Selasa, 11 September 2018

Djojosoegito, Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah Pendiri PIRI

Ngabehi Djojosoegito
Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Djojosoegito seorang intelektual pribumi lulusan pendidikan Belanda yang mengabdi pertama kali di Muhammadiyah pada periode K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Ibrahim. Pertama kali masuk jajaran hoofdbestuur Muhammadiyah pada 1918, Ngabehi Djojosoegito menjabat sebagai Sekretaris I menggantikan posisi Haji Fachrodin. Jabatan Sekretaris II dipegang oleh Moh. Hoesni, seorang intelektual progresif.
Ngabehi Djojosoegito adalah seorang intelektual progresif yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kepada Djojosoegito, Ki Bagus Hadikusumo pernah belajar bahasa Belanda.
Adapun Moh. Hoesni seorang intelektual progresif yang memiliki visi keagamaan modernis. Dalam Peringatan Perkumpulan Tahunan Muhammadiyah tanggal 30 Maret sampai 2 April 1923 di Yogyakarta, dia memberi peringatan dan menyadarkan pengurus dan anggota Muhammadiyah yang baru saja kehilangan pendiri Muhammadiyah. Kata Moh. Hoesni, “Adakah kemajuanmu itu karena K.H. Ahmad Dahlan? Atau adakah kema­juanmu itu karena Allah? Jika kemajuanmu itu karena K.H. Ahmad Dahlan, sekarang ia sudah meninggalkan dunia, meninggalkan kamu, diambil oleh yang mempunyai dan menguasai dia. Tetapi jika kemaju­anmu kepada kebajikan itu karena Allah, ketahuilah, bahwa Allah itu tiada meninggal selama-lamanya.”
Pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Djojosoegito terpilih sebagai Sekretaris I sejak tahun 1918-1922. Selanjutnya, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Djojosoegito menjabat sebagai sekretaris sejak tahun 1923-1928. Pada Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, nama Ngabehi Djojosoegito sudah tidak tercantum dalam daftar hoofdbestuur Muhammadiyah bersama Moh. Hoesni. Sejak tahun 1929, jabatan sekretaris hoofdbestuur Muhammadiyah dipegang oleh M. Junus Anies. Kemudian, pada tanggal 16 Juni 1929, perubahan struktur hoofdbestuur Muhammadiyah menempatkan H. Hasjim sebegai Sekretaris I dan M. Junus Anies sebagai Sekretaris II.
Pada tahun 1924, seorang propagandis Ahmadiyah aliran Lahore bernama Mirza Wali Ahmad Beg berkunjung ke Yogyakarta menyampaikan pandangan keagamaan versi Ahmadiyah di rumah R. Soetopo. Selanjutnya, propagandis Ahmadiyah ini juga mengisi pengajian di Masjid Perempuan Muhammadiyah di Kauman pada tanggal 28 Maret 1924. Pidato Mirza Wali Ahmad Beg sangat modernis sehingga mempengaruhi beberapa aktivis Muhammadiyah yang berhaluan modern. Di antara aktivis Muhammadiyah yang terpengaruh oleh pemikiran Mirza Wali Ahmad Beg adalah Ngabehi Djojoseogito dan Moh. Hoesni.
Pada tahun 1925, Haji Fachrodin melakukan wawancara yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham keagamaan Ahmadiyah. Dalam wawancara tersebut, Mirza Wali Ahmad Beg dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan seputar paham kenabian Ghulam Ahmad. Pada tahun 1926, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah Buya HAMKA, berdebat dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham kontroversial kenabian Ghulam Ahmad. Perdebatan ini dimenangkan oleh Haji Rasul sehingga pendukung Mirza Wali Ahmad Beg terkucilkan. Di antara tokoh Muhammadiyah pendukung Mirza Wali Ahmad Beg ialah Djojosoegito dan Moh. Husni.   
Terhitung sejak Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, nama Ngabehi Djojosoegito dan Moh. Hoesni tidak tercantum dalam daftar hoofdbestuur Muhammadiyah, karena keduanya sudah keluar dari Muhammadiyah dan mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore. Salah satu keputusan Congres Muhammadiyah ke-18 menegaskan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir.”
Djojosoegito dan Moh. Husni dikeluarkan dari hoofdbestuur Muhammadiyah. Atas dukungan Mirza Wali Ahmad Beg, Djojosoegito dan Moh. Husni mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore di Indonesia. Djojosoegito menjabat sebagai ketua pertama.
Organisasi Ahmadiyah aliran Lahore bercorak modern liberal. Ketika umat Islam di Indonesia masih asing dengan al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa selain bahasa Arab, organisasi Ahmadiyah sudah menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Bahkan Djojosoegito menerjemahkan Tafsir Al-Qur’an karya Maulana Muhammad Ali dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa. Tetapi langkah gerakan Ahmadiyah ini kemudian diikuti oleh organisasi Islam modern lain, termasuk Muhammadiyah. [Mu’arif]

Senin, 10 September 2018

KRH. Hadjid, Ulama Kharismatik Muhammadiyah

KRH. Hadjid
K.R.H. Hadjid lahir di Yogyakarta pada tahun 1989. Dia salah seorang santri didikan langsung dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Setelah ber-Sekolah Rendah umum dan belajar Agama, beliau naik haji ke Makkah sambil mengaji di sana. Kembali dari Makkah, mengaji di Pesantren Jamsaren dan Madrasah Mambaul Ulum di Solo. Kemudian pindah ke Pesantren Termas, Pacitan dan Madrasah Al-Atas di Jakarta. Selama lima tahun, dari tahun 1917-1922, beliau menjadi santri langsung dari K.H. Ahmad Dahlan, untuk menjadi kader Muhammadiyah. Beliau banyak belajar sendiri dengan cara membaca dan melakukan munadharah dengan K.H. Bakir Shaleh.
Dalam Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid mendapat tugas khusus dari K.H. Ahmad Dahlan bersama dengan K.H. Mochtar dan H.M. Syarbini membentuk kepanduan Muhammadiyah, yang kemudian dikenal dengan nama Hizbul Wathan (HW). Hizbul Wathan adalah usul K.R.H. Hadjid untuk memberi nama kepanduan ini. K.R.H. Hadjid bersama K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dalam proses penerbitan majalah Suara Muhammadiyah sebagai redaksi. Dalam box redaksi Suara Muhammadiyah tahun 1921, nama K.R.H. Hadjid tercantum sebagai redaksi bersama K.H. Ahmad Dahlan, H.M. Hisyam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, dan Ngabehi Djojosoegito.
K.R.H. Hadjid pernah menjadi guru Standaard School dan HIS Muhammadiyah. Kemudian dia  pernah menjadi Kepala Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah di Yogyakarta. Pernah juga menjadi dosen di Akademi Tabligh yang kemudian menjadi FIAD Universitas Muhammadiyah.
Dalam kepengurusan Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Ketua Majlis Tabligh. Jabatan terakhirnya adalah sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (periode H.M. Junus Anies).
Di samping aktif di Muhammadiyah, K.R.H. Hadjid bergerak di bidang politik dengan terjun di Sarekat Islam (SI) bersama K.H. Ahmad Dahlan. K.R.H. Hadjid aktif menentang kebijakan Ordonansi Sekolah Liar untuk menghambat perkembangan sekolah-sekolah swasta bersama Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya.
Bersama Haji Fachrodin, K.R.H. Hadjid pernah menjabat sebagai Ketua Bestuur Umat Islam yang menggelar pawai akbar di Alun-alun Utara dalam rangka peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw pada tahun 1925. Pawai akbar peringatan Isra Mi’raj pada tahun 1925 sangat fenomenal karena sebanyak 35.000 kaum Muslimin berhasil dikumpulkan di Alun-alun Utara Yogyakarta. Di tangan masing-masing peserta pawai tergenggam bendera hijau berlambang matahari dan dua kalimah syahadat. Seribu orang Pandu Hizbul-Wathan siap dengan terompet dan genderang untuk menjadi pelopor pawai. Tetapi pawai akbar ini gagal karena Resident Yogyakarta tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan kegiatan massal ini.     
Pada masa pendudukan Jepang, mendekati persiapan kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Masyumi (belum jadi partai), K.R.H. Hadjid menjadi ketua Masyumi Yogyakarta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dibentuk Komite Nasional lndonesia (KNI) di daerah-daerah, beliau menjadi Wakil Ketua II KNI Yogyakarta dengan ketua Mohammad Saleh Werdisastro.
Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, K.R.H. Hadjid aktif berjuang angkat senjata. Beliau ikut membentuk Markas Ulama dan menjadi Wakil Imam Angkatan Perang Sabil (APS). K.R.H. Hadjid juga menjadi ketua Hizbullah periode pertama.
Ketika terbentuk Partai Islam Masyumi, K.H. Hadjid menjadi Makil Ketua Majlis Syura Pusat dan pada tahun 1957 menjadi anggota Konstituante dari Fraksi
Masyumi.
K.H.R. Hadjid meninggal dunia pada malam Jumat tanggal 22 Desember 1977 di rumah kediamannya di Kauman GM 4/189 setelah sebelumnya pernah dirawat di RS PKU Muhammadiyah. Beliau meninggalkan 10 putra-putri, 21 cucu dan 7 orang cicit. Putra sulung beliau H.R. Haiban Hadjid, mantan Kepala Jawatan Pendidikan Agama DIY dan ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah DIY. Putra beliau, M. Zar’an Hadjid, seorang Panca dan Legium Veteran. [Mu’arif]

Minggu, 09 September 2018

Tan Malaka: Ki Bagus Hadikusuma Sang Penyejuk

Ki Bagus Hadikusuma
Selain aktif sebagai muballigh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif di Sarekat Islam (SI). Dalam sebuah pertemuan besar tokoh-tokoh SI, Ki Bagus Hadikusumo tampil sebagai penengah. Perdebatan sengit di antara tokoh-tokoh SI-Merah dan SI-Putih mengancam perpecahan dalam tubuh SI. Ki Bagus tampil sebagai penenang di antara dua kelompok yang sedang bertikai. Ki Bagus mengatakan bahwa pada saat genting, umat Islam perlu persatuan dalam perjuangan. Dia sempat mengecam dan menganggap sesat orang Islam yang tidak menyetujui persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Tan Malaka, seorang tokoh Sosialis yang misterius, dalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara, menyebut Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh “penyejuk.” 
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Yogyakarta pada hari Senin tanggal 24 November 1890 M dengan nama kecil Hidayat. Beliau adalah putra dari R.H. Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Hidayat adalah adik kandung H. Syuja’ (Daniel) dan H. Fachrodin (Djazuli). Pendidikan Ki Bagus hanya SD, kemudian masuk pondok pesantren di Wonokromo dan Pekalongan. Pernah menjadi ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian Tabligh pada 1923, ketua Majlis Tarjih pada masa kepemimpinan K.H. Hisyam, dan Wakil Ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur, dan mendapat amanat sebagai ketua HB Muhammadiyah periode 1944-1953. 
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan. K.H. Mas Mansur dipercaya sebagai salah satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bentukan Jepang. Dia terpaksa harus pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua HB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Dia menerima penyerahan kepemimpinan dari K.H. Mas Mansur dan menempatkan K.H. Ahmad Badawi sebagai Wakil Ketua.
Ki Bagus Hadikusumo dipilih sebagai ketua HB Muhammadiyah pada tahun 1944 dalam Pertemuan Silaturahmi Muhammadiyah se-Jawa, karena memang beliau yang bersemangat menghidupkan kembali Muhammadiyah setelah dibekukan oleh Jepang. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Ki Bagus Hadikusumo kembali terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah.
Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD). Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”
Dalam perdebatan di sidang PPKI, Ki Bagus terkesan kolot dan kaku. Dia adalah tokoh yang paling keras memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara. Salah satu yang membedakan Ki Bagus dengan tokoh yang lain ialah sikapnya yang “keras kepala.” Namun demikian, dia juga memiliki pandangan yang luas tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Dia paham tentang keberagaman masyarakat di sekelilingnya. Keberagaman apabila tidak disikapi dengan cara bijaksana akan menyebabkan perpecahan. Dia paham betul bagaimana rentannya perselisihan golongan, baik suku, ras, maupun agama pada saat itu. Dengan penuh kelapangan hati, dia kemudian rela mengalah untuk menerima penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, sehingga Dasar Negara Indonesia, terutama sila pertama, “Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya,” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa.
Meskipun secara eksplisit tidak dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Bersama dengan Profesor K.H. Abdul Kahar Muzakkir, beliau menerima Pancasila dengan syarat Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai Tauhid. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Ki Bagus Hadikusumo cukup produktif menulis buku. Beberapa buku karangannya antara lain, Islam Sebagai Dasar Negara, Achlaq Pemimpin, Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Ki Bagus Hadikusumo wafat pada hari Jumat 3 September 1954. [Mu'arif]