Selasa, 17 Juni 2008

Mendialogkan Kembali Sejarah Kebangkitan Nasional

Dalam sebuah Seminar Perkaderan di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, tanggal 13 April 2008, Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2000 dan 2000-2005), menggelindingkan sebuah wacana baru tentang titik tonggak sejarah kebangkitan nasional.

Tidak berapa lama kemudian Ahmad Syafii Ma’arif menuangkan gagasannya dalam sebuah artikel yang berjudul “Jelang 100 Tahun Kebangkitan Nasional” (Republika, 6/5/2008). Menurut hemat penulis, gagasan tersebut patut diapresiasi karena guru besar Ilmu Sejarah UNY ini telah menawarkan sebuah formula baru dalam mengkaji sejarah nasional secara kritis. Sepanjang yang kita ketahui, titik tonggak sejarah kebangkitan bangsa Indonesia adalah momentum berdirinya Budi Oetomo pada 20 Mei 1908. Tetapi, menurut sejarawan kelahiran Sumpurkudus ini, momentum berdirinya Budi Oetomo tidak relevan dijadikan sebagai titik tonggak kebangkitan nasional, karena data sejarah tidak mendukung.

Ketika kalangan sejarawan sepakat bahwa gerakan nasional Budi Oetomo (20 Mei 1908) dianggap sebagai titik tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia, justru sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif mengatakan lain. Guru Besar sejarah UNY ini mengawali kajiannya dengan tesis: apa yang dimaksud dengan kebangkitan nasional dan kapan kebangkitan nasional itu dimulai?
Menurut Ahmad Syafii Ma’arif, kebangkitan nasional harus dimaknai secara luas sebagai kebangkitan Indonesia, bukan kebangkitan salah satu suku bangsa Indonesia (Jawa dan Madura). Dengan parameter ini, maka mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini berpendapat bahwa gerakan Budi Oetomo tidak tepat dimaknai sebagai kebangkitan nasional. Organisasi ini hanya mewakili suku Jawa dan Madura dalam konteks gerakan nasional sehingga sejarah kelahirannya pun tidak dapat dijadikan sebagai titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia.

Data sejarah juga tidak pernah mendukung seandainya gerakan Budi Oetomo dijadikan sebagai titik tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia. Dalam Anggaran Dasar (AD) Budi Oetomo disebutkan: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Dengan demikian, gerakan Budi Oetomo tidak representatif sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Kritik Ahmad Syafii Maarif memang mengilhami banyak kalangan untuk mengkaji kembali sejarah kebangkitan nasional. Rr. Berar Fathia, koordinator Indonesia Satu, juga mengritik sejarah nasional yang telah menempatkan kelahiran Budi Oetomo sebagai titik tonggak Kebangkitan Nasional Indonesia. Menurutnya, kelahiran Budi Oetomo hanya untuk lingkup yang terbatas. Koordinator Indonesia Satu ini lebih yakin jika kelahiran R.A. Kartini pada 21 April 1879 lebih relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional Indonesia (Kompas, 19/4/2008).

Tampaknya, para sejarawan mulai memanfaatkan iklim kebebasan berpendapat pasca reformasi dengan melakukan pengkajian kembali terhadap sejarah kebangkitan nasional Indonesia. Misalnya Prof Dr Soetomo, WE berpendapat bahwa kebangkitan nasional Indonesia bukan dipelopori oleh kaum laki-laki (lewat gerakan Budi Oetomo), tetapi telah didahului oleh gerakan kaum perempuan lewat momentum emansipasi yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Menurut dosen Program Pasca Sarjana UKSW ini, terbitnya surat-surat R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi momentum kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum perempuan (Wawasan, 21/4/2008).

Sayang sekali para cendekiawan dan sejarawan kita masih bias dalam memaknai kebangkitan nasional secara luas. Arti kebangkitan nasional masih terlalu sempit. Cakupan definisi nasionalisme dalam konteks kebangkitan nasional baru sebatas mewakili salah satu sub-kultur bangsa Indonesia. Misalnya nasionalisme Budi Oetomo hanya merepresentasikan suku Jawa dan Madura. Atau, nasionalisme yang diusung oleh R.A. Kartini baru merepresentasikan sub-kultur perempuan (gender). Padahal, makna kebangkitan nasional dalam konteks keindonesiaan harus meliputi seluruh aspek bangsa yang multikultural. Oleh karena itu, gagasan-gagasan baru yang mencoba menawarkan konsep kebangkitan nasional Indonesia masih terlalu rapuh.

Bangsa Indonesia bukan hanya suku Jawa atau Madura. Bangsa Indonesia juga bukan hanya terdiri atas kaum perempuan saja. Namun bangsa Indonesia secara keseluruhan terdiri atas berbagai pemeluk agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), etnis (suku), jenis kelamin (gender), status sosial, dan lain-lain. Oleh karena itu, perumusan konsep nasionalisme harus secara demokratis dengan mengakomodir sekaligus menghargai semua kelompok dengan prinsip yang berkeadilan.

Dalam memaknai nasionalisme yang lebih luas, kita memang perlu definisi baru. Definisi tersebut harus merepresentasikan seluruh latarbelakang agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, prinsip nasionalisme yang paling relevan dalam konteks keindonesiaan ialah nasionalisme-multikultural. Yaitu konsep nasionalisme yang meliputi perbedaan latarbelakang, baik perbedaan agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain.

Nasionalisme Indonesia bukan chauvinistik yang hanya merepresentasikan suku bangsa tertentu. Nasionalisme Indonesia juga tidak bias gender yang hanya merepresentasikan kaum perempuan saja. Akan tetapi, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme-multikultural sebagaimana yang termaktub dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Jika kita sudah memahami konsep nasionalisme Indonesia dalam bingkai multikulturalisme, maka sejarah berdirinya Budi Oetomo (20 Mei 1908) atau kelahiran R.A. Kartini (21 April 1879) sudah tidak relevan lagi dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dua momentum bersejarah ini memang memiliki andil yang cukup besar dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme pribumi. Akan tetapi, dengan memahami konsep bangsa Indonesia yang multikultural, maka kedua momentum tersebut belum dapat dikatakan sebagai kebangkitan secara nasional.

Menurut sejarawan Ben Anderson (1988), konsep nasionalisme Indonesia mulai diperkenalkan pada tahun-tahun terakhir zaman penjajahan Belanda. Berasal dari sekelompok pemuda terdidik seperti Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang pada tahun 1926 mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Tetapi, menurut hemat penulis, gagasan nasionalisme Indonesia pada waktu itu belum bisa dijadikan sebagai representasi kekuatan politik bangsa. Sebab, pembentukan PNI sebagai partai nasionalis belum mampu mengakomodir seluruh kepentingan bangsa yang multikultural. Baru pada tanggal 26-28 Oktober 1928, nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan politik yang telah mengikat seluruh elemen bangsa ini.

Sejarawan Ahmad Syafii Ma’arif berpendapat bahwa momentum Sumpah Pemuda merupakan titik tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Penulis sepakat dengan guru besar UNY ini bahwa momentum Sumpah Pemuda yang terdiri dari seluruh elemen bangsa telah mengikat diri dalam ikrar bersama. Seluruh elemen bangsa menyatakan ikrar bersama: bertanah air satu (tanah air Indonesia), berbangsa satu (bangsa Indonesia) dan berbahasa satu (bahasa Indonesia). Dalam hal ini, momentum Sumpah Pemuda jauh lebih mencerminkan konsep nasionalisme-multikultural ketimbang gerakan Budi Oetomo atau emansipasi R.A. Kartini.

Jika momentum berdirinya Budi Oetomo sudah tidak relevan dijadikan sebagai titik tonggak sejarah kebangkitan nasional, maka momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional kali ini jelas rapuh. Kebangkitan nasional Indonesia dimulai ketika kongres Sumpah Pemuda pada Oktober 1928. Dengan demikian, bangsa ini baru berumur sekitar 80 tahun, belum mencapai satu abad. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar