Rabu, 24 Januari 2018

Haji Merah dan Muhammadiyah

Haji Misbach
Siapa yang tak kenal ‘Haji Merah’? Para peneliti sejarah, pustakawan, kerani buku, akademisi, atau para jurnalis senior di negeri ini tentu mafhum siapa sosok ‘Haji Merah’ ini. Dia Darmodiprono, juragan batik asal Kauman, Solo. Selepas naik haji, ia mengubah namanya menjadi Misbach (Nor Hiqmah, 2008). Dengan nama terakhir ini, juragan batik yang nama kecilnya Achmad ini mendadak tenar. Setidak-tidaknya, ia tenar di kawasan Solo dan sekitarnya. Haji Misbach berhasil memprovokasi massa untuk melakukan demonstrasi dan kerusuhan, mengorganisasi pemogokan kaum buruh, melakukan sabotase rel kereta api, bahkan sampai terlibat pembakaran bangsal kraton Solo.

Haji Merah
Apa yang membuat Misbach makin revolusioner di usia matangnya? Keluarga, teman dekat, dan kondisi sosial-politik di Solo pada waktu itu yang telah mengubah sang juragan batik menjadi sosok aktivis pergerakan revolusionar. Ia lahir dari keluarga pedagang batik di Kauman. Keluarganya tergolong pejabat Muslim di Kraton Solo. Misbach kecil yang bernama Achmad mendapat pendidikan agama di pesantren. Ia juga sempat mengenyam Sekolah Bumiputra kelas II selama delapan bulan. Rupanya, bangku sekolah telah mengenalkannya pada dunia intelektual dan pergerakan. Ia pun tertarik. Setelah dewasa, Darmodiprono yang telah sukses berbisnis kain batik senang berkumpul dan berdialog dengan tokoh-tokoh pergerakan. Setelah menunaikan ibadah haji, ia pun semakin mantap menempuh jalur pergerakan sebagai medan perjuangan.
Mas Marco Kartodikromo (1924) mengisahkan, “Waktoe kami mengeloearkan soerat chabar minggoean Doenia-Bergerak di Solo (1914), djalan officieel orgaan dari Inlandsche Journalisten Bond, kami kenal dengan H.M. Misbach, karna dia anggota dan langganan dari persarekatan dan soerat chabar terseboet…
Langkah pertama Haji Misbach terjun ke medan pergerakan dengan cara bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB), organisasi pers bumi putra pertama yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo (1914). Lewat surat kabar Doenia-Bergerak, banyak lahir para jurnalis handal dari kalangan bumi putra, di antaranya Haji Misbach.
Lewat IJB ini, Misbach berkenalan dengan Haji Fachrodin dari Kauman, Yogyakarta. Kebetulan, keduanya sama-sama pedagang batik. Keduanya juga sama-sama berasal dari keluarga pejabat Kraton. Sama-sama berasal dari Kauman, tetapi beda tempat. Kedua putra Kauman (beda tempat) ini bersama-sama menerbitkan majalah Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) sebagai corong perlawanan atas penindasan kolonial Belanda. Tidak tanggung-tanggung, kedua putra Kauman tersebut menempatkan sosok Khatib Amin Yogyakarta sebagai salah satu kontributor Medan-Moeslimin yang namanya terpampang jelas di sudut kiri atas cover majalah ini. Khatib Amin Yogyakarta yang dimaksud adalah Kyai Ahmad Dahlan.
Di Solo, Misbach mengajak beberapa juragan batik untuk bergabung dalam ‘organisasi’ Sidik Amanah Tableg Vathonah (SATV)—ejaan asli—yang bertujuan memajukan umat Islam dan membela kaum tertindas. Rupanya, Misbach tidak bisa tinggal diam melihat umat Islam selalu terbelakang, kalah bersaing dengan para cukong Belanda dan pengusaha China yang sewenang-wenang. Ia juga muak dengan sepak terjang para pejabat kraton yang justru menjadi ‘tukang palak’ rakyat jelata. Berawal dari forum pengajian agama di rumahnya, muncul gagasan membentuk semacam perkumpulan sekalipun belum bisa dikatakan sebagai sebuah organisasi. Akan tetapi, program-program SATV sistematis dan nyata. Misalnya, menerbitkan majalah, menyelenggarakan pengajian, bahkan mendirikan sekolah Islam. Akhirnya, Haji Misbach, Koesen, Harsoloemekso, dan Darsosasmito berhasil membentuk perkumpulan SATV dengan program monumentalnya menerbitkan majalah Medan-Moeslimin pada tahun itu juga.
Selang dua tahun berikutnya, perkumpulan ini menerbitkan majalah Islam Bergerak. Misbach makin lengket saja dengan Fachrodin ketika menerbitkan kedua majalah ini. Bahkan, sosok Kyai Dahlan ditempatkan sebagai kontributor resmi Medan-Moeslimin untuk wilayah Yogyakarta. Kontributor wilayah Solo diisi oleh Haroen Rasid. Seorang redaktur bernama Moechtar Boechari juga terpampang namanya di halaman cover majalah ini. Terdapat pula sosok H.A. Hamid BKN (ayah Dasron Hamid) yang membantu administrasi perusahaan. Sejak tahun 1915-1919, hubungan antara Muhammadiyah dengan SATV sangat harmonis, saling mengisi. Kyai Dahlan sering diundang ke Solo, di rumah Kyai Mochtar Boechari, mengisi pengajian forum SATV.

Menyerang Muhammadiyah
Retak hubungan harmonis SATV dengan Muhammadiyah dimulai ketika Haji Misbach masuk bui pada tahun 1920. Misbach ditangkap tentara kolonial karena ia menjadi provokator kerusuhan  dan pemogokan buruh tebu di Klaten (desa Nglungge). Mendekam di penjara Klaten lalu dipindah ke Pekalongan, Misbach banyak bertemu dan berdialog dengan para tahanan yang kebanyakan adalah aktivis dan propaganda ISDV. Di situlah semangat dan haluan politik Misbach mengalami perubahan drastis. Semangat revolusionernya bertegur sapa dengan jalan Marxisme. Keluar dari penjara, Misbach mengambil alih kepemimpinan Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak yang sebelumnya di bawah kendali Fachrodin. Telah terjadi perdebatan sengit antara dua kawan akrab ini. Kawan lawan kawan, tetapi tak ada yang keluar sebagai pemenang. Perdebatan itu berakhir dengan pilihan bahwa masing-masing akan menempuh prinsip dan jalan hidup sendiri-sendiri. Sampai tahun 1922, jajaran redaksi Medan-Moeslimin dan Islam Bergerak telah didominasi oleh orang-orang yang sehaluan dengan politik Misbach. Orang-orang Muhammadiyah dan simpatisannya tersingkir dari kedua majalah ini.
Perdebatan sengit antara Misbach dengan orang-orang Muhammadiyah tampaknya berlanjut sampai mimbar. Di panggung pengajian SATV, Misbach menyerang Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya. Tak cukup dengan pidato, ia menggunakan Medan-Moselimin dan Islam Bergerak untuk menyerang Muhammadiyah. Dengan lantang, Haji Merah menuduh Muhammadiyah membiarkan penindasan kolonial Belanda terhadap kaum pribumi. Itu karena Muhammadiyah tidak menempuh jalur politik untuk membela rakyat tertindas, seperti halnya gerakan Sarekat Islam (SI). Dalam artikel “Moekmin dan Moenafik” (Islam Bergerak, 10 Desember 1922), Misbach mengritik orang-orang yang tidak memilih jalur politik sebagai munafik (Muhammadiyah) dan mereka yang memilih jalur politik sebagai Islam sejati (SI).
Misbach juga menyerang Muhammadiyah karena dianggap tidak memerangi fitnah terhadap umat Islam, justru organisasi yang didirikan oleh ‘kaum modal putih’ (kapitalis muslim, red) ini dianggap hanya menyiarkan agama Islam tanpa membela kaum tertindas, bahkan terlibat dalam kasus renten (Medan-Moeslimin, 20 November 1922).
Satu per satu tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi objek sasaran kritik tajam dari Haji Misbach dan kubu SI Merah. Kyai Ahmad Dahlan dituduh sebagai rentenir, karena terlibat dalam skandal hutang Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) pada tahun 1922. Haji Fachrodin dituduh sebagai tokoh munafik dan penipu. Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah dianggap telah menjadi agen kapitalis. Konon, pada saat itulah Misbach keluar dari Muhammadiyah (lihat Nor Hiqmah, 2008: 5).
Dengan semangat berapi-api, Misbach datang ke Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923 di Yogyakarta menyampaikan usulan (vorstel) agar Muhammadiyah mengubah haluan organisasi menjadi partai politik pergerakan layaknya SI (Soewara Moehammadijah, no 5 & 6, Mei & Juni 1923). Akan tetapi, Djojosoegito dalam catatan notulen Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923 menyebutkan bahwa “Haji Misbach itu bukan sekutu Muhammadiyah.” Ia memilih keluar dari keanggotaan Muhammadiyah karena tidak sehaluan lagi dengan perjuangan organisasi ini. Catatan ini sudah cukup untuk menjelaskan status Haji Merah dan hubungannya dengan Muhammadiyah.

Hidup di Pengasingan
Tak lama setelah menyerang Muhammadiyah, Haji Misbach ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan dibuang ke Manokwari (1923). Majalah Medan–Moeslimin dan Islam Bergerak sudah sulit terbit. Dalam Medan Moeslimin edisi 15 Juli 1924, keterangan di box redaksi, selaku pengarang yang bertanggungjawab di muka hakim: Haroen Rasid. Selaku pengurus: Sjarif. Selaku pembantu yang khas: Nasurdin (guru bahasa Melayu di Penang). Haji Misbach sebagai ketua, dalam keterangan, masih dalam bui (Manokwari).
Sebuah sumber menyebutkan, ketika di Manokwari, Misbach menjalin komunikasi dengan Firma Abdullah Lie, sebuah perusahaan jasa yang melayani pengiriman barang-barang dari Ambon ke Manokwari. Sumber ini berasal dari kesaksian Haji Ismail Abu Kasim, alumni MULO dan HIK Muhammadiyah (Solo). Menurut Ismail Abu Kasim, perintis Muhammadiyah di Ambon adalah Haji Misbach dari Solo. Misbach menggunakan jasa Firma Abdullah Lie milik Haji Muhammad Abu Kasim, ayah kandung Haji Ismail Abu Kasim, untuk memesan berbagai kebutuhan hidupnya. Menariknya, selama di pembuangan, Misbach justru berusaha memesan beberapa buku bacaan dan majalah. Rupanya, sekalipun Misbach telah keluar dari Muhammadiyah, ternyata ia tetap menjadi pelanggan majalah Suara Muhammadiyah. Firma Abdullah Lie inilah yang menyuplai kebutuhan Misbach selama di Manokwari (baca M. Amin Eli, “Muhammadiyah Maluku: Hasil Penyemaian Kyai Misbach”, Suara Muhammadiyah no. 20 Th. Ke-61/1981).

Nah, dari hasil korespondensi antara Haji Misbach dengan Haji Muhammad Abu Kasim muncul gagasan mendirikan Muhammadiyah di Ambon. Haji Abu Kasim sendiri seorang Muslim keturunan Tionghoa. Ia berhasil meyakinkan kawannya yang bernama Auw Yong Koan, seorang Muslim keturunan Tionghoa pula. Kemudian ada Abdurrahman Didin, seorang perawat di rumah sakit militer di Ambon. Akhirnya, pada sekitar tahun 1930-an, gagasan untuk mendirikan Muhammadiyah di Ambon berhasil terwujud. Haji Muhammad Abu Kasim, Auw Yong Koan, dan Abdurrahman Didin adalah tokoh-tokoh perintis yang sekaligus menjadi pengurus pertama Muhammadiyah di Ambon. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar