Rabu, 03 Oktober 2007

Buku Kamar, Bukan Buku Mimbar

"Buku ini, dalam dunia perbukuan, sering disebut "buku yang bukan buku", karena berisi kumpulan tulisan", begitu komentar salah seorang penulis sekaligus praktisi perbukuan di Jogja terhadap karya saya yang terbaru। Kemudian, ia mempertanyakan kepada saya, apakah beberapa artikel yang kemudian disunting menjadi sebuah buku itu sudah pernah diterbitkan lewat media massa, atau hanya sebatas catatan refleksi pribadi yang kemudian didokumentasikan? Jika beberapa artikel itu berupa catatan refleksi penulis, maka buku tersebut masuk kategori "buku kamar." Yaitu jenis tulisan (artikel) yang ditulis sebagai bacaan sendiri atau hanya untuk kepuasan bathin penulisnya. Umumnya, jenis artikel yang demikian ditulis tidak untuk diterbitkan. Tema-temanya juga sangat subyektif, karena hasil refleksi penulisnya.

Kemudian, seandainya beberapa artikel tersebut telah dipublikasikan, entah lewat media massa ataupun forum-forum diskusi, buku tersebut masuk kategori "buku mimbar।" Yaitu buku yang berisi artikel-artikel yang telah dipublikasikan lewat media massa atau forum-forum diskusi. Namun, analisis penulis terhadap beberapa tema tulisannya menjadi terbatas. Sebab, media massa memang terbatas pada ruang pemuatannya. Atau, forum-forum diskusi yang juga terbatas pesertanya.

Memang, dari sembilan buku yang telah saya terbitkan, hanya dua yang bisa disebut "buku utuh।" Selebihnya jelas dikategorikan dalam "buku yang bukan buku", jika menggunakan istilah di atas. Namun saya punya prinsip bahwa setiap karya dalam bentuk buku, baik dalam kategori "buku utuh" ataupun "buku yang bukan buku" tetap merupakan karya intelektual yang sangat berharga bagi masa depan peradaban umat manusia. Sehingga sampai saat ini, meskipun telah berkali-kali dikritik, namun saya tetap bertahan pada prinsip ini. Saya tetap akan menerbitkan artikel-artikel yang kemudian disunting menjadi sebuah buku.

Apalagi ketika "buku yang bukan buku" itu dipilah dalam dua kategori: "buku kamar" dan "buku mimbar", saya makin tergerak untuk mengatakan bahwa sejatinya inti buku itu bukan pada jenis tulisan, sistematisasi tema, dan kaidah-kaidah lain yang masih terkait। Inti buku adalah bagaimana gagasan-gagasan yang disuguhkan mampu menggugah semangat, merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu, atau dalam istilah lain sebagai proses transformasi sosial.

Jika mengamati dari sekian banyak buku, justru saya melihat buku-buku kategori "buku yang bukan buku", khususnya "buku kamar", yang telah banyak merubah dunia। Sebut saja buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir, Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, Habis Gelap Terbitlah Terang karya R.A. Kartini, dan masih banyak lagi. Meskipun dinilai sebagai "buku yang bukan buku", bahkan masuk kategori "buku kamar", tetapi mampu menggugah semangat dan mempengaruhi para pembaca untuk melakukan transformasi sosial.

Kemudian dalam konteks lain, untuk "buku yang bukan buku" dalam kategori "buku mimbar", justru kebanyakan penulis dan cendekiawan beken yang memproduksinya। Lihat saja buku-buku karya Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, Jalaludin Rachmat, Syafi’i Ma’arif, Yasraf Amir Piliang, Gus Dur, Amien Rais, Amin Abdullah, Emha Ainun Nadjib, Munir Mulkhan, dan masih banyak lagi. Karya-karya mereka, pada umumnya, berupa "buku yang bukan buku", namun masuk kategori "buku mimbar." Sebab, gagasan-gagasan yang tertuang dalam tulisan mereka sudah dipublikasikan lewat media massa dan forum-forum diskusi prestise (sarasehan, seminar, lokakarya, diskusi ilmiah).

Atas dasar inilah, saya semakin yakin bahwa subtansi buku bukan hanya terkait pada bagaimana ia ditulis (jenis tulisan, sistematisasi tema, dan kaidah-kaidah tertentu), tetapi lebih pada subtansi gagasan yang terkandung di dalamnya। Memang saya mengakui bahwa kategori "buku yang bukan buku" amat riskan. Jika penyunting atau editornya tidak selektif, maka yang terjadi justru buku akan seperti buah karya "oplosan", seperti polemik kasus yang pernah diulas di salah satu harian nasional kita beberapa waktu yang lalu.

Dalam hal ini, saya memandang kelebihan sekaligus kelemahan karya intelektual kategori "buku yang bukan buku" itu। Buku tersebut biasanya berisi serpihan-serpihan gagasan dengan kasus yang berbeda-beda. Dengan demikian, perspektif penulisnya akan lebih berwarna dalam membaca sekian banyak kasus, tetapi dengan mind set yang sama. Kemudian, bagi "buku mimbar", kelebihan berikutnya terletak pada segi kualitas kepenulisan (jurnalistik)-nya, karena telah melewati dua proses seleksi sekaligus, yaitu seleksi di redaksi media massa dan penerbit buku.

Adapun kelemahannya terletak pada sistematika gagasan pokok, kemungkinan terjadi pengulangan tema dan kasus, tulisan sangat singkat (ringkas), tetapi padat berisi, dan beberapa tema cenderung kelihatan dipaksakan। Namun, justru kelemahan itu menjadi tugas pokok seorang penyunting atau editor untuk dapat menyajikan serpihan-serpihan gagasan menjadi sebuah buku utuh. Jadi, persoalan kategori "buku yang bukan buku" sebenarnya karena proses penyuntingan atau pengeditan beberapa artikel tersebut yang tidak maksimal, sehingga terkesan seperti karya intelektual "oplosan." Seandainya kerja penyunting atau editor dapat maksimal, meskipun suatu buku berasal dari serpihan-serpihan gagasan (kumpulan artikel), akan dapat menjadi sebuah buku utuh. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan dalam menyeleksi buku-buku bagi kalangan penerbit. Apalagi untuk buku berisi kumpulan artikel yang kata orang disebut-sebut sebagai "buku yang bukan buku."

29 Maret 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar