Selasa, 17 Juni 2008

Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional

Dalam sebuah Seminar Perkaderan di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, tanggal 13 April 2008, Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2000 dan 2000-2005), menggelindingkan sebuah wacana baru tentang titik tonggak sejarah kebangkitan nasional.

Tidak berapa lama kemudian Ahmad Syafii Ma’arif menuangkan gagasannya dalam sebuah artikel yang berjudul “Jelang 100 Tahun Kebangkitan Nasional” (Republika, 6/5/2008). Menurut hemat penulis, gagasan tersebut patut diapresiasi karena guru besar Ilmu Sejarah UNY ini telah menawarkan sebuah formula baru dalam mengkaji sejarah nasional secara kritis. Sepanjang yang kita ketahui, titik tonggak sejarah kebangkitan bangsa Indonesia adalah momentum berdirinya Budi Oetomo pada 20 Mei 1908. Tetapi, menurut sejarawan kelahiran Sumpurkudus ini, momentum berdirinya Budi Oetomo tidak relevan dijadikan sebagai titik tonggak kebangkitan nasional, karena data sejarah tidak mendukung.

Ketika kalangan sejarawan sepakat bahwa gerakan nasional Budi Oetomo (20 Mei 1908) dianggap sebagai titik tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia, justru sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan lain. Guru Besar sejarah UNY ini mengawali kajiannya dengan tesis: apa yang dimaksud dengan kebangkitan nasional dan kapan kebangkitan nasional itu dimulai?
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, kebangkitan nasional harus dimaknai secara luas sebagai kebangkitan Indonesia, bukan kebangkitan salah satu suku bangsa Indonesia (Jawa dan Madura). Dengan parameter ini, maka mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini berpendapat bahwa gerakan Budi Oetomo tidak tepat dimaknai sebagai kebangkitan nasional. Organisasi ini hanya mewakili suku Jawa dan Madura dalam konteks gerakan nasional sehingga sejarah kelahirannya pun tidak dapat dijadikan sebagai titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia.

Data sejarah juga tidak pernah mendukung seandainya gerakan Budi Oetomo dijadikan sebagai titik tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia. Dalam Anggaran Dasar (AD) Budi Oetomo disebutkan: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Dengan demikian, gerakan Budi Oetomo tidak representatif sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Kritik Ahmad Syafii Maarif memang mengilhami banyak kalangan untuk mengkaji kembali sejarah kebangkitan nasional. Rr. Berar Fathia, koordinator Indonesia Satu, juga mengritik sejarah nasional yang telah menempatkan kelahiran Budi Oetomo sebagai titik tonggak Kebangkitan Nasional Indonesia. Menurutnya, kelahiran Budi Oetomo hanya untuk lingkup yang terbatas. Koordinator Indonesia Satu ini lebih yakin jika kelahiran R.A. Kartini pada 21 April 1879 lebih relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional Indonesia (Kompas, 19/4/2008).

Tampaknya, para sejarawan mulai memanfaatkan iklim kebebasan berpendapat pasca reformasi dengan melakukan pengkajian kembali terhadap sejarah kebangkitan nasional Indonesia. Misalnya Prof Dr Soetomo, WE berpendapat bahwa kebangkitan nasional Indonesia bukan dipelopori oleh kaum laki-laki (lewat gerakan Budi Oetomo), tetapi telah didahului oleh gerakan kaum perempuan lewat momentum emansipasi yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Menurut dosen Program Pasca Sarjana UKSW ini, terbitnya surat-surat R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi momentum kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum perempuan (Wawasan, 21/4/2008).

Sayang sekali para cendekiawan dan sejarawan kita masih bias dalam memaknai kebangkitan nasional secara luas. Arti kebangkitan nasional masih terlalu sempit. Cakupan definisi nasionalisme dalam konteks kebangkitan nasional baru sebatas mewakili salah satu sub-kultur bangsa Indonesia. Misalnya nasionalisme Budi Oetomo hanya merepresentasikan suku Jawa dan Madura. Atau, nasionalisme yang diusung oleh R.A. Kartini baru merepresentasikan sub-kultur perempuan (gender). Padahal, makna kebangkitan nasional dalam konteks keindonesiaan harus meliputi seluruh aspek bangsa yang multikultural. Oleh karena itu, gagasan-gagasan baru yang mencoba menawarkan konsep kebangkitan nasional Indonesia masih terlalu rapuh.

Bangsa Indonesia bukan hanya suku Jawa atau Madura. Bangsa Indonesia juga bukan hanya terdiri atas kaum perempuan saja. Namun bangsa Indonesia secara keseluruhan terdiri atas berbagai pemeluk agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), etnis (suku), jenis kelamin (gender), status sosial, dan lain-lain. Oleh karena itu, perumusan konsep nasionalisme harus secara demokratis dengan mengakomodir sekaligus menghargai semua kelompok dengan prinsip yang berkeadilan.

Dalam memaknai nasionalisme yang lebih luas, kita memang perlu definisi baru. Definisi tersebut harus merepresentasikan seluruh latarbelakang agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, prinsip nasionalisme yang paling relevan dalam konteks keindonesiaan ialah nasionalisme-multikultural. Yaitu konsep nasionalisme yang meliputi perbedaan latarbelakang, baik perbedaan agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.

Nasionalisme Indonesia bukan chauvinistik yang hanya merepresentasikan suku bangsa tertentu. Nasionalisme Indonesia juga tidak bias gender yang hanya merepresentasikan kaum perempuan saja. Akan tetapi, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme-multikultural sebagaimana yang termaktub dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Jika kita sudah memahami konsep nasionalisme Indonesia dalam bingkai multikulturalisme, maka sejarah berdirinya Budi Oetomo (20 Mei 1908) atau kelahiran R.A. Kartini (21 April 1879) sudah tidak relevan lagi dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dua momentum bersejarah ini memang memiliki andil yang cukup besar dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme pribumi. Akan tetapi, dengan memahami konsep bangsa Indonesia yang multikultural, maka kedua momentum tersebut belum dapat dikatakan sebagai kebangkitan secara nasional.

Menurut sejarawan Ben Anderson (1988), konsep nasionalisme Indonesia mulai diperkenalkan pada tahun-tahun terakhir zaman penjajahan Belanda. Berasal dari sekelompok pemuda terdidik seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang pada tahun 1926 mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Tetapi, menurut hemat penulis, gagasan nasionalisme Indonesia pada waktu itu belum bisa dijadikan sebagai representasi kekuatan politik bangsa. Sebab, pembentukan PNI sebagai partai nasionalis belum mampu mengakomodir seluruh kepentingan bangsa yang multikultural. Baru pada tanggal 26-28 Oktober 1928, nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan politik yang telah mengikat seluruh elemen bangsa ini.

Sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif berpendapat bahwa momentum Sumpah Pemuda merupakan titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Penulis sepakat dengan guru besar UNY ini bahwa momentum Sumpah Pemuda yang terdiri dari seluruh elemen bangsa telah mengikat diri dalam ikrar bersama. Seluruh elemen bangsa menyatakan ikrar bersama: bertanah air satu (tanah air Indonesia), berbangsa satu (bangsa Indonesia) dan berbahasa satu (bahasa Indonesia). Dalam hal ini, momentum Sumpah Pemuda jauh lebih mencerminkan konsep nasionalisme-multikultural ketimbang gerakan Budi Oetomo atau emansipasi R.A. Kartini.

Jika momentum berdirinya Budi Oetomo sudah tidak relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional, maka momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional kali ini jelas rapuh. Kebangkitan nasional Indonesia dimulai ketika kongres Sumpah Pemuda pada Oktober 1928. Dengan demikian, bangsa ini baru berumur sekitar 80 tahun, belum mencapai satu abad. (Mu'arif)

Budaya Lokal dalam Pusaran Arus Globalisasi



Tanggal 11 Februari, seratus tahun yang silam (1908), di ranah Minang (Sumatra Utara) telah lahir seorang pujangga besar. Bahkan, ia bukan hanya seorang pujangga, tetapi merupakan tokoh nasional yang berhasil mengangkat bahasa Indonesia sebagai identitas budaya bangsa. Pada sekitar 1930-an, tokoh yang satu ini berhasil menggelindingkan “polemik kebudayaan” yang juga berhasil menyita konsentrasi para budayawan di tanah air. Dialah Sutan Takdir Alisjahbana, pemimpin redaksi majalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru, dan penulis novel Layar Terkembang.

Dalam sebuah paper dengan judul “Suatu Filosofi untuk Masa Depan Menuju Kebudayaan yang Inklusif” (Kompas, 11/2/ 2008), Sutan Takdir Alisjahbana, menulis: “Dewasa ini, kecepatan transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kita tak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kita yang seolah-olah semakin menyusut.”

”Proses globalisasi” tulis Sutan Takdir Alisjahbana, ”mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapi di mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan media massa.”

Apa yang digambarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, lewat paper yang konon belum pernah diterbitkan ini, merupakan fenomena global yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi kita semua. Inilah yang dinamakan dengan proses globalisasi. Lewat peran media massa yang terus marak di seantero jagad, proses globalisasi seakan-akan tak terbendung lagi. Dampaknya cukup signifikan mempengaruhi kebudayaan lokal. Proses akulturasi budaya pun kian cepat. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, “Saat ini telah terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.”

Teknologi informasi dan sarana transportasi memang terus berkembang. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, proses globalisasi ini seakan-akan semakin menyusutkan dunia. Jika pada awal penemuan radio dan televisi, orang masih bisa menikmati perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia lewat “kotak ajaib” bernama radio dan televisi, maka sekarang dunia telah dilipat semakin tipis dalam bentuk handphone yang memiliki fasilitas untuk mengakses internet. Jaringan internet telah melipat batas-batas ruang dan waktu sehingga apa saja yang sedang terjadi di belahan dunia lain akan dengan mudah diakses oleh orang-orang di manapun. Gejala seperti ini persis seperti yang telah diramalkan oleh Yasraf Amir Piliang (1998) bahwa "dunia telah dilipat."

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak steril dari kepentingan-kepentingan. Justru kepentingan bisnis telah menguasai seluruh teknologi, khususnya teknologi informasi. Dampaknya makin mengakhawatirkan karena setiap budaya yang diekspos lewat media massa belum tentu sejalan dengan nilai-nilai budaya lokal.

Di era globalisasi sekarang ini, eksistensi budaya lokal sedang menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Kebudayaan lokal sedang menghadapi tantangan berat berupa sistem kapitalisme dan ideologi hedonisme. Sistem kapitalisme dan pola hidup hedonis merupakan produk sejarah bangsa Barat yang berhasil mendominasi dunia dengan memanfaatkan jaringan media, pasar bebas, dan kekuatan modal.

Dampak globalisasi sudah merambah ke semua lini kehidupan. Media massa menawarkan “budaya tanding”—meminjam istilah Emha Ainun Najib—yang kian menggerus budaya lokal. Pola pikir dan gaya hidup hedonis terus dipupuk lewat tayangan iklan dan berbagai macam siaran di TV. Gaya hidup hedonis dan individualisme terus menguat. Tetapi, ironisnya kebahagiaan manusia semakin semu. Barang-barang mewah yang sudah pasti mahal harganya menjadi pusat kepuasan batin. Tingkat kepedulian seseorang terhadap orang lain kian menurun.
Sistem pasar menghendaki persaingan individu secara ketat. Lewat peran media massa, segala sesuatunya mesti diseragamkan. Dari sinilah fenomena budaya pop kian massif. Tingkah laku orang jadi aneh-aneh karena meniru-niru budaya asing. Dalam hal ini, globalisasi juga telah menciptakan individualisme semu karena antara ruang private dan public sudah bercampur-aduk. Seorang top figure seperti artis, model, atau tokoh tertentu, akan diungkap seluk-beluk kehidupannya, bahkan sampai pada hal-hal yang sesungguhnya termasuk dalam kategori privacy.

Namun demikian, dampak paling nyata dalam proses globalisasi ialah kehadiran “budaya tanding” yang terus mendesak budaya lokal sampai ke dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Budaya lokal kian tergusur sementara budaya tanding terus marak. Apakah globalisasi yang terus mengepung bakal melenyapkan budaya-budaya lokal yang sudah menjadi kekayaan bangsa kita?

Jika ‘budaya tanding’ telah menggerus keberadaan budaya lokal, maka bagaimanakah reaksi para budayawan kita saat ini? Baru-baru ini, budayawan Ahmad Munif (2008), penulis novel Perempuan Yogya, memberikan komentar cukup kritis kepada penulis. Ia tidak mengkambinghitamkan globalisasi, karena itu memang suatu keniscayaan. Tetapi Munif justru melontarkan sebuah autokritik: apakah kita mampu bertahan menghadapi arus globalisasi? “Seperti diketahui dewasa ini, globalisasi di segala bidang telah melanda dunia. Termasuk globalisasi di bidang kebudayaan. Yang jadi pertanyaan, mampukah kita bertahan dari pengaruh budaya lain yang negatif?” tanya Ahmad Munif.

Merenungkan pertanyaan Ahmad Munif ini mengingatkan penulis pada stamina kebudayaan kita yang barangkali sedang diuji lewat kehadiran budaya tanding. Stamina kebudayaan merupakan “daya hidup” yang menjadi ruh kebudayaan yang dimiliki oleh setiap bangsa.
Menurut budayawan WS. Rendra (2001), sebagai aktor dalam panggung sejarah, manusia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensinya. Daya hidup dalam perspektif kebudayaan, salah satu di antaranya, seperti kemampuan beradaptasi. Kemampuan ini menjadi tolak ukur sejauhmana sebuah kebudayaan akan tetap bertahan di tengah arus perubahan zaman yang sangat ekstrim. Dalam hal ini, apakah kita mampu beradaptasi dengan baik di tengah-tengah tawaran kebudayaan lain yang datang dari luar.

Dalam kepungan arus globalisasi, terutama lewat kehadiran budaya tanding yang tak mungkin dapat ditolak lagi, stamina kebudayaan kita memang harus tetap terjaga. Mungkin benar gagasan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa kita harus mampu menciptakan kebudayaan inklusif. Menurutnya, sikap inklusif dan solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusif dapat terhapus dan digantikan oleh kebersamaan dan solidaritas universal demi membangun kebudayaan baru. Inilah yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana disebut sebagai suatu kebudayaan dunia baru yang inklusif.

Tetapi gagasan ini, menurut penulis, tidak mampu membendung kekuatan arus globalisasi yang telah ditopang oleh tiga pilar: pasar, media, dan modal. Ketika semangat keterbukaan menerima kebudayaan lain tanpa ditopang oleh penguatan akar tradisi lokal, bukannya tidak mungkin bangsa ini bakal tergerus oleh arus budaya tanding yang kadang kelihatan jauh lebih unggul dan menggiurkan. Namun juga sebaliknya, dalam kepungan arus modernitas yang tak mungkin dapat ditolak lagi, sikap melakukan aksi boikot atau mengisolasi diri terhadap kebudayaan dari luar hanya akan mengucilkan bangsa ini dari kemajuan zaman. Pengalaman bangsa China yang telah melakukan isolasi diri terhadap dunia luar menjadi catatan tersendiri. Untunglah, para pemimpin China berhasil mengubah kebijakan pembangunan Negeri Tirai Bambu ini. Bahkan, saat ini negeri China merupakan kekuatan peradaban yang cukup disegani di Timur. Tetapi, bangsa China mulai kehilangan identitas budaya lokal mereka karena terlalu inklusif menerima kebudayaan dari luar.

Dalam konteks ini, untuk menangkal arus globalisasi dan menyelamatkan kebudayaan lokal, gerakan kembali kepada tradisi dengan semangat eksklusif tentu bukan merupakan solusi yang tepat. Begitu juga sebaliknya. Bersikap selalu terbuka terhadap kebudayaan lain tanpa ditopang oleh penguatan akar tradisi lokal hanya akan menyeret bangsa ini ke dalam pusaran arus globalisasi yang kian menjadi-jadi.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, proses adaptasi kebudayaan nasional terhadap kebudayaan lain harus ditopang dengan penguatan akar budaya lokal. Ini bertujuan agar kita tidak menjadi bangsa yang terombang-ambing dalam pusaran arus globalisasi. Sebaliknya, kita juga tidak ingin menjadi bangsa terbelakang hanya karena terlalu eksklusif, apalagi cenderung defensif, terhadap kebudayaan lain yang datang dari luar. (Mu'arif)

“Sesuatu” yang Hilang di Kalangan Penerbit Buku

“Pikiran” dan “tindakan” adalah dua unsur yang padu. Pikiran yang bersemayam di benak saya telah menuntun kepada apa yang saya lakukan selama ini. Begitu juga sebaliknya, tindakan saya amat tergantung pada konstruksi pikiran saya. Proses pembentukan konstruksi pikiran bisa lewat jalur pendidikan (pengajaran) atau dapat pula secara autodidak dengan cara baca buku. Dalam konteks yang terakhir ini, saya ingin mengukur seberapa besar pengaruh buku-buku yang telah diterbitkan dalam membentuk mindset bangsa Indonesia. Lebih lanjut, saya juga ingin mengatakan “sesuatu” terhadap eksistensi penerbit-penerbit di Indonesia yang telah berjasa membentuk mindset bangsa ini.

Seabad kebangkitan nasional atau 10 tahun reformasi baru saja berlalu dan gaungnya masih sayup-sayup terdengar hingga kini. Sekalipun sudah terlambat, saya ingin mengatakan bahwa cikal-bakal kelahiran bangsa Indonesia lewat momentum berdirinya gerakan Budi Oetomo (20 Mei 1908-20 Mei 2008), merupakan suatu proses intelektual yang sangat cerdas. Dan, kecerdasan intelektual ini tidak diperoleh secara kebetulan, tetapi lewat proses akademik atau autodidak dengan cara baca buku.

Perlu diketahui, sosok dr. Sutomo, tokoh utama Budi Oetomo, merupakan seorang lulusan akademik. Di samping itu, ia juga seorang autodidak, khususnya dalam mempelajari etika dan filsafat timur. Menurut KH. Mas Mansur (1938), dr. Sutomo menguasai etika dan filsafat timur dengan membaca buku-buku karangan Ibnu ’Arabi—khususnya kitab Futuhat, Muhammad Abduh—khususnya tentang Waridlat, dan karangan Farid Wajdi, Dairatul Ma’arif.

Proses reformasi di Indonesia (1998) yang menjadi gerbang pencerahan menuju kehidupan demokratis seperti sekarang ini, juga merupakan buah dari proses pematangan kecerdasan intelektual. Jika bangsa ini tidak memiliki kecerdasan intelektual yang cukup memadai, maka reformasi menjadi sesuatu yang mustahil. Jika reformasi kita lihat sebagai ”tindakan,” maka sesungguhnya ia merupakan buah dari pikiran yang bersemayam di benak bangsa ini secara mayoritas. Artinya, reformasi sudah terbentuk dalam mindset bangsa ini sebelum presiden Soeharto lengser.

Apakah yang membentuk mindset bangsa ini sehingga proses reformasi menjadi ”kata sepakat” untuk menghentikan rezim Orde Baru? Jawabnya, jika tidak lewat pendidikan, maka peran penerbit-penerbit dalam menerbitkan buku-buku bermutu sangat mendukung bagi terbentuknya mindset bangsa Indonesia saat ini.

Hampir sebagian besar pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia sadar bahwa rezim Orde Baru telah memanfaatkan pendidikan nasional sebagai jalur untuk melegitimasi sekaligus melanggengkan kekuasaan. Pendidikan nasional pada era Soeharto cenderung a-politik dan ini menjadi indikasi bahwa pendidikan telah gagal membentuk mindset bangsa. Dengan demikian, peran jalur autodidak lebih memungkinkan untuk membentuk karakter bangsa ini. Buku-buku yang diterbitkan, sekalipun pada masa rezim Orde Baru banyak yang dinyatakan sebagai ”buku terlarang,” cukup besar pengaruhnya dalam membentuk karakter bangsa ini.

Dalam konteks inilah, saya cukup apresiatif terhadap Ahmad Munif (2008), dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, yang baru-baru ini berhasil meneliti pengaruh buku-buku terjemahan dari luar negeri (teks Arab dan Inggris) terhadap proses pembentukan mindset bangsa Indonesia.

Di kalangan penerbit-penerbit buku di Indonesia, buku-buku terjemahan dari luar negeri, baik dalam bentuk teks Arab ataupun Inggris, memang cukup populer. Untuk buku-buku dengan tema keislaman, maka sumber utamanya adalah para penulis dari kawasan Timur Tengah. Menurut hasil penelitian Ahmad Munif, buku-buku terjemahan bahasa Arab mendominasi untuk tema-tema keagamaan dan spiritualitas. Sedang untuk buku-buku dengan tema keilmuan, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka sumber utamanya adalah para penulis dari barat. Buku-buku terjemahan bahasa Inggris mendominasi untuk tema yang satu ini.

Jika kita cermati secara seksama, buku-buku terjemahan yang membanjiri pasar buku di indonesia justru lebih besar jumlahnya jika dibanding dengan karangan para penulis lokal. Bahkan, di mata penerbit-penerbit buku di Indonesia, menerbitkan buku-buku terjemahan jauh lebih menguntungkan dibanding karangan penulis lokal. Alasannya, penerbit tidak harus berpusing-pusing memikirkan royalti bagi penulis. Sebab, untuk buku-buku terjemahan menggunakan sistem beli putus (banyak yang tidak menggunakan copy right).

Di samping masalah royalti, bagi penerbit yang menerbitkan buku-buku terjemahan dari luar negeri dapat lebih leluasa memilih tema-tema yang sedang laku di pasar. Ditopang dengan kredibilitas penulis-penulis dari luar negeri, suatu tema yang sedang populer dipastikan dapat mendatangkan keuntungan yang besar pula. Yang demikian tidak berlaku bagi karangan para penulis lokal.

Jika kita baca kembali proses pembentukan mindset lewat peran penerbitan buku, maka sesungguhnya bangsa Indonesia telah dijejali dengan produk-produk pemikiran dari luar negeri. Masih beruntung jika buku-buku terjemahan yang diterbitkan relevan dengan konteks pola pikir dan konstruksi budaya bangsa kita. Jika buku-buku terjemahan dari luar negeri itu justru berseberangan dengan nilai-nilai kultur bangsa kita, maka penerbit-penerbit tersebut dapat dikatakan telah mendukung imperialisme di abad modern lewat proses globalisasi yang terus mendesak kearifan lokal. Hanya demi keuntungan ekonomis (modal), penerbit-penerbit di Indonesia rela menjadi agen imperialisme budaya di negeri sendiri. Di sini, saya kritik penerbit-penerbit di Indonesia yang tidak memikirkan nasib bangsa ini. Ada ”sesuatu” yang hilang di kalangan penerbit di Indonesia. Sesuatu itu adalah ”rasa nasionalisme” yang dikalahkan oleh keuntungan modal (kapitalis).

Setelah menggeluti dunia penerbitan dan berkecimpung sebagai pengarang buku, saya mengamati bahwa mayoritas kalangan penerbit di Indonesia telah kehilangan visi nasionalismenya. Akibatnya, bangsa ini pun jadi makin a-historis ketika berhadapan dengan pasar ide yang ditawarkan oleh para penulis dari luar negeri. Ironis memang, mengapa para pembaca buku di Indonesia lebih terkagum-kagum kepada sosok Paulo Freire, bapak pendidikan kritis dari Brazil, ketimbang Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional Indonesia? Mengapa pula para mahasiswa lebih terpukau kepada sosok Che Guevara, tokoh revolusioner dari Cuba, ketimbang Tan Malaka, pahlawan nasional yang sepak-terjangnya pernah mengguncang komunis internasional? Mengapa juga harus menokohkan Hasan Al-Banna, pembaru keagamaan dari Mesir, bukan M. Natsir, cendekiawan dan politisi Muslim Indonesia yang cukup masyhur?

Di sini, saya mengetuk pintu hati para pengelola penerbitan buku di Indonesia. Kondisi bangsa yang seperti ini disebabkan karena di kalangan penerbit-penerbit buku di Indonesia telah meninggalkan ”sesuatu” hanya karena kepentingan bisnis semata. Dan, sesuatu itu bernama ”rasa nasionalisme.” (Mu'arif)

Senin, 16 Juni 2008

Menanti Partisipasi Politik Perempuan

Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia memang masih mengalami diskriminasi. Fenomena semacam ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di negara-negara lain yang menganut sistem budaya patriakhi juga menunjukkan gejala yang sama. Kaum perempuan di beberapa negara di dunia masih buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi negara-negara non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami wilayah politik kekuasaan.

Sesungguhnya, masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik.

Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum perempuan.

Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri, putri mendiang presiden pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti. Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih berhaluan literalis.

Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik. Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia.

Quota 30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden. Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.

Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).

Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.

Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.

Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.

Walaupun keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hahekanya sistem sosial bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan aktivis Feminisme yang menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan “setengah hati.” Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.

Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.

Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?

Peran aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan sudah siap menerimanya? (Mu'arif