Selasa, 02 Oktober 2007

Maafkan Aku, Kawan...

Aku diam bukan berarti bisu. Tak menyapamu bukan berarti aku mengabaikanmu. Aku berpaling bukan karena benci. Aku yang tak menyapamu bukan berarti sedang mengabaikanmu.

Saat ini aku putuskan untuk menyendiri. Hanya untuk sementara. Pikiranku tersita banyak untuk memahami jalan hidupku, cita-citaku, dan rencana hari depan yang entah kapan dapat kuwujudkan. Dalam kesendirian, aku menemukan semangat hidup untuk menyusun sebuah rencana. Kini, aku punya rencana.

Jika kamu heran, aku pun sadar. Jika kamu sebal, aku pun paham. Memang tidak wajar bagiku untuk memikirkan hal-hal yang orang lain sendiri mengabaikannya. Sungguh di luar batas kewajaran jika aku sekarang ini tidak menempuh jalan hidup seperti kebanyakan orang. Berapakah umurku? Bagaimana masa depanku? Apakah aku sudah hidup mapan? Jangan tanyakan kepadaku. Tanyakan saja kepada mereka yang membuang-buang energi untuk menanyakan hal-hal yang aku sendiri tidak memikirkannya.

Maafkan aku, kawan, jika aku terkesan mengabaikanmu.

Jika aku berpaling, bukan berarti aku sedang membencimu. Aku tidak akan membencimu. Sekalipun kamu mencaciku, aku tidak akan benci. Karena aku percaya kepadamu. Aku percaya, karena kamu bisa menjaga rahasia.

"Rahasia itu titipan." Tapi, kawan, rahasia bagiku adalah kelemahan. Setiap kali kuceritakan rahasia-rahasiaku kepadamu, kamu akan menemukan titik-titik kelemahanku. Banyak rahasiaku. Banyak kelemahanku.

Maafkan aku, kawan, jika aku terkesan membencimu.

Sungguh, aku tidak sedang membencimu. Memang tak aku pungkiri, aku pernah membenci orang. Tidak hanya seorang, tapi banyak orang. Selama ini mungkin aku bisa bohong kepada dirimu, tapi tidak kepada diriku sendiri. Dengan sangat terpaksa aku bohong, tapi batinku selalu berontak. Aku tak bisa bohong kepada diriku sendiri.

Yang kubenci bukanlah dirimu, tapi orang-orang tidak bisa dipercaya. Mungkin mereka tak akan pernah bisa dipercaya. Mereka tak bisa menyimpan rahasia. Atau, barangkali mereka tak pernah atau tak mau memahami arti sebuah rahasia.

Ingatlah, rahasia itu titipan. Jagalah baik-baik titipan itu. Tapi sayang, mereka yang pernah kutitipi rahasia tak bisa menjaganya. Sekalipun mereka pernah meminta maaf kepadaku, tapi rahasiaku tetap saja diobral murahan.

Rupanya benar, "Binatang buas tetap saja buas, sekalipun kuku-kukunya telah tumpul" Atau, "Anjing tetaplah anjing, sekalipun dipelihara di antara binatang buas"

Bodoh sekali mereka yang menganggap aku tak bisa marah. Bodoh sekali mereka menganggap aku tak punya nyali untuk berontak. Aku ini manusia. Darahku langsung mendesir sewaktu tahu rahasiaku jadi bahan gunjingan. Kabut menyelimuti pikiranku hingga aku pun bisa kalap. Nafsu primitifku bisa saja langsung menguasai ubun-ubun sewaktu mendengar mereka menjual rahasiaku murahan.

Maafkan aku, kawan, jika aku terlalu banyak diam.

Aku diam bukan berarti bisu. Tak berkata-kata bukan berarti aku tak punya ide yang melintas di benakku. Tak bicara bukan berarti aku tak punya kata-kata yang harus kuucapkan. Tidak. Justru tamu-tamu tak diundang sewaktu-waktu berkunjung. Tanpa kenal situasi, mereka datang bergerombol, menyerbu bilik sunyi yang sengaja aku sediakan. Di dalam ruang imajinasiku yang senantiasa menanyakan.

Maafkan aku, kawan, jika aku selalu menyendiri.

Kuputuskan untuk menyendiri sementara. Dalam kesendirian aku merasa teduh dan damai. Dalam keheningan malam kutemukan batinku yang sejuk menyirami keringnya ladang pikiranku. Sewaktu pikiranku berkecamuk, keheningan malam berhembus lembut menyapu ruang imajinasiku.

Ada ruang di dalam benakku. Samar-samar tapi aku bisa mengenalinya. Kedua mataku tak mampu melihatnya, tapi aku bisa merasakannya. Kedua tanganku tak mampu menjamahnya, tapi aku bisa merasakan kehadirannya. Ada ruang tak bersekat di dalam benakku.

Imajinasiku yang terus menggumpal, aku mengubahnya menjadi relung sunyi tempatku mengasingkan diri. Di sudut sana, ke arah kiblat, aku membangun sebuah bilik. Kecil dan sederhana tanpa atap. Tak ada lantai. Juga tak ada meja tamu. Hanya sebatang lilin kecil. Itu pun sisa-sisa perjamuanku tadi malam.

Aku yang mengasingkan diri tidaklah sendirian. Setiap malam aku selalu mengadakan perjamuan. Menjamu tamu-tamuku yang tiap saat senantiasa berkunjung. Pada sepertiga malam yang terakhir.

Maafkan aku, kawan, jika kamu melihatku seakan aku acuh tak acuh kepadamu.

Sungguh, aku tidak mengacuhkanmu. Aku tidak sedang mengabaikanmu. Pikiranku hanya sibuk menjamu tamu-tamuku yang datang silih berganti. Mereka selalu menggiringku bertanya, membaca tanda-tanda.

Mereka liar, memaksaku bertanya menembus batas-batas norma. Mereka buas, memaksaku berpikir mencabik-cabik tatanan etika. Tapi mereka tak pernah menyakiti. Sekalipun marah, mereka tak pernah menggertak. Sekalipun kesal, mereka tak pernah sebal. Mereka tak pernah mengejek, apalagi menggunjing rahasia-rahasia murahan.

Maafkan aku, kawan, jika kamu sebal kepadaku.

Aku sadar jika aku selalu tampil acak-acakan. Kamu sebal sewaktu melihatku selalu tampil seperti anak urakan. Hampir setiap saat aku memang selalu begitu. Dulu begitu dan kini pun juga begitu. Mungkin esok dan lusa pun akan begitu juga. Selalu acak-acakan. Seperti anak urakan. Tak pernah memperhatikan penampilan.

Aku memang tak sempat merawat tubuhku yang mulai kerempeng ini. Aku juga tidak pernah necis sekalipun harus bertemu pejabat. Karena aku lebih suka pada diriku sendiri tanpa rekayasa, tanpa polesan. Sebab aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin melihat diriku apa adanya.

Maafkan aku, kawan, jika kamu heran melihatku.

Mungkin kamu heran selalu mendapati diriku dalam keadaan bingung atau seperti orang gila. Kamu tidak tahu, hatiku selalu bimbang. Pikiranku selalu berkecamuk. Tamu-tamuku menggoda hatiku sehingga aku harus memilih dan aku pun harus memutuskan. Padahal, memilih dan memutuskan merupakan pekerjaan terberat bagiku. Karena apa yang aku pilih belum tentu sejalan dengan kenyataan. Dan, apa yang aku putuskan juga belum tentu kebenarannya.

Aku selalu dalam kebingungan. Memikirkan apa saja yang baru kulihat dan apa saja yang baru kuperhatikan. Tamu-tamu yang singgah di bilik imajinasiku selalu mengajakku bercakap-cakap dalam kesunyian. Tak ada kata-kata dan tak ada suara-suara. Hanya membisik lembut, namun kuat membekas sewaktu melintas di benakku.

Mereka selalu mengajakku berdebat. Berdebat dan terus berdebat tanpa kesudahan. Semakin aku menjamu mereka, semakin aku kewalahan dan aku makin di ambang kebingungan. Dalam kebingungan, aku disibukkan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Aku kewalahan karena setiap pertanyaan selalu kujawab dengan pertanyaan. Aku kerahkan segenap daya pikiranku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, hingga duniaku pun makin terabaikan.

Maafkan aku, kawan, inilah duniaku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar