Kamis, 04 Oktober 2007

Samy

Takdir itu tak kenal kompromi। Ia sewenang-wenang। Juga misterius। Gumpalan kabut menyelimutinya. Tak bisa ditebak. Juga tak mudah dipecahkan. Apa yang telah ditetapkan tak mungkin dapat diubah. Apa yang telah ditakdirkan tak dapat dibatalkan. Tapi nasib bukanlah takdir. Manusia memang tak dapat berkelit dari takdir, tetapi ia bisa mengubah nasibnya. Sebab, nasib ditentukan lewat pilihan. Dan, manusia memiliki kebebasan untuk menentukannya.

Setiap manusia memiliki kebebasan। Kebebasannya menghendaki lepas dari belenggu penindasan. Ia menghendaki kehidupan yang lebih baik. Tapi sayang, apa yang dikehendakinya belum tentu sejalan dengan realitas kehidupan yang ia jalani.

Hari itu, keberuntungan belum berpihak kepada Samy। Samuel Rory, begitu nama lengkapnya, adalah pria kelahiran Solo. Tubuhnya agak kurus. Umurnya 39 tahun. Ia lulusan S-2 di Oxford University.

Hari itu wajah Samy murung। Pikirannya mungkin lagi kalut. Atau barangkali ia sedang menelan kekecewaan. Rasa kecewa teramat dalam seakan-akan raut wajahnya sedang mengatakan itu. Di negeri ini, mencari pekerjaan teramat sulit. Sekalipun dengan modal ijazah S-2 lulusan Oxford University, tapi tetap saja masih terasa sulit, seperti apa yang telah dialami Samy.

Ia mengaku sudah berkali-kali cari lowongan kerja। Keluar-masuk perusahaan swasta atau instansi pemerintah sudah berkali-kali. Bahkan pengakuannya ini mungkin membuat telinga orang jadi panas. Mungkin juga membuat mata orang lain terbelalak, terpana, dan heran. Sebab, Samy sudah 5.074 kali mengajukan lamaran. Dan, sebanyak itu pula ia harus menelan kegetiran. Tak satupun instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang bersedia menerimanya. Sebanyak 5.074 kali lamaran yang ia ajukan, ternyata hanya dijawab dengan satu alasan: anda diffable!

Sebelumnya, maaf, kedua tangan Samy hanya tinggal satu jari। Kedua kakinya juga demikian. Kondisi fisiknya yang demikian merupakan pembawaan sejak lahir. Inilah kondisi ketika manusia tidak akan mampu lagi berkelit darinya. Ini sudah suratan takdir.

Samy mengaku setiap instansi yang ia masuki selalu keberatan melihat kondisi fisiknya। Kata orang, maaf, fisiknya ‘tak sempurna.’ Orang pun jadi sangsi dengan kemampuannya. Misalkan saja, jari Samy yang hanya satu dianggap tak mampu mengetik. Padahal, Samy sempat bertaruh, dirinya bisa bersaing dalam hal kemahiran mengetik dengan orang-orang yang dianggap lebih sempurna fisiknya.

Apa yang dialami Samy, sebenarnya, hanya secuil kisah balada yang juga dialami oleh ribuan kaum difable di Indonesia। Saya tak kuasa membayangkan betapa terpukulnya jiwa Samy. Keberadaannya dianggap sebelah mata oleh orang lain. Bahkan, kemampuannya juga disepelekan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Mungkin Samy marah। Atau, barangkali ia putus asa. Lalu ia buang jauh-jauh keinginan untuk bisa bekerja layaknya orang lain. Dengan nada kesal, ia mengaku telah merobek-robek ijazah S-1 yang diperolehnya di Fakultas Ekonomi UGM. Empat tahun kuliah di UGM dengan menggondol gelar sarjana S-1 dan secarik ijazah tak cukup buat mengubah nasibnya. Ijazah S-2 yang diperolehnya dari Oxford University juga sudah dimusnahkan. Lulusan dalam negeri maupun luar negeri sama saja. Dalam benaknya mengendap keyakinan bahwa sudah tak ada harapan lagi mengandalkan secarik ijazah untuk mengubah nasib bagi seorang difable seperti dirinya.

Kita harus mengakui akan kekeliruan sikap dan persepsi kita terhadap orang-orang semacam Samy ini। Kadang kita merasa iba melihatnya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, justru perasaan iba menjelma menjadi bentuk eksploitasi. Kita melihat Samy layaknya ‘orang langka’ atau manusia aneh disebabkan karena kondisi fisiknya yang memang tak lazim.

Kita juga sering lupa bahwa setiap manusia lahir ke dunia memiliki kondisi pembawaan yang berbeda dengan yang lainnya। Manusia memiliki segenap potensi yang dimilikinya, baik dari segi fisik maupun non fisik. Misalnya, dari segi non fisik, seseorang memiliki karakter emosional, pola pikir, dan mungkin keyakinan yang berbeda dengan yang lainnya. Dari segi fisik, seseorang lahir di dunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mungkin ia lahir dengan kondisi fisik yang amat memprihatinkan. Seperti buta (tunanetra), lumpuh, tuli (tunarungu), bisu (tunawicara), lemah mental, dan lain-lain. Inilah realitas kehidupan manusia yang bermacam-macam dari segi pembawaannya. Atau, inilah kondisi ketika manusia tak mampu lagi berkelit darinya.

Mereka yang terlahir, baik fisik maupun non-fisik, dalam kondisi tak lazim disebut kaum difable। Istilah ini, difable, berasal dari akronim "different ability people." Kamus Longman Advance American Dictionary (2000), menyebutkan pengertian difable sebagai, "Sebuah kondisi fisik dan mental yang dapat membuat seseorang kesulitan dalam mengerjakan sesuatu yang orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah."

Umumnya, masalah yang dihadapi kaum difable berupa "ketidakkeadilan." Mereka masih sulit mencari keadilan dalam sistem sosial kita, bahkan pemerintah pun menganggapnya sebelah mata. Ini bisa kita lihat pada kasus Samy yang harus dianggap sebelah mata oleh instansi pemerintah dan swasta ketika melamar pekerjaan sampai 5.074 kali, tetapi selalu ditolak. Padahal, alasan penolakannya hanya satu: difable! Untuk alasan-alasan lain tidak terlalu signifikan, karena ia alumni S-2 Oxford University yang sudah termasyhur di seantero jagad ini.
Memang, pemerintah sudah agak memikirkan, sekalipun belum terwujud dalam tindakan, akan nasib orang-orang yang ‘kurang beruntung’ ini। Undang-undang No. 4 Tahun 1997 sedikit menghargai keberadaan mereka, meskipun belum maksimal. Hanya sayang, pemerintah masih buta mata menganggap mereka sebagai "orang-orang yang dicacatkan."

Menyebut kaum difable sebagai orang-orang cacat atau tidak normal seakan-akan kita menilai mereka secara sewenang-wenang। Kita menilai mereka dengan "standar normalitas" berdasarkan perpektif orang-orang normal, bukan perspektif mereka sendiri yang harus menjalani kehidupan dengan kondisi yang amat memprihatinkan itu. Ada kesewenang-wenangan persepsi dalam diri kita. Ada penindasan lewat stigmatisasi yang tak seimbang. Atas dasar apa menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak normal?

Di Indonesia, kaum difable belum mendapat tempat yang layak। Apalagi dapat menempati jabatan strategis di sektor swasta maupun pemerintahan. Rata-rata, kaum difable kurang mendapat tempat untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia. Bahkan, keberadaan mereka masih dianggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita.

Ketika pemerintah membuka peluang PNS, misalnya, kaum difable acapkali dinomorduakan। Tidak jarang mereka disingkirkan। Yang diutamakan orang-orang yang dianggap lebih normal secara fisik maupun non fisik.

Jika kita memahami keberadaan kaum diffable dengan menggunakan paradigma multikultural, maka sebenarnya mereka termasuk bagian dari masyarakat yang berhak mendapat hak yang sepadan dengan orang-orang yang dianggap lebih normal। Namun realitas kehidupan kaum difable saat ini masih belum mengalami perbaikan yang cukup signifikan. Malah keberadaan mereka sering dilukiskan sebagai "kelompok marginal", karena persepsi dan apresiasi masyarakat umum, juga pemerintah, selalu menomorduakan. Akibatnya, mereka selalu dianggap sebagai "beban masyarakat" yang memprihatinkan.

Persepsi dan juga apresiasi masyarakat umum dan pemerintah belum bisa menerima kemampuan para difable। Padahal, di balik kelemahan fisik maupun psikhis, mereka mampu berpartisipasi dalam arus pembangunan yang kian menerjang. Bahkan, mereka memiliki kelebihan lain yang oleh orang normal tidak memilikinya. Seperti banyak kaum difable yang membuka panti pijat. Atau, bahkan ada sekelompok difable yang bisa mengikuti kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang normal, seperti Samy, misalnya. Malah, sekelompok kaum difable di Jogja pernah menaklukkan puncak Merapi beberapa bulan yang lalu. Tentu ini di luar persepsi kita.

Problem kaum difable menyisakan penindasan, baik secara struktural maupun kultural। Dalam konteks pendidikan, misalnya, perbedaan kemampuan secara fisik maupun non fisik mestinya menjadi bagian dari agenda pendidikan saat ini. Tetapi, pendidikan kita kurang mengakomodir problem disability. Akibatnya, banyak peserta didik yang memiliki kelemahan fisik harus kerepotan mengikuti proses pendidikan yang diselenggarakan secara konvensional. Pendidikan yang diselenggarakan secara konvensional cenderung menggeneralisir potensi-potensi peserta didik. Akibatnya, proses pendidikan yang diselenggarakan secara general hanya mengaburkan aspek perbedaan segi kemampuan itu, baik secara fisik maupun non fisik.

Problem difable bukan hanya pada kesulitan mengakses pendidikan, tetapi juga bagaimana mereka bisa berpartisipasi aktif mengisi pembangunan। Mereka selalu kesulitan mengisi jabatan publik, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perjuangan menuntut hak kesetaraan antara kaum difable dan mereka yang normal perlu digiatkan sejak dini. Saya sangat berharap agar pemerintah segera merancang Undang-undang kesetaraan hak antara kaum diffable dengan mereka yang normal dalam hal partisipasi publik. Sebab, UU No. 4 Tahun 1997 masih jauh dari pencapaian. Masih banyak distorsi dan miss-persepsi. Selama ini sikap pemerintah dan masyarakat juga kurang adil terhadap mereka. Jika hal ini terus dibiarkan, maka sebenarnya proses penindasan secara struktural dan kultural sedang berjalan terus-menerus. Sampai kapankah kaum difable akan mendapat penghargaan yang layak sebagai manusia?

Terus terang, saya cukup apresiatif dengan beberapa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini. Meskipun belum maksimal, namun beberapa kebijakan sudah agak mengakomodir kepentingan kaum difable. Seperti pemerintah yang telah mencetak mata uang tertentu dengan standard khusus yang memudahkan para difable untuk menggunakanya. Kebijakan tersebut jelas cukup mengakomodir kepentingan kaum difable. Akan tetapi, kebijakan tersebut baru sebagian kecil saja dari kebutuhan para kaum difable. Sebab, keberadaan kaum difable juga sama seperti keberadaan manusia biasa yang memerlukan fasilitas umum untuk kehidupan sehari-hari.
Dengan mengakomodir seluruh kebutuhan para kaum difable, berarti pemerintah dan masyarakat pada umumnya, telah menerapkan paradigma multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa। Karena, di samping bangsa Indonesia multietnis dan multireligion, juga multikultural. Kondisi kaum difable termasuk dalam bingkai multikultural, karena kemampuan (potensi) mereka yang secara umum membentuk sikap dan karakter berbeda dengan yang lain, sehingga bisa dikatakan sebagai bentuk kultur.

Oleh karena itu, pemerintah wajib mengagendakan multikulturalisme dalam merancang pembangunan bangsa Indonesia ke depan, agar lebih adil. Tentunya, agar kisah seperti yang dialami Samy tidak perlu terulang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar