Minggu, 20 Mei 2018

Mengenal Jurnalisme Sastrawi

Tahun 1960-an, sebuah genre jurnalisme baru (new journalism) diperkenalkan di media massa di Amerika Serikat. Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis, menginisiasi istilah new journalism ini. Dia bersama sahabatnya, EW Johnson menerbitkan sebuah ontologi berjudul, The New Journalism.
Dari sinilah sejarah penulisan feature berawal.     
Photo: http://blog.indeed.com
New journalism lahir dari daya kritis insan jurnalistik yang menangkap kesan “kejenuhan” di kalangan para pembaca media massa karena hanya disuguhkan model-model tulisan yang bersifat straight (langsung) atau hard (permukaan). Ketika beberapa wartawan senior di Amerika Serikat, seperti Briton Hadden (New York Times) dan Henry Luce (Time) menerapkan model baru dalam penulisan berita, yakni dengan cara menghindari gaya penulisan model piramida terbalik.[1] Model penulisan ini melalui pemilihan diksi yang bersifat lembut (soft), memunculkan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam (human interest), bahasa yang mudah dicerna dan indah. Masyarakat pembaca ternyata lebih tertarik dengan produk jurnalistik baru ini ketimbang produk jurnalistik konvensional.
Apa kaitan antara new journalism dengan feature?
Pertama kali dikenalkan, new journalism mengundang kritik. Apa yang baru? New journalism menghasilkan produk jurnalistik dengan ciri-ciri: mendalam (tidak hanya berita permukaan), penulisan menggunakan gaya sastra (lugas/bahasa tidak standard), dan hasilnya enak dibaca (komunikatif, cair). Pada umumnya, para jurnalis yang memproduksi karya jurnalistik baru ini memiliki latar belakang sebagai sastrawan atau budayawa, sehingga muncul babakan, karakter, dramatis, dan konflik. Dengan ini, new journalism dikenal sebagai literary journalism (jurnalisme sastrawi). Di Amerika Serikat, muncul beragam istilah untuk menamai fenomena baru dalam dunia jurnalistik ini, seperti narrative reporting, passionate journalism, atau ada pula yang menyebut explorative journalism.[2] Produk dari new journalism inilah yang lebih akrab dikenal sebagai feature.          
Jurnalisme sastrawi (literary journalism) adalah sebuah genre baru dalam dunia persuratkabaran. Genre ini telah berkembang pesat di beberapa media besar di Amerika Serikat, seperti majalah Time dan Newsweek atau harian The New York Times dan The Woshington Post. Di tanah air, media massa nasional yang telah mengadopsi genre jurnalisme baru ini seperti harian Kompas, majalah Tempo, dan belakangan beberapa media massa lainnya mulai menerapkan gaya jurnalisme sastrawi.   
Sesungguhnya, kehadiran genre jurnalisme baru ini sudah mulai dirintis sejak Orde Lama, seperti ketika Mochtar Lubis memimpi harian Indonesia Raya, ia rajin menulis editorial dengan gaya khas jurnalisme sastrawi. Atau PK Ojong ketika memimpir harian Kompas, ia rutin mengisi rubrik Kompasiana dengan gaya khas jurnalisme sastrawi. Dilanjutkan dengan penerbitan majalah Tempo yang hingga kini memiliki ciri khas gaya jurnalisme sastrawi. Produk dari genre jurnalisme sastrawi adalah feature dengan penekanan pada aspek human interest.  
Memang tidak mudah menghadirkan karya jurnalistik dengan perpaduan standar jurnalisme konvensional dengan standar karya sastra sehingga dibutuhkan sumber daya wartawan yang mumpuni. Dalam praktiknya, hanya beberapa media massa (baik harian maupun majalah) yang menerapkan genre jurnalisme baru ini. Salah satu lembaga yang concern terhadap pengembangan mutu jurnalisme di tanah air adalah Yayasan Pantau[3] yang dalam praktiknya menggunakan pola dan metode jurnalisme yang dikembangkan di media-media besar di Amerika Serikat.      
Yayasan Pantau membagi materi pokok pelatihan jurnalistik untuk mahasiswa dan pemula menjadi  empat tema: 1) reportase, 2) penulisan, 3) laku wartawan, 4) dinamika ruang redaksi (news room).[4] Materi reportase mencakup: teknik wawancara, riset buku, internet, database, dan pengamatan di lapangan. Materi penulisan meliputi latihan membuat deskripsi, menggunakan dialog, diskusi tentang fokus tulisan, menyusun alur cerita naskah, mengenalkan genre penulisan literary journalism—jurnalisme sastrawi. Materi laku wartawan berkaitan dengan etika jurnalistik, seperti tentang siapa yang layak dijadikan sebagai narasumber, bagaimana sikap wartawan menghadapi narasumber, dan lain-lain. Sedangkan materi dinamika news room seputar aktivitas dalam rapat redaksi, penentuan job-job khusus, penyeleksian naskah masuk, dan lain-lain.
Materi jurnalisme sastrawi adalah tahapan kedua setelah peserta pelatihan menguasai bagaimana teknik wawancara, riset buku, internet, penggunaan database dan pengamatan di lapangan. Artinya, materi ini diberikan setelah seluruh bahan atau kelengkapan data tercukupi (heuristic—istilah dalam tahapan awal metode sejarah) untuk kemudian ditulis menjadi sebuah naskah jurnalisme dengan genre tertentu. Bahan atau data yang diperoleh bisa dalam bentuk 1) transkrip wawancara, catatan informasi yang diperoleh dari kajian buku atau penelusuran di internet, 2) catatan/kliping informasi-informasi pendukung yang diperoleh dari penggunaan database, dan 3) catatan hasil pengamatan di lapangan. Penggunaan sumber-sumber data yang bervariasi sangat membentu dalam proses verifikasi data untuk keperluan penulisan karya jurnalisme. Proses verifikasi adalah penerapan prinsip berimbang, tidak memihak dalam sebuah kasus/konflik yang melibatkan dua atau lebih kelompok/pihak.
Selanjutnya, bagaimana pengertian, komponen, karakteristik dan fungsi, serta jenis-jenis dalam karya jurnalisme sastrawi akan dibahas berikut di bawah ini.
Apakah yang disebut dengan tulisan feature?
Tentu banyak pendapat dari para pakar dan praktisi jurnalisme. Tetapi beberapa pendapat yang setidak-tidaknya mudah dipahami dan relevan dalam konteks belajar menulis feature bagi pemula perlu disajikan di sini.
Andreas Harsono—wartawan senior ini tidak mendefinisikan tulisan feature secara eksplisit, tetapi ia membuat perumpamaan ketika seorang jurnalis mengalami kesulitan membuat tulisan feature. Ia mengandaikan bahwa, “Menulis bisa diibaratkan membangun rumah. Ada rumah bambu, dibuat sehari selesai. Ada rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. Ada juga rumah bertingkat dari beton, butuh waktu setahun. Naskah mana yang hendak anda bangun?”[5]
Gunawan Mohamad—sekalipun tidak secara eksplisit mendefinisikan feature, pendiri majalah Tempo ini meringkas kiat membuat tulisan feature dengan tiga langkah: “fokus,” “sudut masuk,” dan “outline.”[6]        
Yayasan Pantau—mendefinisikan feature sebagai reportase yang dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, dan produk jurnalistik yang dihasilkan terasa enak dibaca dan menghibur.[7]
Farid Gaban—wartawan senior ini mendefinisikan feature sebagai bentuk “artikel yang kreatif, kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan.”[8]
Dengan demikian, tulisan feature adalah jenis tulisan dengan gaya tertentu (sastrawi) yang bersifat fokus dan mendalam, menggunakan kerangka tulisan yang unik, bersifat kreatif, informative, mengibur, dan berorientasi pada human interest.     
Sebagai produk jurnalisme, model tulisan feature harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip utama pembentuk karya jurnalistik. Prinsip-prinsip dalam karya jurnalistik seperti yang digagas Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elemens of Journalism. Ada sembilan prinsip meliputi:
1.      Journalism first obligation is to the truth (kewajiban jurnalisme pertama adalah berpihak pada kebenaran)
2.      Its first loyality is to the citizen (loyalitas pertama kepada warga/publik)
3.      Its essence is discipline of verification (esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi)
4.      Its practitioners must maintain an independence from those they cover (para praktisi harus independen dari objek liputannya)
5.      It must serve as an independent monitor of power (jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau yang independen terhadap sistem kekuasaan)
6.      It must provide a forum for public criticism and compromise (jurnalis harus memberi ruang/forum bagi public untuk saling mengritik dan menemukan kompromi/problem solving)
7.      It must strive to make the significant interesting and relevant (jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan)
8.      It must keep the news comprehensive and proportional (jurnalis harus membuat berita secara komprehensif dan proporsional)
9.      Its practitioners must be allowed to exercise their personal conscience (jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan suara hati personalnya).[9]

Sembilan prinsip utama jurnalisme menjadi pondasi untuk “membangun rumah”—meminjam istilah Andreas Harsono untuk analogi proses menulis naskah jurnalistik. Di atas pondasi akan tampak struktur bangunan rumah yang kokoh dan khas, menggunakan komponen-komponen utama jurnalisme—mengacu pada teori Rudyard Kipling. Berikut enam komponen dalam jurnalisme:
1.      What—(apa yang terjadi?)
2.      Who—(siapa pelakunya?)
3.      Where—(di mana kejadian itu?)
4.      When—(kapan kejadian itu?)
5.      Why—(apa yang menyebabkan kejadian itu?)
6.      How—(bagaimana kejadian itu?)
    
Pada prinsipnya, news (berita) adalah fakta, bukan opini (pendapat) atau fiksi (imajinasi). Proses menulis berita adalah rekonstruksi fakta berdasarkan prinsip-prinsip kerja jurnalisme dengan menyajikan komponen-komponen utama. Setelah komponen-komponen jurnalisme terbentuk, maka proses penulisan dimulai. Di sini, proses penulisan naskah dihadapkan pada pilihan-pilihan: apakah hendak menulis kategori hard news atau soft news, apakah akan menulis straight news atau feature news, atau jika menghendaki berita mendalam dipilihlah kategori indept news.
Jika keputusan untuk menulis feature news, maka kiat-kiat dari Andreas Harsono, Gunawan Mohamad, dan Farid Gaban dapat membantu membimbing kita mengatasi kesulitan-kesulitan dalam proses penulisan feature. Menurut Andreas Harsono, “menulis bisa diibaratkan membangun rumah.” Jenis bahan/material, model arsitektur, dan struktur bangunan yang menentukan proses lama tidaknya penulisan. Jika menulis hard news, tentu dalam hitungan menit atau jam sebuah karya jurnalistik dapat diselesaikan. Tetapi soft news biasanya membutuhkan sedikit waktu lebih lama, karena biasanya menggunakan pakem yang lebih longgar dari konsep ‘piramida terbalik’ dan komponen 5 W 1 H. Begitu juga ketika menulis straight news biasanya lebih cepat ketimbang feature news. Untuk penulisan kategori indept news membutuhkan kekuatan akurasi data dan analisis mendalam sehingga sebuah fakta mampu dijelaskan secara jelas dan gamblang. Nah, untuk menulis feature sangat beda, struktur piramida terbalik tidak menjadi acuan, malah sering diabaikan. Sebab, fokus pada topik harus diikuti dengan aspek tertentu yang unik (engle). Sedangkan kerangka tulisan (outline) mengikuti alur, karakter, atau dramatisasi kejadian—sekalipun tidak mengada-ada. Pilihan diksi, penggunaan kata-kata metaforis maupun analogis, mengiringi babakan dan karakter. Karena proses penulisan melibatkan aspek olah rasa dan nurani—untuk memancing dimensi emosional pembaca—maka biasanya sebuah karya jurnalisme sastrawi dirampungkan dalam tempo yang cukup lama.       
Gunawan Mohamad memberikan kiat khusus dalam proses menulis feature, terutama pada tahap awal ketika seorang jurnalis hendak mulai menulis. Apa yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis adalah fokus—yaitu menyatukan konsentrasi pada satu titik yang unik dan menarik dari sekumpulan data/informasi dari sebuah obyek (topik). Sedangkan “sudut masuk” (engle) adalah “perspektif lain”—di luar perspektif umum—ketika membaca data/informasi yang unik dan menarik dari sebuah objek. Langkah berikutnya adalah membuat outline atau kerangka tulisan—dengan model piramida sesungguhnya.
Farid Gaban menyebut jenis feature sebagai artikel yang kreatif untuk memberikan informasi dan hiburan bagi pembaca. Kreativitas seorang jurnalis ditopang dengan kemampuan dan kepiawaian dalam memilah dan memilih kata, membuat diksi-diksi, metafora-metafora, analogi-analogi yang khas, dan mampu menyisipkan rasa emosional dalam struktur tulisan. Selain menghadirkan informasi, tulisan feature juga menghibur pembaca dengan keindahan gaya bahasanya.  
Beberapa karakteristik dan fungsi feature sebagai berikut:
1.      Tulisan sangat mendalam dan fungsinya untuk mengeksplorasi data/informasi yang lebih detail.
2.      Tulisan naratif dengan fungsinya untuk menyuguhkan informasi.
3.      Tulisan menggunakan gaya sastra dengan fungsinya untuk menghibur pembaca
4.      Tulisan mengandung human interest dengan fungsinya untuk menggugah, menggerakkan, atau merangsang dimensi emosional pembaca
5.      Struktur tulisan melampaui pakem jurnalisme konvensional
Jenis-jenis feature sangat beragam karena objek atau ruang lingkupnya sangat luas, meliputi kejadian, keadaan atau aspek kehidupan. Maka jenis-jenis feature dapat dikelompokan berdasarkan topik-topiknya, seperti:
1.      Feature tokoh (Biographical feature)—riwayat hidup seorang tokoh yang telah meninggal dunia dan memiliki prestasi unik sehingga layak ditulis menjadi berita. 
2.      Feature sejarah (Historical feature)—tentang peristiwa di masa lalu namun memiliki makna dan relevansi dengan konteks kekinian.
3.      Feature perjalanan (Travelogue feature)—cerita tentang pengalaman perjalanan yang mengesankan sehingga layak ditulis menjadi berita.
4.      Feature keahlian (How-to-do feature)—tentang tips atau petunjuk praktis mengerjakan sesuatu yang bermanfaat.
5.      Feature Ilmiah (Scientific feature)—tentang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembahasan mendalam, menggunakan data dan informasi yang akurat.
Sesungguhnya, jurnalisme adalah dunia pragmatis. Teori tanpa praktik tidak memiliki makna dan tidak relevan untuk hanya dibicarakan. Dunia jurnalisme adalah dunia praktik—bertopang pada kerangka teori yang telah tersedia—sehingga melahirkan karya jurnalistik, dalam konteks ini berupa tulisan feature. Sekalipun makalah ini sedikit mengulas teori tentang genre jurnalisme sastrawi, terutama mengenal produk feature, tetapi ini hanyalah pengantar singkat untuk praktik jurnalisme di lapangan. (Mu'arif/Disampaikan dalam Pelatihan Penulisan Feature yang diselenggarakan Kreskit Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, 10 Mei 2018)




[1] Andreas Harsono, “Feature: Ibarat Menggoreng Telur Mata Sapi” www.andreasharsono.net/2013/05/ibarat-menggoreng-telur-mata-sapi.html?m=1 (Diakses 9 Mei 2018).
[2] Lihat “Jurnalisme Sastrawi” www.pantau.or.id/?/=d/688 (Diakses 9 Mei 2018) 
[3] Lihat profil dalam www.pantau.or.id/?/=d/518 (Diakses 9 Mei 2018).
[4] Penetapan empat materi dalam pelatihan jurnalistik ini berdasarkan standard materi yang telah dilaksanakan di beberapa sekolah jurnalisme di Amerika Serikat. Lihat Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 37.
[5] Ibid., hlm. 87.
[6] Harsono, “Feature…”  (Diakses 9 Mei 2018).
[7] Lihat “Jurnalisme Sastrawi” www.pantau.or.id/?/=d/688 (Diakses 9 Mei 2018).
[9] Sebagaimana diuraikan dalam Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme, hlm. 15-31.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar