“Pikiran” dan “tindakan” adalah dua unsur yang padu. Pikiran yang bersemayam di benak saya telah menuntun kepada apa yang saya lakukan selama ini. Begitu juga sebaliknya, tindakan saya amat tergantung pada konstruksi pikiran saya. Proses pembentukan konstruksi pikiran bisa lewat jalur pendidikan (pengajaran) atau dapat pula secara autodidak dengan cara baca buku. Dalam konteks yang terakhir ini, saya ingin mengukur seberapa besar pengaruh buku-buku yang telah diterbitkan dalam membentuk mindset bangsa Indonesia. Lebih lanjut, saya juga ingin mengatakan “sesuatu” terhadap eksistensi penerbit-penerbit di Indonesia yang telah berjasa membentuk mindset bangsa ini.
Seabad kebangkitan nasional atau 10 tahun reformasi baru saja berlalu dan gaungnya masih sayup-sayup terdengar hingga kini. Sekalipun sudah terlambat, saya ingin mengatakan bahwa cikal-bakal kelahiran bangsa Indonesia lewat momentum berdirinya gerakan Budi Oetomo (20 Mei 1908-20 Mei 2008), merupakan suatu proses intelektual yang sangat cerdas. Dan, kecerdasan intelektual ini tidak diperoleh secara kebetulan, tetapi lewat proses akademik atau autodidak dengan cara baca buku.
Perlu diketahui, sosok dr. Sutomo, tokoh utama Budi Oetomo, merupakan seorang lulusan akademik. Di samping itu, ia juga seorang autodidak, khususnya dalam mempelajari etika dan filsafat timur. Menurut KH. Mas Mansur (1938), dr. Sutomo menguasai etika dan filsafat timur dengan membaca buku-buku karangan Ibnu ’Arabi—khususnya kitab Futuhat, Muhammad Abduh—khususnya tentang Waridlat, dan karangan Farid Wajdi, Dairatul Ma’arif.
Proses reformasi di Indonesia (1998) yang menjadi gerbang pencerahan menuju kehidupan demokratis seperti sekarang ini, juga merupakan buah dari proses pematangan kecerdasan intelektual. Jika bangsa ini tidak memiliki kecerdasan intelektual yang cukup memadai, maka reformasi menjadi sesuatu yang mustahil. Jika reformasi kita lihat sebagai ”tindakan,” maka sesungguhnya ia merupakan buah dari pikiran yang bersemayam di benak bangsa ini secara mayoritas. Artinya, reformasi sudah terbentuk dalam mindset bangsa ini sebelum presiden Soeharto lengser.
Apakah yang membentuk mindset bangsa ini sehingga proses reformasi menjadi ”kata sepakat” untuk menghentikan rezim Orde Baru? Jawabnya, jika tidak lewat pendidikan, maka peran penerbit-penerbit dalam menerbitkan buku-buku bermutu sangat mendukung bagi terbentuknya mindset bangsa Indonesia saat ini.
Hampir sebagian besar pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia sadar bahwa rezim Orde Baru telah memanfaatkan pendidikan nasional sebagai jalur untuk melegitimasi sekaligus melanggengkan kekuasaan. Pendidikan nasional pada era Soeharto cenderung a-politik dan ini menjadi indikasi bahwa pendidikan telah gagal membentuk mindset bangsa. Dengan demikian, peran jalur autodidak lebih memungkinkan untuk membentuk karakter bangsa ini. Buku-buku yang diterbitkan, sekalipun pada masa rezim Orde Baru banyak yang dinyatakan sebagai ”buku terlarang,” cukup besar pengaruhnya dalam membentuk karakter bangsa ini.
Dalam konteks inilah, saya cukup apresiatif terhadap Ahmad Munif (2008), dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, yang baru-baru ini berhasil meneliti pengaruh buku-buku terjemahan dari luar negeri (teks Arab dan Inggris) terhadap proses pembentukan mindset bangsa Indonesia.
Di kalangan penerbit-penerbit buku di Indonesia, buku-buku terjemahan dari luar negeri, baik dalam bentuk teks Arab ataupun Inggris, memang cukup populer. Untuk buku-buku dengan tema keislaman, maka sumber utamanya adalah para penulis dari kawasan Timur Tengah. Menurut hasil penelitian Ahmad Munif, buku-buku terjemahan bahasa Arab mendominasi untuk tema-tema keagamaan dan spiritualitas. Sedang untuk buku-buku dengan tema keilmuan, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka sumber utamanya adalah para penulis dari barat. Buku-buku terjemahan bahasa Inggris mendominasi untuk tema yang satu ini.
Jika kita cermati secara seksama, buku-buku terjemahan yang membanjiri pasar buku di indonesia justru lebih besar jumlahnya jika dibanding dengan karangan para penulis lokal. Bahkan, di mata penerbit-penerbit buku di Indonesia, menerbitkan buku-buku terjemahan jauh lebih menguntungkan dibanding karangan penulis lokal. Alasannya, penerbit tidak harus berpusing-pusing memikirkan royalti bagi penulis. Sebab, untuk buku-buku terjemahan menggunakan sistem beli putus (banyak yang tidak menggunakan copy right).
Di samping masalah royalti, bagi penerbit yang menerbitkan buku-buku terjemahan dari luar negeri dapat lebih leluasa memilih tema-tema yang sedang laku di pasar. Ditopang dengan kredibilitas penulis-penulis dari luar negeri, suatu tema yang sedang populer dipastikan dapat mendatangkan keuntungan yang besar pula. Yang demikian tidak berlaku bagi karangan para penulis lokal.
Jika kita baca kembali proses pembentukan mindset lewat peran penerbitan buku, maka sesungguhnya bangsa Indonesia telah dijejali dengan produk-produk pemikiran dari luar negeri. Masih beruntung jika buku-buku terjemahan yang diterbitkan relevan dengan konteks pola pikir dan konstruksi budaya bangsa kita. Jika buku-buku terjemahan dari luar negeri itu justru berseberangan dengan nilai-nilai kultur bangsa kita, maka penerbit-penerbit tersebut dapat dikatakan telah mendukung imperialisme di abad modern lewat proses globalisasi yang terus mendesak kearifan lokal. Hanya demi keuntungan ekonomis (modal), penerbit-penerbit di Indonesia rela menjadi agen imperialisme budaya di negeri sendiri. Di sini, saya kritik penerbit-penerbit di Indonesia yang tidak memikirkan nasib bangsa ini. Ada ”sesuatu” yang hilang di kalangan penerbit di Indonesia. Sesuatu itu adalah ”rasa nasionalisme” yang dikalahkan oleh keuntungan modal (kapitalis).
Setelah menggeluti dunia penerbitan dan berkecimpung sebagai pengarang buku, saya mengamati bahwa mayoritas kalangan penerbit di Indonesia telah kehilangan visi nasionalismenya. Akibatnya, bangsa ini pun jadi makin a-historis ketika berhadapan dengan pasar ide yang ditawarkan oleh para penulis dari luar negeri. Ironis memang, mengapa para pembaca buku di Indonesia lebih terkagum-kagum kepada sosok Paulo Freire, bapak pendidikan kritis dari Brazil, ketimbang Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional Indonesia? Mengapa pula para mahasiswa lebih terpukau kepada sosok Che Guevara, tokoh revolusioner dari Cuba, ketimbang Tan Malaka, pahlawan nasional yang sepak-terjangnya pernah mengguncang komunis internasional? Mengapa juga harus menokohkan Hasan Al-Banna, pembaru keagamaan dari Mesir, bukan M. Natsir, cendekiawan dan politisi Muslim Indonesia yang cukup masyhur?
Di sini, saya mengetuk pintu hati para pengelola penerbitan buku di Indonesia. Kondisi bangsa yang seperti ini disebabkan karena di kalangan penerbit-penerbit buku di Indonesia telah meninggalkan ”sesuatu” hanya karena kepentingan bisnis semata. Dan, sesuatu itu bernama ”rasa nasionalisme.” (Mu'arif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar