Senin, 19 November 2007

Kekuatan Politik Indonesia di Pentas Internasional

Sewaktu mendengar berita bahwa Indonesia mulai bulan November ini bakal menjadi ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), rasa nasionalisme saya langsung tergugah. Akhirnya, bangsa ini punya kesempatan untuk unjuk gigi di pentas internasional. Tetapi, mendadak saya langsung berkecil hati. Sewaktu mendengar pernyataan Amien Rais baru-baru ini, perasaan saya makin pesimis. Sekalipun Indonesia mendapat jatah memimpin Sidang Umum di Dewan Keamanan PBB, tetapi bukan berarti kita bisa memainkan peran-peran strategis di pentas internasional.
Hari Minggu sore (28/10), saya tandang ke kediaman tokoh reformasi ini di Pandean Sari (Yogyakarta). Sore itu, hujan turun untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Namun tekad saya untuk bertemu dengan tokoh reformasi ini tidak luntur. Saya rela menuggu lumayan lama hanya untuk bisa bertemu dengannya. Tepat pukul 17.00, saya baru bisa bertemu dan berbincang-bincang dengannya.
Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menanyakan perihal peluang Indonesia unjuk gigi di pentas internasional. Dengan menempati posisi sebagai ketua Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, tentunya Indonesia bisa memainkan perannya dalam menyelesaikan isu-isu internasional. Konon, jabatan ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan PPB merupakan jabatan bergilir. Dan, Indonesia mendapatkan kesempatan emas tersebut kali ini.
Sekalipun saya ajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan peran strategis ini, tetapi anehnya Amien Rais tidak banyak menyikapi secara positif. Dia kelihatan agak pesimis. "Sebagai bangsa, kita memang harus realistis. Bobot internasional Indonesia amat enteng" komentarnya.
Amien Rais kembali menjelaskan, "Ada sebuah rumus bahwa politik luar negeri sebuah bangsa merupakan sisi lain dari keadaan dalam negerinya." Saya yang tidak pernah mengenyam pendidikan politik di perguruan tinggi berusaha memahami teori yang disampaikan oleh Amien Rais ini.
"Kalau sebuah negara keadaan ekonominya masih morat-marit, kesejahteraan sosialnya masih "jauh panggang daripada api", kemudian pengangguran makin membengkak dan lain-lain, maka bobot internasionalnya menjadi sangat enteng" kata Amien menjelaskan. "Sementara negara yang kuat ekonominya, stabil politiknya, apalagi sentosa militernya, itu menjadi berat bobot politik internasionalnya" tambahnya.
Sejenak saya langsung sadar. Rasa optimisme saya tiba-tiba menjadi ambyar. Setelah mendengar penjelasan dari Amien Rais, saya memang tidak lagi berharap banyak. Sekalipun Indonesia mendapat peluang emas menjadi ketua Sidang Umum Dewan Keamanan di PBB, tetapi kita tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa bobot politik bangsa ini masih teramat enteng.
Harus saya akui, memang persoalan-persoalan domestik di Indonesia tidak pernah kunjung selesai. Perekonomian masih tergantung kepada kekuatan asing. Di Indonesia, kesejahteraan sosial masih di awang-awang. Angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Sementara melihat sistem perpolitikan di tanah air, sekalipun pasca reformasi, ternyata belum juga menunjukkan tanda-tanda stabil. Mentalitas para politisi kita juga belum satupun yang menampakkan diri sebagai figur negarawan. Sikap para anggota dewan (DPR) juga masih kekanak-kanakan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat sendiri. Di tengah-tengah himpitan ekonomi sulit, para anggota dewan ramai-ramai merencanakan kenaikan gaji. Sementara beberapa elit politik tidak memiliki jiwa negarawan sehingga setiap pemimpin yang tampil ke pentas nasional selalu diganjal.
Jika melihat sepintas sistem pertahanan nasional kita, ternyata masih amat memprihatinkan. Bayangkan saja, seandainya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura memasuki atau menyerang wilayah teritorial Indonesia, dipastikan bangsa ini akan kalah dalam konfrontasi fisik. Sebab, sistem pertahanan nasional kita masih amat lemah. Persenjataan yang kita miliki juga masih amat terbatas. Padahal, wilayah teritorial Indonesia begitu luasnya. Bahkan, sampai saat ini ternyata masih terdapat kawasan yang belum terjamah oleh kekuatan sistem pertahanan kita. Akibatnya, penyelundupan barang-barang illegal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, begitu leluasa menyerobot masuk ke wilayah perairan kita. Tentu ini sangat memprihatinkan.
Lebih dari itu. Bobot politik internasional suatu bangsa juga ditentukan oleh ketegasan sikap dan karakter kepala negaranya. Memang situasi domestik suatu negara menjadi faktor penentu kekuatan politik internasional suatu bangsa. Tetapi ketegasan sikap dan karakter kepala negara juga amat mempengaruhi kekuatan politik suatu bangsa.
Sewaktu Presiden SBY berpidato di depan Sidang Umum PBB beberapa bulan yang lalu, pemandangan yang cukup tragis terjadi. Beberapa delegasi dari negara-negara lain justru memilih mengosongkan kursi. Kira-kira hanya sekitar 25% saja yang masih bertahan duduk sambil mengikuti pidato presiden SBY. Fenomena semacam ini jelas-jelas menjadi sebuah indikasi bahwa bobot politk luar negeri kita masih enteng. Artinya, kita memang masih dianggap remeh oleh bangsa-bangsa lain.
Pemandangan yang kontras justru terjadi ketika presiden Iran Mahmud Ahmadinejad berpidato depan Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Atau ketika giliran pidato Hugo Chaves (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia). Hampir dipastikan setiap kursi akan penuh diduduki oleh seluruh delegasi dari negara-negara di dunia. Artinya, bobot politik internasional Iran, Venezuela, dan Bolivia diakui oleh dunia.
Mahmud Ahmadinejad dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan memiliki karakter yang kuat. Dirinya berani menentang kebijakan Amerika Serikat yang menjadi simbol kapitalisme. Sementara Hugo Chaves dan Evo Morales adalah figur-figur pemimpin yang dengan lantang menyatakan perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang disponsori oleh Gedung Putih (Amerika Serikat).
Pada bulan November ini, bangsa Indonesia memang mendapat jatah giliran menjadi ketua umum dalam sidang dewan keamanan PBB. Tentu, jabatan tersebut amat berharga. Secara politik, jabatan tersebut juga amat strategis. Lewat Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, Indonesia bisa terlibat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan internasional, terutama yang mengangkut kepentingan politik bangsa. Hanya saja saya jadi pesimis setelah melihat kenyataan bahwa politik internasional Indonesia masih kurang diperhitungkan. Bangsa-bangsa lain masih menganggap kita remeh. Dan, anggapan remeh tersebut disebabkan karena kondisi dalam negeri yang carut-marut dan faktor pemimpin yang tidak memiliki karakter tegas. (Mu'arif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar