Rabu, 03 Oktober 2007

Orang (Tak) Bertuhan

Siapakah dia, lelaki berkaos putih kumal, berambut acak-acakan, yang duduk di pojok belakang bus ini? Dari tadi dia terus menatapku tanpa berkedip। Dasar tidak sopan! Orang belum kenal kok mengumbar mata tajam ‘mengundang.’ Dia menatapku tajam sekali, seakan hendak menantangku. Apakah dia pikir aku gentar melihatnya? Bodoh sekali! Aku tidak pernah gentar kepada siapapun!

Tubuhku bergoyang meliuk-liuk, mengikuti laju bus Jalur Selatan di atas jalan Rong Road yang berkelok-kelok। Knalpot bus menggeber-geber memuntahkan asap hitam pekat. Mungkin sepekat pikiranku yang sedang kalut. Sore itu, setelah merampungkan tugas kantor, kuputuskan untuk langsung pulang ke kampung halaman. Ketika pikiran sedang kalut, rasa rindu membuatku ingin pulang ke rumah. Setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman memang membuatku terngiang-ngiang pada sosok wajah yang selalu menghiasi hari-hari dalam pikiranku. Di kala pikiran kalut sedang merenggut, wajahnya tersenyum menyela di benakku, menguatkan semangat untuk terus bertahan hidup. Ketika hatiku sedang gundah gulana, wajahnya yang berseri-seri mengisyaratkan keteduhan.

Tapi dia… Ya, dia… Lelaki misterius itu। Yang duduk di pojok belakang bus ini. Yang selalu menatapku, membuntuti segala gerak-gerikku. Aku pun makin penasaran dibuatnya. Apa sih maunya? Dan kuputuskan untuk mendekatinya. Menerima undangan ‘tantangan’ di balik tatapan matanya yang tajam.

“Aku tidak mengundangmu!” katanya seraya menggelengkan kepala। “Aku tidak menantangmu!”

Jantungku berdebar-debar mendengar pernyataannya yang spontan। Sama sekali tak kuduga. Dia seakan-akan sedang menjawab pikiranku. Apakah dia mampu membaca pikiranku? Apakah dia punya daya linuwih, yang bisa weruh sebelum winarah?

“Pikiranmu sudah terkontaminasi oleh tayangan mistik di TV!”

Aku makin kikuk dibuatnya। Apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan dalam benakku, ternyata dia mampu membacanya. Jangan-jangan dia juga tahu kadar keimananku!

“Apa kamu dukun…? Paranormal…? Atau,… mungkin kamu orang keramat…?”

“Tak usah berandai-andai। Apakah kamu sudah tak ingat kaos kumal ini? Apakah kamu sudah lupa dengan model rambut acak-acakan seperti ini? Lihatlah dirimu sendiri! Bercerminlah!”

Dia memaksaku bercermin। Kaca jendela bus yang telah kusam berdebu menampakkan wujud seseorang dengan kaos putih kumal dan berambut acak-acakan. Seraut wajah tampak samar. Aku kaget melihat bayangan di kaca jendela bus yang kusam berdebu itu. Siapakah sosok di balik kaca itu? Aku sungguh tidak mengenalnya!

“Siapakah dia?”

“Siapakah dia?!”

“Ya, siapakah dia, sosok di balik kaca kusam berdebu itu?”

Dia diam, menatapku kosong. Kepalanya lalu tertunduk lesu. Lalu dia berpaling dariku. Apakah dia kecewa? Apakah dia mengira aku pernah mengenalnya?
Tubuhku terhentak membentur jok di depanku। Dia, lelaki misterius di sampingku, tetap saja acuh. Dan aku berusaha menatap kembali seraut wajah di kaca jendela yang telah kusam berdebu itu.

“Dialah aku!”, jawab lelaki misterius itu menyela lamunanku।

Bus Jalur Selatan berhenti di depan Pasar Gamping। Kenek bus menaikkan seorang penumpang tua. Dan tiba-tiba dari belakang penumpang tua itu seorang pedagang kasongan menyelinap masuk. Dia menawariku aqua dingin. Aku tak berminat. Tak kapok, dia terus membujukku. Dan aku tetap tak bergeming. Dia lalu menawariku buku TTS yang hanya seharga lima ratus rupiah.

“Daripada melamun, mendingan ngisi TTS!”

Aku tetap tak bergeming dengan tawarannya। Lelaki misterius di sampingku pun diam membisu. Dia cuek, seperti aku yang mengabaikan pedagang kasongan itu. Mungkin dia tak punya uang untuk beli aqua dingin atau buku TTS yang baru saja ditawarkan kepadanya. Dan bus Jalur Selatan kembali melaju dengan cepatnya.

“Apakah kamu tak punya uang buat beli aqua atau buku TTS?” tanyaku kepada lelaki misterius itu।

Dia diam। Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaanku. Atau dia memang masih menyimpan kekesalannya kepadaku? Pertanyaanku pun berlalu diterpa angin senja, yang menyelinap dari balik jendela kaca.

Lelaki misterius itu mulai menatapku dengan tatapan yang amat dalam। Tatapan matanya seakan-akan sedang mencari sesuatu di dalam mataku. Apakah yang dia cari? Mungkin dia sedang membaca kembali pikiranku? Aku merasa tidak asing lagi, sekalipun pikiranku harus dibaca olehnya. Entah mengapa, aku merasa makin akrab dengannya.

Dia tersenyum simpul। Aku pun tersenyum menyambutnya. Dan sungguh, ini suatu perkenalan paling aneh dalam hidupku. Selama ini, setiap orang asing yang melempar senyuman kepadaku selalu kubalas dengan dahi mengernyit. Tapi kali ini tidak. Aku membalas senyuman dengan senyuman. Bersama lelaki misterius itu, aku merasa menjadi manusia paling bijak. Dan aku pun makin akrab dengannya.

“Apakah kamu sudah shalat?”

Sungguh tak kuduga, pertanyaannya laksana petir menyambar di telingaku। Mungkin genderang telingaku hangus oleh pertanyaannya yang membakar itu. Sampai-sampai aku hampir lupa mengingat pertanyaan yang baru saja diucapkan olehnya.

Dia menanyakan sesuatu yang amat aku hindari untuk menjawabnya। Apakah dugaanku benar, dia telah mengetahui kadar keimananku? Apakah dia betul-betul memiliki daya linuwih? Sungguh tak kuduga, dia menanyakan pertanyaan yang aku sendiri berusaha untuk selalu menjauhinya. Karena aku telah meninggalkannya setelah lama bergumul dalam pertaruhan ide dan harapan.

“Tapi aku punya tuhan!”

Aku berkelit tanpa menjawab pertanyaannya। Pertanyaan itu tak mampu kujawab, tapi aku tak mau dikalahkan oleh sebuah pertanyaan.

“Kamu punya tuhan?!”

Dia sepertinya terheran-heran sambil menatapku tajam। Apakah dia tak percaya dengan pengakuan tulusku? Dan aku pun kembali menegaskan.

“Ya, aku punya tuhan!”

Dia masih saja kelihatan heran। Dan mungkin malah bingung dengan pengakuanku. Namun aku sempat berpikir, mengapa dia heran dengan pernyataanku yang sudah amat lazim itu? Apakah pengakuanku sebagai orang yang “bertuhan” menjadi sesuatu yang amat mengherankan di zaman sekarang ini? Atau, justru dia malah bingung dengan pengakuan seperti itu di kala manusia zaman sekarang mulai terbiasa secara terang-terangan menelanjangi kekuasaan-Nya? Di zaman sekarang, tuhan tak lagi menjadi kekuatan yang “Serba Maha.”

“Apakah aku harus menyembahmu?”

“Mengapa kamu harus menyembah aku?”

“Karena kamu punya tuhan”

“Tapi aku hanya manusia biasa। Tidak punya kekuatan luar biasa yang mampu mengubah nasibku sendiri, apalagi nasibmu”

“Kalau begitu, aku tak jadi menyembahmu”

Aku makin dibuat bingung oleh pengakuannya। Aku juga makin tak mengerti jalan pikirannya. Apakah dia tidak punya tuhan?

Angin senja berhembus mengurai rambut lusuh lelaki misterius itu। Cahaya senja menerpa rambutnya yang memerah laksana tembaga. Suara mesin menderu-deru berpacu menembus sang waktu. Roda terus berputar menggilas jejak-jejak kesubukan manusia di senja itu.

“Apakah kamu punya tuhan?”

“Tuhan yang mana?”

“Apakah tuhan itu banyak?! Bukankah tuhan itu cuma hanya satu?!”

“Tuhan itu sebanyak pikiran manusia”

Aku jelas tak bisa menerima jalan pikiran seperti itu। Bagiku, tuhan hanya satu. Jika tuhan banyak, bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman di dunia karena sudah pasti tuhan-tuhan akan saling berseteru. Tak dapat dibayangkan, bagaimana kehidupan di dunia jika terjadi perseturuan antar tuhan.

“Jika tuhan itu banyak, kamu akan memilih tuhan yang mana?”

“Aku tidak memilih”

“Jadi kamu tidak punya tuhan?!”

Lelaki misterius itu kembali menatapku। Kali ini tatapan matanya kosong. Apakah dia sedang bimbang karena tidak punya tuhan? Apakah dia sedang minta pelajaran dariku bagaimana cara menemukan tuhan yang benar? Perlahan-lahan kedua tangannya merengkuh tanganku। Terasa dingin। Mungkin angin senja mulai merasuk ke dalam tubuhnya hingga jiwanya menjadi dingin।

“Aku tak lagi berniat untuk menyembahmu। Aku pun tak mau menyembah tuhan yang dapat dimiliki. Seperti tuhan yang kamu miliki”

“Mengapa tuhan tak dapat dimiliki?”

“Sebab Tuhan yang dapat dimiliki adalah tuhan yang dikuasai। Kamu memiliki tuhan berarti kamu menguasai-Nya. Manakah sesungguhnya yang lebih kuasa, kamu atau tuhan. Daripada aku menyembah tuhan yang dapat dikuasai oleh dirimu, lebih baik aku menyembahmu yang dapat menguasai diri-Nya.”

Dia menahan napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya pelan-pelan.
“Karena kamu adalah manusia biasa yang tak mampu mengubah nasib, aku tak jadi menyembahmu। Hatiku tak dapat menerima tuhan yang lemah. Hatiku juga tak menerima tuhan yang dapat dimiliki.”

Aku tertegun sejenak। Tampaknya lelaki misterius ini jauh lebih mengerti siapa tuhannya.

“Aku memang lelaki “tak bertuhan”, karena aku ingin menjadi hamba-Nya। Aku memang tak memiliki-Nya, karena Dialah justru yang memiliki aku. Aku ini hamba, sedang Dia adalah Pencipta. Antara aku dan Dia dibatasi dinding tebal yang tak bisa dan tak akan mampu ditembus. Aku tak mungkin dapat memiliki-Nya. Aku heran, orang-orang mengaku memiliki tuhan kok jadi beringas? Aku bingung, mereka mempertahankan keyakinan tuhan itu satu, padahal Dia sebanyak pikiran kita tentang-Nya. Dan yang paling aku tak mengerti, mereka merasa berbuat sekehendak tuhan, merasa membawa kebenaran tuhan, dan mengaku mendapat jaminan dari tuhan. Mereka jelas telah memaksakan diri membaca pikiran tuhan, seperti aku yang telah membaca pikiranmu. Mereka telah menguasai diri tuhan, seperti aku yang telah menguasai pikiranmu.”

Aku pun sadar। Tuhan memang tak dapat dimiliki. Tuhan yang dapat dimiliki berarti tuhan dalam kekuasaan diri kita. Tuhan dalam pikiran kita. Kita pun dapat memperbudaknya. Tuhan yang seperti itu jelas sangat naïf! Apakah ini yang menjadi kesalahan kita dalam memahami keberadaan tuhan? Seperti aku yang menemukan tuhanku, tetapi telah kukuasai?

“Selama ini aku merindukan kehadiran-Nya dalam hatiku। Aku berusaha menemukan jalan bagaimana memahami-Nya. Tetapi aku selalu di ambang keraguan. Setiap kali kutemukan Tuhanku, justru apa yang kudapati hanya Tuhan dalam pikiranku. Bagaimana dengan tuhan dalam pikiran orang lain? Yang paling aku takuti ketika tuhan dalam pikiranku berseteru dengan tuhan-tuhan dalam pikiran orang lain. Aku berusaha menemukan-Nya sebagaimana hakekat-Nya. Tetapi aku tak dapat berpaling dari keakuanku yang selalu memaksa untuk menjamah-Nya.”

Lelaki misterius itu seakan-akan mengeruk seluruh isi hatiku, dan mengungkapkannya lewat kata-kata yang mengucur deras dari mulutnya। Aku makin penasaran.

“Siapakah kamu sebenarnya?”

“Aku adalah aku, ketika kamu mengurung diri dalam egomu! Tetapi aku adalah dia, ketika kamu makin keras kepala mengutuk dirimu। Dan aku adalah dirimu, yang selalu bercakap-cakap dalam keheningan, bercanda bersamamu dalam ide-ide dan harapan, di lubuk hatimu.”

Tiba-tiba saja aku seperti mendapati diriku dalam genangan lautan bir। Hanyut bersama ide-ide dan harapan yang memabukkan. Larut bersama lautan ide dan harapan yang terus menghasut membuatku lupa pada diriku sendiri. Betapa sombongnya diriku yang berusaha menguasai diri tuhan. Betapa egoisnya diriku yang berusaha memiliki-Nya.

Terima kasih kepadamu, hai lelaki misterius! Kamu telah menyadarkan aku bahwa tuhan memang tak dapat dimiliki। Tuhan jelas tak dapat dikuasai. Karena setiap usaha memiliki tuhan berarti menguasai-Nya. Apakah kita yang mengaku memiliki tuhan telah menguasai-Nya? Apakah tuhan telah menjadi sedemikian lemah sehingga setiap orang mengaku dapat memiliki (menguasai)-Nya?

Orang yang mengaku bertuhan sama saja dengan orang yang mengaku tak bertuhan। Ada kabut yang menggumpal dalam pikirannya. Ketika orang mengaku paling benar memiliki tuhan, bahkan mengaku atas nama tuhan melakukan teror kepada orang lain yang justru sama-sama mengaku bertuhan, di situ kabut makin menggumpal menutupi hakekat. Sama saja orang yang mengaku bertuhan dengan orang yang mengaku tak bertuhan.

Senja menjemput Maghrib। Pasar Petanahan di depan mataku. Bus Jalur Selatan telah mengantarku pulang ke kampung halaman. Dan segera aku terjaga dari lamunan. Udara dingin berhembus dari arah pantai selatan merasuk ke dalam paru-paruku. Terasa sejuk menyegarkan rongga dadaku.

Ayah, aku telah kembali!


Petanahan, Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar