Minggu, 23 Desember 2007

“Liberalisasi” dan “Liberalisme” Pemikiran Islam

Sekalipun tema “Liberalisasi” dan “Liberalisme” pemikiran Islam sudah lewat beberapa tahun yang silam, tetapi sampai sejauh ini masih banyak kalangan yang mempersoalkannya kembali. Tulisan terakhir yang mengritisi dua tema ini seperti Haris Booegies dalam “Gemuruh Riuh Islam Liberal” (2007). Tanpa bermaksud membela Islam Liberal (Islib), saya ingin menegaskan di sini bahwa pemikiran Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—dan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki kontribusi positif bagi dinamika pemikiran Islam di Indonesia.
Pemikiran Cak Nur
Cak Nur, cendekiawan Muslim yang patut dijuluki sebagai “Begawan Islam Pluralis” ini, memang membedakan antara ranah agama dan budaya. Islam secara normatif—meminjam istilah Amin Abdullah—sudah baku. Tetapi, secara historis (budaya) bersifat dinamis. Sebab, aspek historisitas berada dalam dimensi temporal (ruang dan waktu). Das sollen, Islam adalah tetap atau sudah baku (normatif). Das sein, Islam harus dinamis mengikuti perkembangan zaman (historis). Di sini, menurut Harun Nasution (2000), Cak Nur telah melakukan proses “rasionalisasi” untuk memisahkan keduanya.
Pemikiran Cak Nur menawarkan “sekulerisasi” (bedakan dengan sekulerisme) sebagai solusi untuk memecah kebuntuan pemikiran Islam. Di mata Cak Nur, umat Islam belum mampu menerjemahkan agama Islam secara nyata ke dalam dunia yang serba temporal. Akibatnya, ajaran-ajaran Islam menjadi kian melangit. Usaha untuk melendingkan gagasan Islam yang melangit diperlukan proses “sekulerisasi” yang sesungguhnya sejalan dengan “rasionalisasi.”
Ketika Cak Nur menerjemahkan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah” menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” (dengan pembeda huruf kapital) sebenarnya ia sedang membedakan secara tegas makna kata yang sering digunakan untuk menyebut “obyek sesembahan” dalam konteks budaya dan makna hakikinya. Jika Abdul Haris Booegies merujuk pendapat Louis Ma’luf Al-Yasu’i bahwa kata “Allah” pada kalimat tauhid merupakan nama yang tak tergantikan oleh apa saja (ismun dzati). Tetapi menurut saya ini menjadi problem semiotik yang belum sempat terjawab. Bahasa Arab itu serumpun dengan bahasa Indo-Eropa seperti Ibrani, Suryani, dan lain-lain. Jika kita menggunakan perspektif ini (budaya), maka nama tuhan “Allah” memiliki banyak arti.
Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks (2004: 83-84), Nabi Ibrahim disinyalir memperkenalkan nama “El” untuk menyebut tuhannya sewaktu tinggal di Palestina (Nablus) pada sekitar 2091 Sebelum Masehi (SM). Penggunaan nama “El” merupakan bentuk akulturasi antara budaya setempat (Kanaan) dengan keyakinan yang dibawa oleh Ibrahim. Orang-orang Kanaan menyebut “El” sebagai “Dewa Ayah.” Dari kata El—yang pada dasarnya setara dengan kata “Tuhan” (sesembahan)—kemudian bermetamorfosa dalam bahasa Indo-Eropa menjadi “Il,” “El,” “Al” (lihat Nurcholish Madjid, 1992: xxii).
Dalam konteks budaya Arab, nama tuhan “Allah” sudah dipakai sebelum masa kenabian Muhammad saw. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” berasal dari kata “Ilah” (ismu fa’il) yang artinya “sesembahan”. Sekalipun demikian, kata ini (Ilah) memiliki dua makna sekaligus (ganda): sebagai “subyek” dan “obyek.”
Saya ambil contoh. Kata “kitab” (ismu fa’il) secara tidak langsung bermakna sebagai “subyek” (pelaku/fa’il) sekaligus “obyek” (sesuatu yang ditulis). Demikian halnya dengan kata “Ilah.” Ia bermakna ganda: subyek sesembahan sekaligus obyek (ma’luh). Di sini problem semiotik masih sering dipersoalkan.
Orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad saw sudah terbiasa menggunakan kata “Allah” untuk “sumpah” (qasam). Seperti kata “Wallahi,” “Tallahi,” “Billahi,” dan lain-lain. Atas dasar inilah, nama Allah termasuk dalam konteks budaya setempat (Arab). Sementara pada makna leksikal berdasarkan latarbelakang historisnya cenderung mengundang konotasi paganisme. Tetapi, perlu diingat, kenabian Muhammad saw telah menyelamatkan kita dari persepsi ketuhanan yang paganistik ini. Dengan memahami Nama-nama (al-asma al-husna) dan Sifat-sifat wajib bagi Allah, persepsi kita telah diselamatkan dari keyakinan paganistik tersebut.
Gagasan Cak Nur sewaktu menerjemahkan kalimat tauhid menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” merupakan bentuk takhshish. Sebab, kalimat tauhid jika diterjemah ke dalam bahasa Indonesia memang sangat riskan. Perlu dicermati pula, gagasan Cak Nur ini hanya relevan dalam konteks memahami bahasa dalam bentuk “simbol,” bukan sebagai “ujaran.”
JIL
Sementara gagasan Islam Liberal—sekalipun saya lebih sepakat menyebut pelakunya yang liberal (Muslim Liberal)—merupakan sebuah “stimulus baru” yang bisa memacu dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Mungkin beberapa butir gagasan yang dilontarkan oleh Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 18/11/2002) kurang berkenan di kalangan umat Islam sendiri. Tetapi, saya lebih mengambil hikmahnya ketimbang kontroversinya.
Di ranah pemikiran keislaman, kita tidak bisa bersikap statis. Zaman terus berubah sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia juga senantiasa berubah. Ranah pemikiran keislaman bersentuhan langsung dengan zaman yang terus berubah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan spirit penggerak baru agar pemikiran Islam tidak mengendap lalu mengkristal sehingga ajaran-ajaran Islam makin melangit, tidak membumi.
Sekalipun demikian, para aktivis JIL juga perlu mendapat kritik balik untuk meluruskan. Jika tidak, proses rasionalisasi akan kebablasan menjurus pada “sekulerisme.” Saya melihat peran para aktivis JIL ibarat “gas” yang sewaktu-waktu membutuhkan “rem” dari para ulama atau cendekiawan lain. Tentu saja masing-masing harus mengedepankan sikap saling terbuka dan selalu menggunakan pemikiran jernih agar setiap wacana yang bergulir tidak berujung pada justifikasi “sesat” atau “murtad.”
Di era serba keterbukaan seperti sekarang ini, klaim merasa paling benar (truth claim) sudah tidak mendapat tempat lagi. Kebenaran tidak dimonopoli oleh seseorang atau kelompok tertentu. Kebenaran adalah milik semua dan ia selalu dalam proses pencarian. (Mu'arif)

1 komentar:

  1. jelas apa yang anda katakan itu adalah apa yang memang seharusnya anda katakan, karena ummat islam sekarang sudah sangat di kaburkan dengan agamanya sendiri jadi wajar kalau orang-orang yang mengaku dirinya muslim sekarang itu sebenarnya hanya ikut-ikutan saja (taklid buta) itulah pengaruh dari paham-paham yang sangat tidak bertanggung jawab...

    BalasHapus