Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, sering berpesan agar partai yang diusung oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tidak perlu mengklaim dukungan dari Muhammadiyah. Sebagai "anak kandung" Muhammadiyah, Partai Matahari Bangsa (PMB) jelas akan didukung secara moral oleh PP Muhammadiyah, tetapi tidak secara struktural lewat kebijakan organisasi.
High Politic
Wilayah politik praktis memang bukan menjadi garapan Muhammadiyah. Tetapi Muhammadiyah sendiri tidak pernah bisa menghindar dari politik kekuasaan. Kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada masa Orde Lama menjadi catatan tersendiri bahwa Muhammadiyah pernah terlibat dalam politik praktis.
Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Untuk saluran politik kekuasaan, Muhammadiyah membentuk partai politik di luar organisasi. Hubungan antara Muhammadiyah dengan partai yang telah dilahirkan ini hanya sebatas ideologis, tidak secara organisatoris.
Membaca latarbelakang Khittah Ponorogo tentu tidak lahir secara kebetulan. Menurut Haedar Nashir (2007), lahirnya khittah tahun 1969 merupakan sebuah terobosan dalam rangka merehabilitasi Partai Masyumi. Khittah Ponorogo ini menjadi legitimasi bagi Muhammadiyah untuk mendirikan Parmusi. Sayangnya, partai ini gagal sehingga Khittah Ponorogo kemudian "dinasakh"—meminjam istilah Haedar Nashir—lewat Khittah Ujung Pandang (1971).
Karena politik praktis terlalu banyak merugikan gerakan Muhammadiyah (kemasyarakatan), maka lewat Khittah Ujung Pandang dirumuskan supaya persyarikatan ini kembali ke barak. Lewat Khittah 1971 ini, Muhammadiyah menjaga jarak dengan partai manapun. Muhammadiyah juga tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun.
Sekalipun demikian, Muhammadiyah tetap tidak bisa menutup mata terhadap realitas perpolitikan di tanah air. Sewaktu Amien Rais menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1994-1998), Muhammadiyah menjadi "kekuatan politik" yang amat diperhitungkan dalam pentas perpolitikan di tanah air. Bahkan, persyarikatan ini dianggap memiliki kontribusi besar terhadap bergulirnya proses reformasi (1998).
Perlu dicatat di sini, sekalipun Amien Rais tidak membawa Muhammadiyah ke dalam pentas perpolitikan di tanah air waktu itu, tetapi statusnya sebagai ketua umum jelas merepresentasikan politik Muhammadiyah.
Pasca reformasi, Muhammadiyah kembali dihadapkan kepada dilemma politik. Sebab, di satu sisi Khittah Ujung Pandang menjadi dasar kebijakan organisasi yang harus ditaati, namun pada sisi lain realitas perpolitikan di tanah air menghendakinya supaya terlibat langsung dalam politik praktis. Sewaktu kepemimpinan Ahmad Syafi’i Ma’arif yang kedua kalinya (1998-2000 dan 2000-2005), Persyarikatan Muhammadiyah digiring jauh ke dalam politik praktis. Sidang Pleno Diperluas PP Muhammadiyah tanggal 9-10 Februari 2004 di Yogyakarta telah memutuskan untuk dukungan kepada Amien Rais sebagai calon presiden (capres). Secara otomatis, keputusan Pleno Diperluas ini telah menggiring Muhammadiyah supaya mendukung partai yang mengusung Amien Rais sebagai capres (PAN). Yang cukup ironis, keputusan ini justru muncul setelah beberapa pejabat tinggi partai tersebut memberikan tekanan secara bertubi-tubi kepada jajaran PP Muhammadiyah.
Belajar dari Pengalaman
Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dalam catatan panjang sejarah Muhammadiyah, ternyata ormas ini tidak mampu berkelit dari hingar-bingar politik kekuasaan. Sekalipun Khittah Ujung Pandang sudah membentengi agar Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, tidak memiliki afiliasi politik dengan partai manapun (termasuk PMB dan PAN), nyatanya persyarikatan ini sering terperosok ke dalam hingar-bingar politik kekuasaan.
Jika saja Muhammadiyah melakukan aksi isolasi diri terhadap kepentingan kekuasaan, maka sikap tersebut bakal menghambat cita-cita gerakan. Tetapi, terdapat dorongan kuat agar Muhammadiyah tidak terjebak dalam eforia politik yang cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, Muhammadiyah memang harus sadar bahwa politik merupakan bagian dari kehidupan umat.
Menurut hemat penulis, Muhammadiyah harus bisa mengambil pelajaran dari catatan sejarahnya yang telah berkali-kali terlibat dalam politik kekuasaan. Termasuk dalam konteks menyikapi kelahiran PMB yang merupakan "anak kandung" Muhammadiyah, maka persyarikatan ini harus tetap mampu menjaga jarak.
Namun demikian, Muhammadiyah juga harus bersikap secara bijaksana. Bagaimanapun juga, "syahwat politik" AMM bukan untuk dibendung, tetapi memang untuk disalurkan. Saluran syahwat politik yang legal dalam konteks kehidupan demokrasi adalah lewat partai. Jika selama ini banyak cendekiawan Muhammadiyah mengritisi kemunculan partai berbasis Muhammadiyah, maka di sini penulis sangat tidak sepakat. Sebab, syahwat politik bukan untuk dikekang, tetapi disalurkan secara benar sesuai dengan konstitusi yang berlalu di tanah air ini.
Mulai saat ini, apa yang harus dilakukan oleh PMB adalah memberikan "keteladanan politik" (uswah hasanah)—meminjam istilah Ma’mun Murad Al-Barbasy (2008)—di pentas perpolitikan nasional. Sampai saat ini, para politisi kita masih banyak yang belum memiliki integritas moral. Bahkan, para politisi Muslim kita, baik para ustad atau kyai yang terlibat dalam partai-partai politik, banyak memperlihatkan perilaku yang tidak istiqamah. Hanya karena kepentingan politik, integritas moral digadaikan. "Esuk dele, sore tempe," itu fenomena yang sudah biasa dalam pentas perpolitikan di Indonesia.
Kehadiran PMB yang sudah membentuk kepengurusan di 32 propinsi memang harus mampu menampilkan keteladanan politik bagi umat Islam di Indonesia. Karena PMB dilahirkan oleh warga Muhammadiyah, maka visi dan misinya tidak akan berseberangan dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, antara Muhammadiyah dan PMB diharapkan bisa menjalin sinergi gerakan demi menuju cita-cita terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang diridlai oleh Allah swt. (Mu'arif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar