Sabtu, 01 September 2018

Haji Fachrodin Sang Wartawan Pergerakan

Haji Fachrodin
Haji Fachrodin bukan K.H. AR. Fachruddin! Ini harus dicamkan baik-baik. Selama ini, para aktivis Muhammadiyah sering kecele sewaktu mendengar nama Haji Fachrodin. Dalam benak mereka, membayangkan Haji Fachrodin sama dengan sosok K.H. AR. Fachruddin, ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1968-1990). Selagi para aktivis Muhammadiyah saja salah kaprah dalam memahami sosok Haji Fachrodin, apalagi aktivis ormas lain atau para peneliti sejarah Indonesia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Perlu dipertegas di sini, Haji Fachrodin adalah salah putra Haji Hasyim Ismail (Lurah Kraton). Adapun AR. Fachruddin adalah putra Kiai Fachruddin, seorang tokoh Muhammadiyah berasal dari Kulonprogo.  

Santri Mbeling
Haji Fachrodin kecil bernama Muhammad Jazuli, lahir pada tahun 1890 (H.M.J. Anies, 1930: 5). Adik kandung Daniel (Kiai Syujak) ini tergolong anak yang memiliki watak tegas. Dia memiliki kemauan kuat dan berjiwa mandiri. Perawakan Djazoeli memang tak sebesar dan setinggi Daniel. Badannya tampak tegap. Kulitnya hitam manis dan hidungnya mancung. Tatapan matanya begitu tajam. Di lihat dari kontur bibirnya menggambarkan karakter seorang anak yang tak kenal rasa takut (Djarnawi Hadikusumo, 1977).
Jazuli lahir dari keluarga ningrat. Ayahnya seorang abdi dalem kraton Yogyakarta. Tetapi sejak kecil dia sudah tidak suka tradisi feodalisme. Bahkan, dia tergolong anak yang cenderungan memberontak terhadap tradisi. Terhadap kedudukan dan karakter ayahnya sebagai abdi dalem, Jazuli merasa tidak cocok. Walaupun demikian, dia tidak pernah melawan ayahnya. Jazuli tetap memberikan penghormatan yang layak kepada orang tua yang telah membesarkannya.
Dalam tradisi masyarakat Kauman yang dikenal religius, sewaktu memasuki usia sekolah, setiap anak akan disekolahkan di pesantren. Begitu pula Jazuli, ia disekolahkan di pesantren Wonokromo (Surabaya). Pernah juga nyantri di Imogiri dan Bantul. Tetapi Jazuli tidak pernah betah di pesantren (Tamar Djaja, 1966: 6). Dasar karakter Jazuli yang tidak suka formalitas, dia lebih menghendaki hidup bebas dan kerja keras. Jazuli sering mangkir dari kewajiban mengaji. Dalam istilah zaman sekarang, sosok Jazuli lebih tepat dijuluki sebagai ”santri mbeling.” Karena sering tak mengikuti pengajian, ilmu yang diperolehnya selama mengaji di pesantren terasa tanggung.
Apa yang dilakukan Djazoeli pasca keluar dari pesantren? Inilah anugerah Tuhan yang diberikan kepada lelaki bernama Jazuli. Dia memang telah gagal menempuh pendidikan formal di pesantren, tetapi minatnya untuk belajar tidak pernah padam. Satu-satunya jalan bagi Djazoeli adalah belajar secara otodidak (Sasjardi, 1992: 5-6). Sebagai seorang otodidak, Jazuli merasa lebih leluasa belajar ilmu agama. Dia bisa belajar lewat kitab-kitab klasik yang dibacanya secara mandiri. Sekalipun dia tidak pernah merampungkan pendidikan di pesantren, tetapi penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik tidak kalah dibanding dengan para lulusan pesantren.
Pada awal abad 20, industri batik di Kauman sedang tumbuh pesat. Sejak tahun 1900-1930, masyarakat Kauman mengalami kesetaraan di bidang ekonomi. Sumber penghasilan mereka, selain sebagai pejabat abdi dalem, adalah dari industri kerajinan batik yang sedang tumbuh pesat. Tidak jarang para pejabat kraton merambah dunia perdagangan batik. Salah satu abdi dalem yang pernah menekuni bisnis kain batik adalah K.H. Ahmad Dahlan. Konon, jaringan pemasarannya sampai ke Medan, Surabaya, Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya (Ahmad Adabi Darban, 2000: 20).
Jazuli tumbuh besar dalam kondisi perekonomian di Kauman yang sedang meningkat. Sebagai salah seorang putra abdi dalem, dirinya tidak ketinggalan terjun di bisnis kain batik. Pada saat yang bersamaan, di Laweyan (Solo), industri batik juga sedang tumbuh pesat. Menurut sumber Junus Anis (1930: 19), Jazuli dikenal sebagai sosok yang suka bekerja keras. Dia tidak hanya berdagang batik, tetapi juga merintis percetakan sendiri, mengelola hotel, dan mendirikan pabrik rokok. Di antara bisnis yang paling banyak mendatangkan keuntungan adalah bisnis mengelola hotel. Hotel milik Djazoeli bernama Hotel Islam beralamatkan di Ngabean Straat Telf. No. 734. Dia sendiri yang menjadi direkturnya.
Pada tahun 1905, Djazoeli adalah pedagang batik sukses yang jaringannya merambah ke luar Yogyakarta. Dia dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menganjurkan media massa sebagai sarana mempromosikan produk-produk batik di kampung Kauman. Di tahun ini pula, Jazuli dapat menunaikan ibadah haji yang pertama kalinya. Sejak pulang dari tanah suci, Jazuli sudah mengubah namanya menjadi Haji Fachrodin.

Sang Wartawan
Di antara santri Khatib Amin yang memiliki minat dan bakat dalam hal mengarang adalah Haji Fachrodin (Junus Anis, 1969: 14). Khatib Amin memang menganjurkan kepada santri-santrinya supaya masuk sekolah, aktif di organisasi, dan terlibat dalam pergerakan politik nasional. Fachrodin mengawali karir di dunia politik dan pergerakan diawali ketika dia belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Ketika surat kabar Sarotomo (organ SDI) tengah redup, Mas Marco bersama beberapa jurnalis boemipoetra menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak pada 1914. Di tahun yang sama, pada usia sekitar 24 tahun, Mas Marco mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Terhitung sejak terbit surat kabar Doenia Bergerak, Haji Fachrodin dipercaya menjadi penulis tetap yang bertanggungjawab memberikan informasi di seputar kawasan Yogyakarta. Dalam usia yang kurang lebih sama dengan Mas Marco, Haji Fachrodin juga sudah masuk menjadi anggota IJB (Takashi Shiraishi, 152).
Menurut sumber Junus Anis (1969: 15), sejak kecil Fachrodin bercita-cita ingin bisa mengarang tulisan dan menerbitkannya di surat kabar. Dalam pikiran Jazuli (Fachrodin), betapa sulitnya mengarang tulisan yang bagus. Sewaktu Mas Marco menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak (1914), ia diminta untuk mengarang artikel atau menulis laporan perkembangan politik di wilayah Yogyakarta. Sebelum terjadi kesepakatan untuk menjadi koresponden tetap di Doenia Bergerak, Fachrodin meminta agar Mas Marco bersedia memeriksa, mengedit, dan memperbaiki karangannya.
Harap maklum, Fachrodin adalah seorang otodidak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Bakatnya mengarang tumbuh secara alamiah. Ketika dia harus mengarang artikel atau menulis laporan untuk dikonsumsi publik, sudah barang tentu karangannya harus memenuhi standar jurnalistik pada waktu itu. Fachrodin jelas tidak memahami teori-teori jurnalistik berdasarkan standar umum karena dia memang bukan ”orang sekolahan.”
Ciri khas Fachrodin dalam mengarang tulisan menggunakan bahasa sederhana. Istilah pada waktu itu, Fachrodin mengarang menggunakan bahasa ”Melayu rendah” (M.J. Anies, 1930: 7). Istilah ini untuk menyebut bahasa awam yang dipakai khalayak ramai. Ciri-ciri bahasa ”Melayu rendah” adalah campuran antara bahasa ”Melayu tinggi” (cikal bakal bahasa Indonesia) dan bahasa Jawa.
Setiap kali Fachrodin mengarang artikel atau menulis laporan, dia selalu membuat rangkap dua. Satu karangan akan diserahkan kepada Mas Marco dan satunya lagi disimpan sebagai arsip pribadi. Sewaktu karangannya dimuat di surat kabar Doenia Bergerak, dia dapat mencocokkan dengan arsipnya. Dia pelajari kekurangan dan kesalahan dalam karangannya yang telah diedit oleh Mas Marco itu. Sebab, artikel yang telah dimuat di surat kabar Doenia Bergerak merupakan hasil editan Mas Marco. Dengan cara demikian, Fachrodin menjadi kontributor tulisan Doenia Bergerak dan dia belajar mengasah keahlian di bidang jurnalistik. Inilah proses Haji Fachrodin belajar jurnalistik kepada Mas Marco.
Kemampuan di bidang tulis-menulis yang dimiliki Fachrodin terus dikembangkan dengan melibatkan diri dalam beberapa penerbitan surat kabar. Dia merintis penerbitan surat kabar Soewara Moehammadijah pertama kali pada tahun 1915. Temuan ini sekaligus untuk meluruskan penelitian Muhidin M. Dahlan (Basis, no. 01-02, tahun ke-58/Januari-Februari 2009) bahwa K.H. Ahmad Dahlan bukanlah pemimpin redaksi pertama Soewara Moehammadijah. Selaku Hoofdredacteur Soewara Moehammadijah pertama adalah Haji Fachrodin, sementara K.H. Ahmad Dahlan duduk di jajaran redaksi bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan KRH. Hadjid (lihat Soewara Moehammadijah no 2 th ke-1/1915). Penerbitan surat kabar ini sempat terhenti ketika Fachrodin bergabung bersama Haji Misbach di Solo menerbitkan surat kabar Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).
Pada tahun 1919, Fachrodin menerbitkan surat kabar mingguan Srie Diponegoro. Sewaktu Haji Misbach mulai terlibat dalam kasus penghasutan para petani tebu di Klaten (1920), Fachrodin menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak. Pada waktu Fachrodin pergi ke Solo melewati Klaten dalam rangka mengerjakan penerbitan Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak, dia mendapati pemandangan miris kehidupan petani tebu di Klaten. Sepulang dari Solo, Fachrodin menulis artikel di halaman muka surat kabar Srie Diponegoro yang diterbitkan di Yogyakarta ini. Dia mengomentari nasib para petani tebu di Klaten. Tulisannya dihiasi sengan sebuah gambar ilustrasi. Inilah salah satu kreativitas Fachrodin dalam bidang jurnalistik. Dihiasi dengan gambar ilustrasi, tulisannya semakin efektif mempengaruhi para pembaca Srie Diponegoro. Keboen teboe jang penoeh ditanami di atas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan, hingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi...” tulis Fachrodin.
Menurut sumber Yunus Anis (1969: 18), artikel Fachrodin dihiasi dengan gambar ilustrasi seorang lelaki Jawa memakai ikat kepala (blangkon) tanpa mengenakan baju sedang menggenggam keris dan akan menikam seekor harimau. Ternyata, pemuatan artikel ini berbuntut panjang dan berujung pada kasus pers-delicht (delik pers). Residen Yogyakarta memperkarakan artikel yang ditulis oleh Fachrodin sebagai kasus penghasutan terhadap rakyat. Dalam kasus ini, Fachrodin mendapat tuntutan hukuman penjara selama tiga bulan atau membayar denda sebesar f. 300,-.
Haji Fachrodin juga merintis penerbitan surat kabar sewaktu dia masuk dalam jajaran Centraal Sarekat Islam (CSI). Pada tahun 1920, ketika terbentuk kepengurusan baru di tubuh CSI, Fachrodin mendapat amanat menjadi commissaris, lalu diangkat menjadi penningmeester (bendahara). Selama menjabat sebagai penningmeester, Fachrodin berjuang keras membidani lahirnya surat kabar organ CSI, Pemberita CSI (Yunus Anis, 1969: 19). Bersama kawan-kawan di jajaran struktural CSI, Fachrodin juga menerbitkan surat kabar Bendera Islam di Yogyakarta pada sekitar tahun 1920-an. Salah seorang kawan dekat Fachrodin yang terlibat mengelola surat kabar ini adalah Haji Agoes Salim. Surat kabar ini tidak banyak berkembang di Yogyakarta. Setelah pindah ke Weltevreden, surat kabar ini berganti nama menjadi Fadjar Asia.
Bakat alamiah Fachrodin sebagai pengarang menjadikan dia selalu bersemangat menerbitkan sebuah surat kabar. Sejak tahun 1923, Haji Fachrodin menerbitkan surat kabar Bintang Islam. Dia mengajak kawan-kawan aktivis Muhammadiyah di Solo yang disingkirkan dari Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak oleh Haji Misbach untuk bergabung dalam penerbitan surat kabar baru ini (baca Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1923). Yunus Anies (1930: 47), salah seorang murid Haji Fachrodin, melukiskan kesannya terhadap tokoh yang satu ini. “Penna didjalankan selaloe berhenti, apabila diboeroekan kerap patah dan dawat ditoewang tidak mentjoeroeh, lama baharoe dapat menghitamkan warakat jang poetih. Demikianlah karena pemegang qalam dan pengoeroes soerat-soerat chabar itoe ada mengandoeng perkara jang haibat dalam dadanja...” Surat kabar Bintang Mataram (no. 43 edisi 28 Februari 1929) juga melukiskan kesan, “Ia selaen seorang pemimpin jang ahli berpidato, dalam kalangan Journalistiek poen ia terhitoeng tadjem penanja.”

Pahlawan Nasional
Pada hari Rabu, 27 Februari 1929, Haji Fachrodin menghembuskan nafas terakhirnya setelah dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiyah Yogyakarta. Pasca pemberlakuan disiplin partai di tubuh Partai Sarekat Islam (PSI), Haji Fachrodin memang sudah sering sakit-sakitan.
Kabar meninggal Haji Fachrodin memang cukup mengejutkan pada waktu itu. Haji Fachrodin lahir pada tahun 1890 dan meninggal pada tahun 1929. Dengan demikian, Haji Fachrodin meninggal dalam usia 39 tahun atau memasuki 40 tahun. Kerabat, kawan dekat, dan organisasi yang pernah menjadi medan perjuangannya langsung memberikan ucapan bela sungkawa dan apresiasi terhadap tokoh yang satu ini.
Beberapa tokoh nasional hadir dalam acara pemakaman Haji Fachrodin, seperti Soekiman Wirjosandjojo, Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Keluarga besar Muhammadiyah dari berbagai daerah mengutus perwakilan untuk menghadiri pemakaman ini. Beberapa surat kabar nasional yang memuat berita meninggal Haji Fachrodin adalah: Bintang Timoer (edisi no. 48 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden), Mataram (edisi no. 51 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), Fadjar Asia (edisi no. 44 tanggal 28 Februari 1929/Weltevreden), Bintang Mataram (edisi no. 43 tanggal 28 Februari 1929/Yogyakarta), De Locomotif (edisi no. 57 tanggal 9 Maret 1929/Semarang), Pandji Poestaka (edisi no. 19 tanggal 5 Maret 1929/Weltevreden), Soeloeh Ra’jat Indonesia (edisi no. 9 tanggal 27 Februari 1929), Soeara Moehammadijah dan Soeara Aisjijah (edisi kongres).
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia memberikan anugrah Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 162 tahun 1964 menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Haji Fachrodin dan K.H. Mas Mansur. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Jumat, 31 Agustus 2018

Siti Munjiyah, Tokoh Kongres Perempuan Pertama

Siti Munjiyah
Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasanya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan itu ialah menurut hak batas-batasnya sendiri-sendiri,” demikian sepenggal kalimat dalam pidato Siti Munjiyah yang disampaikan dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 di Yogyakarta.

Kongres Perempuan Pertama
Kongres Perempuan pertama sukses diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Mataram (Yogyakarta), pada 22-25 Desember 1928. Mengapa momentum bersejarah ini digelar di Yogyakarta? Nyaris tidak ada sejarawan nasional yang mampu menjawabnya. Susan Blackburn (2007), peneliti asal Australia, mencoba berspekulasi untuk menjawab pertanyaan ini. Pelaksanaan Kongres Perempuan pertama digelar di Yogyakarta karena memang para tokoh inisiator dan panitia penyelenggaranya asli warga setempat. Argumentasi semacam ini memang cukup logis, tetapi peneliti Monash University (Melbourne) ini lupa membaca peta politik pergerakan nasional di Yogyakarta ketika kongres ini digelar.
Kongres Perempuan pertama diselenggarakan 20 tahun pasca lahir Budi Oetomo (22 Mei 1908) di kampus STOVIA di Weltevreden. Momentum bersejarah ini digelar sekitar dua bulan pasca peristiwa Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Batavia. Kelahiran Budi Oetomo (BO) telah menginspirasi gerakan kaum bumiputra, terlebih-lebih ketika beberapa perkumpulan pemuda di tanah air bersatu pada 28 Oktober 1928 membuahkan Sumpah Pemuda. Yogyakarta (Mataram) merupakan kota yang langsung menyambut baik gerakan kebangkitan kaum bumiputra. Kondisi sosial-politik di Yogyakarta memang sangat memungkinkan untuk melahirkan gerakan-gerakan revolusioner. Kelahiran organisasi-organisasi bumiputra di Yogyakarta bagaikan jamur di musim hujan.
Organisasi-organisasi bumiputra yang lahir di Yogyakarta, seperti Mardi Kiswa (1900), Muhammadiyah (1912), Taman Siswa (1922), Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Arbeidsleger (Tentara Buruh) Adi-Dharma, Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (PPPB), dan lain-lain. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya mampu menjadi kekuatan baru gerakan Islam modernis di tanah air. Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya berhasil merintis gerakan pendidikan kaum bumiputra. Soerjopranoto, kakak kandung Ki Hajar Dewantara, bersama Haji Fachrodin (Muhammadiyah) berhasil menggerakkan kaum buruh lewat PFB dan Arbeidsleger  Adi-Dharma (Takashi Shiraishi, 2005).
Organisasi-organisasi bumiputra yang tidak lahir di Yogyakarta, tapi tumbuh subur di bumi Mataram adalah Budi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), Inlandsche Journalisten Bond (IJB), dan lain-lain. Wahidin Sudiro Husodo dengan BO-nya telah mengawali gerakan intelektual baru. Tjokroaminoto dengan SI-nya, ketika kantor dagelijksche bestuur (pimpinan harian) CSI dipindah ke Yogyakarta, mengubah bumi Mataram menjadi pusat pergerakan nasional. Haji Fachrodin dengan IJB dan ISDV-nya, mampu mengubah wajah Yogyakarta menjadi medan revolusi.
Ketika kantor pimpinan harian CSI pindah ke Yogyakarta (sekitar 1924-1925) membuktikan bahwa kota ini memang sangat strategis sebagai pusat pergerakan nasional. SI memang lahir di Solo pada tahun 1911, tetapi tumbuh subur di Yogyakarta. Dalam congres SI tahun 1914 di Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan mendapat posisi kehormatan sebagai adviseur (penasehat) organisasi ini (Deliar Noer, 1996: 119). Kenyataan ini menunjukkan bahwa Yogyakarta memang memiliki peran strategis dalam proses pertumbuhan organisasi-organisasi bumiputra. Faktor pertumbuhan organisasi-organisasi bumiputra yang begitu subur di Yogyakarta inilah yang memungkinkan untuk menjawab pertanyaan, mengapa Kongres Perempuan pertama digelar di Yogyakarta. Kalau toh para inisiator dan panitia penyelenggaranya berasal dari Kota Gudeg, maka itu hanya faktor kebetulan saja.   
Salah satu pertanyaan yang luput dari pengamatan Susan Blackburn adalah peran Aisyiyah dalam Kongres Perempuan pertama. Dalam dokumen surat kabar Isteri pada edisi congresnummer (Mei 1929), Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang menduduki nomor urut perdana sebagai anggota kongres. Memang R.A. Sukonto yang menjabat sebagai ketua panitia kongres, sementara Siti Munjiyah, utusan Aisyiyah, duduk sebagai wakil ketua. Tetapi menurut Susan Blackburn, penunjukan R.A. Sukonto sebagai ketua karena faktor kharisma untuk mengangkat dan melegitimasi kongres. Jika benar analisis Blackburn, maka posisi Siti Munjiyah sebagai wakil ketua semakin membuka penafsiran baru terhadap peran Aisyiyah dalam Kongres Perempuan pertama.
Dalam dokumen photo-photo Kongres Perempuan pertama, terutama pada sesi rapat, tampak Siti Munjiyah duduk di tengah, berdampingan dengan R.A. Sukonto. Dokumen surat kabar Isteri edisi congresnummer menyebutkan bahwa Siti Munjiyah menyampaikan pidatonya setelah R.A. Sukonto. Siti Munjiyah menyampaikan pidato dengan gaya seperti seorang muballighat menyampaikan khutbah dengan tema “Derajat Perempuan.” Tema yang cukup menonjol dan sempat menjadi perdebatan panas ketika Munjiyah menyampaikan pandangan agama Islam terhadap hak-hak perkawinan (lihat Soeara Moehammadijah no. 5 dan 6 Th. XI/Agustus 1929). Nyonya Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial yang turut menyaksikan jalannya kongres melukiskan suasana ketika Munjiyah berpidato. Siti Sundari, utusan Poetri Indonesia, menginterupsi kongres dan menuduh Munjiyah sebagai pendukung standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki (Susan Blackburn, 2007: xxxviii).
Selain peran Siti Munjiyah sebagai wakil ketua kongres, utusan Hoofdbestuur (HB) Aisyiyah yang menjadi panitia adalah Siti Hayinah. Dalam kesempatan ini, Hayinah menyampaikan pidato dengan tema “Persatuan Manusia” yang menurut penilaian Blackburn terlalu umum dan tidak memiliki gagasan strategis. Selain utusan HB Aisyiyah, aktivis Siswa Praja Wanita (SPW—cikal bakal Nasyi’atul Aisyiyah), organisasi sayap Aisyiyah junior, juga sangat menentukan dalam memeriahkan kongres ini. Disebutkan dalam surat kabar Isteri edisi congresnummer bahwa aktivis SPW yang khas memakai kerudung putih memeriahkan acara dengan menyanyi dan pentas teater.
Dengan membaca fakta-fakta sejarah Kongres Perempuan perempuan yang melibatkan tokoh-tokoh Aisyiyah, dari jajaran HB Aisyiyah sampai organisasi sayap Aisyiyah junior (SPW), dan proses penyelenggaraannya yang memilih tempat di Yogyakarta (tempat lahir Muhammadiyah dan Aisyiyah), memungkinkan untuk memberikan penafsiran baru bagi para peneliti atau sejarawan di tanah air. Fakta-fakta tersebut jelas bisa membuka jalan untuk penafsiran lebih atas peran Aisyiyah dalam pelaksanaan Kongres Perempuan pertama yang dinilai sukses oleh pemerintah kolonial. Momentum ini pula yang kemudian diabadikan dalam Kongres Perempuan ketiga di Bandung (1938) sebagai peringatan Hari Ibu.

Siti Munjiyah
Sejak terbentuk perkumpulan Sapa Tresna (1914) yang berawal dari cursus membaca al-Qur’an di bawah bimbingan Kiai Haji Ahmad Dahlan, para aktivis perkumpulan ini terus bertambah. Semakin banyak santri perempuan yang aktif di perkumpulan Sapa Tresna, di antara mereka adalah lulusan sekolah netraal dan sekolah agama, maka pada tahun 1917, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah secara resmi mendirikan Aisyiyah sebagai organisasi sayap yang bercita-cita memajukan perempuan Islam. Nyai Ahmad Dahlan, pembina santri-santri perempuan di internaat (pondokan), berkali-kali menyampaikan petuah agar seorang isteri berpenampilan sederhana. Kaum isteri dihimbau agar tidak silau pada perhiasan mewah sampai-sampai mereka rela meminjam uang kepada tetangganya hanya untuk mengejar penampilan atau agar terlihat cantik. “Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi!” pesan Nyai Dahlan kepada para santri putri. “Apabila wanita itu minta bermacam-macam menunjukkan bahwa mereka miskin!” tegasnya.
Pesan Nyai Ahmad Dahlan ini betul-betul telah terpatri dalam jiwa santri-santrinya. Salah satu santri perempuan hasil didikan Nyai Ahmad Dahlan berhasil menjadi tokoh nasional dengan pembawaan yang sederhana. Kepribadiannya amat sederhana, tetapi berjiwa srikandi. Dia telah ditunjuk mewakili HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Perempuan muda itu menjadi wakil ketua panitia, bersanding dengan R.A. Sukonto, ketua panitia kongres. Sebagai wakil ketua panitia yang mewakili utusan Aisyiyah, dia mendapat kesempatan untuk berpidato, menyampaikan pandangan-pandangannya seputar kedudukan wanita dalam Islam. Terlihat semangatnya menyala-nyala. Pidatonya panjang berisi pemikiran-pemikiran tajam. Setelah mendengar pidatonya, peserta kongres langsung sadar bagaimana agama Islam mendudukan kaum perempuan. Dialah Siti Munjiyah, utusan Aisyiyah yang menjadi wakil ketua panitia dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama.
Munjiyah termasuk salah satu di antara anak-anak Haji Hasyim Ismail, Lurah Keraton Yogyakarta. Dia bersaudara dengan Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah (Yunus Anis, 1969: 9). Anak-anak keturunan Haji Hasyim Ismail inilah yang dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim.” Mereka adalah penggerak Muhammadiyah sejak pertama kali didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (1912). 
Adik kandung Haji Fachrodin ini tidak hanya piawai dalam berkhutbah. Pengalaman sebagai muballighat di Aisyiyah memantapkan dirinya sebagai seorang dai perempuan yang handal. Walaupun demikian, dia seorang ulama perempuan yang memiliki pandangan inklusif dan toleran. Meskipun dalam pidatonya dia membela hukum Islam, tetapi dengan bahasa yang halus dia berusaha untuk tidak merendahkan agama-agama lain.
Di antara pengurus Aisyiyah, Siti Munjiyah paling terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan perempuan lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di Aisyiyah. Ketika Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi perempuan lain, maka Siti Munjiyah yang datang mewakili. Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi perempuan lain, seperti Wanita Taman Siswa, Wanita Utama, Jong Java, dan sebagainya (Sri Sutjiatiningsih, 1919: 20).
Siti Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali, warga Kauman. Akan tetapi, tampaknya pernikahan Munjiyah dengan Ghozali tidak harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng. Sebab, keduanya lantas cerai. Setelah bercerai dari suaminya, Munjiyah tidak menikah lagi. Dengan status sebagai janda, dia justru memiliki banyak waktu untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya berjuang di Aisyiyah. Namun, berdasarkan informasi Wasingah Syarbini (wawancara 10 Oktober 2010), Siti Munjiyah belum pernah menikah. Dia kemudian mengadopsi anak-anak Siti Bariyah, adik kandungnya yang meninggal dunia. Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad, dirawat dan dididik oleh Munjiyah sampai dewasa.
Siti Munjiyah memang tak kenal lelah berjuang di Aisyiyah. Semangatnya yang menyala-nyala dan tekadnya yang kuat telah membawa nama Aisyiyah di pentas nasional. Tetapi, Munjiyah tetap seorang manusia biasa. Dia lahir, kemudian hidup penuh perjuangan, lalu mati meninggalkan segala amalnya di dunia. Penyakit kangker payudara telah menggerogoti kesehatannya. Pada tahun 1955, Siti Munjiyah menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang memimpin Aisyiyah. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Kamis, 30 Agustus 2018

Penulis Jogja: KH. Ahmad Dahlan Sang Wartawan

Penulis Jogja: KH. Ahmad Dahlan Sang Wartawan: KH Ahmad Dahlan Tidak banyak yang tahu kiprah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam dunia pers pergerakan. Bahkan, Buya Syafi...

Poto

KH. Ahmad Dahlan Sang Wartawan

KH Ahmad Dahlan
Tidak banyak yang tahu kiprah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam dunia pers pergerakan. Bahkan, Buya Syafii Maarif pernah menegaskan bahwa sosok pendiri Muhammadiyah ini tidak pernah meninggalkan karya tulis, lebih mengutamakan aksi ketimbang teori. Wajarlah jika para peneliti Muhammadiyah menempatkan sosok K.H. Ahmad Dahlan sebagai seorang pragmatis. Namun, secuil informasi yang akan penulis sampaikan dalam artikel ini, setidak-tidaknya, akan mengubah persepsi terhadap sosok K.H. Ahmad Dahlan. Sebab, Khatib Amin—jabatan fungsional K.H. Ahmad Dahlan dalam struktur Kepenghuluan Kraton Yogyakarta pada awal abad ke-20—justru mengisi struktur kontributor tulisan di majalah Medan-Moeslimin tahun 1920-an. Nama pendiri Muhammadiyah ini juga secara eksplisit tertera dalam struktur redaksi Suara Muhammadiyah tahun 1915. Berperan sebagai kontributor atau redaktur media massa, sudah barang tentu K.H. Ahmad Dahlan punya tugas untuk menulis.  

Sisi Lain K.H. Ahmad Dahlan
Selama ini, umat Islam di Indonesia pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya lebih mengenal sosok K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama besar. Padahal, Tibamin—akronim dari Khatib Amin—memiliki catatan karir profesional yang belum banyak diungkap, baik oleh para peneliti Muhammadiyah dari dalam maupun luar negeri. Karir profesional K.H. Ahmad Dahlan yang belum banyak diketahui adalah posisinya sebagai seorang wartawan. Perjalanan karir ini dapat dilacak ketika K.H. Ahmad Dahlan terlibat di beberapa media massa di tanah air pada masanya.
Tibamin, begitu warga kampung Kauman menyapa K.H. Ahmad Dahlan, adalah Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta. Ia putra keempat dari tujuh bersaudara putra-putri K.H. Abubakar. Lahir di Kauman pada tahun 1285 H (1868 M) dengan nama Muhammad Darwis (Junus Salam, 2009: 56). Darwis lahir dan dibesarkan dalam kultur Jawa bercorak santri. Ayahnya, K.H. Abubakar, adalah Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta. Kelak, setelah K.H. Abubakar meninggal dunia (1896), Darwis bakal menggantikan posisi ayahnya sebagai Khatib Amin. Sang ayah turut andil besar dalam menentukan pendidikan Darwis semasa kecil. Selain belajar agama kepada sang ayah, Darwis juga menimba ilmu kepada K.H. Muhammad Shaleh, K.H. Muhsin, K.H. Muhammad Nur, dan K.H. Abdul Hamid. Layaknya anak-anak di kampung Kauman, ia pun hanya mendapat pendidikan agama saja. Memang tidak ada lembaga pendidikan umum di kampung Kauman. Jangankan mengenyam pendidikan umum layaknya para student atau leerling di sekolah-sekolah Belanda, meniru budaya kaum kolonial dianggap haram.
Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan umum, tetapi Darwis memiliki banyak kenalan dari kalangan intelektual pribumi. Sebut saja Raden Sosrosoegondo, guru bahasa Melayu yang mengajar di Kweekschool di Jetis. Dari tokoh yang satu ini, Darwis belajar membaca dan menulis bahasa Melayu—cikal bakal bahasa Indonesia modern. Dengan demikian, Darwis kecil tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga mengenyam pendidikan umum.  
Pada tahun 1889, Darwis menikah dengan Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadhil, yang tak lain sepupunya sendiri. Beberapa bulan kemudian, ia menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya (1889). Sepulang dari tanah suci, ia sudah mengantongi sertifikat untuk mengganti namanya menjadi: Ahmad Dahlan. Perjalanan haji kedua kalinya (1902) telah memantapkan hatinya. Ia menyempatkan diri untuk mempelajari gerakan pembaruan Islam di Makkah dan Mesir. Atas jasa K.H. Baqir, saudara sepupunya yang telah lama menetap di Makkah, Tibamin berhasil bertemu dan berdialog langsung dengan Rasyid Ridla, salah seorang tokoh pembaru Islam dari Mesir (Djarnawi Hadikusumo, t.t.: 64). Sepulang dari tanah suci, Tibamin memutuskan untuk terjun dalam dunia pergerakan lewat Budi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), dan mendirikan Muhammadiyah (1912).
                  
Sang Wartawan
Pada awal abad 20, dunia pergerakan tidak dapat dipisahkan dari dunia pers. Setiap perkumpulan memiliki orgaan (surat kabar) yang menjadi corong gerakan. Ketika memutuskan terjun dalam dunia pergerakan, K.H. Ahmad Dahlan pun harus menekuni dunia pers. Ia bersama murid-muridnya merintis penerbitan surat kabar bulanan yang pertama kali terbit tahun 1915. Surat kabar tersebut bernama Soewara Moehammadijah.
Berdasarkan dokumen Soewara Moehammadijah nomor 2 tahun 1915 (Dzulqaidah 1333 H), nama K.H. Ahmad Dahlan tercantum dalam susunan redaksi. Selaku Hoofdredacteur (pemimpin redaksi) H. Fachrodin. Adapun jajaran redaksi sebagai berikut: H.A. Dahlan, H.M. Hisjam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan R.H. Hadjid. Pengelola administrasi: H.M. Ma’roef dibantu Achsan B. Wadana.
Sebagai tokoh senior yang duduk di jajaran redaktur, sudah dipastikan K.H. Ahmad Dahlan turut andil dalam mengisi majalah ini. Artikel bersambung karangan Tibamin yang dimuat di Soewara Moehammadijah nomor 2 tahun 1915 berjudul ”Agama Islam” (artikel ditulis menggunakan bahasa Jawa). Di akhir tulisan terdapat identitas penulis menggunakan inisial ”AD.” Menurut H. Ahmad Basuni, inisial ”AD” disinyalir sebagai Ahmad Dahlan (Suara Muhammadiyah no. 1 tahun 1990). Namun sayang, sambungan dari artikel ini belum ditemukan hingga kini. Dokumen Soewara Moehammadijah nomor 3 tahun 1915 yang mestinya berisi sambungan dari karangan K.H. Ahmad Dahlan belum ditemukan.
Alhamdulillah, pada akhir tahun 2016, penulis tanpa sengaja menemukan dokumen penting di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padangpanjang. Dokumen tersebut adalah beberapa edisi majalah Soewara Moehammadijah terbitan tahun 1916 (bahasa dan huruf Jawa). Setelah melewati proses penerjemahan, ternyata benar bahwa K.H. Ahmad Dahlan memang rutin mengisi artikel di majalah ini. Dalam dokumen Soewara Moehammadijah tahun 1916 ditemukan artikel “Agama Islam” sebanyak empat edisi yang ditulis oleh seorang penulis yang menggunakan inisial “H.A.D” yang tidak lain adalah “Haji Ahmad Dahlan.”     
Kiprah K.H. Ahmad Dahlan di medan pergerakan memang sangat strategis. Terbukti, tidak hanya menjadi wartawan di Soewara Moehammadijah, tetapi ia juga dipercaya sebagai salah satu pembantoe redactie (kontributor) di majalah Medan-Moeslimin (terbit di Solo) untuk wilayah Yogyakarta. Berdasarkan dokumen majalah Medan-Moeslimin tahun 1920-an, nama “M. Ketibamin Djokja” tercantum di halaman cover majalah ini. Dokumen ini tidak jelas menyebutkan nomor edisi dan tahun penerbitannya. Tetapi, pada halaman cover sebelah kiri terdapat keterangan “redacteur H.M. Misbach dalam boei Klaten.” Dengan keterangan ini cukup jelas untuk membaca dokumen majalah ini karena Haji Misbach masuk penjara di Klaten pada tahun 1920-an.
Keterlibatan K.H. Ahmad Dahlan dalam penerbitan majalah Medan-Moeslimin karena faktor Haji Fachrodin. Ia sahabat karib Haji Misbach. Ketika tokoh revolusioner ini masuk penjara karena kasus pengerahan massa petani di Klaten, kendali redaktur majalah ini diambil alih oleh Haji Fachrodin. Sedangkan Haji Fachrodin sendiri adalah salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan dan pemimpin redaksi (Hoofdredacteur) Soewara Moehammadijah pertama.
Namun demikian, tulisan-tulisan K.H. Ahmad Dahlan di majalah Medan-Moeslimin hingga kini belum ditemukan. Dengan melihat peran dan fungsi sebagai seorang kontributor, sesungguhnya hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa K.H. Ahmad Dahlan pernah menulis di media massa ini.     
Sedangkan indikasi lain, dalam sebuah kesempatan penting, penulis berhasil mendapatkan sebuah informasi dari Ahmad Adaby Darban (alm.), bahwa K.H. Ahmad Dahlan memiliki sebuah kartu pers. Adaby Darban pernah membaca sebuah hasil penelitian sejarah yang memberikan informasi tentang K.H. Ahmad Dahlan yang memiliki kartu wartawan. Akan tetapi, hingga kini, dokumen penting ini belum ditemukan kembali. Seandainya ditemukan, tentu akan banyak informasi yang dapat diperoleh. Misalnya, lembaga apa yang mengeluarkan kartu pers tersebut? Bagaimana peran lembaga tersebut dalam peta pergerakan nasional? Sejauh mana peran K.H. Ahmad Dahlan dalam lembaga tersebut?
Dengan membaca catatan sejarah perjalanan karir K.H. Ahmad Dahlan selama berkecimpung di dunia pers, baik di majalah Soewara Moehammadijah, Medan-Moeslimin, dan organisasi wartawan bumiputra pada waktu itu, sebenarnya banyak persepsi yang perlu diluruskan. Selama ini, beberapa sejarawan dan peneliti Muhammadiyah berasumsi bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah figure pragmatis atau man in action. Selama hidupnya, Tibamin tidak pernah meninggalkan karya tulis, baik dalam bentuk buku ataupun artikel. Ia tak lebih dari sosok yang mengutamakan aksi ketimbang berpikir. Namun, persepsi tersebut dapat dimentahkan dengan penemuan dokumen-dokumen yang dapat menjelaskan keterlibatan K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia pers. Dengan posisi sebagai seorang wartawan, bukankah ia harus menulis? (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Rabu, 29 Agustus 2018

Siti Bariyah, Dari Ketua ‘Aisyiyah Pertama Hingga Penafsir Ideologi Muhammadiyah

Siti Bariyah
Dia satu di antara tiga gadis Kauman (Yogyakarta) yang mengenyam pendidikan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School). Bersama dua sahabatnya, ia berani menerobos tradisi, masuk sekolah netral yang dikelola oleh orang-orang Belanda. Pada waktu itu, persepsi masyarakat Kauman tentang budaya orang-orang Belanda dianggap sebagai kekufuran. Siapa yang mengikuti atau menyerupai budaya orang-orang Belanda, maka ia dianggap termasuk bagian dari mereka (man tasyabaha bi qaumin, fa huwa min hum). Apalagi, masyarakat Kauman pada waktu itu juga masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah, tidak patut menuntut ilmu yang tinggi, karena ujung-ujungnya hanya akan mengurusi dapur. Namun ia memberanikan diri menerobos tradisi, mengikuti arahan yang disampaikan seorang kiai kharismatik bernama K.H. Ahmad Dahlan (Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta). Gadis berparas ayu itu bernama Siti Bariyah.   

Ketua ’Aisyiyah Pertama
Bukan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan ketua ’Aisyiyah pertama, tetapi Siti Bariyah, santriwati-ideologis K.H. Ahmad Dahlan yang sejak awal telah dipersiapkan untuk menjadi kader Muhammadiyah. Tesis ini dipertegas untuk meluruskan kekeliruan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan ketua ’Aisyiyah pertama adalah Nyai Ahmad Dahlan. Siapakah Siti Bariyah?
Dalam monograf ”Anak Cucu Lurah Hasyim Ismail Berhidmat kepada Muhammadiyah” (2009), Mu’tasimbillah Al-Ghozi mengutip catatan pribadi Haji Hasyim Ismail sebagai berikut: “Tatkolo dhahiripun Bariyah amarengi ing dinten Jum’ah legi, kaping 21 wulan Shafar tahun be Sanat 1325” (Ketika lahir anak perempuan Bariyah bersamaan dengan hari Jum’at legi, tanggal 21 bulan Shafar tahun Be sanat 1325). Manuskrip Haji Hasyim Ismail inilah satu-satunya sumber primer yang memberi informasi seputar tahun kelahiran Siti Bariyah.
Siti Bariyah adalah salah satu di antara putra-putri Haji Hasyim Ismail yang berjumlah 8 orang. Merujuk pada manuskrip Haji Hasyim Ismail, Bariyah bersaudara dengan Yasimah, Daniel, Jazuli, Hidayat, Zaini, Munjiyah, dan Walidah. Mereka inilah yang dikenal sebagai “Bani Hasyim” Kauman—merujuk pada istilah yang digunakan Pak AR Fakhruddin untuk menyebut anak-anak Haji Hasyim Ismail yang semuanya mengabdi dan berjuang di Muhammadiyah. Siti Bariyah, Siti Munjiyah, dan Siti Walidah (bukan Nyai Ahmad Dahlan) adalah kader-kader ‘Aisyiyah generasi pertama. Daniel—di kemudian hari berganti nama “Haji Syujak” (Ketua Pertama Penolong Kesengsaraan Oemoem/PKO), Jazuli—di kemudian hari berganti nama “Haji Fachrodin” (Ketua Pertama Bagian Tabligh Muhammadiyah (Bendahara Centraal Sarekat Islam, pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah, Bintang Islam, Srie Diponegoro), Hidayat—di kemudian hari berganti nama “Ki Bagus Hadikusuma” (Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah pasca K.H. Mas Mansur), dan Zaini—muballigh dan pakar kristologi (dari silsilah ini menurunkan tokoh: Busyro Muqoddas, Muhammad Muqoddas,  dan Fahmi Muqoddas).
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail yang lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1325 H, bersama Siti Wadingah dan Siti Dawimah pada tahun 1913 menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan atas arahan K.H. Ahmad Dahlan (Ahmad Adaby Darban, 2000: 47). Langkah K.H. Ahmad Dahlan yang menganjurkan anak-anak perempuan di Kauman masuk sekolah umum merupakan gagasan baru yang sesungguhnya masih sangat sulit diterima oleh masyarakat setempat. Gagasan Kiai Ahmad Dahlan ini sempat dianggap sebagai langkah kontroversial, karena masyarakat setempat memang masih beranggapan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus ke luar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda. Langkah Kiai Dahlan tersebut jelas dianggap sebagai upaya menjerumuskan kaum perempuan dalam kekafiran.
Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Khatib Amin tetap mendidik dan menjaga anak-anak gadis yang dianjurkannya menuntut ilmu di sekolah Belanda. Lewat perkumpulan pengajian Sapa Tresna, mereka dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam. Perkumpulan pengajian perempuan Islam pertama di kampung Kauman bernama Sapa Tresna inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah. Didirikan pada tahun 1914, Sapa Tresna beranggotakan  murid-murid perempuan di Sekolah Netral (Neutrale Meisjes School) dan Sekolah Agama (Diniyah Ibtidaiyah) (Junus Anies, 1968: 20).
Siti Bariyah adalah adik kandung Siti Munjiyah, aktivis Sapa Tresna—cikal bakal ‘Aisyiyah. Dia gadis berparas ayu dengan kulit kuning langsat. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek. Mata bulat lebar, tatapan matanya tajam. Di antara santri-santri perempuan Kiai Dahlan, Bariyah paling sering diajak bertabligh di kantor-kantor pejabat pemerintahan dan di sekolah-sekolah umum. Santri perempuan lain yang sering diajak bertabligh oleh Khatib Amin adalah Siti Wasilah (istri K.R.H. Hadjid). Keduanya memang memiliki kemampuan dan wawasan yang melebihi santri-santri perempuan yang lain. Bariyah mahir berbahasa Belanda, juga bahasa Melayu, sedang Wasilah mahir melatunkan tilawatil Qur’an. Sebelum pengajian dimulai, Khatib Amin menyuruh Wasilah untuk membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an sambil dilagukan dengan merdu. Bariyah mendapat giliran untuk menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan Belanda. Konon, dengan model pengajian seperti ini, banyak orang yang senang dan berlomba-lomba mengikuti pengajian (Wawancara dengan Wasingah Syarbini, 10 Oktober 2010).
Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan organ sayap perempuan Muhammadiyah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kiai Ahmad Dahlan, H. Fachrodin, H. Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro (putri K.H. Ahmad Dahlan), Siti Wadingah, dan Siti Badilah yang masing-masing masih berusia belasan tahun hadir mewakili kelompok Sapa Tresna.
Kiai Dahlan mendapat usulan agar Muhammadiyah membentuk organisasi yang secara khusus bertujuan untuk memajukan kaum perempuan. Dalam pertemuan ini, mula-mula nama yang diajukan untuk perkumpulan yang akan dibentuk adalah ”Fatimah.” Nama ini tidak disepakati dalam pertemuan tersebut. Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Bariyah, mengajukan nama ”Aisyiyah.” Pemberian nama ini dinisbatkan kepada istri Nabi SAW yang bernama Siti Aisyah. Para pengikut Siti Aisyah dinamakan ’Aisyiyah. Nama inilah yang berhasil disepakati dalam pertemuan tersebut. Akhirnya, pertemuan tersebut berhasil memutuskan pembentukan Muhammadiyah Bahagian Isteri (perempuan) yang diberi nama ’Aisyiyah (Darban, 2000: 48).
Dalam proses pembentukan Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, Siti Bariyah, lulusan Sekolah Netral, dipercaya sebagai ketua (president) pertama (Pimpinan Pusat Aisyiyah, t.t.: 23). Dia sebagai lulusan Neutraal Meisjes School dan aktivis pengajian Sapa Tresna dipandang memiliki kecakapan khusus dalam memimpin salah satu orgaan di Persyarikatan Muhammadiyah ini. Struktur pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah adalah sebagai berikut: Ketua Siti Bariyah, Penulis Siti Badilah, Bendahari Siti Aminah Harowi, Pembantu Nj. H. Abdullah, Nj. Fatimah Wasool, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Busyro (Lihat St. Ibanah Muchtar, “Pemandangan Umum ‘Aisjijah” dalam Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII).   

Perempuan Pertama Penafsir Ideologi Muhammadiyah
Selain dikenal sebagai ketua ‘Aisyiyah pertama, Siti Bariyah adalah tokoh intelektual perempuan yang cukup menonjol pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, terutama pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim. Jika selama ini pendapat bahwa pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah dicetuskan oleh KH Mas Mansur lewat Tafsir Langkah Muhammadiyah (1939), maka teori ini mungkin akan segera digeser, atau paling tidak direvisi, dalam narasi historiografi Muhammadiyah. Sebab, temuan terbaru berdasarkan penelusuran dokumentasi Soewara Moehammadijah tahun 1923, justru pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah digagas oleh seorang intelektual perempuan bernama Siti Bariyah. Ia telah mendapat otoritas untuk memberikan tafsiran terhadap rechtpersoon Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1933). Berdasarkan hasil analisis terhadap dokumen Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923 pada artikel “Tafsir Maksoed Moehammadijah” yang ditulis Siti Bariyah telah ditemukan gugus pemikiran ideologis jauh sebelum Mas Mansur melahirkan buah pemikiran Tafsir Langkah Muhammadiyah.
Apa yang ditulis Bariyah lebih dari sekedar gagasan pribadi, tetapi sebuah upaya memaknai konsep-konsep umum sebagaimana tertuang dalam rechtpersoon (badan hukum) Muhammadiyah yang terdiri atas ’artikel-artikel’ (pasal-pasal) yang membutuhkan penjelasan lebih rinci. Biasanya kewenangan untuk menafsirkan maksud dari pasal-pasal dalam anggaran dasar diberikan kepada sebuah tim khusus atau seseorang yang memang telah diakui kapasitas intelektualnya. Pada masa kepemimpinan KH Ibrahim banyak intelektual di HB Muhammadiyah, tetapi sosok Bariyah justru yang dipercaya untuk memberikan tafsiran ideologis atas tujuan persyarikatan.
Pemikiran ideologis Bariyah tampak ketika ia memberikan tafsiran terhadap tujuan Muhammadiyah. Dalam rechtpersoon Muhammadiyah (artikel 2) disebutkan: ”Hadjat perserikatan itoe: a. Memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama Islam di seloeroeh Hindia-Nederland.” Di sinilah pemikiran subjektif Bariyah mulai tampak ketika memberikan penafsiran atas konsep ”memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama.” Menurutnya, tujuan didirikan persyarikatan Muhammadiyah untuk mengatur, membesarkan, dan memajukan pengajaran agama Islam di Hindia-Belanda dengan sistem modern atau ”berkemadjoean.” Karena istilah ”kemadjoean” sering diiringi dengan penjelasan ”setjara jaman sekarang.” Dalam pandangan Muhammadiyah, di kalangan umat Islam di Hindia-Belanda belum ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam menggunakan sistem dan metode yang sesuai zaman berkemajuan. ”...pada saat ini, beloemlah ada kaoem Islam jang bekerdja kepada agama Islam dan pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean,” tulis Bariyah. 
Menurut Bariyah, umat Islam terbelakang dan bodoh karena sistem dan metode pengajaran agama yang tidak menyesuaikan kondisi zaman. Akibatnya, umat Islam sering menjadi hinaan dan ejekan bangsa lain, terutama bangsa pendatang. Dengan demikian, dibutuhkan upaya besar mengubah sistem dan metode pengajaran agama yang kemudian menjadi tujuan persyarikatan Muhammadiyah.  
Apa yang dimaksud pengajaran agama Islam sesuai peraturan dan ”tjara menoeroet zaman kemadjoean” dalam pandangan Bariyah adalah sistem sekolah, bukan model pondok pesantren. Karena di pondok pesantren, orang hanya belajar agama tanpa menguasai ilmu pengetahuan umum yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, di sekolahan orang hanya belajar ilmu pengetahuan umum tanpa mengasai ilmu agama yang berguna bagi kehidupan akhirat. Atas dasar inilah Bariyah menulis, ”Moehammadijah mengadjarkan agama dengan memakai tjara sekolah.” Kita memang tidak bisa membaca pikiran Bariyah secara menyeluruh, tetapi apa yang telah diartikulasikan dalam bentuk tulisan tersebut dapat mewakili sebagian isi pikirannya. Dengan konsep mengajarkan agama Islam dengan sistem sekolah berarti ia menghendaki integrasi kurikulum yang sekaligus dapat menepis dikotomi pendidikan pada waktu itu.  
Pada artikel 2 poin b ditegaskan bahwa Muhammadiyah ”memadjoekan dan menggembirakan tjara kehidupan sepanjang kemaoean agama Islam kepada lid-lidnja.” Bariyah menggunakan interpretasi subjektifnya ketika memahami pasal ini. Menurutnya, tujuan Muhammadiyah adalah menuntun dan mengajar para anggotanya agar hidup sejalan dengan prinsip-prinsip dalam agama Islam. ”...maksoed persarikatan Moehammadijah hendak mengatoer dan membesarkan atau menoendjoekan kebaikan kehidoepan lid-lidnja menoeroet sepandjang kemaoean agama Islam,” tulis Bariyah. Akan tetapi, Bariyah menegaskan bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melewati proses bimbingan dan belajar berdasarkan tuntunan Islam agar dapat berinteraksi antara sesama anggota maupun antara sesama manusia. Di sini tampak jelas bahwa visi kemanusiaan universal dalam pikiran Bariyah sudah melampaui zamannya. Bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melalui proses bimbingan dan belajar agar menjadi muslim kaffah. Muslim kaffah bukan hanya dapat berinteraksi antara sesama muslim, tetapi seluruh umat manusia tanpa mengenal latar belakang kelompok, etnis, dan agama.
   
Pengusaha Batik
Siti Bariyah menikah dengan Muhammad Wasim, seorang anggota atau keturunan dari masyarakat Kauman. Salah satu karakteristik masyarakat Kauman adalah masyarakat endogami, masyarakat yang terbentuk lewat perkawinan antarkeluarga atau klan (Darban, 2000: 1-6). Sebagai anggota masyarakat Kauman, Siti Bariyah juga menikah dengan seorang keturunan anggota masyarakat Kauman. Dalam catatan silsilah Bani Hasyim, Siti Bariyah diketahui menikah dengan Muhammad Wasim bin K.H. Ibrahim (President HB Muhammadiyah 1923-1932). K.H. Ibrahim putra Penghulu K.H. Muhammad Fadhil. Dia saudara kandung Siti Walidah atau adik ipar Kiai Ahmad Dahlan (Suratmin, 2005: 13). Setelah menikah, K.H. Ibrahim menetap di kampung Ngadiwinatan dan menekuni profesi sebagai juragan batik. Dengan demikian, anak-anak K.H. Ibrahim termasuk keturunan warga Kauman.
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang profesi Bariyah sebagai pengusaha batik memang masih perlu diverifikasi kembali. Kauman, pada awal abad ke 20, memang menjadi sentra kerajinan batik. Namun demikian, tidak semua kategori pengusaha batik adalah pembuat batik. Jika K.H. Ibrahim adalah pengusaha batik dalam arti yang sesungguhnya, yakni pengusaha yang membuka pabrik pembuatan batik, maka Bariyah dan suaminya hanya menyediakan jasa mengetel atau menghaluskan kain dengan kanji sebelum diproses menjadi batik (Wawancara dengan Wasingah Syarbini, 10 Oktober 2010). Rumah Siti Bariyah yang menyediakan jasa pengetelan terletak di Jalan Gerjen.
Pernikahan Bariyah dengan Muhammad Wasim menurunkan tiga anak: Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad. Siti Bariyah meninggal dunia setelah melahirkan Fuad, anak ketiganya. Setelah meninggal dunia, anak-anak Bariyah yang masih kecil diasuh oleh Siti Munjiyah, kakak kandungnya. Dalam asuhan Munjiyah inilah anak-anak Bariyah tumbuh dewasa. Bariyah memang meninggal dunia dalam usia relatif muda, tetapi namanya telah tercatat dengan tinta emas bahwa dialah president (ketua) pertama ‘Aisyiyah dan perempuan pertama yang menjadi penafsir ideologi Muhammadiyah. (Mu'arif/tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)

Selasa, 28 Agustus 2018

Muhammadiyah dan Nasionalisme

KH Ahmad Dahlan,
Pendiri Muhammadiyah
Sewaktu Muhammadiyah dideklarasikan (1912), nusantara masih dalam kondisi tercerai-berai. Bangsa Indonesia belum terbentuk. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pilar pendiri NKRI ini belum mengenal konsep ”bangsa” (nation) dan ”negara” (state), apalagi ”negara-bangsa” (nation-state). Tetapi nalar kebangsaan sudah melekat dalam imaji para pendiri dan pengurus Muhammadiyah. Lewat keputusan Tanwir tahun 1969 (Ponorogo), Muhammadiyah bercita-cita membentuk ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Muhammadiyah
Selama tiga periode pertama kepemimpinan Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, dan KH. Hisyam) tidak banyak menyinggung perdebatan tentang visi kebangsaan. Tetapi gagasan tentang persatuan umat menjadi visi bersama para pendiri Muhammadiyah. Setelah memasuki periode kepemimpinan KH. Mas Mansur (1936-1942) dan Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), Muhammadiyah baru berperan aktif dalam merumuskan visi kebangsaan Indonesia. Konstelasi politik nasional pada waktu itu memang memaksa ormas Islam modernis ini terlibat langsung dalam perjuangan politik demi merebut kemerdekaan.
Lewat kepemimpinan KH. Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo, Muhammadiyah memainkan peran politik kebangsaan yang cukup signifikan. KH. Kedua tokoh Muhammadiyah ini dikenal sebagai ulama, intelektual, dan aktivis pergerakan nasional. Secara tidak langsung, Muhammadiyah turut memberikan warna tersendiri dalam proses pembentukan visi kebangsaan Indonesia.
Di samping sebagai tokoh pergerakan nasional dan intelektual yang cemerlang, KH. Mas Mansur adalah seorang ideolog besar. Kepemimpinan KH. Mas Mansur di Persyarikatan Muhammadiyah tidak kalah pentingnya dengan kiprahnya di pentas perpolitikan nasional. Sebagai seorang ideolog, KH. Mas Mansur termasuk tokoh yang paling berjasa dalam membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah (Mustafa Kamal Pasha, Adabi Darban, 2003).
Sikap KH. Mas Mansur sangat tegas kepada pemerintah kolonial Belanda. Sikapnya yang cukup tegas ketika menentang ordonasi guru dan pencatatan perkawinan oleh pemerintah Belanda. Di bawah kepemimpinannya, pada tahun 1937, lewat kongres XXVI, Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi bumi putra (bangsa). Lewat kebijakan ini, Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi.
Di bawah kepemimpinan KH. Mas Mansur, Muhammadiyah menentang ordonansi sidang dan mengganti semua istilah Hindia Belanda dengan bahasa Indonesia (Melayu). Pada kongres XXVIII di Medan (1939), Muhammadiyah mendukung gerakan kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum muda di tanah air dalam menggunakan bahasa nasional.    
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah kembali memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan, khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus Hadikusumo juga dikenal sebagai ideolog besar. Perannya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar dalam merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD).
Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”
Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir saja melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah pula, Ki Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa (HS. Prodjokusumo, 1983).
Meskipun secara eksplisit tidak dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Karena usulan atas rumusan sila pertama merupakan buah dari perjuangan Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo, maka Muhammadiyah patut berbangga hati karena dua tokohnya berhasil memperjuangkan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia.

Visi Kebangsaan
Muhammadiyah tidak bercita-cita mendirikan ”Negara Islam”, tetapi justru berupaya mewujudkan ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam Khittah Ujung Pandang (1971), Muhammadiyah merumuskan diri sebagai gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Muhammadiyah tidak memasuki politik praktis sebagai bidang garapan. Persyarikatan ini juga tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak berafiliasi pada suatu partai atau organisasi apapun.
Muhammadiyah memandang bahwa proses membangun masyarakat jauh lebih sulit ketimbang mendirikan sebuah negara. Proses mendirikan sebuah negara harus melewati kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu bisa diraih lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta atau pemberontakan. Atas dasar ini, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu sangat rapuh. Sedangkan proses membangun masyarakat jauh lebih langgeng. Masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita. Dalam konteks inilah, Muhammadiyah tidak membidik Negara Islam, tetapi mewujudkan ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Tampaknya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah telah menyadari betul konsekuensi dari cita-cita terbentuknya ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Cita-cita ini jauh lebih luhur dan langgeng ketimbang menghendaki terbentuknya sebuah Negara Islam. Berdasarkan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), Persyarikatan Muhammadiyah menjalankan misi berjuang mengajak semua komponen bangsa untuk mengatur dan membangun tanah air agar menjadi masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah swt. (Mu'arif)

Senin, 27 Agustus 2018

Muhammadiyah di Mata WS Rendra

WS Rendra
(Photo: https://sentraedukasi.com)
WS Rendra, penyair “Burung Merak,” adalah seorang muallaf di akhir hayatnya. Proses pencarian makna hidup mengantarkannya kepada pilihan akhir untuk memeluk Islam. Bagaimanakah Rendra memahami Islam dan seperti apa komentarnya tentang Muhammadiyah? Majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 7/Th. Ke-51/1971 pernah menurunkan hasil wawancara Hermasnyah Nazirun dengan WS Rendra yang baru memeluk Islam.  

Tentang Islam
Beberapa bulan setelah memutuskan memeluk Islam, Rendra mendapat kiriman buku-buku agama dari tokoh-tokoh Islam nasional. Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mengirimkan buku Toward Understanding Islam karya Abul A’la Al-Maududi. Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan buku Islam The Missunderstood Religion karya Sayyid Quthub. Bahkan, AR Fachruddin, ketua umum PP Muhammadiyah, sempat berkunjung untuk bersilaturahim ke tempat WS Rendra.
Rendra pernah mendengar pengakuan dari seorang tahanan politik Gestapu. Selama dalam tahanan, ia mendapat kunjungan dari para pastur dan ulama. Kepadanya ditawarkan berbagai macam bentuk keyakinan dan janji-janji eskatologis. Para pastur menawarinya keyakinan Nasrani dan memberinya bimbingan ruhani. Tetapi para ulama justru bersikap sebaliknya. Kepada tahanan politik Gestapu tersebut, para ulama justru bukannya membimbing secara ruhani, tetapi malah memberikan pernyataan keras, mengancam dengan dalil agama, dan menyuruhnya supaya bertobat.
“Saudara telah berbuat begini, berarti saudara telah melakukan tindakan yang berdosa, yang dikutuk Tuhan. Oleh karena itu, bertobatlah! Titik. Tentu saja cara membimbing dalam agama yang demikian ini secara psikologis tidak tepat” komentar Rendra.
Komentar WS Rendra sekitar 38 tahun yang lalu tampaknya masih relevan untuk memberikan penilaian terhadap fenomena dakwah Islam saat ini yang masih kurang sensitif terhadap kondisi psikologis umat. Model dakwah yang menggurui, bukan membimbing, masih menjadi cirri khas para muballigh saat ini. Dakwah yang menebar ancaman, bukan menyampaikan pesan kedamaian, juga masih mewarnai tiap-tiap pengajian atau majlis-majlis taklim. Inilah model pendekatan dakwah yang kurang humanis.
“Kalau umat Islam mau berhasil dalam usahanya, harus dapat mengubah sikap yang kaku dalam approach-nya, yang sebetulnya juga tak sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’an” pesan Rendra.
WS Rendra, yang pada waktu itu baru beberapa bulan memutuskan masuk Islam, sudah memahami problem metode dakwah Islam di lapangan. Mengapa seorang muallaf jauh lebih peka memahami problem ini ketimbang para muballigh atau ulama yang lebih memahami ajaran Islam? Tampaknya, umat Islam memang masih harus introspeksi diri. Kelemahan ini pula yang telah mengakibatkan citra Islam saat ini berubah menjadi agama yang garang dan seram. Agama Islam menjadi garang karena cenderung keras tidak kenal kompromi dalam merespon berbagai problem sosial kemasyarakatan. Islam juga berubah menjadi agama yang seram karena para muballigh lebih senang menakut-nakuti ketimbang menyampaikan pesan kedamaian.
Pesan kedamaian dalam Islam harus terejawantahkan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Rendra berharap agar umat Islam lebih memberikan perhatian pada usaha-usaha kemanusiaan, seperti perlindungan terhadap fakir miskin, menyantuni para tahanan di lembaga pemasyarakatan, membantu para penderita penyakit kusta, dan lain sebagainya.
“Bagaimanapun juga mereka adalah makhluk tuhan yang berhak untuk mengecap cinta kasih dan kebahagiaan”, tegas Rendra.

Tentang Muhammadiyah
WS Rendra belum mengenal Pak AR—panggilan akrab AR Fakhruddin—sewaktu ia bersilaturahmi ke rumahnya. Setelah pelukis Rusli memberitahu, ia baru sadar bahwa orang yang baru saja berkunjung ke rumahnya adalah seorang tokoh penting di Muhammadiyah. Dan Rendra telah mengenal Muhammadiyah lewat buku Studi tentang Muhammadiyah terbitan Cornel University.
Belajar dari sejarah bangsa ini, Rendra yakin akan peran organisasi massa dalam membangun sistem sosial kemasyarakatan. Menurutnya, setiap usaha membangun sosial-kemasyarakatan, peran elite group senantiasa menentukan. Umat Islam di Indonesia sudah memiliki elite group di masa memasuki kemerdekaan lewat peran Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI). Menurut Rendra, ternyata membina kaum borjuis nasional, SI juga banyak memberikan nafas dan dorongan perjuangan nasional demi mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Rendra sempat menyayangkan, ketika SI dirusak oleh Semaun dan kawan-kawannya (PKI).
Pasca Indonesia memasuki masa pembangunan, WS Rendra kembali menaruh harapan besar kepada Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan seabad yang lampau (18 November 1912) merupakan elite group yang terbukti berhasil meneruskan tradisi SI. Selain bergerak di bidang keagamaan, Muhammadiyah merupakan ormas yang terbukti konsisten memberdayakan masyarakat kecil, memberikan santunan dan pelayanan sosial, dan berjuang atas nama kemanusiaan.
Sewaktu ditanya, bagaimana konsep membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Rendra menjawab: “Tidak perlu dipikirkan benar-benar!” Sebab, bagaimanapun konsep yang dibuat lewat kongres atau muktamar tidak akan berjalan jika pribadi-pribadi muslim tidak konsisten mengamalkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya.
Mewujudkan cita-cita Muhammadiyah “membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sama sulitnya dengan membangun bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan Rendra, sejarah bangsa Indonesia terbentuk lewat peran elite group yang terbukti banyak memberikan dorongan dan semangat dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
Sebagai gerakan Islam modernis, Rendra menaruh harapan besar agar Muhammadiyah tidak menampilkan kesan sebagai ormas yang garang dan seram dalam berdakwah. Ia berharap agar Muhammadiyah senantiasa menjadi pengayom umat. Dengan begitu, katanya, diharapkan cita-cita Muhammadiyah akan tercapai.
Kritik dan gagasan WS Rendra yang baru saja menjadi seorang muallaf beberapa  tahun yang silam merupakan sumbangan berarti bagi umat Islam dan Muhammadiyah. Lewat kritik dan gagasan penyair “Burung Merak” ini, umat Islam dan Muhammadiyah bisa bercermin dalam rangka introspeksi diri. Mungkin benar kritik Rendra, para muballigh masih belum bisa menerapkan pendekatan yang humanis dalam berdakwah, sehingga mengesankan seolah-olah Islam agama yang kurang ramah. Barangkali benar kritik Rendra, Muhammadiyah tidak perlu memikirkan benar-benar bagaimana berjuang mewujudkan cita-citanya. Sebab, titik pangkal persoalan yang dihadapi terletak pada pribadi-pribadi muslim yang konsisten mengamalkan ajaran Islam yang murni dalam pandangan Muhammadiyah. (Mu'arif)