WS Rendra (Photo: http://superweb.id) |
Sebagai aktor dalam panggung sejarah, manusia dibekali “daya
hidup” untuk menopang eksistensinya. Untuk menopang daya hidupnya, manusia
dibekali dengan akal. Daya hidup dan anugrah akal memungkinkan manusia bertahan
hidup. Sejarah kemudian merekam proses dialog interaktif antara manusia dengan
realitas kehidupan yang kompleks.
Daya Hidup
Menurut budayawan WS. Rendra, daya hidup manusia dalam
perspektif kebudayaan meliputi: pertama, keharmonisan alam dengan irama
kehidupan manusia; kedua, kesadaran menghayati dan mencerna
pengalaman-pengalaman yang berarti; ketiga, kemampuan berkoordinasi dan
berorganisasi; keempat, kemampuan beradaptasi; kelima, daya
mobilitas; keenam, daya tumbuh dan berkembang; ketujuh, kemampuan
regenerasi (WS Rendra, 2001: 51-52).
Prinsip harmoni antara manusia
dengan alam semesta merupakan sunatullah. Ia mengada di alam semesta ini
bukan sebagai entitas yang lain. Manusia merupakan bagian dari alam semesta. Menurut
Paulo Freire, setiap manusia membutuhkan alam ini. Begitu juga sebaliknya, alam
membutuhkan manusia. Oleh karena itu, relasi harmonis antara manusia dengan
alam merupakan jalinan proses “mengada bersama” (Paulo Freire, 2001: 34).
Realitas kehidupan yang dihadapi
oleh manusia begitu kompleks. Tetapi manusia mampu menghayati dan mencerna
pengalaman-pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Kemampuan ini tidak bisa
lepas dari peran akal dalam dirinya. Ia senantiasa bisa mengambil pelajaran
dari setiap pengalaman dalam hidupnya. Apakah binatang mampu mengambil
pelajaran dari pengalaman-pengalaman dalam hidupnya?
Manusia hidup di dunia tidak
sendirian. Ia berinteraksi dengan manusia lain. Lewat peran akal, proses
interaksi antara manusia satu dengan yang lain tercipta bahasa, tatanan sosial,
tradisi, norma-norma, dan sebagainya. Atas dasar inilah, menurut Aristoteles (384-322 SM), manusia merupakan “makhluk sosial” (zon
politicon).
Binatang pun tidak sendirian di dunia
ini. Tetapi binatang tidak mampu menciptakan bahasa sebagai alat komunikasi, tidak
memiliki tatanan kehidupan, tradisi, dan norma-norma. Binatang cenderung mengikuti
daya insting untuk terus hidup bersama yang lain.
Setiap manusia memiliki kemampuan
beradaptasi. Dalam iklim dan struktur geografis yang berbeda-beda, manusia maupun
beradaptasi dengan baik. Kemampuan beradaptasi ditopang oleh kekuatan akal
sehingga manusia mampu merasionalisasikan setiap keadaan. Manusia tidak akan memaksakan
diri bertahan hidup dalam sebuah lingkungan yang secara logis tidak
memungkinkan baginya untuk bertahan hidup. Hal ini jelas berbeda dengan
binatang. Sekalipun secara fisik daya tahan binatang lebih kuat ketimbang
manusia, tetapi tidak memiliki kapasitas merasionalisasikan keadaan.
Daya tumbuh, berkembang, dan mobilitas
merupakan karakter dasar kehidupan makhluk secara umum. Manusia memiliki daya
tumbuh, berkembang, dan juga bergerak secara dinamis. Begitu juga dengan kehidupan
binatang. Akan tetapi, kekuatan akal membedakan karakteristik dasar kehidupan
antara manusia dan binatang.
Sebuah kelompok sosial yang menghadapi
populasi tak terkendali, manusia memiliki jalan alternatif untuk menyelesaikan
persoalan ini. Salah satu solusinya ialah dengan tradisi ekspansi (penyebaran),
baik dalam skala besar maupun kecil. Bagi masyarakat modern, transmigrasi
merupakan salah satu bentuk solusi alternatif untuk mengatasi populasi yang tak
terkendali. Tentu saja binatang tidak mengenal transmigrasi yang merupakan
konsep terencana dan terpadu.
Kemampuan regenerasi merupakan
proses keberlangsungan hidup agar setiap makhluk tidak punah. Sebagai karakteristik
daya hidup yang berlaku secara universal, manusia dan binatang juga memiliki
daya regenerasi. Tetapi, proses regenerasi yang tidak ditopang dengan peran
akal cenderung destruktif. Manusia yang diberi anugrah akal sehingga memiliki sistem
regenerasi yang berbeda dengan binatang. Bagi binatang, proses regenerasi
dilangsungkan lewat perkawinan. Tetapi, manusia memiliki tatacara perkawinan
tersendiri yang sudah menjelma menjadi bentuk kebudayaan tersendiri. Tidak setiap
manusia bisa kawin layaknya binatang. Sebaliknya, tidak setiap binatang bisa
melangsungkan proses perkawinan layaknya manusia.
Stamina Kebudayaan
Pada kenyataannya, daya hidup manusia-manusia di zaman
modern tidak ditopang oleh stamina yang kuat. Peran akal dalam merasionalisasi
keadaan cenderung dikalahkan oleh kepentingan materi. Zaman sekarang, kekuatan
akal yang mengusung kebenaran amat dengan mudah ditepis oleh kepentingan materi
atau kekuasaan. Sistem kapitalis telah merajai dunia sehingga sesuatu yang
irrasional amat dengan mudah mengalahkan rasionalitas. Inilah kondisi di mana
stamina kebudayaan kian menurun.
Gejala-gejala yang termasuk dalam
kategori penurunan stamina kebudayaan meliputi: pertama, disharmoni peran
dan posisi manusia dengan alam. Manusia modern cenderung menempatkan diri di
alam ini sebagai entitas tersendiri. Manusia memposisikan diri sebagai subyek
sementara alam semesta sebagai obyek. Akibatnya, manusia yang menempatkan diri
sebagai subyek cenderung mengeksploitasi obyek (alam) secara serakah.
Kedua, hilangnya kesadaran untuk
menghayati dan mencerna pengalaman hidup. Ini berarti bahwa manusia-manusia di
zaman modern enggan belajar dari pengalaman. Ketika sebuah bangsa yang
berkali-kali mendapat musibah bencana alam setiap tahunnya, tetapi tidak mampu
mengantisipasi atau memberi solusi alternatif, maka stamina kebudayaannya sudah
turun.
Ketiga, individualisme dan
absolutisme. Stamina kebudayaan kian menurun manakala kemampuan berkoordinasi dan
berorganisasi dalam sebuah masyarakat sudah menjelma menjadi individualisme dan
absolutisme. Manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri, tidak butuh
orang lain. Kehendaknya seakan-akan harus diwujudkan, tanpa peduli orang lain. Secara
otomatis, individualisme dan absolutisme bertentangan dengan kehidupan
demokratis. Stamina kebudayaan kian menurun manakala sebuah masyarakat mulai
meninggalkan nilai-nilai demokratis.
Keempat, gagap realitas. Manusia
hidup di alam semesta menghadapi realitas yang terus berubah. Kehidupannya
dinamis. Begitu juga dengan realitas kebudayaan yang terus berkembang. Tetapi, di
zaman sekarang ini, manusia-manusia modern dibuat bingung, tak punya sikap
tegas, pilihan mengambang dan idealisme terombang-ambing, oleh “budaya tanding”
yang datang dari luar. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi
informasi (TI), menawarkan budaya baru yang secara prinsipil bertentangan
dengan daya hidup. Kemampuan mengcounter budaya tanding yang tidak sejalan
dengan budaya bangsa kian lemah. Ini merupakan gejala gagap realitas yang sama
artinya stamina kebudayaan sedang menurun.
Kelima, pemikiran dan sikap semakin
statis. Akar kebudayaan manusia berawal dari ide. Proses dialog interaktif manusia
menghadapi realitas kehidupannya secara dinamis melahirkan ide-ide. Dari
ide-ide melahirkan norma-norma, tradisi-tradisi, atau bentuk-bentuk budaya yang
beragam. Sedangkan realitas kebudayaan tidak menempati ruang steril, melainkan
berada dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, kebudayaan
harus dinamis. Indikasi bahwa stamina kebudayaan kian menurun manakala daya
mobilitas, tumbuh, dan berkembang, menjadi statis.
Keenam, terputusnya generasi.
Kebudayaan lahir lewat proses historis yang panjang sehingga eksistensinya akan
tetap lestari manakala terdapat proses regenerasi. Jika tidak, maka kebudayaan
bakal sirna dan dilupakan oleh sejarah. Generasi muda merupakan pewaris utama
kebudayaan para pendahulu. Jika tidak terdapat proses regenerasi lewat
institusi pembelajaran (pendidikan) yang dinamis, maka suatu kebudayaan bakal
tenggelam atau dilupakan.
Sebagai aktor-aktor dalam panggung
sejarah, manusia-manusia Indonesia dibekali “daya hidup” untuk menopang
eksistensi masing-masing. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, manusia-manusia
Indonesia juga dibekali akal untuk menopang daya hidup. Daya hidup dan anugrah
akal memungkinkan manusia-manusia Indonesia bertahan hidup.
Dengan enam indikasi di atas, kita sebagai aktor-aktor
sejarah kebudayaan Indonesia bisa mengukur sendiri seberapa kuat “stamina
kebudayaan” bangsa ini. (Mu'arif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar