berkelit dari takdir, tetapi ia bisa mengubah nasibnya. Sebab, nasib ditentukan lewat pilihan. Dan, manusia memiliki kebebasan untuk menentukannya.

Setiap manusia memiliki kebebasan। Kebebasannya menghendaki lepas dari belenggu penindasan. Ia menghendaki kehidupan yang lebih baik. Tapi sayang, apa yang dikehendakinya belum tentu sejalan dengan realitas kehidupan yang ia jalani.

Hari itu, keberuntungan belum berpihak kepada Samy। Samuel Rory, begitu nama lengkapnya, adalah pria kelahiran Solo. Tubuhnya agak kurus. Umurnya 39 tahun. Ia lulusan S-2 di Oxford University.

Hari itu wajah Samy murung। Pikirannya mungkin lagi kalut. Atau barangkali ia sedang menelan kekecewaan. Rasa kecewa teramat dalam seakan-akan raut wajahnya sedang mengatakan itu. Di negeri ini, mencari pekerjaan teramat sulit. Sekalipun dengan modal ijazah S-2 lulusan Oxford University, tapi tetap saja masih terasa sulit, seperti apa yang telah dialami Samy.

Ia mengaku sudah berkali-kali cari lowongan kerja। Keluar-masuk perusahaan swasta atau instansi pemerintah sudah berkali-kali. Bahkan pengakuannya ini mungkin membuat telinga orang jadi panas. Mungkin juga membuat mata orang lain terbelalak, terpana, dan heran. Sebab, Samy sudah 5.074 kali mengajukan lamaran. Dan, sebanyak itu pula ia harus menelan kegetiran. Tak satupun instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang bersedia menerimanya. Sebanyak 5.074 kali lamaran yang ia ajukan, ternyata hanya dijawab dengan satu alasan: anda diffable!

Sebelumnya, maaf, kedua tangan Samy hanya tinggal satu jari। Kedua kakinya juga demikian. Kondisi fisiknya yang demikian merupakan pembawaan sejak lahir. Inilah kondisi ketika manusia tidak akan mampu lagi berkelit darinya. Ini sudah suratan takdir.

Samy mengaku setiap instansi yang ia masuki selalu keberatan melihat kondisi fisiknya। Kata orang, maaf, fisiknya ‘tak sempurna.’ Orang pun jadi sangsi dengan kemampuannya. Misalkan saja, jari Samy yang hanya satu dianggap tak mampu mengetik. Padahal, Samy sempat bertaruh, dirinya bisa bersaing dalam hal kemahiran mengetik dengan orang-orang yang dianggap lebih sempurna fisiknya.

Apa yang dialami Samy, sebenarnya, hanya secuil kisah balada yang juga dialami oleh ribuan kaum difable di Indonesia। Saya tak kuasa membayangkan betapa terpukulnya jiwa Samy. Keberadaannya dianggap sebelah mata oleh orang lain. Bahkan, kemampuannya juga disepelekan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Mungkin Samy marah। Atau, barangkali ia putus asa. Lalu ia buang jauh-jauh keinginan untuk bisa bekerja layaknya orang lain. Dengan nada kesal, ia mengaku telah merobek-robek ijazah S-1 yang diperolehnya di Fakultas Ekonomi UGM. Empat tahun kuliah di UGM dengan menggondol gelar sarjana S-1 dan secarik ijazah tak cukup buat mengubah nasibnya. Ijazah S-2 yang diperolehnya dari Oxford University juga sudah dimusnahkan. Lulusan dalam negeri maupun luar negeri sama saja. Dalam benaknya mengendap keyakinan bahwa sudah tak ada harapan lagi mengandalkan secarik ijazah untuk mengubah nasib bagi seorang difable seperti dirinya.

Kita harus mengakui akan kekeliruan sikap dan persepsi kita terhadap orang-orang semacam Samy ini। Kadang kita merasa iba melihatnya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, justru perasaan iba menjelma menjadi bentuk eksploitasi. Kita melihat Samy layaknya ‘orang langka’ atau manusia aneh disebabkan karena kondisi fisiknya yang memang tak lazim.

Kita juga sering lupa bahwa setiap manusia lahir ke dunia memiliki kondisi pembawaan yang berbeda dengan yang lainnya। Manusia memiliki segenap potensi yang dimilikinya, baik dari segi fisik maupun non fisik. Misalnya, dari segi non fisik, seseorang memiliki karakter emosional, pola pikir, dan mungkin keyakinan yang berbeda dengan yang lainnya. Dari segi fisik, seseorang lahir di dunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mungkin ia lahir dengan kondisi fisik yang amat memprihatinkan. Seperti buta (tunanetra), lumpuh, tuli (tunarungu), bisu (tunawicara), lemah mental, dan lain-lain. Inilah realitas kehidupan manusia yang bermacam-macam dari segi pembawaannya. Atau, inilah kondisi ketika manusia tak mampu lagi berkelit darinya.

Mereka yang terlahir, baik fisik maupun non-fisik, dalam kondisi tak lazim disebut kaum difable। Istilah ini, difable, berasal dari akronim "different ability people." Kamus Longman Advance American Dictionary (2000), menyebutkan pengertian difable sebagai, "Sebuah kondisi fisik dan mental yang dapat membuat seseorang kesulitan dalam mengerjakan sesuatu yang orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah."

Umumnya, masalah yang dihadapi kaum difable berupa "ketidakkeadilan." Mereka masih sulit mencari keadilan dalam sistem sosial kita, bahkan pemerintah pun menganggapnya sebelah mata. Ini bisa kita lihat pada kasus Samy yang harus dianggap sebelah mata oleh instansi pemerintah dan swasta ketika melamar pekerjaan sampai 5.074 kali, tetapi selalu ditolak. Padahal, alasan penolakannya hanya satu: difable! Untuk alasan-alasan lain tidak terlalu signifikan, karena ia alumni S-2 Oxford University yang sudah termasyhur di seantero jagad ini.
Memang, pemerintah sudah agak memikirkan, sekalipun belum terwujud dalam tindakan, akan nasib orang-orang yang ‘kurang beruntung’ ini। Undang-undang No. 4 Tahun 1997 sedikit menghargai keberadaan mereka, meskipun belum maksimal. Hanya sayang, pemerintah masih buta mata menganggap mereka sebagai "orang-orang yang dicacatkan."

Menyebut kaum difable sebagai orang-orang cacat atau tidak normal seakan-akan kita menilai mereka secara sewenang-wenang। Kita menilai mereka dengan "standar normalitas" berdasarkan perpektif orang-orang normal, bukan perspektif mereka sendiri yang harus menjalani kehidupan dengan kondisi yang amat memprihatinkan itu. Ada kesewenang-wenangan persepsi dalam diri kita. Ada penindasan lewat stigmatisasi yang tak seimbang. Atas dasar apa menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak normal?

Di Indonesia, kaum difable belum mendapat tempat yang layak। Apalagi dapat menempati jabatan strategis di sektor swasta maupun pemerintahan. Rata-rata, kaum difable kurang mendapat tempat untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia. Bahkan, keberadaan mereka masih dianggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita.

Ketika pemerintah membuka peluang PNS, misalnya, kaum difable acapkali dinomorduakan। Tidak jarang mereka disingkirkan। Yang diutamakan orang-orang yang dianggap lebih normal secara fisik maupun non fisik.

Jika kita memahami keberadaan kaum diffable dengan menggunakan paradigma multikultural, maka sebenarnya mereka termasuk bagian dari masyarakat yang berhak mendapat hak yang sepadan dengan orang-orang yang dianggap lebih normal। Namun realitas kehidupan kaum difable saat ini masih belum mengalami perbaikan yang cukup signifikan. Malah keberadaan mereka sering dilukiskan sebagai "kelompok marginal", karena persepsi dan apresiasi masyarakat umum, juga pemerintah, selalu menomorduakan. Akibatnya, mereka selalu dianggap sebagai "beban masyarakat" yang memprihatinkan.

Persepsi dan juga apresiasi masyarakat umum dan pemerintah belum bisa menerima kemampuan para difable। Padahal, di balik kelemahan fisik maupun psikhis, mereka mampu berpartisipasi dalam arus pembangunan yang kian menerjang. Bahkan, mereka memiliki kelebihan lain yang oleh orang normal tidak memilikinya. Seperti banyak kaum difable yang membuka panti pijat. Atau, bahkan ada sekelompok difable yang bisa mengikuti kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang normal, seperti Samy, misalnya. Malah, sekelompok kaum difable di Jogja pernah menaklukkan puncak Merapi beberapa bulan yang lalu. Tentu ini di luar persepsi kita.

Problem kaum difable menyisakan penindasan, baik secara struktural maupun kultural। Dalam konteks pendidikan, misalnya, perbedaan kemampuan secara fisik maupun non fisik mestinya menjadi bagian dari agenda pendidikan saat ini. Tetapi, pendidikan kita kurang mengakomodir problem disability. Akibatnya, banyak peserta didik yang memiliki kelemahan fisik harus kerepotan mengikuti proses pendidikan yang diselenggarakan secara konvensional. Pendidikan yang diselenggarakan secara konvensional cenderung menggeneralisir potensi-potensi peserta didik. Akibatnya, proses pendidikan yang diselenggarakan secara general hanya mengaburkan aspek perbedaan segi kemampuan itu, baik secara fisik maupun non fisik.

Problem difable bukan hanya pada kesulitan mengakses pendidikan, tetapi juga bagaimana mereka bisa berpartisipasi aktif mengisi pembangunan। Mereka selalu kesulitan mengisi jabatan publik, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perjuangan menuntut hak kesetaraan antara kaum difable dan mereka yang normal perlu digiatkan sejak dini. Saya sangat berharap agar pemerintah segera merancang Undang-undang kesetaraan hak antara kaum diffable dengan mereka yang normal dalam hal partisipasi publik. Sebab, UU No. 4 Tahun 1997 masih jauh dari pencapaian. Masih banyak distorsi dan miss-persepsi. Selama ini sikap pemerintah dan masyarakat juga kurang adil terhadap mereka. Jika hal ini terus dibiarkan, maka sebenarnya proses penindasan secara struktural dan kultural sedang berjalan terus-menerus. Sampai kapankah kaum difable akan mendapat penghargaan yang layak sebagai manusia?

Terus terang, saya cukup apresiatif dengan beberapa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini. Meskipun belum maksimal, namun beberapa kebijakan sudah agak mengakomodir kepentingan kaum difable. Seperti pemerintah yang telah mencetak mata uang tertentu dengan standard khusus yang memudahkan para difable untuk menggunakanya. Kebijakan tersebut jelas cukup mengakomodir kepentingan kaum difable. Akan tetapi, kebijakan tersebut baru sebagian kecil saja dari kebutuhan para kaum difable. Sebab, keberadaan kaum difable juga sama seperti keberadaan manusia biasa yang memerlukan fasilitas umum untuk kehidupan sehari-hari.
Dengan mengakomodir seluruh kebutuhan para kaum difable, berarti pemerintah dan masyarakat pada umumnya, telah menerapkan paradigma multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa। Karena, di samping bangsa Indonesia multietnis dan multireligion, juga multikultural. Kondisi kaum difable termasuk dalam bingkai multikultural, karena kemampuan (potensi) mereka yang secara umum membentuk sikap dan karakter berbeda dengan yang lain, sehingga bisa dikatakan sebagai bentuk kultur.

Oleh karena itu, pemerintah wajib mengagendakan multikulturalisme dalam merancang pembangunan bangsa Indonesia ke depan, agar lebih adil. Tentunya, agar kisah seperti yang dialami Samy tidak perlu terulang lagi.

Matinya Sang Singa

Pagi itu Sajida Talfah tampak gelisah। Di saat kesibukan umat Islam hendak merayakan Idul Adha (2006), perasaannya tambah gundah. Hatinya teriris-iris sewaktu mendengar berita kematian sang suaminya tercinta. Beberapa saat menjelang shalat Id, suaminya menghadapi tiang gantung. Seperti tak ada kata kompromi. Eksekusi harus dilaksanakan pagi itu juga: Sabtu, 30 Desember 2006.

Sajida pasrah। Pikirannya kosong dan hatinya tercabik-cabik. Pagi itu, suaminya mati mengenaskan. Suaminya menyusul anak dan cucunya, Uday dan Qusay.

Kalah itu menyakitkan। Apalagi kekalahan dalam politik, terasa makin menyakitkan. Yang kalah harus tersingkir. Sesudah itu, pasti bakal terpojok. Lebih menyakitkan lagi ketika kekalahan dimanfaatkan oleh musuh untuk balas dendam. Kisah Saddam Hussein, "Singa Padang Pasir," penguasa Irak selama 24 tahun itu, tak lebih dari sebuah kisah orang yang kalah secara politik. Matinya di tiang gantung akibat balas dendam musuh-musuhnya.

Putra Tikrit itu lahir di desa Awja, 28 April 1937। Dia berasal dari keluarga miskin. Dengan didikan keluarga yang keras, wataknya jadi garang seperti singa. Sewaktu ia berkuasa, maka kekuasaannya kian kokoh. Dan sepak-terjangnya pun tambah garang. Tak jarang musuh-musuhnya dibuat keder sewaktu berhadapan dengan Sang Singa ini.

Irak tahun 1957। Jenderal Abdul Karim Qassem berhasil menggulingkan pemerintahan Faisal II. Sang Singa termasuk orang yang tidak setuju dengan kudeta ini. Di tahun 1959, dia merencanakan pembunuhan terhadap Jenderal Qassem. Sang Singa didukung oleh Setan Besar, tapi rencananya gagal.

Di tahun 1969, bersama Partai Baath, Sang Singa berhasil merebut kekuasaan Presiden Abdul Karim Qassem। Jenderal Ahmad Hassan Al-Bakr diangkat menjadi Presiden dan Sang Singa menjadi wakilnya.

Karir politiknya di Partai Baath terus melejit। Dia terus berambisi menjadi "orang nomor satu" di Negeri Seribu Satu Malam itu. Pada tahun 1979, dia pun berhasil merebut kekuasaan dari Jenderal Ahmad Hassan Al-Bakr. Sang Singa menduduki jabatan sebagai kepala Negara, perdana menteri, pemimpin partai Baath, dan komandan militer angkatan darat sekaligus. Lengkap sudah kekuasaannya.

Tapi Sang Singa bukanlah orang suci। Dia bukan seorang nabi, apalagi malaikat. Dalam dunia politik hanya mengenal dua tipe manusia: teman atau musuh. Tapi, sungguh sulit menebak isi hati manusia. Siapakah teman? Siapakah musuh? Sulit sekali membedakannya. Seperti ketika Sang Singa berkuasa, teman-temannya ternyata banyak yang berkhianat.

Kekuasaan, seperti kata orang bijak, ibarat air laut। Tak bisa menghilangkan rasa dahaga. Air laut makin diteguk justru makin mendatangkan rasa haus. Begitulah ketika Sang Singa berkuasa. Ambisi kekuasaannya makin meluap-luap. Di tahun 1980-1988, dia melibatkan rakyatnya berperang melawan saudaranya sendiri, Iran. Ratusan ribu rakyat Irak mati sia-sia demi memenuhi ambisi kekuasaan Sang Singa. Dan dia pun kalah.

Di tahun 1990-1991 dia melibatkan rakyat Irak menginvasi tetangganya, Kuwait। Celakanya, justru Kuwait didukung oleh Setan Besar. Rupanya Setan Besar geram melihat ladang-ladang minyak santapannya diosak-asik Sang Singa. Dengan kekuatan perang yang canggih, Setan Besar melindungi ladang-ladang minyak santapannya itu. Singa kembali menelan ludah kekalahan.

Sang Singa marah besar karena sepak-terjangnya selalu diganjal oleh Setan Besar। Tak peduli lagi pertemanan. Dalam kekuasaan, tiap orang yang berbeda paham adalah musuh. Tahun 1990 hubungan pertemanan antara Setan Besar dan Singa putus. Saat itulah Singa sering mengaum, memperlihatkan taring-taringnya, juga kuku-kukunya, untuk menakut-nakuti Setan Besar. Sebaliknya, Setan Besar pun bertambah geram. Dengan berbagai taktik dan muslihat, Setan Besar berusaha mendongkel kekuasaan Sang Singa.

Setiap orang yang berkuasa memang selalu dihantui oleh muslihat musuh-musuhna। Ada syndrome bagi tiap orang yang berkuasa: khawatir kekuasaannya bakal tumbang! Begitu pula yang terjadi pada Sang Singa. Dan semua orang yang tidak sepaham dengannya dianggap musuh, termasuk Setan Besar. Sebaliknya, orang-orang yang selalu mengekor kepadanya dianggap teman.

Setan Besar berkoalisi dengan setan-setan kecil untuk memukul mundur pasukan Sang Singa। Tanggal 20 Maret 2003 awal mula jatuhnya kekuasaan Sang Singa. Atas nama demokrasi, keadilan, dan HAM, koalisi Setan Besar menghalalkan perang. Tapi yang namanya Setan tetaplah Setan, meskipun berkedok wajah manusia. Tugas Setan di dunia membuat kerusakan. Menjerumuskan umat manusia dalam kesengsaraan. Kerusakan di seluruh kawasan Irak akibat perang menjadi pemandangan paling bengis dan mematikan. Kesengsaraan ratusan ribu warga Irak jadi tontonan publik dunia. Tak ada media massa yang tak meluangkan ruang untuk pemberitaan korban perang warga Irak. Kota Baghdad yang dalam sejarah merupakan pusat peradaban dunia, kini tinggal puing-puing kehancuran. Baghdad tidak lebih dari sebuah potret kota mati.

Sang Singa akhirnya berhenti mengaum pada 13 Desember 2003। Dia tertangkap. Dia dikeler dari bungkernya di Tikrit. Tangannya diborgol dan mulutnya dibekap. Rupanya orang terdekatnya berkhianat. Dan dia pun makin sulit mempercayai orang. Karena, siapa kawan, siapa lawan, sungguh terasa sulit membedakannya.

Benar kata orang bijak, kekuasaan itu cenderung menindas। Saddam Hussein, Singa Padang Pasir, banyak melakukan dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahannya dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan. Dia pun tak bisa mengelak. Lewat pengadilan 19 Oktober 2005 dia dituduh mendalangi pembunuhan terhadap warganya sendiri. Dia dituntut hukuman mati untuk kasus pembantaian 148 warga Syi’ah di Dujail tahun 1982.

Hukuman mati mungkin setimpal untuknya। Sebab, Sang Singa masih menghadapi sekian banyak tuntutan. Di tahun 1983 dia terlibat pembunuhan 8.000 marga Barzani. Tahun 1988 juga terlibat pembunuhan 5.000 warga Kurdi di Halbaja dengan senjata kimia. Kemudian di tahun 1991 terlibat pembunuhan 1.000 warga Syi’ah di Irak Utara. Dan di tahun 1987-1989 terlibat pembantaian missal dengan senjata kimia menewaskan 182.000 warga Kurdi. Mungkin dosa-dosanya sulit diampuni. Putusan pengadilan memvonisnya mati. Usahanya naik banding pun ditolak.

Politik memang bisa mengubah segala-galanya। Teman bisa jadi lawan. Atau sebaliknya, lawan bisa jadi teman. Setan Besar yang dulu temannya, kini justru jadi seturu abadinya. Orang-orang terdekatnya banyak yang khianat. Dan Sang Singa tinggal mengaum sendirian, tapi tanpa taring-taringnya dan tanpa cakar-cakarnya yang tajam.

Pagi itu, beberapa saat menjelang shalat Id, Sang Singa mati tercekik dan Setan Besar tertawa menang। Kita lantas disadarkan pada sebuah doktrin: Kullu nafs dzaiqatu al-maut. Mati itu pasti. Setiap jiwa pasti bakal menuai ajal. Seperti Sang Singa itu.

Benar, di dunia ini tak ada yang kokoh. Segalanya rapuh. Di dunia ini juga tak ada yang digdaya. Sebab, semuanya pasti binasa. Umur digerogoti masa hingga badan meregang nyawa. Terenggut oleh maut yang tiap saat siap menjemput.

Rabu, 03 Oktober 2007

Orang (Tak) Bertuhan

Siapakah dia, lelaki berkaos putih kumal, berambut acak-acakan, yang duduk di pojok belakang bus ini? Dari tadi dia terus menatapku tanpa berkedip। Dasar tidak sopan! Orang belum kenal kok mengumbar mata tajam ‘mengundang.’ Dia menatapku tajam sekali, seakan hendak menantangku. Apakah dia pikir aku gentar melihatnya? Bodoh sekali! Aku tidak pernah gentar kepada siapapun!

Tubuhku bergoyang meliuk-liuk, mengikuti laju bus Jalur Selatan di atas jalan Rong Road yang berkelok-kelok। Knalpot bus menggeber-geber memuntahkan asap hitam pekat. Mungkin sepekat pikiranku yang sedang kalut. Sore itu, setelah merampungkan tugas kantor, kuputuskan untuk langsung pulang ke kampung halaman. Ketika pikiran sedang kalut, rasa rindu membuatku ingin pulang ke rumah. Setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman memang membuatku terngiang-ngiang pada sosok wajah yang selalu menghiasi hari-hari dalam pikiranku. Di kala pikiran kalut sedang merenggut, wajahnya tersenyum menyela di benakku, menguatkan semangat untuk terus bertahan hidup. Ketika hatiku sedang gundah gulana, wajahnya yang berseri-seri mengisyaratkan keteduhan.

Tapi dia… Ya, dia… Lelaki misterius itu। Yang duduk di pojok belakang bus ini. Yang selalu menatapku, membuntuti segala gerak-gerikku. Aku pun makin penasaran dibuatnya. Apa sih maunya? Dan kuputuskan untuk mendekatinya. Menerima undangan ‘tantangan’ di balik tatapan matanya yang tajam.

“Aku tidak mengundangmu!” katanya seraya menggelengkan kepala। “Aku tidak menantangmu!”

Jantungku berdebar-debar mendengar pernyataannya yang spontan। Sama sekali tak kuduga. Dia seakan-akan sedang menjawab pikiranku. Apakah dia mampu membaca pikiranku? Apakah dia punya daya linuwih, yang bisa weruh sebelum winarah?

“Pikiranmu sudah terkontaminasi oleh tayangan mistik di TV!”

Aku makin kikuk dibuatnya। Apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan dalam benakku, ternyata dia mampu membacanya. Jangan-jangan dia juga tahu kadar keimananku!

“Apa kamu dukun…? Paranormal…? Atau,… mungkin kamu orang keramat…?”

“Tak usah berandai-andai। Apakah kamu sudah tak ingat kaos kumal ini? Apakah kamu sudah lupa dengan model rambut acak-acakan seperti ini? Lihatlah dirimu sendiri! Bercerminlah!”

Dia memaksaku bercermin। Kaca jendela bus yang telah kusam berdebu menampakkan wujud seseorang dengan kaos putih kumal dan berambut acak-acakan. Seraut wajah tampak samar. Aku kaget melihat bayangan di kaca jendela bus yang kusam berdebu itu. Siapakah sosok di balik kaca itu? Aku sungguh tidak mengenalnya!

“Siapakah dia?”

“Siapakah dia?!”

“Ya, siapakah dia, sosok di balik kaca kusam berdebu itu?”

Dia diam, menatapku kosong. Kepalanya lalu tertunduk lesu. Lalu dia berpaling dariku. Apakah dia kecewa? Apakah dia mengira aku pernah mengenalnya?
Tubuhku terhentak membentur jok di depanku। Dia, lelaki misterius di sampingku, tetap saja acuh. Dan aku berusaha menatap kembali seraut wajah di kaca jendela yang telah kusam berdebu itu.

“Dialah aku!”, jawab lelaki misterius itu menyela lamunanku।

Bus Jalur Selatan berhenti di depan Pasar Gamping। Kenek bus menaikkan seorang penumpang tua. Dan tiba-tiba dari belakang penumpang tua itu seorang pedagang kasongan menyelinap masuk. Dia menawariku aqua dingin. Aku tak berminat. Tak kapok, dia terus membujukku. Dan aku tetap tak bergeming. Dia lalu menawariku buku TTS yang hanya seharga lima ratus rupiah.

“Daripada melamun, mendingan ngisi TTS!”

Aku tetap tak bergeming dengan tawarannya। Lelaki misterius di sampingku pun diam membisu. Dia cuek, seperti aku yang mengabaikan pedagang kasongan itu. Mungkin dia tak punya uang untuk beli aqua dingin atau buku TTS yang baru saja ditawarkan kepadanya. Dan bus Jalur Selatan kembali melaju dengan cepatnya.

“Apakah kamu tak punya uang buat beli aqua atau buku TTS?” tanyaku kepada lelaki misterius itu।

Dia diam। Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaanku. Atau dia memang masih menyimpan kekesalannya kepadaku? Pertanyaanku pun berlalu diterpa angin senja, yang menyelinap dari balik jendela kaca.

Lelaki misterius itu mulai menatapku dengan tatapan yang amat dalam। Tatapan matanya seakan-akan sedang mencari sesuatu di dalam mataku. Apakah yang dia cari? Mungkin dia sedang membaca kembali pikiranku? Aku merasa tidak asing lagi, sekalipun pikiranku harus dibaca olehnya. Entah mengapa, aku merasa makin akrab dengannya.

Dia tersenyum simpul। Aku pun tersenyum menyambutnya. Dan sungguh, ini suatu perkenalan paling aneh dalam hidupku. Selama ini, setiap orang asing yang melempar senyuman kepadaku selalu kubalas dengan dahi mengernyit. Tapi kali ini tidak. Aku membalas senyuman dengan senyuman. Bersama lelaki misterius itu, aku merasa menjadi manusia paling bijak. Dan aku pun makin akrab dengannya.

“Apakah kamu sudah shalat?”

Sungguh tak kuduga, pertanyaannya laksana petir menyambar di telingaku। Mungkin genderang telingaku hangus oleh pertanyaannya yang membakar itu. Sampai-sampai aku hampir lupa mengingat pertanyaan yang baru saja diucapkan olehnya.

Dia menanyakan sesuatu yang amat aku hindari untuk menjawabnya। Apakah dugaanku benar, dia telah mengetahui kadar keimananku? Apakah dia betul-betul memiliki daya linuwih? Sungguh tak kuduga, dia menanyakan pertanyaan yang aku sendiri berusaha untuk selalu menjauhinya. Karena aku telah meninggalkannya setelah lama bergumul dalam pertaruhan ide dan harapan.

“Tapi aku punya tuhan!”

Aku berkelit tanpa menjawab pertanyaannya। Pertanyaan itu tak mampu kujawab, tapi aku tak mau dikalahkan oleh sebuah pertanyaan.

“Kamu punya tuhan?!”

Dia sepertinya terheran-heran sambil menatapku tajam। Apakah dia tak percaya dengan pengakuan tulusku? Dan aku pun kembali menegaskan.

“Ya, aku punya tuhan!”

Dia masih saja kelihatan heran। Dan mungkin malah bingung dengan pengakuanku. Namun aku sempat berpikir, mengapa dia heran dengan pernyataanku yang sudah amat lazim itu? Apakah pengakuanku sebagai orang yang “bertuhan” menjadi sesuatu yang amat mengherankan di zaman sekarang ini? Atau, justru dia malah bingung dengan pengakuan seperti itu di kala manusia zaman sekarang mulai terbiasa secara terang-terangan menelanjangi kekuasaan-Nya? Di zaman sekarang, tuhan tak lagi menjadi kekuatan yang “Serba Maha.”

“Apakah aku harus menyembahmu?”

“Mengapa kamu harus menyembah aku?”

“Karena kamu punya tuhan”

“Tapi aku hanya manusia biasa। Tidak punya kekuatan luar biasa yang mampu mengubah nasibku sendiri, apalagi nasibmu”

“Kalau begitu, aku tak jadi menyembahmu”

Aku makin dibuat bingung oleh pengakuannya। Aku juga makin tak mengerti jalan pikirannya. Apakah dia tidak punya tuhan?

Angin senja berhembus mengurai rambut lusuh lelaki misterius itu। Cahaya senja menerpa rambutnya yang memerah laksana tembaga. Suara mesin menderu-deru berpacu menembus sang waktu. Roda terus berputar menggilas jejak-jejak kesubukan manusia di senja itu.

“Apakah kamu punya tuhan?”

“Tuhan yang mana?”

“Apakah tuhan itu banyak?! Bukankah tuhan itu cuma hanya satu?!”

“Tuhan itu sebanyak pikiran manusia”

Aku jelas tak bisa menerima jalan pikiran seperti itu। Bagiku, tuhan hanya satu. Jika tuhan banyak, bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman di dunia karena sudah pasti tuhan-tuhan akan saling berseteru. Tak dapat dibayangkan, bagaimana kehidupan di dunia jika terjadi perseturuan antar tuhan.

“Jika tuhan itu banyak, kamu akan memilih tuhan yang mana?”

“Aku tidak memilih”

“Jadi kamu tidak punya tuhan?!”

Lelaki misterius itu kembali menatapku। Kali ini tatapan matanya kosong. Apakah dia sedang bimbang karena tidak punya tuhan? Apakah dia sedang minta pelajaran dariku bagaimana cara menemukan tuhan yang benar? Perlahan-lahan kedua tangannya merengkuh tanganku। Terasa dingin। Mungkin angin senja mulai merasuk ke dalam tubuhnya hingga jiwanya menjadi dingin।

“Aku tak lagi berniat untuk menyembahmu। Aku pun tak mau menyembah tuhan yang dapat dimiliki. Seperti tuhan yang kamu miliki”

“Mengapa tuhan tak dapat dimiliki?”

“Sebab Tuhan yang dapat dimiliki adalah tuhan yang dikuasai। Kamu memiliki tuhan berarti kamu menguasai-Nya. Manakah sesungguhnya yang lebih kuasa, kamu atau tuhan. Daripada aku menyembah tuhan yang dapat dikuasai oleh dirimu, lebih baik aku menyembahmu yang dapat menguasai diri-Nya.”

Dia menahan napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya pelan-pelan.
“Karena kamu adalah manusia biasa yang tak mampu mengubah nasib, aku tak jadi menyembahmu। Hatiku tak dapat menerima tuhan yang lemah. Hatiku juga tak menerima tuhan yang dapat dimiliki.”

Aku tertegun sejenak। Tampaknya lelaki misterius ini jauh lebih mengerti siapa tuhannya.

“Aku memang lelaki “tak bertuhan”, karena aku ingin menjadi hamba-Nya। Aku memang tak memiliki-Nya, karena Dialah justru yang memiliki aku. Aku ini hamba, sedang Dia adalah Pencipta. Antara aku dan Dia dibatasi dinding tebal yang tak bisa dan tak akan mampu ditembus. Aku tak mungkin dapat memiliki-Nya. Aku heran, orang-orang mengaku memiliki tuhan kok jadi beringas? Aku bingung, mereka mempertahankan keyakinan tuhan itu satu, padahal Dia sebanyak pikiran kita tentang-Nya. Dan yang paling aku tak mengerti, mereka merasa berbuat sekehendak tuhan, merasa membawa kebenaran tuhan, dan mengaku mendapat jaminan dari tuhan. Mereka jelas telah memaksakan diri membaca pikiran tuhan, seperti aku yang telah membaca pikiranmu. Mereka telah menguasai diri tuhan, seperti aku yang telah menguasai pikiranmu.”

Aku pun sadar। Tuhan memang tak dapat dimiliki. Tuhan yang dapat dimiliki berarti tuhan dalam kekuasaan diri kita. Tuhan dalam pikiran kita. Kita pun dapat memperbudaknya. Tuhan yang seperti itu jelas sangat naïf! Apakah ini yang menjadi kesalahan kita dalam memahami keberadaan tuhan? Seperti aku yang menemukan tuhanku, tetapi telah kukuasai?

“Selama ini aku merindukan kehadiran-Nya dalam hatiku। Aku berusaha menemukan jalan bagaimana memahami-Nya. Tetapi aku selalu di ambang keraguan. Setiap kali kutemukan Tuhanku, justru apa yang kudapati hanya Tuhan dalam pikiranku. Bagaimana dengan tuhan dalam pikiran orang lain? Yang paling aku takuti ketika tuhan dalam pikiranku berseteru dengan tuhan-tuhan dalam pikiran orang lain. Aku berusaha menemukan-Nya sebagaimana hakekat-Nya. Tetapi aku tak dapat berpaling dari keakuanku yang selalu memaksa untuk menjamah-Nya.”

Lelaki misterius itu seakan-akan mengeruk seluruh isi hatiku, dan mengungkapkannya lewat kata-kata yang mengucur deras dari mulutnya। Aku makin penasaran.

“Siapakah kamu sebenarnya?”

“Aku adalah aku, ketika kamu mengurung diri dalam egomu! Tetapi aku adalah dia, ketika kamu makin keras kepala mengutuk dirimu। Dan aku adalah dirimu, yang selalu bercakap-cakap dalam keheningan, bercanda bersamamu dalam ide-ide dan harapan, di lubuk hatimu.”

Tiba-tiba saja aku seperti mendapati diriku dalam genangan lautan bir। Hanyut bersama ide-ide dan harapan yang memabukkan. Larut bersama lautan ide dan harapan yang terus menghasut membuatku lupa pada diriku sendiri. Betapa sombongnya diriku yang berusaha menguasai diri tuhan. Betapa egoisnya diriku yang berusaha memiliki-Nya.

Terima kasih kepadamu, hai lelaki misterius! Kamu telah menyadarkan aku bahwa tuhan memang tak dapat dimiliki। Tuhan jelas tak dapat dikuasai. Karena setiap usaha memiliki tuhan berarti menguasai-Nya. Apakah kita yang mengaku memiliki tuhan telah menguasai-Nya? Apakah tuhan telah menjadi sedemikian lemah sehingga setiap orang mengaku dapat memiliki (menguasai)-Nya?

Orang yang mengaku bertuhan sama saja dengan orang yang mengaku tak bertuhan। Ada kabut yang menggumpal dalam pikirannya. Ketika orang mengaku paling benar memiliki tuhan, bahkan mengaku atas nama tuhan melakukan teror kepada orang lain yang justru sama-sama mengaku bertuhan, di situ kabut makin menggumpal menutupi hakekat. Sama saja orang yang mengaku bertuhan dengan orang yang mengaku tak bertuhan.

Senja menjemput Maghrib। Pasar Petanahan di depan mataku. Bus Jalur Selatan telah mengantarku pulang ke kampung halaman. Dan segera aku terjaga dari lamunan. Udara dingin berhembus dari arah pantai selatan merasuk ke dalam paru-paruku. Terasa sejuk menyegarkan rongga dadaku.

Ayah, aku telah kembali!


Petanahan, Juni 2007

Buku Kamar, Bukan Buku Mimbar

"Buku ini, dalam dunia perbukuan, sering disebut "buku yang bukan buku", karena berisi kumpulan tulisan", begitu komentar salah seorang penulis sekaligus praktisi perbukuan di Jogja terhadap karya saya yang terbaru। Kemudian, ia mempertanyakan kepada saya, apakah beberapa artikel yang kemudian disunting menjadi sebuah buku itu sudah pernah diterbitkan lewat media massa, atau hanya sebatas catatan refleksi pribadi yang kemudian didokumentasikan? Jika beberapa artikel itu berupa catatan refleksi penulis, maka buku tersebut masuk kategori "buku kamar." Yaitu jenis tulisan (artikel) yang ditulis sebagai bacaan sendiri atau hanya untuk kepuasan bathin penulisnya. Umumnya, jenis artikel yang demikian ditulis tidak untuk diterbitkan. Tema-temanya juga sangat subyektif, karena hasil refleksi penulisnya.

Kemudian, seandainya beberapa artikel tersebut telah dipublikasikan, entah lewat media massa ataupun forum-forum diskusi, buku tersebut masuk kategori "buku mimbar।" Yaitu buku yang berisi artikel-artikel yang telah dipublikasikan lewat media massa atau forum-forum diskusi. Namun, analisis penulis terhadap beberapa tema tulisannya menjadi terbatas. Sebab, media massa memang terbatas pada ruang pemuatannya. Atau, forum-forum diskusi yang juga terbatas pesertanya.

Memang, dari sembilan buku yang telah saya terbitkan, hanya dua yang bisa disebut "buku utuh।" Selebihnya jelas dikategorikan dalam "buku yang bukan buku", jika menggunakan istilah di atas. Namun saya punya prinsip bahwa setiap karya dalam bentuk buku, baik dalam kategori "buku utuh" ataupun "buku yang bukan buku" tetap merupakan karya intelektual yang sangat berharga bagi masa depan peradaban umat manusia. Sehingga sampai saat ini, meskipun telah berkali-kali dikritik, namun saya tetap bertahan pada prinsip ini. Saya tetap akan menerbitkan artikel-artikel yang kemudian disunting menjadi sebuah buku.

Apalagi ketika "buku yang bukan buku" itu dipilah dalam dua kategori: "buku kamar" dan "buku mimbar", saya makin tergerak untuk mengatakan bahwa sejatinya inti buku itu bukan pada jenis tulisan, sistematisasi tema, dan kaidah-kaidah lain yang masih terkait। Inti buku adalah bagaimana gagasan-gagasan yang disuguhkan mampu menggugah semangat, merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu, atau dalam istilah lain sebagai proses transformasi sosial.

Jika mengamati dari sekian banyak buku, justru saya melihat buku-buku kategori "buku yang bukan buku", khususnya "buku kamar", yang telah banyak merubah dunia। Sebut saja buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir, Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, Habis Gelap Terbitlah Terang karya R.A. Kartini, dan masih banyak lagi. Meskipun dinilai sebagai "buku yang bukan buku", bahkan masuk kategori "buku kamar", tetapi mampu menggugah semangat dan mempengaruhi para pembaca untuk melakukan transformasi sosial.

Kemudian dalam konteks lain, untuk "buku yang bukan buku" dalam kategori "buku mimbar", justru kebanyakan penulis dan cendekiawan beken yang memproduksinya। Lihat saja buku-buku karya Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Jalaludin Rachmat, Syafi’i Ma’arif, Yasraf Amir Piliang, Gus Dur, Amien Rais, Amin Abdullah, Emha Ainun Nadjib, Munir Mulkhan, dan masih banyak lagi. Karya-karya mereka, pada umumnya, berupa "buku yang bukan buku", namun masuk kategori "buku mimbar." Sebab, gagasan-gagasan yang tertuang dalam tulisan mereka sudah dipublikasikan lewat media massa dan forum-forum diskusi prestise (sarasehan, seminar, lokakarya, diskusi ilmiah).

Atas dasar inilah, saya semakin yakin bahwa subtansi buku bukan hanya terkait pada bagaimana ia ditulis (jenis tulisan, sistematisasi tema, dan kaidah-kaidah tertentu), tetapi lebih pada subtansi gagasan yang terkandung di dalamnya। Memang saya mengakui bahwa kategori "buku yang bukan buku" amat riskan. Jika penyunting atau editornya tidak selektif, maka yang terjadi justru buku akan seperti buah karya "oplosan", seperti polemik kasus yang pernah diulas di salah satu harian nasional kita beberapa waktu yang lalu.

Dalam hal ini, saya memandang kelebihan sekaligus kelemahan karya intelektual kategori "buku yang bukan buku" itu। Buku tersebut biasanya berisi serpihan-serpihan gagasan dengan kasus yang berbeda-beda. Dengan demikian, perspektif penulisnya akan lebih berwarna dalam membaca sekian banyak kasus, tetapi dengan mind set yang sama. Kemudian, bagi "buku mimbar", kelebihan berikutnya terletak pada segi kualitas kepenulisan (jurnalistik)-nya, karena telah melewati dua proses seleksi sekaligus, yaitu seleksi di redaksi media massa dan penerbit buku.

Adapun kelemahannya terletak pada sistematika gagasan pokok, kemungkinan terjadi pengulangan tema dan kasus, tulisan sangat singkat (ringkas), tetapi padat berisi, dan beberapa tema cenderung kelihatan dipaksakan। Namun, justru kelemahan itu menjadi tugas pokok seorang penyunting atau editor untuk dapat menyajikan serpihan-serpihan gagasan menjadi sebuah buku utuh. Jadi, persoalan kategori "buku yang bukan buku" sebenarnya karena proses penyuntingan atau pengeditan beberapa artikel tersebut yang tidak maksimal, sehingga terkesan seperti karya intelektual "oplosan." Seandainya kerja penyunting atau editor dapat maksimal, meskipun suatu buku berasal dari serpihan-serpihan gagasan (kumpulan artikel), akan dapat menjadi sebuah buku utuh. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan dalam menyeleksi buku-buku bagi kalangan penerbit. Apalagi untuk buku berisi kumpulan artikel yang kata orang disebut-sebut sebagai "buku yang bukan buku."

29 Maret 2006

Selasa, 02 Oktober 2007

Bisikan

Aku masih mencium aroma kesibukan manusia di Jalan Bimokurdo. Terdengar riuh. Aku yakin mereka berjejal di pinggir-pinggir jalan hanya untuk menghabiskan sisa hari ini.

Ah, masih sore! Baru pukul sembilan! pikirku. Aku memang lebih terbiasa dalam kesunyian. Ketika orang-orang sudah lengah dibuai selimut tidur. Ketika malam tinggal sekeping, aku baru memulai aktivitasku. Menulis.

"Tapi aku tidak bisa menunggu hanya untuk sebuah keheningan…"

Bisikan lembut menyeberang di benakku. Dingin dan lembut. Selembut asap putih yang tiba-tiba menyapu keningku. Dari sebatang rokok kretek yang baru saja kusulut.

Bisikan itu jelas sekali. Di sela-sela alunan musik natural Kitaro yang selalu menemaniku memainkan tombol-tombol keyboard, bisikan itu amat membekas di benakku. Tapi aneh. Sungguh aneh sekali. Mengapa telingaku tak mendengar bisikan? Mengapa tak terdengar suara? Apakah aku sudah tidak menghiraukan lagi orang-orang di sekitarku?

"Mungkin dia setan atau iblis yang bersarang dalam benakku!"

Di atas meja, dua lembar Buletin Jum’at masih tampak baru. Dan memang baru saja dicetak. Hari ini hari Kamis. Besok bulletin itu pasti bakal beredar di seluruh masjid-masjid di Sapen. Tadi baru saja dua orang pengelola bulletin itu berkunjung ke kosku yang sempit ini. Aku selalu diminta untuk mengoreksi sekaligus mengritisi karya jurnalistik mereka.

Malam ini, sekalipun masih sore, tapi udara terasa dingin sekali. Dinginnya menusuk tulang. Perubahan musim memang terasa sekali. Aku yakin, di kampung halamanku sedang pesta panen padi musim rendheng. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku melayang ke kampung halaman. Memang sudah lama aku tidak pulang kampung.

Sejak tadi sore aku sudah berniat dalam hati. Aku berniat malam ini aku harus menulis. Ya, menulis sesuatu. Memang tidak terlalu penting. Tidak terlalu menarik untuk khalayak umum. Tapi, bagiku teramat penting. Sebab ini menyangkut profesiku sebagai penulis.

Secarik kertas warna biru muda masih tersimpan baik di saku jaketku. Kupungut dan kutimang-timang. Lipatan-lipatannya masih tampak baru. Di atas pojok kiri terpampang logo sebuah penerbit:

Tajidu Press
Nyutran MG II/1465 A Yogyakarta
Telp. (0274) 413708 Faks. (0274) 413732

Ini kuitansi pembayaran royalty dari penerbit buku yang telah mengorbitkan karyaku pertama kali: Muslim Liberal. Kuitansi ini merupakan pembayaran royalty yang ketiga kalinya. Kali pertama di tahun 2003. Kali kedua di bulan Maret 2007. Kali ketiga hari Kamis tanggal 26 Juli 2007 pukul 16.30.

Seminggu yang lalu, aku sudah mempersiapkan sebuah rencana. Aku ingin membeli buku History of Arabs. Karya Philip K. Hitti. Harganya lumayan mahal. Sekitar Rp.125.000,- Tak masalah bagiku untuk buku sekelas ini. Aku memang tidak terlalu berhitung-hitung untuk beli buku bagus. Asalkan uang cukup, segera aku beli. Tapi jika tak ada uang, aku terus sabar menanti.

Tapi sungguh tragis sore ini bagiku. Tragis sekali. Yang membuat hatiku miris ketika harus mengeja besarnya nominal uang pembayaran royalty ini. Sampai-sampai aku tak percaya melihatnya. Di pojok kiri bawah tertulis sebuah angka. Lidahku jadi terasa kaku untuk mengejanya.

Rp. 31.000,-

Aku pun terpaksa mengejanya. Terasa berat tapi aku harus menerimanya. Inilah kenyataan. Aku mengejanya seraya membuang jauh-jauh rencanaku semula. Harapan memiliki buku karya Philip K. Hitti tinggal angan-angan. Bagaimana aku dapat membelinya jika uang pembayaran royalty buku ini hanya sebesar Rp. 31.000,-? Padahal hidupku selama ini bergantung kepada pembayaran royalty buku-bukuku yang tersebar di beberapa penerbit.

Hari ini aku dipaksa menelan kekecewaan. Jantungku berdetak kencang dan darahku pun mendesir. Pikiranku tiba-tiba jadi kalut. Dalam batinku berontak. Apakah kenyataan ataukah rekayasa para penerbit yang tidak pernah memikirkan nasib penulis? Aku ragu jika kenyataan ini suatu kebenaran. Di depan kuitansi ini, seakan-akan aku ragu bahwa "kebenaran itu pahit."
Aku mulai melupakan sosok misterius yang dari tadi terus membisikiku.

Sayup-sayup terdengar mesin motor dari kejauhan. Di Jalan Bimokurdo. Suaranya semakin menderu-deru. Sesekali knalpotnya digeber-geber. Aku tahu! Jangan dikira aku tuli pada tanda-tanda! Bukankah knalpot-knalpot itu sedang mengepulkan sisa-sisa ketamakan manusia?! Tarik lagi gasnya biar semua orang mendengar suara motormu!

"Kebenaran laksana jadam yang kau kunyah. Pahit. Tetapi hasilnya akan terasa lebih manis daripada madu"

Bisikan itu kembali hadir!

Di benakku dia melintas. Kali ini bisikan itu terasa amat bijaksana. Siapakah sebenarnya sang pembisik itu? Jika dia setan atau mungkin iblis, mengapa memperingatkanku dengan bijaksana sekali? Mengapa dia tidak memprovokasiku biar jadi beringas? Mengapa dia tidak menyuruhku membanting gelas kopi di sampingku ini? Mengapa dia tidak menghasutku supaya mencerca penerbit Tajidu yang membayar royaltiku amat kecil?

Tanda tanya menyelimuti pikiranku. Aku diam sejenak sambil menikmati alunan musik terapi yang konon bisa merangsang imajinasi. Lagu Mirage baru berakhir. Kini telingaku disuguhi lagu yang hanya berisi syair: hong wani feh-feh hong!

Syairnya monoton tapi musiknya teduh. Irama biolanya yang mengalun membuat jiwaku mengawang-awang. Tak peduli telingaku harus dijejali syair yang monoton itu. Toh, duniaku mulai terasa damai dan pikiranku kembali jernih. Detak jantungku kembali normal dan desiran darahku mulai mereda.

Sst! Ada yang aneh. Ini jelas terasa aneh dan membuatku makin penasaran. Mengapa sosok misterius itu tidak kembali membisikiku? Seakan-akan dia menghilang seiring dengan terbukanya batin dan terangnya pikiranku?

Dia memang misterius. Datang tanpa diundang, pergi tanpa permisi. Dalam sekejap dia menghilang tanpa memberi tanda-tanda. Tapi biar. Aku akan acuh kepadanya.

Malam ini, aku disadarkan pada sebuah kenyataan. Profesi menjadi penulis tidak sehebat yang dikira banyak orang. Aku sadar bahwa menjadi penulis, meskipun memiliki beban yang berat, tapi hasilnya tidak seperti yang diangan-angan.

Aku memang harus menelan kenyataan pahit ini. Apa yang aku harapkan sering tidak sesuai dengan apa yang aku terima.

Sapen, 26 Juli 07

Maafkan Aku, Kawan...

Aku diam bukan berarti bisu. Tak menyapamu bukan berarti aku mengabaikanmu. Aku berpaling bukan karena benci. Aku yang tak menyapamu bukan berarti sedang mengabaikanmu.

Saat ini aku putuskan untuk menyendiri. Hanya untuk sementara. Pikiranku tersita banyak untuk memahami jalan hidupku, cita-citaku, dan rencana hari depan yang entah kapan dapat kuwujudkan. Dalam kesendirian, aku menemukan semangat hidup untuk menyusun sebuah rencana. Kini, aku punya rencana.

Jika kamu heran, aku pun sadar. Jika kamu sebal, aku pun paham. Memang tidak wajar bagiku untuk memikirkan hal-hal yang orang lain sendiri mengabaikannya. Sungguh di luar batas kewajaran jika aku sekarang ini tidak menempuh jalan hidup seperti kebanyakan orang. Berapakah umurku? Bagaimana masa depanku? Apakah aku sudah hidup mapan? Jangan tanyakan kepadaku. Tanyakan saja kepada mereka yang membuang-buang energi untuk menanyakan hal-hal yang aku sendiri tidak memikirkannya.

Maafkan aku, kawan, jika aku terkesan mengabaikanmu.

Jika aku berpaling, bukan berarti aku sedang membencimu. Aku tidak akan membencimu. Sekalipun kamu mencaciku, aku tidak akan benci. Karena aku percaya kepadamu. Aku percaya, karena kamu bisa menjaga rahasia.

"Rahasia itu titipan." Tapi, kawan, rahasia bagiku adalah kelemahan. Setiap kali kuceritakan rahasia-rahasiaku kepadamu, kamu akan menemukan titik-titik kelemahanku. Banyak rahasiaku. Banyak kelemahanku.

Maafkan aku, kawan, jika aku terkesan membencimu.

Sungguh, aku tidak sedang membencimu. Memang tak aku pungkiri, aku pernah membenci orang. Tidak hanya seorang, tapi banyak orang. Selama ini mungkin aku bisa bohong kepada dirimu, tapi tidak kepada diriku sendiri. Dengan sangat terpaksa aku bohong, tapi batinku selalu berontak. Aku tak bisa bohong kepada diriku sendiri.

Yang kubenci bukanlah dirimu, tapi orang-orang tidak bisa dipercaya. Mungkin mereka tak akan pernah bisa dipercaya. Mereka tak bisa menyimpan rahasia. Atau, barangkali mereka tak pernah atau tak mau memahami arti sebuah rahasia.

Ingatlah, rahasia itu titipan. Jagalah baik-baik titipan itu. Tapi sayang, mereka yang pernah kutitipi rahasia tak bisa menjaganya. Sekalipun mereka pernah meminta maaf kepadaku, tapi rahasiaku tetap saja diobral murahan.

Rupanya benar, "Binatang buas tetap saja buas, sekalipun kuku-kukunya telah tumpul" Atau, "Anjing tetaplah anjing, sekalipun dipelihara di antara binatang buas"

Bodoh sekali mereka yang menganggap aku tak bisa marah. Bodoh sekali mereka menganggap aku tak punya nyali untuk berontak. Aku ini manusia. Darahku langsung mendesir sewaktu tahu rahasiaku jadi bahan gunjingan. Kabut menyelimuti pikiranku hingga aku pun bisa kalap. Nafsu primitifku bisa saja langsung menguasai ubun-ubun sewaktu mendengar mereka menjual rahasiaku murahan.

Maafkan aku, kawan, jika aku terlalu banyak diam.

Aku diam bukan berarti bisu. Tak berkata-kata bukan berarti aku tak punya ide yang melintas di benakku. Tak bicara bukan berarti aku tak punya kata-kata yang harus kuucapkan. Tidak. Justru tamu-tamu tak diundang sewaktu-waktu berkunjung. Tanpa kenal situasi, mereka datang bergerombol, menyerbu bilik sunyi yang sengaja aku sediakan. Di dalam ruang imajinasiku yang senantiasa menanyakan.

Maafkan aku, kawan, jika aku selalu menyendiri.

Kuputuskan untuk menyendiri sementara. Dalam kesendirian aku merasa teduh dan damai. Dalam keheningan malam kutemukan batinku yang sejuk menyirami keringnya ladang pikiranku. Sewaktu pikiranku berkecamuk, keheningan malam berhembus lembut menyapu ruang imajinasiku.

Ada ruang di dalam benakku. Samar-samar tapi aku bisa mengenalinya. Kedua mataku tak mampu melihatnya, tapi aku bisa merasakannya. Kedua tanganku tak mampu menjamahnya, tapi aku bisa merasakan kehadirannya. Ada ruang tak bersekat di dalam benakku.

Imajinasiku yang terus menggumpal, aku mengubahnya menjadi relung sunyi tempatku mengasingkan diri. Di sudut sana, ke arah kiblat, aku membangun sebuah bilik. Kecil dan sederhana tanpa atap. Tak ada lantai. Juga tak ada meja tamu. Hanya sebatang lilin kecil. Itu pun sisa-sisa perjamuanku tadi malam.

Aku yang mengasingkan diri tidaklah sendirian. Setiap malam aku selalu mengadakan perjamuan. Menjamu tamu-tamuku yang tiap saat senantiasa berkunjung. Pada sepertiga malam yang terakhir.

Maafkan aku, kawan, jika kamu melihatku seakan aku acuh tak acuh kepadamu.

Sungguh, aku tidak mengacuhkanmu. Aku tidak sedang mengabaikanmu. Pikiranku hanya sibuk menjamu tamu-tamuku yang datang silih berganti. Mereka selalu menggiringku bertanya, membaca tanda-tanda.

Mereka liar, memaksaku bertanya menembus batas-batas norma. Mereka buas, memaksaku berpikir mencabik-cabik tatanan etika. Tapi mereka tak pernah menyakiti. Sekalipun marah, mereka tak pernah menggertak. Sekalipun kesal, mereka tak pernah sebal. Mereka tak pernah mengejek, apalagi menggunjing rahasia-rahasia murahan.

Maafkan aku, kawan, jika kamu sebal kepadaku.

Aku sadar jika aku selalu tampil acak-acakan. Kamu sebal sewaktu melihatku selalu tampil seperti anak urakan. Hampir setiap saat aku memang selalu begitu. Dulu begitu dan kini pun juga begitu. Mungkin esok dan lusa pun akan begitu juga. Selalu acak-acakan. Seperti anak urakan. Tak pernah memperhatikan penampilan.

Aku memang tak sempat merawat tubuhku yang mulai kerempeng ini. Aku juga tidak pernah necis sekalipun harus bertemu pejabat. Karena aku lebih suka pada diriku sendiri tanpa rekayasa, tanpa polesan. Sebab aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin melihat diriku apa adanya.

Maafkan aku, kawan, jika kamu heran melihatku.

Mungkin kamu heran selalu mendapati diriku dalam keadaan bingung atau seperti orang gila. Kamu tidak tahu, hatiku selalu bimbang. Pikiranku selalu berkecamuk. Tamu-tamuku menggoda hatiku sehingga aku harus memilih dan aku pun harus memutuskan. Padahal, memilih dan memutuskan merupakan pekerjaan terberat bagiku. Karena apa yang aku pilih belum tentu sejalan dengan kenyataan. Dan, apa yang aku putuskan juga belum tentu kebenarannya.

Aku selalu dalam kebingungan. Memikirkan apa saja yang baru kulihat dan apa saja yang baru kuperhatikan. Tamu-tamu yang singgah di bilik imajinasiku selalu mengajakku bercakap-cakap dalam kesunyian. Tak ada kata-kata dan tak ada suara-suara. Hanya membisik lembut, namun kuat membekas sewaktu melintas di benakku.

Mereka selalu mengajakku berdebat. Berdebat dan terus berdebat tanpa kesudahan. Semakin aku menjamu mereka, semakin aku kewalahan dan aku makin di ambang kebingungan. Dalam kebingungan, aku disibukkan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku kewalahan karena setiap pertanyaan selalu kujawab dengan pertanyaan. Aku kerahkan segenap daya pikiranku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, hingga duniaku pun makin terabaikan.

Maafkan aku, kawan, inilah duniaku…