Minggu, 22 Juni 2008

Sadar Budaya Baca

Laporan World Bank dalam Education in Indonesia-From Crisis to Recovery (1998) memaparkan bahwa minat dan kemampuan baca anak-anak Indonesia amat rendah. Minat baca untuk siswa-siswa kelas enam SD dinilai 51,7. Nilai ini merupakan paling rendah di antara minat baca anak-anak bangsa lain setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5). Oleh Ki Supriyoko, minat dan kemampuan membaca anak-anak Indonesia dinilai paling buruk dibandingkan anak-anak dari negara-negara lain (Ki Supriyoko, 2004).

Berdasarkan data BPS 2003 disebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun membaca koran sekitar 55,11 %. Sedangkan yang membaca tabloid atau majalah hanya sebesar 29,22 %. Untuk penduduk yang membaca buku kategori fiksi sebesar 44,28 %. Selebihnya, yaitu sekitar 21,07 %, mereka membaca buku pengetahuan. Apabila dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun sebelumnya (1993), maka akan kita dapati kenaikan tingkat membaca buku hanya sebesar 0,2 %. Namun, terdapat sesuatu yang cukup unik dan sekaligus mencengangkan di sini. Jika budaya baca tidak berkembang di negeri ini, tetapi penduduk Indonesia secara umum mengalami peningkatan dalam tradisi menonton televisi (21,1 %). Kemudian, data BPS 2006 juga menunjukkan bahwa penduduk yang mendapatkan informasi lewat cara membaca baru mencapai 23, 5 %. Kondisi yang demikian jelas amat kontras dengan jumlah penduduk yang menggunakan sarana televisi untuk memperoleh informasi yang mencapai 85,9 % (Surachman Nugroho, 2007).

Sebuah perspektif menyebutkan bahwa sumber utama permasalahan ini bukan terletak pada faktor mentalitas bangsa, tetapi merupakan dampak dari sistem politik yang tidak pernah beres. Kebijakan-kebijakan strategis sering dimanfaatkan oleh segelintir oknum sehingga kepentingan rakyat tercampakkan. Dengan demikian, kondisi SDM bangsa ini merupakan bagian dari "problem struktural" yang tidak pernah beres.

Masalah kesejahteraan yang belum pernah terwujud di negeri ini sering menjadi "kambing hitam" untuk menyikapi kualitas SDM yang boleh dikata terus menurun. Penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan tidak mungkin sempat memikirkan untuk membeli buku atau media cetak.

Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 7-8 Februari 2005 disebutkan bahwa minimnya buku-buku yang dibeli oleh masyarakat disebabkan karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja kesulitan, apalagi memikirkan untuk membeli buku. Boro-boro beli buku atau koran, buat beli makan saja masih kesulitan, begitu kira-kira analoginya.

Kita memang tidak bisa menutup mata atas fenomena kemiskinan di Indonesia. Harus diakui, angka kemiskinan masih cukup dominan. Menurut data BPS tahun 2005-2006, jumlah angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 jumlah angka kemiskinan naik mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).

Secara logis memang perspektif di atas memang dapat diterima. Sebab, budaya baca memang ditopang oleh minat baca. Kemudian, minat baca ditopang pula oleh kondisi ekonomi yang mapan. Faktor kesejahteraan hidup sangat mempengaruhi daya beli terhadap buku.

Tetapi, apakah benar faktor kemapanan ekonomi sangat menentukan bagi perkembangan budaya baca? Sebab, berdasarkan data BPS 2006, bangsa Indonesia mengalami peningkatan dalam hal perolehan informasi dari televisi yang mencapai sebesar 85,9 %. Padahal, bangsa ini sudah divonis sebagai bangsa miskin. Bangsa Indonesia terus terpuruk dalam krisis multidimensional.

Tampaknya, argumentasi bahwa faktor kemapanan ekonomi mempengaruhi budaya baca atau kualitas SDM bangsa agak lemah. Bagaimana mungkin bangsa yang sudah divonis miskin justru lebih akrab dengan barang-barang mewah atau teknologi informasi?

Di Indonesia, budaya baca makin langka, tetapi produk-produk teknologi informasi yang canggih mewarnai kehidupan sehari-hari. Televisi sudah mewabah di Indonesia. Percaya atau tidak, anak-anak di Indonesia lebih banyak menonton televisi dibanding anak-anak Kanada, Australia, dan Amerika. Penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adolesc Med 2005 berhasil mengungkap fakta ini. Kesimpulan yang cukup mengagetkan dari penelitian ini, anak di bawah 3 tahun yang menonton televisi mengalami gejala penurunan uji membaca, uji membaca komprehensif, dan penurunan memori.

Berangkat dari sinilah, menurut penulis, lemahnya budaya baca merupakan cermin dari problem mentalitas. Harus diakui bahwa bangsa ini belum bisa menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan. Bangsa Indonesia juga cenderung konsumtif dan berpikir instan.

Survei yang dilakukan oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (2007) telah memberi gambaran nyata akan karakteristik mentalitas bangsa ini. Berdasarkan survei tersebut, ternyata penduduk Indonesia jauh lebih mementingkan untuk beli rokok ketimbang beli koran atau buku-buku. Dari sini sudah dapat dipastikan bahwa membaca sudah menjadi sesuatu yang tidak akrab bagi kehidupan bangsa Indonesia (Kompas, 9/2/2007).

Bangsa Indonesia tengah dilanda penyakit mental yang cukup akut. Kualitas SDM bangsa ini berada diurutan paling bawah di antara bangsa-bangsa lain. Belum lagi karakteristik mentalitas bangsa ini yang menjadi makin konsumtif dan cenderung berpikir instan. Bangsa ini tidak siap menghadapi kepungan arus globalisasi dengan mewabahnya teknologi informasi. Di samping itu, bangsa ini juga jadi "pelupa" ketika a-historis membaca sejarah peradabannya sendiri. Kasus penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menunjukkan seakan-akan kita lupa bahwa di zaman dahulu, negari jiran ini merupakan bagian dari wilayah Nusantara.

Seluruh elemen bangsa Indonesia perlu menyadari penyakit akut ini. Untuk mengobatinya, menurut penulis, diperlukan upaya membangun kesadaran akan pentingnya budaya baca dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kampanye-kampanye budaya baca harus mendapat dukungan bagi pemerintah. Proses penyadaran juga perlu terus dilakukan lewat LSM-LSM yang selama ini getol menyuarakan gerakan gemar membaca. (Mu'arif)

Muhammadiyah dan Politik Kebangsaan

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, sering berpesan agar partai yang diusung oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tidak perlu mengklaim dukungan dari Muhammadiyah. Sebagai "anak kandung" Muhammadiyah, Partai Matahari Bangsa (PMB) jelas akan didukung secara moral oleh PP Muhammadiyah, tetapi tidak secara struktural lewat kebijakan organisasi.

High Politic
Wilayah politik praktis memang bukan menjadi garapan Muhammadiyah. Tetapi Muhammadiyah sendiri tidak pernah bisa menghindar dari politik kekuasaan. Kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada masa Orde Lama menjadi catatan tersendiri bahwa Muhammadiyah pernah terlibat dalam politik praktis.

Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Untuk saluran politik kekuasaan, Muhammadiyah membentuk partai politik di luar organisasi. Hubungan antara Muhammadiyah dengan partai yang telah dilahirkan ini hanya sebatas ideologis, tidak secara organisatoris.

Membaca latarbelakang Khittah Ponorogo tentu tidak lahir secara kebetulan. Menurut Haedar Nashir (2007), lahirnya khittah tahun 1969 merupakan sebuah terobosan dalam rangka merehabilitasi Partai Masyumi. Khittah Ponorogo ini menjadi legitimasi bagi Muhammadiyah untuk mendirikan Parmusi. Sayangnya, partai ini gagal sehingga Khittah Ponorogo kemudian "dinasakh"—meminjam istilah Haedar Nashir—lewat Khittah Ujung Pandang (1971).

Karena politik praktis terlalu banyak merugikan gerakan Muhammadiyah (kemasyarakatan), maka lewat Khittah Ujung Pandang dirumuskan supaya persyarikatan ini kembali ke barak. Lewat Khittah 1971 ini, Muhammadiyah menjaga jarak dengan partai manapun. Muhammadiyah juga tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun.

Sekalipun demikian, Muhammadiyah tetap tidak bisa menutup mata terhadap realitas perpolitikan di tanah air. Sewaktu Amien Rais menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1994-1998), Muhammadiyah menjadi "kekuatan politik" yang amat diperhitungkan dalam pentas perpolitikan di tanah air. Bahkan, persyarikatan ini dianggap memiliki kontribusi besar terhadap bergulirnya proses reformasi (1998).

Perlu dicatat di sini, sekalipun Amien Rais tidak membawa Muhammadiyah ke dalam pentas perpolitikan di tanah air waktu itu, tetapi statusnya sebagai ketua umum jelas merepresentasikan politik Muhammadiyah.

Pasca reformasi, Muhammadiyah kembali dihadapkan kepada dilemma politik. Sebab, di satu sisi Khittah Ujung Pandang menjadi dasar kebijakan organisasi yang harus ditaati, namun pada sisi lain realitas perpolitikan di tanah air menghendakinya supaya terlibat langsung dalam politik praktis. Sewaktu kepemimpinan Ahmad Syafi’i Ma’arif yang kedua kalinya (1998-2000 dan 2000-2005), Persyarikatan Muhammadiyah digiring jauh ke dalam politik praktis. Sidang Pleno Diperluas PP Muhammadiyah tanggal 9-10 Februari 2004 di Yogyakarta telah memutuskan untuk dukungan kepada Amien Rais sebagai calon presiden (capres). Secara otomatis, keputusan Pleno Diperluas ini telah menggiring Muhammadiyah supaya mendukung partai yang mengusung Amien Rais sebagai capres (PAN). Yang cukup ironis, keputusan ini justru muncul setelah beberapa pejabat tinggi partai tersebut memberikan tekanan secara bertubi-tubi kepada jajaran PP Muhammadiyah.

Belajar dari Pengalaman
Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dalam catatan panjang sejarah Muhammadiyah, ternyata ormas ini tidak mampu berkelit dari hingar-bingar politik kekuasaan. Sekalipun Khittah Ujung Pandang sudah membentengi agar Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun (termasuk PMB dan PAN), nyatanya persyarikatan ini sering terperosok ke dalam hingar-bingar politik kekuasaan.

Jika saja Muhammadiyah melakukan aksi isolasi diri terhadap kepentingan kekuasaan, maka sikap tersebut bakal menghambat cita-cita gerakan. Tetapi, terdapat dorongan kuat agar Muhammadiyah tidak terjebak dalam eforia politik yang cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, Muhammadiyah memang harus sadar bahwa politik merupakan bagian dari kehidupan umat.

Menurut hemat penulis, Muhammadiyah harus bisa mengambil pelajaran dari catatan sejarahnya yang telah berkali-kali terlibat dalam politik kekuasaan. Termasuk dalam konteks menyikapi kelahiran PMB yang merupakan "anak kandung" Muhammadiyah, maka persyarikatan ini harus tetap mampu menjaga jarak.

Namun demikian, Muhammadiyah juga harus bersikap secara bijaksana. Bagaimanapun juga, "syahwat politik" AMM bukan untuk dibendung, tetapi memang untuk disalurkan. Saluran syahwat politik yang legal dalam konteks kehidupan demokrasi adalah lewat partai. Jika selama ini banyak cendekiawan Muhammadiyah mengritisi kemunculan partai berbasis Muhammadiyah, maka di sini penulis sangat tidak sepakat. Sebab, syahwat politik bukan untuk dikekang, tetapi disalurkan secara benar sesuai dengan konstitusi yang berlalu di tanah air ini.

Mulai saat ini, apa yang harus dilakukan oleh PMB adalah memberikan "keteladanan politik" (uswah hasanah)—meminjam istilah Ma’mun Murad Al-Barbasy (2008)—di pentas perpolitikan nasional. Sampai saat ini, para politisi kita masih banyak yang belum memiliki integritas moral. Bahkan, para politisi Muslim kita, baik para ustad atau kyai yang terlibat dalam partai-partai politik, banyak memperlihatkan perilaku yang tidak istiqamah. Hanya karena kepentingan politik, integritas moral digadaikan. "Esuk dele, sore tempe," itu fenomena yang sudah biasa dalam pentas perpolitikan di Indonesia.

Kehadiran PMB yang sudah membentuk kepengurusan di 32 propinsi memang harus mampu menampilkan keteladanan politik bagi umat Islam di Indonesia. Karena PMB dilahirkan oleh warga Muhammadiyah, maka visi dan misinya tidak akan berseberangan dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, antara Muhammadiyah dan PMB diharapkan bisa menjalin sinergi gerakan demi menuju cita-cita terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang diridlai oleh Allah swt. (Mu'arif)

Korporatokrasi yang Memiskinkan Bangsa

Planet bumi ini sedang dikuasai oleh kekuatan para pemilik pemodal dalam skala besar. Kekuasaannya mampu melampaui batas-batas territorial suatu negara. Bahkan, kedaulatan suatu negara dengan mudah ditaklukkan lewat kebijakan-kebijakan yang didukung stakeholder milik kekuatan baru ini. John Perkins menyebut kekuatan baru ini dengan istilah "korporatokrasi."

Dalam buku Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (2008), Amien Rais sedang mengingatkan bangsa Indonesia bahwa sekalipun kaum imperialis telah hengkang dari bumi pertiwi, tetapi jaring laba-laba imperialisme masih mengangkangi kedaulatan bangsa. Mereka bukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau kompeni, tetapi telah bermetamorfosa dalam bentuk korporasi besar transnasional, seperti Freeport, Exxon Mobile, Newmont, dan lain-lain.

Amien Rais membeberkan fakta secara terperinci dan mengungkap sejarah imperialisme di Indonesia yang mula-mula dilakukan oleh korporasi bernama VOC. Menurutnya, VOC mampu bertahan lama mengeksploitasi kekayaan alam bangsa Indonesia (khususnya rempah-rempah) didukung oleh empat elemen utama: kebijakan pemerintah Belanda, kekuatan militer, media massa, dan mentalitas bangsa inlander.


Menghadapi VOC, seluruh bangsa Indonesia, mulai dari kalangan pejuang kemerdekaan hingga rakyat jelata menentang kehadiran kongsi dagang yang sangat merugikan ini. Tetapi kini, ketika para penjajah telah hengkang dari bumi pertiwi dan kemudian bermetamorfsa dalam bentuk perusahaan transnasional, justru bangsa ini dibuat linglung karena berhadapan dengan musuh yang kasat mata. Lewat proyek globalisasi yang didukung oleh rezim Amerika Serikat, para pemilik modal melakukan imperialisme baru dengan membentuk korporasi besar transnasional yang bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Amien Rais, tokoh yang menjadi lokomotif reformasi ini, sedang mengingatkan bangsa ini bahwa korporatokrasi dalam bentuk perusahaan transnasional (Exxon, Unocal, Mobil Oil, Newmont, Freeport) telah menjarah kekayaan alam Indonesia.

Keberadaan perusahaan transnasional tak akan berjaya di Indonesia seandainya tidak didukung oleh stakeholder yang kuat. Di sinilah Amien Rais mengritik beberapa elemen pendukung neoliberalisme, yaitu: pertama, korporasi besar. Korporasi ini merupakan patology of profit, yaitu penyakit mencari keuntungan sebesar-besarnya secara membabi-buta. Yang primer adalah keuntungan, sementara yang lainnya adalah sekunder. Korporasi semacam inilah yang kemudian menjadi penindas baru. Menurut Amien Rais, kejahatan korporasi besar jauh lebih mengerikan ketimbang yang dilakukan oleh para mafia, gengster atau perampok jalanan. Sebab, kejahatan korporasi adalah membuat undang-undang yang kemudian didiktekan kepada pemerintah untuk kemudian dilegalkan.

Kedua, pemerintah. Menurut Amien Rais, pemerintah yang mendapat kekuasaan dari rakyat seharusnya lebih kuat dari korporasi transnasional. Pemerintah memiliki lembaga penegak hukum, kekuatan militer, dan mempunyai legitimasi kekuasaan dari rakyat, tetapi faktanya justru di era globalisasi sekarang ini, korporatokrasi jauh lebih kuat dibanding pemerintah. Pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif justru takut, tunduk dan hormat secara berlebih-lebihan terhadap korporasi transnasional yang didukung penuh oleh Amerika Serikat.

Ketiga, lembaga keuangan internasional. Globalisasi merupakan proyek AS demi mewujudkan "Tatanan Dunia Baru" menurut ambisi mereka. Proyek globalisasi ditumpangi oleh kepentingan kapitalisme lewat jaringan lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank). Ketika masuk dalam jaringan neolib ini, negara-negara berkembang akan kesulitan untuk bisa menarik diri.

Keempat, kekuatan militer. Seraya mengutip pemikiran Michael Chassudovsky, gurubesar ekonomi universitas Ottawa, Amien Rais memaparkan bahwa kekuatan militer AS (Departemen Pertahanan dan CIA) memiliki hubungan yang kuat dengan korporasi-korporasi besar dunia. Mereka menjalin kontrak politik dengan pejabat-pejabat IMF, World Bank dan WTO untuk mengamankan kepentingan korporatokrasi dunia.

Kelima, politik media massa. Korporasi-korporasi besar memainkan peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi opini publik lewat proses manipulasi terhadap fakta-fakta. Pada tahun 1988, Noam Chomsky dan Edward Herman telah mengingatkan bahwa media massa pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi besar. Pemberitaan di media massa menjadi propaganda paling efektif demi melindungi kepentingan korporasi. Amien Rais menyebutkan contoh stasiun televisi di Amerika, seperti NBC, ABC, CBS, CNN. Keempat stasiun televisi ini masing-masing dimiliki oleh General Electric, Walt Disney Company, Viacom Inc., dan AOL-Time Warner.

Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan. Salah satu ciri intelektual sejati, menurut Amien rais, ialah mereka bisa keluar dari kungkungan masyarakat dan negaranya dengan memiliki wawasan kemanusiaan universal. Di sini, Amien Rais sedang mengatakan bahwa intelektual sejati harus tidak terlibat dalam politik kekuasaan, tidak partisan, dan mengedepankan politik kebangsaan. Sayangnya, peran para intelektual lebih banyak terjerumus ke dalam politik kekuasaan yang memang menggiurkan. Tidak jarang kaum intelektual menanggalkan identitasnya hanya demi mengejar keuntungan duniawi. Mentalitas intelektual semacam inilah yang dimanfaatkan oleh korporasi besar untuk mengelabuhi bangsanya sendiri.

Ketujuh, elite nasional bermental inlander. Kritik Amien Rais yang paling menohok adalah pembacaannya terhadap karakteristik elite politik nasional, baik yang duduk di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Mentalitas inlander merupakan istilah yang diciptakan sendiri oleh Amien Rais untuk menunjuk karakteristik para elite politik nasional yang lembek, cenderung mbeo, rendah diri, dan penakut.

Amien Rais telah membeberkan problem kepemimpinan bangsa secara detail dan mengritik secara telak sehingga seakan-akan berbagai argumentasi untuk menangkal kritik-kritik pedasnya menjadi tampak pucat pasi. Apa yang telah disampaikan oleh mantan ketua umum MPR-RI ini wajib menjadi bahan renungan buat bangsa yang sedang ditindas oleh jaringan korporatokrasi yang tidak lain merupakan penjajah baru di era globalisasi ini. Bagi para calon pemimpin bangsa, terutama para generasi muda, pemikiran Amien Rais ini wajib diketahui untuk bisa memetakan, siapakah sesunguhnya yang menjadi musuh bangsa ini. Mengapa musuh dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam bangsa ini secara anarkhis tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan sementara rakyat dibiarkan tetap miskin? (Mu'arif)