Siti Munjiyah |
“Perempuan
dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan
bahwasanya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan itu ialah menurut hak
batas-batasnya sendiri-sendiri,”
demikian sepenggal kalimat dalam pidato Siti Munjiyah yang disampaikan dalam Kongres
Perempuan Indonesia pertama 1928 di Yogyakarta.
Kongres Perempuan Pertama
Kongres
Perempuan pertama sukses diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Mataram
(Yogyakarta), pada 22-25 Desember 1928. Mengapa momentum bersejarah ini digelar
di Yogyakarta? Nyaris tidak ada sejarawan nasional yang mampu menjawabnya.
Susan Blackburn (2007), peneliti asal Australia, mencoba berspekulasi untuk
menjawab pertanyaan ini. Pelaksanaan Kongres Perempuan pertama digelar di
Yogyakarta karena memang para tokoh inisiator dan panitia penyelenggaranya asli
warga setempat. Argumentasi semacam ini memang cukup logis, tetapi peneliti
Monash University (Melbourne) ini lupa membaca peta politik pergerakan nasional
di Yogyakarta ketika kongres ini digelar.
Kongres
Perempuan pertama diselenggarakan 20 tahun pasca lahir Budi Oetomo (22 Mei
1908) di kampus STOVIA di Weltevreden. Momentum bersejarah ini digelar sekitar
dua bulan pasca peristiwa Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Batavia.
Kelahiran Budi Oetomo (BO) telah menginspirasi gerakan kaum bumiputra,
terlebih-lebih ketika beberapa perkumpulan pemuda di tanah air bersatu pada 28
Oktober 1928 membuahkan Sumpah Pemuda. Yogyakarta (Mataram) merupakan kota yang
langsung menyambut baik gerakan kebangkitan kaum bumiputra. Kondisi
sosial-politik di Yogyakarta memang sangat memungkinkan untuk melahirkan
gerakan-gerakan revolusioner. Kelahiran organisasi-organisasi bumiputra di
Yogyakarta bagaikan jamur di musim hujan.
Organisasi-organisasi
bumiputra yang lahir di Yogyakarta, seperti Mardi Kiswa (1900), Muhammadiyah (1912), Taman Siswa (1922), Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Arbeidsleger (Tentara
Buruh) Adi-Dharma, Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (PPPB), dan lain-lain.
K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya mampu menjadi kekuatan baru gerakan
Islam modernis di tanah air. Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya berhasil
merintis gerakan pendidikan kaum bumiputra. Soerjopranoto, kakak kandung Ki
Hajar Dewantara, bersama Haji Fachrodin (Muhammadiyah) berhasil menggerakkan
kaum buruh lewat PFB dan Arbeidsleger
Adi-Dharma (Takashi Shiraishi, 2005).
Organisasi-organisasi
bumiputra yang tidak lahir di Yogyakarta, tapi tumbuh subur di bumi Mataram
adalah Budi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), Inlandsche Journalisten Bond (IJB), dan lain-lain. Wahidin
Sudiro Husodo dengan BO-nya telah mengawali gerakan intelektual baru.
Tjokroaminoto dengan SI-nya, ketika
kantor dagelijksche bestuur (pimpinan harian) CSI dipindah ke
Yogyakarta, mengubah bumi Mataram menjadi pusat pergerakan nasional. Haji
Fachrodin dengan IJB dan ISDV-nya, mampu mengubah wajah Yogyakarta menjadi
medan revolusi.
Ketika kantor pimpinan harian CSI pindah ke Yogyakarta (sekitar
1924-1925) membuktikan bahwa kota ini memang sangat strategis sebagai pusat
pergerakan nasional. SI memang lahir di Solo pada tahun 1911, tetapi tumbuh
subur di Yogyakarta. Dalam congres SI tahun 1914 di Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan mendapat
posisi kehormatan sebagai adviseur
(penasehat) organisasi ini (Deliar Noer, 1996: 119). Kenyataan
ini menunjukkan bahwa Yogyakarta memang memiliki peran strategis dalam proses
pertumbuhan organisasi-organisasi bumiputra. Faktor pertumbuhan
organisasi-organisasi bumiputra yang begitu subur di Yogyakarta inilah yang
memungkinkan untuk menjawab pertanyaan, mengapa Kongres Perempuan pertama
digelar di Yogyakarta. Kalau toh para
inisiator dan panitia penyelenggaranya berasal dari Kota Gudeg, maka itu hanya
faktor kebetulan saja.
Salah satu
pertanyaan yang luput dari pengamatan Susan Blackburn adalah peran Aisyiyah
dalam Kongres Perempuan pertama. Dalam dokumen surat kabar Isteri pada edisi congresnummer
(Mei 1929), Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang menduduki nomor urut
perdana sebagai anggota kongres. Memang R.A. Sukonto yang menjabat sebagai
ketua panitia kongres, sementara Siti Munjiyah, utusan Aisyiyah, duduk sebagai
wakil ketua. Tetapi menurut Susan Blackburn, penunjukan R.A. Sukonto sebagai
ketua karena faktor kharisma untuk mengangkat dan melegitimasi kongres. Jika
benar analisis Blackburn, maka posisi Siti Munjiyah sebagai wakil ketua semakin
membuka penafsiran baru terhadap peran Aisyiyah dalam Kongres Perempuan
pertama.
Dalam dokumen
photo-photo Kongres Perempuan pertama, terutama pada sesi rapat, tampak Siti
Munjiyah duduk di tengah, berdampingan dengan R.A. Sukonto. Dokumen surat kabar
Isteri edisi congresnummer menyebutkan bahwa Siti Munjiyah menyampaikan
pidatonya setelah R.A. Sukonto. Siti Munjiyah menyampaikan pidato dengan gaya
seperti seorang muballighat menyampaikan khutbah dengan tema “Derajat
Perempuan.” Tema yang cukup menonjol dan sempat menjadi perdebatan panas ketika
Munjiyah menyampaikan pandangan agama Islam terhadap hak-hak perkawinan (lihat Soeara Moehammadijah no. 5 dan 6 Th.
XI/Agustus 1929). Nyonya
Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial yang turut menyaksikan jalannya
kongres melukiskan suasana ketika Munjiyah berpidato. Siti Sundari, utusan
Poetri Indonesia, menginterupsi kongres dan menuduh Munjiyah sebagai pendukung
standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki (Susan Blackburn, 2007: xxxviii).
Selain peran
Siti Munjiyah sebagai wakil ketua kongres, utusan Hoofdbestuur (HB) Aisyiyah yang menjadi panitia adalah Siti
Hayinah. Dalam kesempatan ini, Hayinah menyampaikan pidato dengan tema
“Persatuan Manusia” yang menurut penilaian Blackburn terlalu umum dan tidak
memiliki gagasan strategis. Selain utusan HB Aisyiyah, aktivis Siswa Praja
Wanita (SPW—cikal bakal Nasyi’atul Aisyiyah), organisasi sayap Aisyiyah junior,
juga sangat menentukan dalam memeriahkan kongres ini. Disebutkan dalam surat
kabar Isteri edisi congresnummer bahwa aktivis SPW yang
khas memakai kerudung putih memeriahkan acara dengan menyanyi dan pentas
teater.
Dengan membaca
fakta-fakta sejarah Kongres Perempuan perempuan yang melibatkan tokoh-tokoh
Aisyiyah, dari jajaran HB Aisyiyah sampai organisasi sayap Aisyiyah junior
(SPW), dan proses penyelenggaraannya yang memilih tempat di Yogyakarta (tempat
lahir Muhammadiyah dan Aisyiyah), memungkinkan untuk memberikan penafsiran baru
bagi para peneliti atau sejarawan di tanah air. Fakta-fakta tersebut jelas bisa
membuka jalan untuk penafsiran lebih atas peran Aisyiyah dalam pelaksanaan
Kongres Perempuan pertama yang dinilai sukses oleh pemerintah kolonial.
Momentum ini pula yang kemudian diabadikan dalam Kongres Perempuan ketiga di
Bandung (1938) sebagai peringatan Hari Ibu.
Siti Munjiyah
Sejak terbentuk perkumpulan Sapa Tresna (1914) yang berawal dari cursus membaca al-Qur’an di bawah bimbingan Kiai Haji Ahmad Dahlan,
para aktivis perkumpulan ini terus bertambah. Semakin banyak santri perempuan
yang aktif di perkumpulan Sapa Tresna,
di antara mereka adalah lulusan sekolah netraal dan sekolah agama, maka pada
tahun 1917, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah secara
resmi mendirikan Aisyiyah sebagai organisasi sayap yang bercita-cita memajukan
perempuan Islam. Nyai Ahmad Dahlan, pembina santri-santri perempuan di internaat (pondokan), berkali-kali menyampaikan
petuah agar seorang isteri berpenampilan sederhana. Kaum isteri dihimbau agar tidak
silau pada perhiasan mewah sampai-sampai mereka rela meminjam uang kepada tetangganya
hanya untuk mengejar penampilan atau agar terlihat cantik. “Wanita jangan
memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi!” pesan Nyai Dahlan kepada para
santri putri. “Apabila wanita itu minta bermacam-macam menunjukkan bahwa mereka
miskin!” tegasnya.
Pesan Nyai Ahmad Dahlan ini betul-betul telah terpatri
dalam jiwa santri-santrinya. Salah satu santri perempuan hasil didikan Nyai
Ahmad Dahlan berhasil menjadi tokoh nasional dengan pembawaan yang sederhana. Kepribadiannya
amat sederhana, tetapi berjiwa srikandi. Dia telah ditunjuk mewakili HB Muhammadiyah
bahagian Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama yang
diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Perempuan muda itu menjadi wakil
ketua panitia, bersanding dengan R.A. Sukonto, ketua panitia kongres. Sebagai
wakil ketua panitia yang mewakili utusan Aisyiyah, dia mendapat kesempatan
untuk berpidato, menyampaikan pandangan-pandangannya seputar kedudukan wanita
dalam Islam. Terlihat semangatnya menyala-nyala. Pidatonya panjang berisi
pemikiran-pemikiran tajam. Setelah mendengar pidatonya, peserta kongres
langsung sadar bagaimana agama Islam mendudukan kaum perempuan. Dialah Siti
Munjiyah, utusan Aisyiyah yang menjadi wakil ketua panitia dalam Kongres
Perempuan Indonesia pertama.
Munjiyah termasuk salah satu di antara anak-anak Haji Hasyim
Ismail, Lurah Keraton Yogyakarta. Dia bersaudara dengan Jasimah, Syuja’,
Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah (Yunus Anis, 1969:
9). Anak-anak keturunan Haji Hasyim Ismail inilah yang dikenal dengan sebutan
“Bani Hasyim.” Mereka adalah penggerak Muhammadiyah sejak pertama kali
didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (1912).
Adik kandung Haji Fachrodin ini tidak hanya piawai
dalam berkhutbah. Pengalaman sebagai muballighat di Aisyiyah memantapkan
dirinya sebagai seorang dai perempuan yang handal. Walaupun demikian, dia
seorang ulama perempuan yang memiliki pandangan inklusif dan toleran. Meskipun
dalam pidatonya dia membela hukum Islam, tetapi dengan bahasa yang halus dia
berusaha untuk tidak merendahkan agama-agama lain.
Di antara pengurus Aisyiyah, Siti Munjiyah paling terbiasa
diundang dalam perkumpulan-perkumpulan perempuan lintas agama. Dalam
menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun
menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di
Aisyiyah. Ketika Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi perempuan lain,
maka Siti Munjiyah yang datang mewakili. Namanya memang cukup dikenal di
kalangan organisasi perempuan lain, seperti Wanita Taman Siswa, Wanita Utama,
Jong Java, dan sebagainya (Sri Sutjiatiningsih, 1919: 20).
Siti Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali, warga
Kauman. Akan tetapi, tampaknya pernikahan Munjiyah dengan Ghozali tidak
harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng. Sebab, keduanya lantas
cerai. Setelah bercerai dari suaminya, Munjiyah tidak menikah lagi. Dengan
status sebagai janda, dia justru memiliki banyak waktu untuk mencurahkan tenaga
dan pikirannya berjuang di Aisyiyah. Namun, berdasarkan informasi Wasingah
Syarbini (wawancara 10 Oktober 2010), Siti Munjiyah belum pernah menikah. Dia kemudian
mengadopsi anak-anak Siti Bariyah, adik kandungnya yang meninggal dunia. Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad, dirawat dan dididik oleh Munjiyah sampai dewasa.
Siti Munjiyah memang tak kenal lelah berjuang di
Aisyiyah. Semangatnya yang menyala-nyala dan tekadnya yang kuat telah membawa
nama Aisyiyah di pentas nasional. Tetapi, Munjiyah tetap seorang manusia biasa.
Dia lahir, kemudian hidup penuh perjuangan, lalu mati meninggalkan segala
amalnya di dunia. Penyakit kangker payudara telah menggerogoti kesehatannya.
Pada tahun 1955,
Siti Munjiyah menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang memimpin
Aisyiyah. (Mu'arif/Tulisan ini telah dimuat di www.alif.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar