Kamis, 27 Desember 2007

BookMagz, Buku Serasa Majalah


Baju saya masih basah kuyup sewaktu masuk ke salah satu penerbit di Jogja, sore itu. Seperti biasa, saya sedang memasukkan beberapa naskah buku. Kali ini, naskah-naskah hasil revisi. Selesai basa-basi, seorang staf editor menunjukkan kepada saya dua buah buku. Kabarnya, dua buku tersebut hasil kreativitas timnya di penerbit tersebut. Tetapi, terus terang saja, saya sudah sinis duluan melihat buku-buku tersebut. “Buku kok kayak majalah! Di mana letak kewibawaan buku?”


Sambil menunggu hujan reda, saya coba bertanya kepadanya, “Bagaimana respon pasar?” Di luar dugaan! Buku yang didesain layaknya majalah itu malah termasuk kategori bestseller. Tentu saya sadar, standar bestseller penerbit tersebut berbeda dengan penerbit-penerbit lain.


BookMagz: Book Magazine. Sebuah istilah yang sudah pasti asing di telinga saya. Setelah saya amat-amati, di pojok kiri atas pada sampul kedua buku tersebut memang terdapat logo BookMagz: Buku Serasa Majalah. Mungkin maksudnya buku yang jika dibaca seperti rasa majalah: enteng, meriah, dan wah.


Mendengar namanya saja, BookMagz, sudah pasti terbanyang: desain covernya meriah, isinya ringan, penuh gambar/ilustrasi, dan sudah barang tentu warna-warni. Satu lagi, bahasa judulnya gaul abis! Maaf, saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut di sini. Takutnya, nanti saya dikira promosi.


Apa yang baru saya saksikan tersebut tidak lain berupa salah satu bentuk upaya penerbit Jogja untuk tetap eksis di tengah persaingan ketat antarpenerbit. Di zaman modern ini, ketika teknologi makin canggih, setiap usaha penerbitan buku dituntut supaya kreatif dan inovatif. Jika tidak, tunggu saja detik-detik gulung tikarnya.


Ternyata, BookMagz sudah beredar kurang lebih tiga tahun yang lalu. Berarti, saya sudah agak ketinggalan mengikuti perkembangan industri perbukuan di Jogja. Mungkinkah fenomena BookMagz ini yang pernah disinggung-singgung dalam rubrik ini (Di Balik Buku) beberapa tahun yang lalu? Entahlah, saya tidak tahu persis.


Seingat saya, istilah yang sering dipakai untuk fenomena yang satu ini disebut “tabloidisasi buku.” Maksudnya, buku yang dikemas layaknya tabloid. Atau, berdasarkan kesaksian saya baru-baru ini, istilah yang dipakai “majalahisasi buku.” Maksudnya, buku yang didesain layaknya majalah. Ah, ada-ada saja istilah zaman sekarang!


Sekalipun saya berusaha memahami kreativitas dan inovasi penerbit yang memproduksi BookMagz, tetapi perasaan sinis dan prihatin tetap saja terus menghantui. Saya selalu sinis melihat model kemasan buku yang demikian itu. Buku kok dikemas kayak majalah! Atau, buku kok didesain kayak tabloid! Saya jadi prihatin, “Di mana letak kewibawaan karya intelektual yang selama ini cukup terhormat itu?”


Mungkin saya akan dianggap pengarang kolot yang tidak gaul. Tapi, biarlah orang lain bilang begitu. Dalam benak saya, fenomena BookMagz dan yang sejenisnya benar-benar menjadi sebuah tantangan berat bagi para pengarang buku. Tampaknya, di zaman modern seperti sekarang ini, kata-kata sudah tidak lagi ampuh untuk mengusung ide-ide besar. Para pengarang yang terbiasa mengolah dan menabur kata sedang dalam situasi terpojok. Profesi dan keahlian mereka sedang tersodok. Buktinya, sebuah buku dianggap tidak cukup hanya disajikan dalam bentuk teks. Tapi, sebuah buku harus berupa paduan antara teks dan grafis. Malah ada yang lebih keterlaluan lagi, setiap halaman buku didominasi oleh gambar-gambar ilustrasi. “Ini buku apa komik?” pikirku.


Di tangah-tengah pikiran yang terus berkecamuk, saya mendapati sebuah informasi penting. Tapi, keprihatinan saya bukannya mereda, malah makin berkecamuk. Sewaktu membaca salah satu resensi yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10/2007), perasaan saya makin menjadi-jadi. Perasaan prihatin dan sekaligus sinis. Ternyata, fenomena BookMagz bukan hanya mewabah di Jogja, tetapi di Amerika Serikat pun juga begitu. Sepertinya, kejenuhan pada teks-teks sudah menjadi kenyataan yang mendunia.


BookMagz memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Tapi, di negeri Paman Sam ini, fenomena berkomunikasi dengan menggunakan perpaduan antara kata-kata dan seni grafis sudah mewabah di sana. Sekalipun sebuah buku berisi tema serius, tetapi kemasannya makin irit teks. Contohnya buku karya Will Eisner, The Plot: The Secret Story of The Protocols of Elder of Zion (2005). Atau misalnya buku karya Sid Jacobson dan Ernie Colon, 9/11 Report: A Graphic Adaptation Based on The 9/11 Commission Report (2006).


Kedua buku ini, sekalipun dikemas seperti buku komik (comic books), tapi lucunya bukan disebut sebagai buku komik. Umberto Eco memberi catatan komentar bahwa buku Will Eisner “bukan buku komik” (comic books), sekalipun kemasannya memang serupa buku komik (untuk membedakan antara buku komik yang lucu dengan buku dengan desain ilustrasi yang tampak serius).


Lewat artikel ini, saya bukannya sedang meremehkan sebuah karya kreatif lagi inovatif, seperti BookMagz atau buku-buku yang serupa komik. Sama sekali bukan! Di satu sisi, saya berusaha untuk menyadari bahwa fenomena yang demikian merupakan tuntutan zaman. Tujuannya agar penerbit-penerbit tetap bisa eksis di tengah-tengah persaingan ketat. Salah satu kuncinya ialah membaca secara cerdas kecenderungan pasar—untuk penerbit profit. Kecenderungan pasar pembaca harus dicermati baik-baik untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam berkarya secara kreatif dan inovatif.


Tapi, di sisi lain, setelah melihat kecenderungan pasar pembaca yang demikian, perasaan saya makin prihatin. Saya melihat pasar pembaca seakan-akan manja atau enggan bertatapan dengan teks-teks buku konvensional. Seolah-olah mereka malas mengernyitkan dahi untuk bergumul dengan tema-tema serius. Melihat fenomena yang demikian, saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Apakah mereka sudah enggan berkomunikasi dengan kata-kata?” Saya pun berusaha introspeksi diri, “Mungkin sekarang kata-kata sudah kehilangan ruhnya”


Menghadapi fenomena yang satu ini, para pengarang memang perlu merenungkannya kembali, termasuk juga saya. (Mu'arif)

Minggu, 23 Desember 2007

“Liberalisasi” dan “Liberalisme” Pemikiran Islam

Sekalipun tema “Liberalisasi” dan “Liberalisme” pemikiran Islam sudah lewat beberapa tahun yang silam, tetapi sampai sejauh ini masih banyak kalangan yang mempersoalkannya kembali. Tulisan terakhir yang mengritisi dua tema ini seperti Haris Booegies dalam “Gemuruh Riuh Islam Liberal” (2007). Tanpa bermaksud membela Islam Liberal (Islib), saya ingin menegaskan di sini bahwa pemikiran Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—dan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki kontribusi positif bagi dinamika pemikiran Islam di Indonesia.
Pemikiran Cak Nur
Cak Nur, cendekiawan Muslim yang patut dijuluki sebagai “Begawan Islam Pluralis” ini, memang membedakan antara ranah agama dan budaya. Islam secara normatif—meminjam istilah Amin Abdullah—sudah baku. Tetapi, secara historis (budaya) bersifat dinamis. Sebab, aspek historisitas berada dalam dimensi temporal (ruang dan waktu). Das sollen, Islam adalah tetap atau sudah baku (normatif). Das sein, Islam harus dinamis mengikuti perkembangan zaman (historis). Di sini, menurut Harun Nasution (2000), Cak Nur telah melakukan proses “rasionalisasi” untuk memisahkan keduanya.
Pemikiran Cak Nur menawarkan “sekulerisasi” (bedakan dengan sekulerisme) sebagai solusi untuk memecah kebuntuan pemikiran Islam. Di mata Cak Nur, umat Islam belum mampu menerjemahkan agama Islam secara nyata ke dalam dunia yang serba temporal. Akibatnya, ajaran-ajaran Islam menjadi kian melangit. Usaha untuk melendingkan gagasan Islam yang melangit diperlukan proses “sekulerisasi” yang sesungguhnya sejalan dengan “rasionalisasi.”
Ketika Cak Nur menerjemahkan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah” menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” (dengan pembeda huruf kapital) sebenarnya ia sedang membedakan secara tegas makna kata yang sering digunakan untuk menyebut “obyek sesembahan” dalam konteks budaya dan makna hakikinya. Jika Abdul Haris Booegies merujuk pendapat Louis Ma’luf Al-Yasu’i bahwa kata “Allah” pada kalimat tauhid merupakan nama yang tak tergantikan oleh apa saja (ismun dzati). Tetapi menurut saya ini menjadi problem semiotik yang belum sempat terjawab. Bahasa Arab itu serumpun dengan bahasa Indo-Eropa seperti Ibrani, Suryani, dan lain-lain. Jika kita menggunakan perspektif ini (budaya), maka nama tuhan “Allah” memiliki banyak arti.
Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks (2004: 83-84), Nabi Ibrahim disinyalir memperkenalkan nama “El” untuk menyebut tuhannya sewaktu tinggal di Palestina (Nablus) pada sekitar 2091 Sebelum Masehi (SM). Penggunaan nama “El” merupakan bentuk akulturasi antara budaya setempat (Kanaan) dengan keyakinan yang dibawa oleh Ibrahim. Orang-orang Kanaan menyebut “El” sebagai “Dewa Ayah.” Dari kata El—yang pada dasarnya setara dengan kata “Tuhan” (sesembahan)—kemudian bermetamorfosa dalam bahasa Indo-Eropa menjadi “Il,” “El,” “Al” (lihat Nurcholish Madjid, 1992: xxii).
Dalam konteks budaya Arab, nama tuhan “Allah” sudah dipakai sebelum masa kenabian Muhammad saw. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” berasal dari kata “Ilah” (ismu fa’il) yang artinya “sesembahan”. Sekalipun demikian, kata ini (Ilah) memiliki dua makna sekaligus (ganda): sebagai “subyek” dan “obyek.”
Saya ambil contoh. Kata “kitab” (ismu fa’il) secara tidak langsung bermakna sebagai “subyek” (pelaku/fa’il) sekaligus “obyek” (sesuatu yang ditulis). Demikian halnya dengan kata “Ilah.” Ia bermakna ganda: subyek sesembahan sekaligus obyek (ma’luh). Di sini problem semiotik masih sering dipersoalkan.
Orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad saw sudah terbiasa menggunakan kata “Allah” untuk “sumpah” (qasam). Seperti kata “Wallahi,” “Tallahi,” “Billahi,” dan lain-lain. Atas dasar inilah, nama Allah termasuk dalam konteks budaya setempat (Arab). Sementara pada makna leksikal berdasarkan latarbelakang historisnya cenderung mengundang konotasi paganisme. Tetapi, perlu diingat, kenabian Muhammad saw telah menyelamatkan kita dari persepsi ketuhanan yang paganistik ini. Dengan memahami Nama-nama (al-asma al-husna) dan Sifat-sifat wajib bagi Allah, persepsi kita telah diselamatkan dari keyakinan paganistik tersebut.
Gagasan Cak Nur sewaktu menerjemahkan kalimat tauhid menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” merupakan bentuk takhshish. Sebab, kalimat tauhid jika diterjemah ke dalam bahasa Indonesia memang sangat riskan. Perlu dicermati pula, gagasan Cak Nur ini hanya relevan dalam konteks memahami bahasa dalam bentuk “simbol,” bukan sebagai “ujaran.”
JIL
Sementara gagasan Islam Liberal—sekalipun saya lebih sepakat menyebut pelakunya yang liberal (Muslim Liberal)—merupakan sebuah “stimulus baru” yang bisa memacu dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Mungkin beberapa butir gagasan yang dilontarkan oleh Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 18/11/2002) kurang berkenan di kalangan umat Islam sendiri. Tetapi, saya lebih mengambil hikmahnya ketimbang kontroversinya.
Di ranah pemikiran keislaman, kita tidak bisa bersikap statis. Zaman terus berubah sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia juga senantiasa berubah. Ranah pemikiran keislaman bersentuhan langsung dengan zaman yang terus berubah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan spirit penggerak baru agar pemikiran Islam tidak mengendap lalu mengkristal sehingga ajaran-ajaran Islam makin melangit, tidak membumi.
Sekalipun demikian, para aktivis JIL juga perlu mendapat kritik balik untuk meluruskan. Jika tidak, proses rasionalisasi akan kebablasan menjurus pada “sekulerisme.” Saya melihat peran para aktivis JIL ibarat “gas” yang sewaktu-waktu membutuhkan “rem” dari para ulama atau cendekiawan lain. Tentu saja masing-masing harus mengedepankan sikap saling terbuka dan selalu menggunakan pemikiran jernih agar setiap wacana yang bergulir tidak berujung pada justifikasi “sesat” atau “murtad.”
Di era serba keterbukaan seperti sekarang ini, klaim merasa paling benar (truth claim) sudah tidak mendapat tempat lagi. Kebenaran tidak dimonopoli oleh seseorang atau kelompok tertentu. Kebenaran adalah milik semua dan ia selalu dalam proses pencarian. (Mu'arif)

Selasa, 11 Desember 2007

Haji Kontekstual

Ibadah Haji merupakan salah satu dari pilar Islam yang lima। Sekalipun menjadi pilar utama, ibadah ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang “mampu” menjalankannya. “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya…” (Qs. 3: 97). Secara otomatis, siapa yang tidak mampu, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menunaikannya.

Para ulama berbeda pendapat menafsiri kalimat “…man isthatha’a ilaihi sabilan…” (bagi orang-orang yang mampu menjalankannya)। Surat Ali Imran ayat 97 ini mengundang perdebatan yang terus mengalir hingga kini. Salah satu penyebabnya karena pelaksanaan ibadah Haji saat ini sudah menjadi bagian utuh melibatkan birokrasi negara, kesiapan bekal materi, kesehatan jasmani, mental, dan faktor letak geografis.

Mungkin tidak menjadi masalah pelaksanaan ibadah Haji bagi orang-orang di sekitar Makkah pada masa sekarang atau pada masa Nabi saw (abad 6 M)। Kalimat dalam surat Ali Imran ayat 97 mengundang perdebatan tafsir ketika para pelaku Haji berasal dari negara lain, apalagi yang letak geografisnya sangat jauh dari Makkah. Problem birokrasi, biaya perjalanan, kondisi kesehatan badan dan psikhis, kemudian menjadi bagian dari pemahaman utuh kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…”

Konteks Sosial
Lebih jauh, makna kalimat ini juga cukup relevan dengan konteks sosial। Selama ini, umat Islam memang masih mengemban “PR” yang cukup berat untuk memaknai doktrin ibadah Haji dalam konteks sosial. Sebagai doktrin agama, Ibadah Haji memiliki relevansi dengan konteks personal (hablun minallah) dan sosial (hablun minannas). Agama Islam bukan aliran “kebatinan” atau “mistisisme” yang hanya mengedepankan aspek hubungan personal antara para pemeluknya dengan Tuhan.

Dalam kontek Ibadah Haji, kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia diajak berpartisipasi dalam “Pertunjukan Haji” sebagai even maha besar ini। Menurut Ali Syari’ati (1983), Ibadah Haji mensyaratkan egalitanianisme. Tidak ada diskriminasi ras, jenis kelamin, atau bahkan status sosial. Semuanya adalah satu dan yang satu itu untuk semuanya.

Saya menangkap maksud pemikiran Ali Syari’ati sebagai bagian dari makna Haji dalam konteks sosial। Lebih jauh, pemikiran Ali Syari’ati memiliki relevansi dengan makna tersirat dalam kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…” Atas dasar inilah saya menganggap konsep Ibadah Haji, dalam perspektif maqashid asy-syari’ah, tidak hanya bermakna personal, tetapi memiliki muatan sosial yang tinggi.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, makna Ibadah Haji harus diberi ruang seluas-luasnya untuk mendefinisikan kembali (redefinisi) atas dasar konteks sosio-kultural yang ada। Dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah fundamental dalam Ibadah Haji, prinsip maqashid asy-syari’ah harus diselaraskan dengan konteks sosio-kultural Indonesia.

Dalam perspektif sosiologis, masyarakat Indonesia masih terbelakang। Kehidupan ekonomi masih jauh dari kesejahteraan. Kemiskinan adalah fenomena lumrah di bumi nusantara ini. Menurut data BPS (2005-2006), jumlah angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 jumlah angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).

Di sisi lain, jumlah jama’ah Haji di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun। Padahal, Ongkos Naik Haji (ONH) selalu mengalami peningkatan. ONH tahun ini (2007) sekitar 26-28 juta rupiah dengan asumsi kurs dollar sebesar Rp. 9.000,-. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, biaya perjalanan Haji tahun ini mengalami kenaikan sebesar 70-85 dollar.

Data kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan, sementara jumlah jama’ah Haji terus meningkat pula। Dengan merujuk data-data BPS di atas, kita tidak akan mendapati titik temu yang logis antara statistik kemiskinan dan peningkatan jumlah jama’ah Haji di Indonesia. Mengapa di negara yang miskin justru terus meningkat jumlah jama’ah Hajinya? Di sini, saya memahami bahwa fenomena yang demikian sebagai sebuah ironi.

Haji Kontekstual
Fenomena jumlah warga miskin dan peningkatan jumlah jama’ah Haji di Indonesia merupakan sebuah indikasi nyata bahwa doktrin Islam yang satu ini baru dipahami sebatas hubungan personal antara hamba dan Tuhannya। Jika doktrin Islam ini dipahami secara utuh dalam konteks hablun minallah dan hablun minannas sekaligus, masalah keterbelakangan, kemiskinan, atau bahkan pengangguran, tidak akan terus meningkat. Minimal, angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia akan menurun.

Dalam hal ini, saya menganggap perlu mendefinisikan kembali tafsir “man isthatha’a ilaihi sabilan…” dalam konteks hablun minannas। Sebab, selama ini umat Islam masih menganggap ayat ini sebatas konteks personal. Jika seseorang punya biaya cukup, sehat jasmani dan rohani, maka ia sudah masuk dalam kategori orang-orang yang mampu menunaikan ibadah Haji. Padahal, permasalahan ini ternyata jauh lebih kompleks.

Asghar Ali Engineer (1999) berpendapat bahwa agama (Islam) menjadi sistem pengertian (signification), sistem simbol dan ibadah yang menyediakan sense of identity bagi penganutnya untuk hidup di dunia yang serba kompleks ini। Dengan merujuk pada definisi agama (Islam) versi Asghar Ali Engineer ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa umat Islam memiliki identitas yang satu. Ia bagaikan tubuh yang satu. Seperti isyarat Nabi saw, umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuh akan merasakan dampaknya.

Jika melihat fakta kemiskinan yang terus meluas, maka setiap umat Islam wajib tanggap terhadap fenomena ini. Sebab, mereka yang hidup dalam kemiskinan tidak lain adalah saudara sendiri. Mulai saat ini, umat Islam perlu mengalihkan orientasi ibadah haji, dari “haji personal” (ke tanah suci) menuju “haji sosial” (kontekstual). Caranya ialah dengan membantu proses pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terus meningkat. Pengertian “man isthatha’a ilaihi sabilan…” juga mendukung kenyataan ini bahwa tidak diwajibkan bagi umat Islam berkunjung ke tanah suci manakala belum mampu mengentaskan kemiskinan saudara-saudarannya. (Mu'arif)

Senin, 19 November 2007

Mitos “Banjir Besar” dan Fenomena Global Warming

Tiga umat agama Smitik—Yahudi, Nasrani, dan Islam—meyakini peristiwa ‘banjir besar’ pada zaman Nabi Nuh (Noah). Tidak hanya itu. Dalam tradisi bangsa Sumeria, Babilonia, Akkadia, Jerman, Irlandia, dan Yunani juga mengenal kisah ini. Tetapi, bukti-bukti arkeologis yang mendukung kebenaran kisah ini memang tidak atau belum pernah ditemukan. Pada akhirnya, kisah maha hebat tersebut cenderung dianggap sebagai mitos.
Tradisi umat Yahudi dan Nasrani mengandalkan kitab Perjanjian Lama untuk menjelaskan kisah besar ini. Menurut Maurice Bucaille (1979), kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh terdapat dalam Kitab Kejadian Fasal 6, 7 dan 8. Berdasarkan sumber-sumber Biblikal disebutkan dua jenis penyebab banjir: hujan deras dan air tanah yang meluap.
Kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh juga diyakini oleh umat Islam. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat Al-A'raf ayat 64, Al-Qamar ayat 12, Hud ayat 48, Yunus ayat 73, Al-Furqan ayat 37, Al-Ankabut ayat 14, 120, Nuh ayat 25, dan lain-lain.
Berdasarkan sumber Islam, penyebab utama banjir besar adalah mata air di bumi yang terus memancar sehingga mengalir bersatu menjelma menjadi banjir besar (Qs. Al-Qamar: 12). Pada surat lain dijelaskan indikasi bencana alam di masa Nabi Nuh lewat "at-tannur" yang terus meleleh (Qs. Hud: 40).
Kebenaran agama diyakini bersifat mutlak. Ketika kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh masuk ke dalam doktrin agama, maka untuk melacak kebenarannya menjadi teramat sulit. Padahal, dalam perspektif Ilmu Pengetahuan (Science), suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai "peristiwa sejarah" ketika terdapat bukti-bukti arkeologis yang mendukungnya. Oleh karena itu, hingga saat ini, di antara para ilmuwan masih menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh hanya sebatas mitos.
Uniknya, beberapa bangsa di dunia memiliki tradisi mitologi yang boleh dikata sejenis. Seolah-olah kisah banjir besar ini merupakan kejadian maha hebat yang telah menyatukan memori kolektif antarbangsa.
Mitos Banjir Besar
Di luar doktrin agama-agama Smitik, bangsa-bangsa lain di dunia mengenang peristiwa banjir besar dalam bentuk mitologi. Misalnya bangsa Sumeria mengenal mitos Ziusudra. Mitologi ini terdapat dalam Kitab Kejadian Eridu yang konon ditulis pada sekitar abad ke-17 SM. Kisahnya tentang banjir besar di kota Shuruppak yang meluas sampai ke kota Kish. Oleh para pakar mitologi, mitos Ziusudra dianggap padanan dari kisah Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Babilonia juga dikenal epos Gilgames. Bangsa Babilonia memiliki pertalian etnik maupun kultural dengan bangsa Sumeria. Oleh karena itu, epos Gilgames juga memiliki kaitan erat dengan mitos Ziusudra. Sekalipun karakteristik kedua tokoh ini berbeda, tetapi latarbelakang epos Gilgames persis seperti pada kisah Ziusudra, yakni peristiwa banjir besar.
Dalam tradisi bangsa Akkadia yang juga memiliki keterkaitan etnik dan kultural dengan bangsa Babilonia dan Sumeria dikenal epos Atrahasis. Konon, epos ini ditulis kurang lebih pada 1700 SM. Yang cukup unik, sosok Atrahasis hampir mirip seperti figur Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Yunani kuno. Orang-orang Yunani mengenal dua peristiwa banjir besar: Ogigian dan Deukalion. Sumber mitologi ini terdapat dalam The Library karya Apolloardus. Khusus untuk epos Deukalion, kisahnya sangat mirip dengan peristiwa pada zaman Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Jerman dikenal mitologi Norse. Kisah ini sama persis seperti dalam mitologi Yunani, Deukalion. Dalam konteks tradisi Jerman, tokoh utamanya diperankan oleh Bergelmir. Pakar mitologi Brian Banston menganggap mitologi bangsa Jerman ini setera dengan kisah banjir bah di zaman Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Irlandia. Orang-orang Irlandia kuno menganggap nenek moyang mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa Irlandia kuno dipimpin oleh cucu perempuan Nabi Nuh, Cessair. Sewaktu banjir bah selama 40 hari 40 malam, seluruh bangsa Irlandia tenggelam. Dalam mitologi ini dikisahkan bahwa hanya satu orang saja yang berhasil selamat dari peristiwa banjir besar tersebut (lihat Wikipedia Indonesia).
Kebenaran Mitos
Para ilmuwan masih beranggapan bahwa peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh as. hanya sebatas mitos. Mereka merasa sangsi seandainya menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh sebagai peristiwa sejarah. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa mitos dijadikan sebagai bukti dalam menelusuri jejak-jejak historis? Bukankah mitos hanya sebatas kisah fiktif?
Mungkin benar bagi mereka yang beranggapan bahwa mitos-mitos yang dimiliki oleh setiap bangsa tidak lain hanya sebatas kisah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingat. Mungkinkah mitos-mitos itu lahir hanya berdasarkan kekuatan imajinasi semata? Dapatkah sebuah ide berdiri sendiri secara independen? Tentu saja tidak. Sekalipun mitos-mitos itu cenderung fiktif, tetapi ide pokok (subtansi) yang melatarbelakangina jelas tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut penulis, terdapat suatu peristiwa penting yang melatarbelakangi keberadaan mitologi-mitologi yang dimiliki oleh beberapa bangsa di atas. Ketika masing-masing bangsa memiliki mitos-mitos yang boleh dikata identik dengan bangsa-bangsa lain, justru di situlah "benang merah" yang dapat menghubungkan memori kolektif antarbangsa. Memori kolektif tersebut bersumber dari sebuah peristiwa maha hebat yang terjadi pada suatu masa, namun tidak jelas diketahui kapan terjadinya. Masing-masing bangsa mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra, baik berupa hymne maupun epos, yang sudah barang tentu amat bervariasi. Identitas bahasa dan latarbelakang sosiologis yang dimiliki oleh sebuah bangsa mengungkapkannya dalam tradisi bertutur dengan sentuhan-sentuhan imajinasi kreatif dari para penyair dan sastrawan.
Terdapat dua kesimpulan penting berdasarkan argumentasi penulis ini. Pertama, setiap mitos yang diciptakan oleh suatu bangsa tidak mungkin terlepas dari latarbelakang historisnya. Kedua, mitos-mitos yang dimiliki oleh banyak suku bangsa, tetapi subtansinya menggambarkan suatu kejadian yang mirip, menjadi sebuah indikasi akan kebenaran faktual di dalamnya. Atas dasar inilah, penulis tetap meyakini bahwa pada suatu masa, di zaman dahulu, telah terjadi peristiwa banjir besar—sebagaimana dalam kisah Nabi Nuh—yang kemudian memusnahkan separoh kehidupan di muka bumi ini.
Mitos Banjir Besar dan Fenomena Global Warming
Penulis menganggap relevan mengangkat kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh berkaitan dengan fenomena "pemanasan global" (global warming) yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan publik dunia. Pemanasan global sudah bukan lagi sebatas wacana. Hampir seluruh negara di dunia telah merasakannya. Perubahan iklim secara drastis menyebabkan musim tak teratur. Di Indonesia, batas antara musim hujan dan kemarau sudah sulit diidentifikasi.
Akibat dari pemanasan global, suhu bumi terus meningkat. Dampaknya, gunung-gunung es di kutub utara dan selatan terus mencair. Otomatis, permukaan air laut terus naik. Jika pemanasan global terus berlanjut, diprediksikan pada tahun 2100 beberapa pulau bakal terancam tenggelam. Fenomena pemanasan global menjadi ancaman bagi masa depan peradaban umat manusia di muka bumi ini.
Perubahan suhu dan iklim yang tidak teratur mengakibatkan munculnya berbagai macam bentuk bencana alam. Banjir besar, angin topan, dan kekeringan merebak di mana-mana. Akibatnya, korban jiwa dan kerugian materi hampir tak terhitung lagi.
Kampanye penyelamatan dunia terhadap ancaman global warming memang sudah dimulai pada tahun 1992. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) sudah menyepakati Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang terus mengancam peradaban manusia. Sebanyak 154 kepala negara telah terlibat dalam penandatanganan Convention on Climate Change ini. Hanya saja, sampai saat ini masih dipertanyakan komitmen masing-masing.
Ancaman global sudah di depan mata, sementara hampir semua pihak malah mengabaikannya. Hanya beberapa LSM dan tokoh pencinta lingkungan saja yang kelihatan serius melihat ancaman global ini. Oleh karena itu, menjelang Conference to the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Bali nanti (Desember 2007), perlu digaet beberapa elemen masyarakat dunia agar masing-masing sadar bahwa peradaban umat manusia sedang terancam.
Agama-agama besar dunia yang dalam sumber ajaran masing-masing mengenal kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh perlu mencermati fenomena pemanasan global ini. Dengan menengok kembali kisah maha hebat pada zaman Nabi Nuh, setiap umat beragama akan sadar bahwa dunia sedang dalam ancaman besar. Fenomena alam berupa perubahan iklim secara drastis, suhu bumi yang terus memanas, dan permukaan air laut yang terus naik, menjadi pertanda akan bahaya besar yang sedang mengancam peradaban umat manusia. Fenomena pemanasan global jelas identik dengan kisah pada masa Nabi Nuh.
Oleh karena itu, lewat artikel ini, penulis terus berharap kepada para pemuka agama, baik para rahib, pendeta, ulama dan cendekiawan supaya menengok kembali kejadian besar pada masa Nabi Nuh untuk memahami fenomena global warming dalam perspektif agama-agama. (Mu'arif)

BookMagz, Buku Serasa Majalah

Baju saya masih basah kuyup sewaktu masuk ke salah satu penerbit di Jogja, sore itu. Seperti biasa, saya sedang memasukkan beberapa naskah buku. Kali ini, naskah-naskah hasil revisi. Selesai basa-basi, seorang staf editor menunjukkan kepada saya dua buah buku. Kabarnya, dua buku tersebut hasil kreativitas timnya di penerbit tersebut. Tetapi, terus terang saja, saya sudah sinis duluan melihat buku-buku tersebut. "Buku kok kayak majalah! Di mana letak kewibawaan buku?"
Sambil menunggu hujan reda, saya coba bertanya kepadanya, "Bagaimana respon pasar?" Di luar dugaan! Buku yang didesain layaknya majalah itu malah termasuk kategori bestseller. Tentu saya sadar, standar bestseller penerbit tersebut berbeda dengan penerbit-penerbit lain.
BookMagz: Book Magazine. Sebuah istilah yang sudah pasti asing di telinga saya. Setelah saya amat-amati, di pojok kiri atas pada sampul kedua buku tersebut memang terdapat logo BookMagz: Buku Serasa Majalah. Mungkin maksudnya buku yang jika dibaca seperti rasa majalah: enteng, meriah, dan wah.
Mendengar namanya saja, BookMagz, sudah pasti terbanyang: desain covernya meriah, isinya ringan, penuh gambar/ilustrasi, dan sudah barang tentu warna-warni. Satu lagi, bahasa judulnya gaul abis! Maaf, saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut di sini. Takutnya, nanti saya dikira promosi.
Apa yang baru saya saksikan tersebut tidak lain berupa salah satu bentuk upaya penerbit Jogja untuk tetap eksis di tengah persaingan ketat antarpenerbit. Di zaman modern ini, ketika teknologi makin canggih, setiap usaha penerbitan buku dituntut supaya kreatif dan inovatif. Jika tidak, tunggu saja detik-detik gulung tikarnya.
Ternyata, BookMagz sudah beredar kurang lebih tiga tahun yang lalu. Berarti, saya sudah agak ketinggalan mengikuti perkembangan industri perbukuan di Jogja. Mungkinkah fenomena BookMagz ini yang pernah disinggung-singgung dalam rubrik ini (Di Balik Buku) beberapa tahun yang lalu? Entahlah, saya tidak tahu persis.
Seingat saya, istilah yang sering dipakai untuk fenomena yang satu ini disebut "tabloidisasi buku." Maksudnya, buku yang dikemas layaknya tabloid. Atau, berdasarkan kesaksian saya baru-baru ini, istilah yang dipakai "majalahisasi buku." Maksudnya, buku yang didesain layaknya majalah. Ah, ada-ada saja istilah zaman sekarang!
Sekalipun saya berusaha memahami kreativitas dan inovasi penerbit yang memproduksi BookMagz, tetapi perasaan sinis dan prihatin tetap saja terus menghantui. Saya selalu sinis melihat model kemasan buku yang demikian itu. Buku kok dikemas kayak majalah! Atau, buku kok didesain kayak tabloid! Saya jadi prihatin, "Di mana letak kewibawaan karya intelektual yang selama ini cukup terhormat itu?"
Mungkin saya akan dianggap pengarang kolot yang tidak gaul. Tapi, biarlah orang lain bilang begitu. Dalam benak saya, fenomena BookMagz dan yang sejenisnya benar-benar menjadi sebuah tantangan berat bagi para pengarang buku. Tampaknya, di zaman modern seperti sekarang ini, kata-kata sudah tidak lagi ampuh untuk mengusung ide-ide besar. Para pengarang yang terbiasa mengolah dan menabur kata sedang dalam situasi terpojok. Profesi dan keahlian mereka sedang tersodok. Buktinya, sebuah buku dianggap tidak cukup hanya disajikan dalam bentuk teks. Tapi, sebuah buku harus berupa paduan antara teks dan grafis. Malah ada yang lebih keterlaluan lagi, setiap halaman buku didominasi oleh gambar-gambar ilustrasi. "Ini buku apa komik?" pikirku.
Di tangah-tengah pikiran yang terus berkecamuk, saya mendapati sebuah informasi penting. Tapi, keprihatinan saya bukannya mereda, malah makin berkecamuk. Sewaktu membaca salah satu resensi yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10/2007), perasaan saya makin menjadi-jadi. Perasaan prihatin dan sekaligus sinis. Ternyata, fenomena BookMagz bukan hanya mewabah di Jogja, tetapi di Amerika Serikat pun juga begitu. Sepertinya, kejenuhan pada teks-teks sudah menjadi kenyataan yang mendunia.
BookMagz memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Tapi, di negeri Paman Sam ini, fenomena berkomunikasi dengan menggunakan perpaduan antara kata-kata dan seni grafis sudah mewabah di sana. Sekalipun sebuah buku berisi tema serius, tetapi kemasannya makin irit teks. Contohnya buku karya Will Eisner, The Plot: The Secret Story of The Protocols of Elder of Zion (2005). Atau misalnya buku karya Sid Jacobson dan Ernie Colon, 9/11 Report: A Graphic Adaptation Based on The 9/11 Commission Report (2006).
Kedua buku ini, sekalipun dikemas seperti buku komik (comic books), tapi lucunya bukan disebut sebagai buku komik. Umberto Eco memberi catatan komentar bahwa buku Will Eisner "bukan buku komik" (comic books), sekalipun kemasannya memang serupa buku komik (untuk membedakan antara buku komik yang lucu dengan buku dengan desain ilustrasi yang tampak serius).
Lewat artikel ini, saya bukannya sedang meremehkan sebuah karya kreatif lagi inovatif, seperti BookMagz atau buku-buku yang serupa komik. Sama sekali bukan! Di satu sisi, saya berusaha untuk menyadari bahwa fenomena yang demikian merupakan tuntutan zaman. Tujuannya agar penerbit-penerbit tetap bisa eksis di tengah-tengah persaingan ketat. Salah satu kuncinya ialah membaca secara cerdas kecenderungan pasar—untuk penerbit profit. Kecenderungan pasar pembaca harus dicermati baik-baik untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam berkarya secara kreatif dan inovatif.
Tapi, di sisi lain, setelah melihat kecenderungan pasar pembaca yang demikian, perasaan saya makin prihatin. Saya melihat pasar pembaca seakan-akan manja atau enggan bertatapan dengan teks-teks buku konvensional. Seolah-olah mereka malas mengernyitkan dahi untuk bergumul dengan tema-tema serius. Melihat fenomena yang demikian, saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, "Apakah mereka sudah enggan berkomunikasi dengan kata-kata?" Saya pun berusaha introspeksi diri, "Mungkin sekarang kata-kata sudah kehilangan ruhnya"
Menghadapi fenomena yang satu ini, para pengarang memang perlu merenungkannya kembali, termasuk juga saya. (Mu'arif)

Kekuatan Politik Indonesia di Pentas Internasional

Sewaktu mendengar berita bahwa Indonesia mulai bulan November ini bakal menjadi ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), rasa nasionalisme saya langsung tergugah. Akhirnya, bangsa ini punya kesempatan untuk unjuk gigi di pentas internasional. Tetapi, mendadak saya langsung berkecil hati. Sewaktu mendengar pernyataan Amien Rais baru-baru ini, perasaan saya makin pesimis. Sekalipun Indonesia mendapat jatah memimpin Sidang Umum di Dewan Keamanan PBB, tetapi bukan berarti kita bisa memainkan peran-peran strategis di pentas internasional.
Hari Minggu sore (28/10), saya tandang ke kediaman tokoh reformasi ini di Pandean Sari (Yogyakarta). Sore itu, hujan turun untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Namun tekad saya untuk bertemu dengan tokoh reformasi ini tidak luntur. Saya rela menuggu lumayan lama hanya untuk bisa bertemu dengannya. Tepat pukul 17.00, saya baru bisa bertemu dan berbincang-bincang dengannya.
Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menanyakan perihal peluang Indonesia unjuk gigi di pentas internasional. Dengan menempati posisi sebagai ketua Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, tentunya Indonesia bisa memainkan perannya dalam menyelesaikan isu-isu internasional. Konon, jabatan ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan PPB merupakan jabatan bergilir. Dan, Indonesia mendapatkan kesempatan emas tersebut kali ini.
Sekalipun saya ajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan peran strategis ini, tetapi anehnya Amien Rais tidak banyak menyikapi secara positif. Dia kelihatan agak pesimis. "Sebagai bangsa, kita memang harus realistis. Bobot internasional Indonesia amat enteng" komentarnya.
Amien Rais kembali menjelaskan, "Ada sebuah rumus bahwa politik luar negeri sebuah bangsa merupakan sisi lain dari keadaan dalam negerinya." Saya yang tidak pernah mengenyam pendidikan politik di perguruan tinggi berusaha memahami teori yang disampaikan oleh Amien Rais ini.
"Kalau sebuah negara keadaan ekonominya masih morat-marit, kesejahteraan sosialnya masih "jauh panggang daripada api", kemudian pengangguran makin membengkak dan lain-lain, maka bobot internasionalnya menjadi sangat enteng" kata Amien menjelaskan. "Sementara negara yang kuat ekonominya, stabil politiknya, apalagi sentosa militernya, itu menjadi berat bobot politik internasionalnya" tambahnya.
Sejenak saya langsung sadar. Rasa optimisme saya tiba-tiba menjadi ambyar. Setelah mendengar penjelasan dari Amien Rais, saya memang tidak lagi berharap banyak. Sekalipun Indonesia mendapat peluang emas menjadi ketua Sidang Umum Dewan Keamanan di PBB, tetapi kita tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa bobot politik bangsa ini masih teramat enteng.
Harus saya akui, memang persoalan-persoalan domestik di Indonesia tidak pernah kunjung selesai. Perekonomian masih tergantung kepada kekuatan asing. Di Indonesia, kesejahteraan sosial masih di awang-awang. Angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Sementara melihat sistem perpolitikan di tanah air, sekalipun pasca reformasi, ternyata belum juga menunjukkan tanda-tanda stabil. Mentalitas para politisi kita juga belum satupun yang menampakkan diri sebagai figur negarawan. Sikap para anggota dewan (DPR) juga masih kekanak-kanakan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat sendiri. Di tengah-tengah himpitan ekonomi sulit, para anggota dewan ramai-ramai merencanakan kenaikan gaji. Sementara beberapa elit politik tidak memiliki jiwa negarawan sehingga setiap pemimpin yang tampil ke pentas nasional selalu diganjal.
Jika melihat sepintas sistem pertahanan nasional kita, ternyata masih amat memprihatinkan. Bayangkan saja, seandainya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura memasuki atau menyerang wilayah teritorial Indonesia, dipastikan bangsa ini akan kalah dalam konfrontasi fisik. Sebab, sistem pertahanan nasional kita masih amat lemah. Persenjataan yang kita miliki juga masih amat terbatas. Padahal, wilayah teritorial Indonesia begitu luasnya. Bahkan, sampai saat ini ternyata masih terdapat kawasan yang belum terjamah oleh kekuatan sistem pertahanan kita. Akibatnya, penyelundupan barang-barang illegal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, begitu leluasa menyerobot masuk ke wilayah perairan kita. Tentu ini sangat memprihatinkan.
Lebih dari itu. Bobot politik internasional suatu bangsa juga ditentukan oleh ketegasan sikap dan karakter kepala negaranya. Memang situasi domestik suatu negara menjadi faktor penentu kekuatan politik internasional suatu bangsa. Tetapi ketegasan sikap dan karakter kepala negara juga amat mempengaruhi kekuatan politik suatu bangsa.
Sewaktu Presiden SBY berpidato di depan Sidang Umum PBB beberapa bulan yang lalu, pemandangan yang cukup tragis terjadi. Beberapa delegasi dari negara-negara lain justru memilih mengosongkan kursi. Kira-kira hanya sekitar 25% saja yang masih bertahan duduk sambil mengikuti pidato presiden SBY. Fenomena semacam ini jelas-jelas menjadi sebuah indikasi bahwa bobot politk luar negeri kita masih enteng. Artinya, kita memang masih dianggap remeh oleh bangsa-bangsa lain.
Pemandangan yang kontras justru terjadi ketika presiden Iran Mahmud Ahmadinejad berpidato depan Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Atau ketika giliran pidato Hugo Chaves (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia). Hampir dipastikan setiap kursi akan penuh diduduki oleh seluruh delegasi dari negara-negara di dunia. Artinya, bobot politik internasional Iran, Venezuela, dan Bolivia diakui oleh dunia.
Mahmud Ahmadinejad dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan memiliki karakter yang kuat. Dirinya berani menentang kebijakan Amerika Serikat yang menjadi simbol kapitalisme. Sementara Hugo Chaves dan Evo Morales adalah figur-figur pemimpin yang dengan lantang menyatakan perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang disponsori oleh Gedung Putih (Amerika Serikat).
Pada bulan November ini, bangsa Indonesia memang mendapat jatah giliran menjadi ketua umum dalam sidang dewan keamanan PBB. Tentu, jabatan tersebut amat berharga. Secara politik, jabatan tersebut juga amat strategis. Lewat Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, Indonesia bisa terlibat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan internasional, terutama yang mengangkut kepentingan politik bangsa. Hanya saja saya jadi pesimis setelah melihat kenyataan bahwa politik internasional Indonesia masih kurang diperhitungkan. Bangsa-bangsa lain masih menganggap kita remeh. Dan, anggapan remeh tersebut disebabkan karena kondisi dalam negeri yang carut-marut dan faktor pemimpin yang tidak memiliki karakter tegas. (Mu'arif)

Jika Pendidikan Minus Visi

Dua tahun kebijakan Ujian Nasional (2005), sudah banyak peristiwa memilukan dan sekaligus memalukan mewarnai kebijakan "sarat beban" ini. Cobalah perhatikan baik-baik. Berapa banyak sekolah yang tidak bisa meluluskan siswa-siswinya? Sudah berapa kali demonstrasi para siswa dan guru menolak Ujian Nasional (UN)? Sampai detik ini, sudah berapa banyak kasus siswa bunuh diri karena menanggung rasa malu akibat tidak lulus ujian? Kemudian, seberapa jauh intervensi pemerintah terhadap proses otonomi pendidikan?
Belum lagi tuntas kasus UN sudah diganti dengan kebijakan baru: Ujian Nasional Terintegrasi Ujian Sekolah (UNTUS). Kebijakan ini diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SD/MI. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dalam jumpa persnya di Jakarta, Selasa (13/11), mengeluarkan kebijakan bahwa ujian nasional tingkat SD akan diintegrasikan dengan ujian akhir sekolah. Kebijakan UNTUS berlaku mulai Mei 2008. Di mata saya, kebijakan ini jelas-jelas sarat beban. Saya kira kebijakan ini hanya bakal memicu polemik baru yang akan mewarnai pendidikan nasional.
Kasus UN
Selama ini saya cukup prihatin, mengapa pemerintah (Depdiknas) masih saja mempertahankan kebijakan UN yang diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SMP/SMA? Padahal, kebijakan ini merupakan suatu bentuk inkonsistensi sekaligus arogansi eksekutif (Mendiknas). Sebelum kebijakan UN, Komisi X DPR telah sepakat mencabut Ujian Akhir Nasional (UAN). Tetapi, Mendiknas tetap saja ngotot menggantinya dengan UN (Mu’arif, 2005). Masyarakat Indonesia sudah dikelabuhi oleh kebijakan mengambang ini. Sebab, konsep UN dan UAN sesungguhnya ibarat beda label tapi isi tetap sama. Kebijakan hanya sekedar ganti baju.
Di samping sebagai bentuk inkonsistensi dan arogansi eksekutif, kebijakan UN juga sudah sangat jauh mengintervensi proses pendidikan di daerah-daerah. Konsep otonomi pendidikan telah diabaikan. Kebijakan UN seakan-akan sedang mengembalikan sistem sentralistik yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Dengan menentukan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25, pemerintah pusat jelas sudah bertindak sewenang-wenang. Pada tahun 2007 standar kelulusan naik menjadi 5,0. Tetap saja intervensi pemerintah sangat dominan. Sementara tahun depan (2008), standar kelulusan dipatok menjadi 5,25. Betapa mudahnya pemerintah pusat menentukan standar kelulusan.
Pada kasus UN, proses penggandaan soal atau bahan ujian dilakukan sebagian besar oleh pemerintah pusat (60%). Selebihnya diserahkan kepada daerah (40%). Apakah pemerintah tidak menyadari bahwa standar ini merupakan bentuk penyeragaman yang jelas-jelas mengabaikan potensi-potensi lokal?
Kebijakan UN jelas sarat beban. Kondisi sekolah di daerah-daerah jelas tidak mungkin diseragamkan. Generalisasi cara pandang seperti ini jelas tidak mungkin diterima. Sebab, tidak semua sekolah di daerah-daerah memiliki fasilitas penunjang UN. Tidak semua siswa di daerah-daerah memiliki tingkat kemampuan menyerap soal-soal yang diajukan pemerintah pusat. Akibatnya, kebijakan ini hanya jadi "momok" yang mengerikan.
Ketika UN berlangsung, kita semua menyaksikan siswa-siswi SMP/SMA yang menghadapi ujian nasional layaknya sedang menghadapi hantu yang menakutkan. Setelah ujian selesai, para siswa-siswi berharap-harap cemas menanti pengumuman kelulusan. Pasca pengumuman kelulusan, kita kemudian banyak disuguhi berita-berita miris di media massa. Ternyata banyak lembaga pendidikan yang tidak mampu meluluskan para siswa-siswinya.
Saya masih ingat betul pada pelaksanaan UN pertama kali di Yogyakarta, sebanyak 18.657 siswa di dinyatakan tidak lulus (Bernas Jogja, 1/7/2005). Padahal, Yogyakarta jadi icon sekaligus barometernya pendidikan di Indonesia. Para siswa-siswi yang tidak lulus juga harus menanggung beban psikologis yang tidak enteng. Begitu juga para orang tua wali murid yang juga kena imbasnya.
UNTUS
Kasus UN belum tuntas sudah muncul lagi kebijakan baru: Ujian Nasional Terintergasi Ujian Sekolah (UNTUS). Dugaan saya pun tidak meleset. Banyak lembaga pendidikan di daerah-daerah yang mengajukan protes.
Mungkin dapat dipahami bahwa kebijakan UNTUS untuk meningkatkan standar kelulusan pada jenjang pendidikan SD/MI. Itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia memang perlu dihargai. Siapapun orangnya pasti setuju dan akan mendukung itikad baik semacam itu. Tetapi kebijakan yang tidak populis, karena cenderung mengabaikan potensi lokal, bisa menjadi bumerang. Itikad baik saja ternyata belum cukup. Perlu strategi khusus yang bijak dalam melihat realitas pendidikan di daerah-daerah.
Berdasarkan pernyataan Mendiknas, komposisi soal yang akan diujikan 25% dari pusat dan selebihnya (75%) diserahkan ke daerah. Mungkin Mendiknas mulai merespon kritik yang selama ini dilayangkan kepada pemerintah dalam kasus UN. Sebab, selama ini intervensi pemerintah pusat terlalu dominan dalam kasus UN. Namun kebijakan Mendiknas ini juga bukan tanpa beban.
Satu persoalan penting: keberadaan sekolah-sekolah di Indonesia sangat beragam. Dalam kasus UNTUS, keberadaan SD-SD antara satu daerah dengan daerah lain tidak mungkin disamakan. Meminjam istilah Ai Deti Heryanti (2007), keberadaan SD di Indonesia memiliki disparitas yang tinggi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Ini jelas harus disadari betul oleh pemerintah pusat.
Sementara membaca skenario kebijakan UTUS, tampaknya pemerintah pusat sedang melakukan proses uji coba. Dari kebijakan UN (SMP/SMA) sampai UNTUS (SD/MI) belum sama sekali menunjukkan kematangan konsep. Yang demikian jelas suatu kegamangan. Dan menurut pandangan saya, apa yang terjadi di balik kasus UN dan UNTUS merupakan manifestasi dari ketidakmatangan visi pendidikan kita. Inilah yang terjadi jika pendidikan minus visi. (Mu'arif)

Rabu, 07 November 2007

Pendidikan untuk Perubahan

Krisis moral yang melanda negeri ini bermula dari kerancuan dalam memahami arti dan peran pendidikan. Indikasinya lebih nyata ketika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdidik lulusan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi dianggap sebagai gerbang akhir dari proses pendidikan. Tetapi, mengapa para koruptor kelas kakap dan preman-preman politik justru dari mereka yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi? Tentu, terdapat sesuatu yang keliru dalam pendidikan kita.

Menurut Mochtar Buchori (1994), masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan sebatas sarana, bukan sebagai tujuan. Masyarakat juga masih menganggap pendidikan sebagai ‘batu loncatan’ demi mendongkrak status sosial. Lewat gelar-gelar akademik, status sosial seseorang dijamin bakal terangkat.

Jika memaknai pendidikan hanya sebatas sarana, tentu kemungkinan terjebak pada formalitas akan semakin besar. Orang-orang yang memiliki embel-embel akademik dianggap mumpuni, menguasai ilmu atau memiliki kecakapan hidup (live skill). Padahal, gelar-gelar akademik tidak sepenuhnya merepresentasikan kompetensi seseorang. Apalagi setelah terbongkar kasus sindikat jual-beli gelar, status seseorang yang menyandang gelar Profesor pun masih dipertanyakan. Sebab, seorang paranormal pun amat dengan mudah bisa memiliki gelar ini.

Bagi Mochtar Buchori, pendidikan dimaknai sebagai tujuan. Apa yang muncul dalam diri terdidik, maka itulah akhir dari proses pendidikan. Saya memahami ide Mochtar Buchori sebagai bagian dari proses yang terpadu. Pendidikan adalah proses secara terpadu yang melibatkan terdidik, medium pembelajaran, obyek pembelajaran, proses, dan tujuan akhir. Si terdidik adalah pelaku proses pendidikan (subyek). Medium pembelajaran berupa realitas kehidupan. Obyek pembelajaran adalah permasalahan-permasalahan hidup yang ia hadapi. Sedangkan proses pendidikan ialah dinamika yang melibatkan terdidik, medium, dan obyek pembelajaran. Adapun tujuan akhirnya berupa kemampuan berupa wawasan dan kecakapan hidup. Di sini pendidikan makin dekat maknanya dengan proses kehidupan. Seperti kata Prof Proopert Lodge, "Live is education and education is live."

Setiap proses menghendaki tujuan. Apa yang akan dicapai dalam proses pendidikan kita? Berupa materi atau merupakan konsep abstrak? Di sini kita sering berpikiran picik. Proses pendidikan disamakan dengan pembangunan riil. Padahal, dalam pendidikan, yang sedang dibangun berupa konstruksi mental. Yang akan dibentuk, lewat proses pendidikan, adalah jiwa-jiwa generasi bangsa. Dengan begitu, pola pikir berbasis pedagang atau kalkulasi-kalkulasi berorientasi ekonomis tidak layak masuk dalam pendidikan kita. Sekalipun pendidikan adalah investasi, tetapi keuntungan yang akan dicapai bukan materi, melainkan berupa konstruksi mentalitas bangsa Indonesia agar selaras dengan cita-cita nasional.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai proses "membangun manusia Indonesia seutuhnya." Tetapi, tujuan ini masih abstrak, masih perlu rumusan baru yang lebih kongkrit. Sebab, sebagai bangsa yang tergolong masih muda, konsep "manusia Indonesia seutuhnya" belum tampak jelas.

Untuk memaknai karakteristik bangsa Indonesia, kita perlu mengacu pada nilai-nilai dan tradisi peninggalan nenek moyang. Cikal-bakal bangsa Indonesia adalah orang-orang Proto-Melayu yang pada zaman Neolitikum sudah mendiami kepulauan Nusantara. Mereka memiliki tata nilai, sistem sosial, dan kepercayaan yang kuat. Sekalipun bukan sebagai bangsa yang menerima seruan para nabi, tetapi karakteristik orang-orang Proto-Melayu sebagai bangsa religius sangat kuat. Tata nilai yang dijadikan sebagai pegangan hidup mereka adalah budi pekerti luhur.

Cermin bangsa Indonesia sebagai bangsa religius dapat dilihat dari eksistensi agama-agama besar seperti: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Sekalipun berbeda-beda sistem ritual dan cara pandang dalam memahami hakekat Tuhan, tetapi agama-agama di Indonesia saling menganjurkan budi pekerti luhur. Namun kemudian, kenapa bangsa ini justru menduduki ranking ke-60 dari 120 negara di dunia yang marak dengan tindak korupsi? Jelas peran pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam mengemban tugasnya.

Visi pendidikan nasional memang lemah. Bahkan, masih dianggap belum mampu mengenalkan nilai-nilai dan tradisi luhur peninggalan nenek moyang. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa pendidikan tidak mampu mengenalkan karakteristik khas bangsa ini. Kasus penyiksaan dan pelecehan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan bahwa kita seakan-akan lupa bahwa zaman dahulu negara tetangga ini merupakan bagian dari wilayah nusantara.

Peran pendidikan nasional masih belum efektif dalam membawa bangsa ini menuju perubahan yang signifikan. Problem minus visi menyebabkan sistem pendidikan nasional berjalan acak-acakan. Sekalipun masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme—yang jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma agama—justru makin marak. Apakah pendidikan nasional sudah tidak lagi mementingkan nilai-nilai budi pekerti luhur sehingga para lulusan perguruan tinggi justru banyak yang menjadi koruptor kelas kakap? Apakah pendidikan sudah tidak lagi menanamkan rasa empati sehingga perilaku para elit politik kita makin kekanak-kanakan dan amat memalukan?

Tanpa membenahi problem visi yang belum jelas, selamanya pendidikan berjalan tanpa arah. Jika pendidikan tanpa visi, maka akan dengan mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain yang hendak memanfaatkannya. Seperti inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan anggaran minimal 20% (pasal pasal 31 ayat 4 UUD 45), kasus pelarangan buku sejarah berdasarkan keputusan Jaksa Agung tanggal 5 Maret 2007, dan penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kasus-kasus tersebut menjadi indikasi nyata bahwa pendidikan nasional tanpa visi sehingga mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan di luar pendidikan (kekuasaan).

Akhirnya, patut kita renungkan pesan Maroeli Simbolon berikut ini: "Pendidikan itu benih yang ditabur. Tanpa pendidikan, jangan pernah berharap untuk memetik hasil yang baik" (Maroeli Simbolon, 2004).

Menguak Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah

"Saya tidak membawa agama baru. Saya hanya menggenapkan nubuwat Allah dalam Al-Qur’an, seperti halnya Muhammad menggenapkan ajaran Isa dan Musa", begitu pernyataan Ahmad Moshaddeq, Ketua Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Kamis (18/10) di Jakarta (Pelita, 25/10/2007).

Moshaddeq sedang berapologi. Barangkali dia memang merasa terpojok setelah mendapat hujatan dari berbagai kalangan. Sewaktu tandang ke kantor majalah Tempo pada hari Kamis (18/10), dirinya langsung menanggapi Keputusan Majlis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 tahun 2007. Moshaddeq menolak jama’ahnya dinyatakan sebagai "aliran sesat."

Jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadhan, di Yogyakarta memang telah digegerkan oleh sebuah gerakan dakwah kontroversial Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Kasus ini makin mendapat sorotan dari kalangan ulama, karena kebetulan berbarengan dengan Pembukaan Musyawarah Majlis Ulama Indonesia Daerah II (meliputi Lampung dan Jawa).

Lewat penyelidikan MUI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemukan bukti sebuah buku Tafsir wa Ta’wil (2007). Tebalnya 104 halaman: 97 halaman isi dan 7 halaman tambahan. Isinya berupa doktrin-doktrin fundamental jama’ah ini yang dinilai cukup kontroversial. Doktrin-doktrin yang dianggap cukup kontroversial seperti: konsep umat akhir zaman, kenabian Ahmad Moshaddeq sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud", dan sinkretisme ajaran Islam-Kristen. Sekalipun mengaku mendapat "wahyu", Moshaddeq menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber doktrin-doktrinnya. Hanya saja dia menolak As-Sunnah. Moshaddeq juga menafsiri Al-Qur’an dengan caranya sendiri dan mengabaikan metode-metode tafsir yang ada.

Ahmad Moshaddeq

Ahmad Moshaddeq mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda DKI. Nama aslinya H. Salam. Sebelum membentuk Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dirinya pernah terlibat dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dia memang pengagum berat Kartosoewiryo. Bahkan, dirinya menganggap tokoh pendiri NII ini sebagai "seorang nabi."

Moshaddeq merintis jama’ah ini pada sekitar tahun 2000-an. Para pengikutnya bertambah banyak. Konon, bentuk kegiatan jama’ah ini persis seperti halaqah-halaqah atau majlis-majlis ta’lim. Untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan jama’ah ini, Moshaddeq mendirikan kantor pusat di Desa Gunung Bundar, Kabupaten Bogor.

Setelah 10 tahun terlibat dalam gerakan NII, dirinya merasa tidak puas. Lantas, dia memutuskan untuk menyepi. Bertapa sembari berharap-harap turunnya wangsit dari langit. Setelah menempuh laku prihatin (bertapa) selama 40 hari 40 malam di salah satu vilanya di Gunung Bunder, dia mengaku mendapat wahyu. Dalam buku Tafsir wa Ta’wil, dia menjelaskan: "…di malam yang ketigapuluh tiga, tiga hari menjelang empat puluh hari aku bertahannus, kembali aku bermimpi, di dalam mimpi itu aku sedang dilantik atau diangkat menjadi rasul Allah disaksikan para sahabat…" (h. 182)

Entah dapat bisikan setan atau iblis, tetapi tepat pada 23 Juli 2006 dirinya mengaku sebagai seorang nabi atau rasul. Pada waktu itulah namanya berubah dari Salam menjadi Ahmad Moshaddeq. Dirinya mengaku mendapat perintah supaya menyempurnakan ajaran Nabi Musa, Isa, dan Muhammad saw.

Moshaddeq menyebarkan ajaran-ajarannya di Bogor dan Jakarta. Lewat halaqah-halaqah dan majlis-majlis ta’lim, rupanya banyak juga yang terbujuk mengikuti ajaran-ajarannya. Sukses di Bogor dan Jakarta, sasaran berikutnya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Bahkan, menurut Ketua Komisi Fatwa MUI KH M Anwar Ibrahim, jama’ah ini sudah menyebar ke Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, dan Batam. Hingga saat ini, anggota Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah diperkirakan mencapai ribuan (Republika, 5/10/2007).

Umat Akhir Zaman

Dengan tegas, Moshaddeq menolak As-Sunnah (baik perkataan, perbuatan, maupun ikrar Nabi saw). Kasus semacam ini mengingatkan kita pada gerakan Inkar As-Sunnah yang sudah muncul berkali-kali dalam sejarah umat Islam. Mungkin sudah puluhan kasus, baik di dalam maupun di luar negeri, yang menodai agama Islam dengan cara menolak Sunnah Nabi.

Menurut anggapan Moshaddeq, Nabi Muhammad adalah nabi ummi (buta huruf). Beliau hanya diutus untuk kaum yang ummi (bangsa Arab). Jadi, Nabi Muhammad bukan diutus untuk umat sekarang, yang kata Moshaddeq, dianggap sebagai umat akhir zaman, yang mempunyai ilmu dan teknologi canggih. Selanjutnya, tanpa pengetahuan bahasa (Arab) dan metode penafsiran yang memadai, dirinya membuat tafsir membagi kelompok sosial menjadi tiga: Ashab Al-A’raf (dianggap sebagai As-Sabiquna Al-Awwalun); Ashab Al-Yamin (dianggap sebagai golongan Anshar); dan Ashab Asy-Syimal (dianggap sebagai kaum oposisi penentang rasul) (Asjmuni Abdurrahman, 2007).

Dia menafsiri Surat Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa dirinya menggenapkan nubuwat dari langit pasca Nabi Muhammad saw. Barangkali Moshaddeq sedang membuat tafsir sendiri terhadap Al-Qur’an. Tetapi, metodenya kacau-balau. Sewaktu menafsiri Surat Al-Jumu’ah ayat 2, dia mungkin lupa membuka Surat Al-Ahzab ayat 40. Di dalam surat ini disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Atau, bisa jadi dia memang tidak paham sama sekali kandungan Al-Qur’an. Sebab, dalam surat Al-An’am ayat 93 jelas-jelas menyatakan kedzaliman bagi orang yang mengaku sebagai nabi pasca Nabi Muhammad saw.
Seandainya Moshaddeq mengakui keberadaan As-Sunnah sebagai sumber ajarannya, tentu dia akan terbentur berkali-kali dengan beberapa Hadits yang membatalkan nubuwatnya. Sebab, tidak ada kenabian setelah Nabi Muhammad. Misalnya sebuah Hadits menyatakan: "Sesungguhnya akan ada tigapuluh orang pendusta di tengah-tengah umatku. Semuanya mengklaim sebagai nabi. Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku" (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Doktrin Messianisme

Ahmad Moshaddeq mengklaim sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud" (yang dijanjikan). Dalam buku Tafsir wa At-Ta’wil, dirinya mengaku: "Aku Al-Masih Al-Mau’ud menjadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang yang mengimaniku, dan aku telah menjelaskan kepada kalian tentang sunnah-Nya dan rencana-rencana-Nya di dalam hidup dan kehidupan ini sehingga dengan memahami sunnah dan rencana-rencana-Nya itu kalian dapat berjalan dengan pasti di bawah bimbingan-Nya…" (h. 178).

Dalam sejarah agama-agama, klaim Moshaddeq ini dikenal sebagai doktrin Messianisme (Al-Masih). Doktrin ini memang sudah berusia kurang lebih 3000 tahun yang silam. Berasal dari tradisi bangsa Yahudi yang berkali-kali mengalami penindasan.

Sewaktu bangsa Yahudi ditindas oleh Fir’aun (Ramses II), kehadiran Nabi Musa dianggap sebagai "Sang Messias." Begitu juga ketika bangsa Yahudi ditindas oleh bangsa Assyur, sosok Ezra (‘Uzair) dianggap sebagai "Sang Messias." Atau, ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Babilonia, kehadiran Jeremiah juga dianggap sebagai "Sang Messias." Tetapi, sewaktu Nabi Isa mengklaim sebagai "Al-Masih", justru sebagian besar bangsa Yahudi menentangnya.
Doktrin Messianisme merupakan luapan harapan atau bisa jadi ekspresi sebuah bangsa yang putus asa menghadapi penindasan oleh bangsa lain. Dalam keterputusasaan, mereka mengandaikan keadaan hidup bebas dan merdeka. Di dalam keterputusasaan tersebut juga terselip pengharapan akan datangnya "Sang Juru Selamat" yang akan membawa mereka kepada kehidupan lebih baik.

Dalam perjalanan sejarah umat Islam, doktrin Messianisme juga sempat dianggap relevan oleh kaum Syi’ah. Doktrin teologi kaum Syi’ah mengenal konsep "Imam Al-Mahdi Al-Muntadhar" (Imam Mahdi yang dinanti-nanti). Pengertian Al-Masih dan Al-Mahdi tidak jauh berbeda. Tetapi doktrin Messianisme ala Islam menjadi perdebatan yang hingga kini tidak pernah mencapai kata sepakat. Pada akhirnya, konsep Al-Mahdi Al-Muntadhar tidak hanya sekedar doktrin teologis, tetapi juga politis.

Dalam konteks bangsa Indonesia, khususnya dalam budaya Jawa, dikenal konsep "Ratu Adil" atau "Satria Piningit." Bangsa Indonesia mengenal konsep ini karena telah lama dijajah oleh kolonial Belanda. Dalam situasi terjajah sangat menyengsarakan sehingga bangsa Indonesia mengandaikan sang pemimpin datang yang bakal membebaskan mereka dari penjajahan.
Dengan demikian, antara konsep "Al-Masih", "Al-Mahdi Al-Muntadhar", "Ratu Adil" ataupun "Satria Piningit" memiliki kesamaan konteks dan visi. Konteksnya berupa kondisi tertindas (baik secara fisik maupun non fisik) yang dialami oleh suatu kelompok atau bangsa. Visinya berupa "penyelamatan". Oleh karena itu, konsep Messianisme sudah bukan hal baru lagi.
Sosok Ahmad Moshaddeq yang mengklaim sebagai "Al-Masih Al-Mau’ud" menganggap dirinya sebagai "sang penyelamat." Dia mengaku diutus oleh Tuhan untuk umat di zaman modern. Umat zaman modern sekarang ini ditafsiri oleh Moshaddeq sebagai umat akhir zaman. Lebih berani lagi, Moshaddeq mengaku menggenapkan nubuwat pasca Nabi Musa, Isa, dan Muhammad. Seakan-akan dirinya adalah nabi terbesar akhir zaman.

Dalam konteks sejarah agama-agama, doktrin Messianisme sudah berakhir. Umat Yahudi menganggap Nabi Musa sebagai nabi terbesar mereka. Sosok Nabi Musa dianggap sebagai Sang Messias bagi umat ini. Kemudian, umat Nasrani menganggap Nabi Isa sebagai nabi terbesar mereka. Sosok Nabi Isa dianggap sebagai Sang Messias bagi umat ini. Begitu juga dengan umat Islam, menganggap Nabi Muhammad sebagai nabi terbesarnya. Maka, sosok Nabi Muhammad merupakan Sang Messias bagi umat terakhir ini. Doktrin Messianisme dalam Islam sudah berakhir. Hanya kelompok Syi’ah saja yang masih meyakini doktrin ini.

Ahmad Moshaddeq berani menghidupkan kembali doktrin teologis ini tanpa argumentasi kenabian yang berarti. Apalagi dirinya tetap menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber ajarannya. Seandainya benar Moshaddeq seorang nabi, tentu wahyu yang turun kepadanya memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an, karena konteks zaman dan umat yang berbeda. Tetapi justru Moshaddeq hanya memberikan tafsir terhadap Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sementara metode tafsirnya kacau-balau.

Sinkretisme Agama

Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah hanyalah bentuk sinkretisme antara agama Islam dan Nashrani. Membayangkan sosok Moshaddeq mengingatkan kita pada tokoh Manu (mengaku Nabi pada abad 5) di Persia. Atau sosok Harith bin Saad (mengaku Nabi di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan), Isa Al-Asfahan (mengaku Nabi di masa Khalifah Al-Mansur), Faris bin Yahya (mengaku Nabi di masa Khalifah Al-Muktaz), Ishak Al-Akhras (mengaku Nabi di Asfahan, Iran), Aswad Al-Insa (mengaku Nabi pada saat Nabi Muhammad jatuh sakit sebelum wafat).

Di Indonesia, banyak tokoh yang mengklaim sebagai nabi. Sebut saja Zikrullah (Sulteng) dan Lia Aminuddin (Jakarta). Umumnya, mereka yang mengklaim sebagai nabi mencampur-aduk antara berbagai ajaran agama menjadi satu. Seperti Zikrullah yang mencampur-aduk doktrin-doktrin fundamental agama Islam dan Kristen. Lia Aminuddin malah mencampur-aduk antara agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Terang saja ajaran-ajaran mereka jadi aneh-aneh. Seperti Zikrullah membuat persaksian (syahadat) yang berbeda pada umumnya. Bahkan dia membuat bangunan Ka’bah sendiri yang digunakan untuk ibadah haji oleh para pengikutnya. Begitu juga dengan Lia Aminuddin yang membuat ritual thawaf dengan cara berkeliling kampung ketika hujan turun.

Dalam konteks jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Moshaddeq juga membuat aturan macam-macam. Seperti syahadat yang aneh. Tidak shalat lima kali, tetapi cukup sekali di malam hari. Bahkan, Moshaddeq membenarkan konstruksi teologi Trinitas sekaligus Tauhid.

Apa yang dilakukan oleh para nabi palsu, seperti Manu,Harith bin Saad, Isa Al-Asfahan, Faris bin Yahya, Ishak Al-Akhras, Aswad Al-Insa, Zikrullah, Lia Aminuddin, dan Moshaddeq, merupakan bentuk sinkretisme agama-agama. Mereka telah mencampur-aduk doktrin-doktrin berbagai agama, yang pada hakekatnya memiliki subtansi berbeda, menjadi doktrin yang kemudian dianggap baru. Jelas mereka telah melakukan penjarahan doktrin agama-agama yang selama ini sudah memiliki pakem sendiri-sendiri.

Sekalipun nabi palsu mengklaim mendapat wahyu dan mengajarkan ajaran-ajaran baru, tetapi ketika sudah menjarah doktrin-doktrin konvensional masing-masing agama sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Tak Ada Toleransi

Konon, Ahmad Moshaddeq pandai bersilat-lidah. Dirinya gampang berkelit sewaktu dihujat secara bertubi-tubi. Jawabnya enteng: "Lana a’maluna, wa lakum a’malukum"
Apakah Moshaddeq sedang mengigau atau barangkali dia memang tidak paham ajaran Islam? Jika Moshaddeq berkelit dengan ayat tersebut, maka dia tidak paham dengan konteksnya.
Orang tentu akan memberi toleransi ketika dia yang mengaku sebagai nabi akhir zaman tidak menggunakan simbol-simbol, ajaran-ajaran, atau nama-nama yang sudah menjadi pakem bagi umat Islam. Seperti nama jama’ahnya yang memakai kata Islam. Atau Al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran-ajarannya. Apa yang dilakukan Moshaddeq telah merampas dasar-dasar teologi Islam yang sudah mapan. Apalagi, Moshaddeq juga mencampur-aduk antara ajaran Islam dan Nashrani. Berarti, Moshaddeq telah mempecundangi dua agama besar yang bersumber dari kawasan timur tengah ini.

Kasus Jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq ini hanya menambah panjang deretan kasus "nabi palsu" dan penyelewengan ajaran Islam yang telah berkali-kali muncul dalam sejarah umat Islam. Moshaddeq betul-betul ceroboh. Mengklaim sebagai seorang nabi yang diutus kepada umat zaman modern sekarang ini adalah tindakan paling gegabah.
Barangkali dia malah dianggap tidak waras. Sementara doktrin-doktrin yang dia ajarkan kepada pengikut-pengikutnya telah menabrak pakem. Bahkan telah merampas pakem ajaran-ajaran agama milik umat lain (Nashrani). Sebab, doktrin-doktrin keyakinannya merupakan sintesa keyakinan umat Islam dan Nashrani.

Oleh karena itu, Moshaddeq dan jama’ahnya tidak bisa diberi toleransi lagi. Dirinya telah menodai otentisitas ajaran agama Islam dan Kristen sehingga keputusan MUI No. 4 tahun 2007 sudah tepat. Pemerintah dan masyarakat diharap selalu waspada terhadap aliran yang memang sesat dan menyesatkan ini.

Rabu, 24 Oktober 2007

Doris Lessing, Pengarang Besar yang Putus Sekolah

Kamis, 11 Oktober 2007, adalah hari yang paling mengesankan dan memberi makna tersendiri bagi wanita gaek ini. Setelah kurang lebih 77 tahun menekuni dunia tulis-menulis, wanita ini memperoleh penghargaan layak atas karya-karyanya. Sebut saja beberapa karyanya, seperti The Grass is Singing dan Golden Notebook. Atau karya monumentalnya, Children of Violence. Doris Lessing, penulis berdarah Inggris yang lahir di Iran dan dibesarkan di Zimbabwe, pada akhirnya meraih anugrah Nobel Sastra untuk tahun ini (2007).

Tak seorang pun menyangka kalau wanita ini akan terpilih sebagai peraih penghargaan prestisius tersebut. Bahkan, Doris Lessing sendiri juga tidak pernah menyangkanya. Sewaktu penganugrahan nobel tersebut, dia malah sedang asyik belanja untuk keperluan hidupnya.

Apakah anugrah prestisius tersebut sengaja diberikan sebagai kado ulang tahunnya yang ke-88, karena dia memang baru saja merayakannya pada hari Minggu tanggal 7 Oktober lalu? Tentu saja tidak. Dia layak menerima penghargaan tersebut karena karya-karyanya banyak memberikan inspirasi, terutama pandangan-pandangan kritisnya tentang gender dan ras.

Putus Sekolah

Siapa sangka, Doris Lessing, seorang penerima anugrah Nobel Sastra yang sudah pasti sangat prestisius, pernah putus sekolah? Catatan perjalanan hidupnya memang cukup mencengangkan. Pada usia 13 tahun, dia putus sekolah.

Sekalipun demikian, Doris Lessing bukan seorang yang bengal atau urakan. Dirinya putus sekolah bukan karena diberhentikan (drop out). Keputusannya meninggalkan bangku sekolah merupakan hasil dari sebuah perenungan yang dalam. Di sekolah, dia tidak pernah menemukan sesuatu dia cari. Mungkin dia beranggapan bahwa sekolah hanya sekedar pertemuan rutin berupa kegiatan formal yang sudah pasti amat menjemukan.

Bagi Doris Lessing, proses pendidikan mestinya mengarahkan kepada setiap peserta didik agar masing-masing mampu memahami sesuatu tetapi dengan perspektif yang berbeda. Pola pikirnya tak lazim. Caranya memahami proses belajar-mengajar amat berbeda pada umumnya. "Inilah belajar itu: anda tiba-tiba mengerti sesuatu yang telah anda ketahui sepanjang hidup anda, tetapi dengan pemahaman yang berbeda" itulah seucap kata Doris Lessing (Andrias Harefa, 2001).

Putus sekolah, bagi Doris Lessing, tidak membuat masa depannya menjadi suram. Tidak seperti umumnya masyarakat Indonesia, putus sekolah selalu dianggap sebagai preseden buruk bagi masa depan seseorang. Seakan-akan sekolah itu candu. Tetapi bagi Doris Lessing tidak berlaku anggapan seperti itu. Dirinya tidak kecanduan sekolah. Dia melarikan diri dari pendidikan formal sambil terus bergaul dengan buku-buku. Belajar autodidak. Doris Lessing banyak melakukan penelitian dan pengamatan sosial. Baginya, belajar autodidak justru terasa lebih menggairahkan. Untuk menuangkan butir-butir pemikirannya, dia menempuh jalan hidup sebagai pengarang.

Dalam wawancara dengan The Associated Press setahun yang lalu, Doris Lessing mengaku mengawali karir sebagai pengarang pada sekitar tahun 1930-an. Sekalipun skeptis, tetapi dia visioner. Tampaknya, metode skeptisisme menjadi alat paling ampuh untuk merelatifkan segala pengetahuan dan norma. Lain dengan umumnya orang-orang terdidik di Indonesia, mereka asing dengan metode ini. Karena itu, wajar jika orang-orang Indonesia menganggap teori relativisme sangat menyesatkan. Dampaknya, orang-orang Indonesia jadi miskin pemikiran visioner.

Namun tidak demikian bagi Doris Lessing. Jiwa skeptis dan pemikiran visioner membawanya memahami dunia dengan perspektif yang berbeda. Karakter jiwa dan pemikirannya inilah yang kemudian mewarnai setiap karya tulisnya.

Hidupnya yang berpindah-pindah, bahkan telah menjelajahi separoh dunia, menambah luas wawasannya. Kedua orang tua Lessing adalah warga negara Inggris. Tetapi, dia sendiri lahir di Iran. Kemudian, keluarganya pindah ke Zimbabwe dan Doris Lessing dibesarkan di kota ini. Tentu saja pilihan tema dalam karya-karyanya dipengaruhi oleh karakteristik jiwa, pemikiran, dan pengalamannya selama menjelajah separoh belahan bumi ini. Dia memilih untuk mengangkat tema hubungan antara laki-laki dan wanita (gender) dan ras dalam setiap karya tulisnya.

Sekolah Sudah Mati!

Membayangkan gagasan-gagasan Doris Lessing mengingatkan saya pada sosok Margaret Mead dalam buku School is Dead (1971) karya Everett Reimer. Pada sekitar tahun 1970-an, Everett Reimer menggelindingkan sebuah wacana stagnansi pemikiran pendidikan. Kritiknya teramat tajam sampai-sampai membuat skeptis para pakar dan praktisi pendidikan saat itu.

"Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan. Karenanya, dia tidak mengizinkan saya sekolah", begitu ucap Margaret Mead polos. Tentu saja Everett Reimer, lewat tokoh Margaret Mead, dianggap sedang mewartakan kabar mencemaskan bagi dunia pendidikan waktu itu.
Sekolah sudah mati!

Apa yang dikatakan Everett Reimer di 1970-an sudah dirasakan oleh Doris Lessing pada sekitar 1930-an. Ketika dirinya memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah dan menempuh jalan hidup sebagai pengarang. Di sekolah, dirinya tidak pernah menemukan apa yang dia cari. Sekolah hanya sekedar pertemuan rutin formal yang menjemukan. Proses belajar-mengajar hanya sebatas transfer nilai-nilai kemapanan (status quo). Pendidikan "gaya bank!" (banking concept of education)—meminjam istilah Paulo Freire. Padahal, Doris Lessing sendiri ingin melihat dunianya dengan perspektif yang berbeda. Dia ingin bisa mengenali diri, mengembangkan segenap potensi yang dimiliki, dan memperoleh wawasan baru. Namun sayang, semua itu tidak ditemuinya di lembaga pendidikan yang bernama sekolah.

Dengan demikian, pengalaman hidup Doris Lessing merupakan fakta otentik untuk memaknai sebuah fenomena bahwa institusi pendidikan memang sudah mati. Tanda-tanda matinya sekolah bisa dicermati dari visinya yang tidak sejalan dengan karakteristik jiwa dan keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Justru, di sekolah, potensi-potensi emas yang dimiliki oleh setiap peserta didik dibungkam oleh formalitas basa-basi. Atau, proses belajar-mengajar hanya sekedar mencekoki peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan dan norma-norma kuno. Padahal, "rasa ingin tahu" (curiosity) serta keinginan memperoleh pengetahuan yang baru menjadi karakteristik setiap jiwa peserta didik.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa catatan biografi Doris Lessing, peraih Nobel Sastra 2007, adalah sebuah fenomena. Catatan perjalanan hidupnya menambah sederetan tokoh sukses dunia yang pernah gagal di bangku sekolah. Dan, itu berarti telah melengkapi setumpuk fakta bahwa sekolah memang telah mati.

Sayat Baru di atas Luka Lama

Muslianah, istri seorang Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, ditangkap secara semena-mena oleh petugas Rela (semacam Hansip di Indonesia) baru-baru ini. Konon, dia sedang mengambil pakaian hasil jahitan di sebuah pusat perbelanjaan di Chow Kit, Kuala Lumpur. Pada waktu itu, serombongan petugas Rela datang untuk memeriksa identitasnya. Sekalipun dia sudah menunjukkan kartu identitas sebagai anggota keluarga diplomat, tapi tetap saja dikeler layaknya penyelundup atau imigran gelap (Sindo, 9/10/2007).

Ulah petugas Rela yang tidak profesional ini jelas bakal menambah runyam hubungan Indonesia-Malaysia. Apalagi, selama beberapa tahun terakhir, hubungan diplomatik kedua negara serumpun ini makin tak harmonis. Sederetan kasus memalukan telah menodai harga diri bangsa Indonesia. Jika tidak disikapi secara bijaksana, kasus-kasus memalukan tersebut bisa menggugah semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Layaknya bara api dalam sekam.

Titik Api Konflik

AH Mahally (2007) berusaha menunjukkan "titik api" konflik Indonesia-Malaysia. Seraya mengutip analisis Karim Raslan (2007), dia menyebutkan bahwa terdapat tiga masalah besar yang pemicu hubungan tidak harmonis Indonesia-Malaysia. Yaitu, problem Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perbatasan teritorial, dan illegal loging.

Terhadap tiga faktor di atas, saya memang tak bisa menyangkalnya. Sampai sejauh ini, jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Ironisnya, dari sejumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 800.000 orang dinyatakan illegal (Syafnijal Datuk Sinaro, 2007). Artinya, banyak TKI selundupan atau imigran gelap yang mencari rizki di negeri jiran ini.

Dari sebanyak 2 juta TKI di Malaysia, tidak semuanya bernasib mujur. Justru, kebanyakan nasib para TKI, khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW), acapkali menjadi sasaran penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan sampai ancaman bakal dibunuh. Sampai artikel ini ditulis, berita TKI tewas di negeri rantau masih terus mewarnai pemberitaan di media massa nasional.

Di antara TKI banyak juga yang tidak digaji. Data yang berhasil dihimpun KBRI di Kuala Lumpur menyebutkan, lebih dari 30% kasus yang menimpa para TKI berkaitan dengan pembayaran gaji (Halim Ambiya, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun bekerja di negeri jiran dengan iming-iming ringgit yang menggiurkan tidak selamanya berbuah kesejahteraan.

Konflik perbatasan antara kedua negara ini juga tak bisa sangkal lagi. Kasus memperebutkan pulau Sipadan dan Ligitan, dua gundukan pasir seukuran 23 hektar, ternyata sudah mencuat ke permukaan sejak 1969 (Orde Baru). Namun, pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan dua pulau di pantai timur Pulau Sebatik menjadi milik sah pemerintah Malaysia. Tentu saja keputusan ini sangat mengecewakan bagi bangsa Indonesia.

Terhadap kasus perebutan dua pulau ini, saya mengamati bahwa sejarah bangsa Indonesia telah diabaikan. Ti tahun 1917, ketika pemerintah Inggris menyebut dua pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah ordonasi, pemerintah Hindia Belanda pernah melayangkan protes. Sikap protes Hindia Belanda ini menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut telah direbut oleh Inggris. Sayangnya, protes tersebut tak pernah dihiraukan dan sejarah pun dilupakan (Nono Anwar Makarim, 2003). Pada akhirnya, kasus ini berakhir kekecewaan bagi bangsa Indonesia. Sementara kasus blok Ambalat dan perairan Karang Unarang juga masih belum tuntas.

Terakhir, kasus illegal loging. Tak saya pungkiri bahwa kasus ini pun menjadi salah satu pemicu hubungan kurang harmonis antara Indonesia-Malaysia. Kayu-kayu selundupan hasil pembalakan liar di hutan Riau, Jambi, dan beberapa kawasan di Indonesia, melibatkan pejabat dan konglomerat hitam—baik dari dalam negeri maupun negara tetangga (Malaysia, Singapura). Pencurian kayu-kayu hutan yang telah merugikan negara kira-kira sebesar 45 trilyun per tahun kemudian diselundupkan ke negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Anehnya, pemerintah kedua negara tetangga ini tidak bereaksi atas kasus penyelundupan asset negara Indonesia ini.

Mungkin benar analisis Karim Raslan, pengamat politik Islam asal Malaysia, sewaktu membaca fenomena hubungan tak harmonis antara dua negara bertetangga ini. Hanya saja saya melihat masih banyak faktor yang terlupakan. Faktor sejarah menjadi pemicu utama hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang boleh dibilang hangat-hangat tahi ayam. Selain sejarah, faktor psikologis, khususnya menyangkut rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang terus-menerus dilecehkan, juga amat menentukan.

Kedua faktor inilah yang menurut penulis menjadi pemicu konflik antara Indonesia-Malaysia dan sifatnya laten. Seperti bom waktu, sewaktu-waktu konflik bakal meledak jika tidak disikapi secara bijaksana.

Faktor Sejarah

Setiap bangsa memiliki latarbelakang historis dan kebudayaan tersendiri. Bagi sebuah bangsa merdeka, sejarah dan kebudayaan menjadi identitasnya di pentas peradaban dunia. Sejarah juga menjadi identitas politiknya. Sekalipun kebudayaan Indonesia dan Malaysia serumpun, tetapi catatan sejarah kedua negara ini berbeda. Berarti, identitas politik kedua negara ini berbeda.

Catatan sejarah bangsa Indonesia dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga masa kemerdekaan, menunjukkan bahwa bangsa Malaysia memang serumpun. Bahkan, pada masa pra-kolonial, wilayah Semenanjung Melayu (termasuk teritorial Malaysia dan Brunei Darussalam) menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (Abad 7-14 M). Pada tahun 1331-1364 M, Semenanjung Melayu juga telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit.

Memasuki masa kolonial (1602 M), bangsa yang tadinya disatukan oleh sejarah dan kebudayaan serumpun menjadi terpisah. Kolonialisme Inggris dan Belanda mengangkangi teritorial yang kini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Malaysia. Sepanjang masa kolonialisme, Inggris dan Belanda selalu berebut perbatasan wilayah jajahannya. Tercatat, pada 1917 pemerintah Hindia Belanda melayangkan protes kepada Inggris karena telah mengklaim pulau Sipadan masuk ke dalam wilayah ordonansinya.

Memasuki masa kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah terlibat sengketa politik dengan pemerintah Inggris. Atas nama bangsa Indonesia, proklamator kemerdekaan RI ini menentang pembentukan Federasi Malaysia. Terbakar oleh rasa nasionalisme, apalagi dengan membaca catatan sejarah bangsa Indonesia yang pernah berjaya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, maka pembentukan Federasi Malaysia sama artinya dengan sparatisme. Di samping itu, Soekarno telah membaca skenario Barat, terutama lewat peran Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, untuk mempengaruhi perpolitikan di kawasan Asia. Pada waktu itulah, lewat Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini, lahir semboyan politik yang membahana dan menggetarkan: "Ganyang Malaysia!", "Amerika kita setrika!", "Inggris kita linggis!"

Rasa nasionalisme memang menggetarkan. Soekarno menentang keputusan PBB mengakui kedaulatan Malaysia. Sewaktu negara tetangga ini menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia tegas mengambil sikap. Pada tanggal 20 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Bukan hanya itu. Soekarno malah menggalang kekuatan non PBB sebagai saingan. Apa yang dilakukan Soekarno, atas nama bangsa Indonesia, adalah bukti nyata bahwa dua negara bertetangga tidak akur.

Kita kembali ingat salah satu wejangan bapak proklamator RI ini, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah!)." Rupanya, akhir-akhir ini, bangsa Indonesia memang lupa pada sejarahnya sendiri. Ketika dimaki sebagai "Indon," kehormatan dinodai oleh kekerasan, pelecehan, dan ancaman terhadap para TKI, serta harga diri diinjak-injak oleh tindakan tidak profesional petugas Rela, namun bangsa ini hanya diam. Pemerintah juga hanya bisa prihatin. Barangkali pernyataan pemerintah yang tidak pernah tegas justru menunjukkan bahwa para pemimpin kita memang amat memprihatinkan? Suatu bangsa yang melupakan sejarahnya sendiri akan gagal di masa depan.

Ketegasan Sikap

Malaysia merupakan secuil dari sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Bahkan, Brunei Darussalam juga bagian dari sejarah dan kebudayaan bangsa ini. Dalam catatan sejarah lokal di Sumatra Barat, antara kesultanan Brunei, Serawak (Malaysia), dan Bukittinggi (Pagaruyung), merupakan tiga bangsa serumpun. Sebuah monumen sejarah "tiga serumpun" masih bisa dilihat di Bukittinggi hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah serumpun dengan Malaysia dan Brunei. Setelah memasuki masa-masa kolonial, masing-masing menciptakan sejarahnya secara terpisah.

Pada masa Orde Lama, bangsa Indonesia berhasil membangun citra politik di pentas dunia. Presiden Soekarno adalah sosok fenomenal. Sepak-terjangnya yang tidak pro Barat dan Timur membuat bangsa-bangsa lain terpana. Gagasan-gagasannya brilian membuat para pemimpin bangsa-bangsa lain terpukau. Indonesia pada waktu itu menjadi kekuatan politik alternatif yang kokoh dan amat disegani. Bahkan, terhadap kekuasaan PPB, Soekarno berani membelot. Namun sayang, setelah Indonesia ditinggalkan oleh figur pemimpin fenomenal Soekarno, berangsur-angsur bangsa ini tenggelam ditelan gelombang kepentingan politik bangsa-bangsa lain.

Yang paling menyedihkan dan sekaligus menjengkelkan, bangsa ini malah lupa pada sejarahnya sendiri. Bangsa Indonesia kehilangan jati diri di tengah-tengah persaingan bangsa-bangsa yang lain. Sampai-sampai harus mengemis di negeri orang yang pada hakekatnya adalah sempalan dari sejarah dan kebudayaan sendiri. Lihatlah! Betapa banyak TKI Indonesia yang berbondong-bondong ke Malaysia hanya untuk menjadi "kuli" di kebun-kebun kelapa sawit. Padahal, di negeri sendiri, hamparan kebun kelapa sawit tidak kalah luasnya. Para TKW rela menjadi "babu" di negeri seberang sekalipun mereka terancam tidak dibayar, disiksa, dilecehkan, bahkan sampai dibunuh. Anehnya, sekalipun kasus pembunuhan TKI sudah berkali-kali terjadi, namun bangsa ini masih saja menaruh harapan di negeri jiran.

Apakah mentalitas bangsa Indonesia seperti budak? Mungkinkah bangsa Indonesia bangsa kuli? Saya kembali ingat kritik YB Mangunwijaya semasa hidupnya. Dengan amat kritis, tokoh yang identik dengan "Komunitas Kali Code" (Yogyakarta) ini menyalahkan pemerintah Orde Baru dalam mengurus dan menata sistem pendidikan nasional. Dia berpendapat bahwa pendidikan nasional yang tidak pernah beres hanya mampu melahirkan bangsa dengan mentalitas "babu" dan "kuli" (Singgih Nugroho, 2004). Tampaknya, sekarang, kritik YB Mangunwijaya benar-benar jadi kenyataan.

Di antara mentalitas "babu" dan "kuli" adalah sifat inferior, tidak punya visi ke depan, dan tidak tegas mengambil sikap. Cobalah perhatikan! Kasus penangkapan, penyiksaan, sampai pembunuhan secara keji terhadap TKI hanya ditanggapi sebagai fenomena kewajaran. Maksudnya, kewajaran terhadap sebuah bangsa yang mengais rizki di negeri lain. Sikap semacam ini adalah cermin metalitas budak.

Kemudian, sekalipun tampak fenomena kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan di tanah air, tetapi pemimpin kita tidak punya visi ke depan untuk memperbaikinya. Akibatnya, bangsa Indonesia malah merasa pesimis dapat mencapai kesejahteraan hidup di negeri sendiri. Mereka pun merantau ke negeri orang. Karakteristik semacam ini merupakan cermin dari tipe kepemimpinan tanpa visi. Dan agenda pembangunan di tanah air pun dapat dinyatakan telah gagal.

Adapun pemerintah yang selama ini tak pernah tegas mengambil sikap atas berbagai kasus penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap harga diri bangsa mencerminkan hilangnya rasa nasionalisme. Kadang saya membayangkan, seandainya Soekarno masih hidup, tentu dia akan berang. Rasa nasionalismenya akan terbakar dan segera menyerukan, "Ganyang Malaysia!" Konfrontasi fisik sudah pasti bakal terjadi.

Sekedar mengambil pelajaran. Gunawan Mohammad—dalam Catatan Pinggir I (1982)—mengisahkan sebuah peristiwa menarik. Darius, seorang penguasa besar Persia (abad 5 SM), pernah mengirim seorang utusan (duta) ke Athena. Konon, utusan Persia tersebut diperlakukan tidak pantas. Kepada penguasa Athena, Darius menyatakan perang. Athena pun ditaklukkan. Kemudian, pada abad ke-6 M, Nabi Muhammad pernah mengirim seorang utusan (duta) kepada penguasa Persia (Kisra) di Chtesipon (Madain, Irak). Utusan tersebut justru malah dibunuh sehingga Nabi Muhammad menyatakan perang terhadap Persia.

Lewat dua kisah sejarah ini, saya bukan berarti sedang memanas-manasi pemerintah supaya segera melakukan konfrontasi fisik dengan Malaysia. Sama sekali bukan! Kebijakan perang bukanlah sikap bagi sebuah bangsa beradab. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa biadab. Lewat dua kisah tersebut, saya hanya sedang meyakinkan, bahwa kebijakan dan sikap tegas harus segera ditunjukkan kepada pihak Malaysia. Apalagi, negeri jiran ini sudah nyata-nyata menghina, merendahkan, bahkan melecehkan harga diri bangsa Indonesia.

Saya dukung sikap para dewan yang berencana demo di depan Kedubes Malaysia. Lebih dari itu, saya mengusulkan agar pemerintah segera menarik Duta Besar RI di Malaysia. Pemerintah juga perlu membuat jera negeri jiran ini lewat kebijakan travel warning dan penghentian pengiriman TKI ke Malaysia.

Dengan demikian, pemerintah Malaysia akan jera karena pembangunan negeri jiran ini, sebagian besar, dari hasil keringat dan darah para TKI. Kebijakan tersebut akan mengembalikan kewibawaan dan harga diri bangsa yang sudah dicabik-cabik. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan Malaysia menjadi sebuah ‘luka lama.’ Tetapi, kasus-kasus memilukan dan juga memalukan yang mencuat akhir-akhir ini seakan-akan menjelma menjadi ‘sayat baru di atas luka lama.’

Histeria Budaya Lebaran

Mudik (pulang kampung) dan Lebaran (Idul Fitri). Keduanya sudah menjadi bentuk budaya tersendiri yang unik di Indonesia. Fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjadi tradisi unik yang tidak akan dijumpai di negara-negara lain. Misalnya di Arab Saudi dan Mesir. Sekalipun sama-sama merayakan Idul Fitri, di Arab Saudi dan Mesir, tidak mengenal Lebaran, seperti halnya di Indonesia. Umat Islam di Arab Saudi tidak kenal budaya mudik. Begitu juga umat Islam di Mesir tidak kenal tradisi pulang kampung menjelang Idul Fitri. Atas dasar inilah, mudik dan Lebaran sudah menjadi tradisi yang unik di Indonesia.


Tetapi, fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjelma menjadi "histeria kebudayaan." Ironisnya, mudik justru "sarat beban." Saya menganggap Lebaran sudah menjadi "ajang prestise" bagi para pemudik. Saya juga menyebut mudik "sarat beban." Sebab, secara ekonomis, tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini cenderung memberatkan. Tetapi, anehnya, beban ekonomis tersebut justru dianggap "bukan sebagai beban." Ada "kesadaran magis" menyelimuti kesadaran para pemudik setiap kali menjelang Lebaran (Mu’arif, 2007).


Budaya Lebaran

Sesungguhnya, subtansi Lebaran sama dengan perayaan Idul Fitri di negara-negara lain. Hanya saja, makna Lebaran lebih kontekstual dengan tradisi keindonesiaan. Lebaran adalah perayaan Idul Fitri ala Indonesia.

Dalam filosofi Jawa, kata "lebaran" dipahami secara utuh lewat ungkapan "jaburan", (menu makanan)"lebaran" (luas, lapang), dan "leburan" (luluh, lebur). Ketiga istilah ini merupakan serangkaian makna utuh untuk memahami puasa Ramadhan yang kemudian diakhiri dengan kemenangan setelah masing-masing jiwa menjadi "suci" (fitri).


Istilah "jaburan" merupakan gambaran bagi orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. "Jaburan" sendiri adalah menu makanan yang disediakan untuk berbuka puasa. Adapun "lebaran" adalah proses hari raya yang secara khusus dimaknai lewat jalinan silaturahmi antar sanak keluarga. Lewat proses "lebaran," setiap orang meluaskan hati atau melapangkan dada untuk menerima ucapan maaf dan memaafkan dari orang lain. Sementara "leburan" adalah proses luluhnya setiap dosa setelah masing-masing saling memaafkan. Pada puncaknya, setiap orang yang merayakan Lebaran telah kembali suci.


Dengan memahami makna filosofi Lebaran, setiap orang yang berada di perantauan terdorong secara spiritual untuk pulang ke kampung halaman. Semangat Lebaran dan mungkin rasa kangen ingin bertemu keluarga di kampung mendorong para perantau untuk terus melestarikan tradisi mudik.

Para perantau yang umumnya berasal dari kampung memanfaatkan hari raya Idul Fitri (bukan Idul Adha) untuk mudik secara besar-besaran (nasional). Di sinilah letak perbedaan budaya Idul Fitri di Indonesia dengan negara-negara lain. Tradisi mudik hanya bisa ditemukan di Indonesia. Di negara-negara, seperti Arab Saudi dan Mesir, tidak akan ditemui tradisi unik semacam ini.

Histeria Kebudayaan

Tetapi sayang, fenomena mudik, yang hampir menyerupai karnaval tahunan, menjelma menjadi histeria budaya yang sarat beban. Mudik tidak dipahami sebagai kesadaran untuk kembali bertemu bersama keluarga di kampung setelah setahun merantau di kota, tetapi sudah menjadi ajang luapan emosi untuk memuaskan dahaga Lebaran.


Menurut Yasraf Amir Piliang (2004), histeria ialah ekses dari emosi yang tidak dapat dikendalikan. Di sini, saya memandang luapan emosi para pemudik yang ingin pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran sudah tidak terbendung lagi.


Semangat Lebaran telah mendorong luapan emosi para pemudik sampai ke batas paling irrasional. Mereka berlomba-lomba membelanjakan uang. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga (babu) berani menghabiskan tabungan selama setahun hanya untuk memuaskan dahaga Lebaran. Atau, seorang kuli bangunan berani memborong barang-barang elektronik mewah, seperti TV, HP, kipas angin, dan lain-lain.


Secara otomatis, pada detik-detik menjelang Lebaran, harga-harga di pasar melambung tinggi tak terkendali. Sebab, permintaan barang-barang selalu meningkat. Sekalipun harga-harga melambung tinggi mencapai dua kali lipat, tetapi seolah-olah tidak menjadi beban bagi para membelinya. Itu semua disebabkan karena dorongan semangat Lebaran.


Fenomena Lebaran memang sungguh dahsyat dan luar biasa. Semangatnya bisa menyihir kesadaran seseorang untuk belanja apa saja, sekalipun harga melambung tinggi. oleh karena itu, benar kata Hendrawan Supratikno (2007), sesungguhnya lebaran adalah ajang demonstrasi daya beli masyarakat.


Bahkan, sudah dianggap fenomena lumrah jika para pemudik berani membelanjakan uangnya tanpa mempertimbangkan harga di pasar. Sebab, mereka menjaga gengsi sebagai perantau untuk membawa oleh-oleh yang berharga selama pulang ke kampung. Setiap orang bepergian memang selalu diharapkan oleh-olehnya.

Puncak histeria budaya pada hari raya Lebaran (1 Syawwal). Setiap keluarga akan memperlihatkan keberhasilan anak-anak mereka selama merantau kepada orang lain. Ada kisah sukses selama merantau di kota. Ada banyak uang dan barang-barang mewah yang jadi buah bibir. Seseorang akan merasa prestise jika mengaku sudah sukses merantau di kota. Lebaran tiba-tiba menjelma menjadi ajang prestise.


Inilah fenomena ketika Lebaran sudah menjelma menjadi histeria kebudayaan.