Kamis, 27 Desember 2007

BookMagz, Buku Serasa Majalah


Baju saya masih basah kuyup sewaktu masuk ke salah satu penerbit di Jogja, sore itu. Seperti biasa, saya sedang memasukkan beberapa naskah buku. Kali ini, naskah-naskah hasil revisi. Selesai basa-basi, seorang staf editor menunjukkan kepada saya dua buah buku. Kabarnya, dua buku tersebut hasil kreativitas timnya di penerbit tersebut. Tetapi, terus terang saja, saya sudah sinis duluan melihat buku-buku tersebut. “Buku kok kayak majalah! Di mana letak kewibawaan buku?”


Sambil menunggu hujan reda, saya coba bertanya kepadanya, “Bagaimana respon pasar?” Di luar dugaan! Buku yang didesain layaknya majalah itu malah termasuk kategori bestseller. Tentu saya sadar, standar bestseller penerbit tersebut berbeda dengan penerbit-penerbit lain.


BookMagz: Book Magazine. Sebuah istilah yang sudah pasti asing di telinga saya. Setelah saya amat-amati, di pojok kiri atas pada sampul kedua buku tersebut memang terdapat logo BookMagz: Buku Serasa Majalah. Mungkin maksudnya buku yang jika dibaca seperti rasa majalah: enteng, meriah, dan wah.


Mendengar namanya saja, BookMagz, sudah pasti terbanyang: desain covernya meriah, isinya ringan, penuh gambar/ilustrasi, dan sudah barang tentu warna-warni. Satu lagi, bahasa judulnya gaul abis! Maaf, saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut di sini. Takutnya, nanti saya dikira promosi.


Apa yang baru saya saksikan tersebut tidak lain berupa salah satu bentuk upaya penerbit Jogja untuk tetap eksis di tengah persaingan ketat antarpenerbit. Di zaman modern ini, ketika teknologi makin canggih, setiap usaha penerbitan buku dituntut supaya kreatif dan inovatif. Jika tidak, tunggu saja detik-detik gulung tikarnya.


Ternyata, BookMagz sudah beredar kurang lebih tiga tahun yang lalu. Berarti, saya sudah agak ketinggalan mengikuti perkembangan industri perbukuan di Jogja. Mungkinkah fenomena BookMagz ini yang pernah disinggung-singgung dalam rubrik ini (Di Balik Buku) beberapa tahun yang lalu? Entahlah, saya tidak tahu persis.


Seingat saya, istilah yang sering dipakai untuk fenomena yang satu ini disebut “tabloidisasi buku.” Maksudnya, buku yang dikemas layaknya tabloid. Atau, berdasarkan kesaksian saya baru-baru ini, istilah yang dipakai “majalahisasi buku.” Maksudnya, buku yang didesain layaknya majalah. Ah, ada-ada saja istilah zaman sekarang!


Sekalipun saya berusaha memahami kreativitas dan inovasi penerbit yang memproduksi BookMagz, tetapi perasaan sinis dan prihatin tetap saja terus menghantui. Saya selalu sinis melihat model kemasan buku yang demikian itu. Buku kok dikemas kayak majalah! Atau, buku kok didesain kayak tabloid! Saya jadi prihatin, “Di mana letak kewibawaan karya intelektual yang selama ini cukup terhormat itu?”


Mungkin saya akan dianggap pengarang kolot yang tidak gaul. Tapi, biarlah orang lain bilang begitu. Dalam benak saya, fenomena BookMagz dan yang sejenisnya benar-benar menjadi sebuah tantangan berat bagi para pengarang buku. Tampaknya, di zaman modern seperti sekarang ini, kata-kata sudah tidak lagi ampuh untuk mengusung ide-ide besar. Para pengarang yang terbiasa mengolah dan menabur kata sedang dalam situasi terpojok. Profesi dan keahlian mereka sedang tersodok. Buktinya, sebuah buku dianggap tidak cukup hanya disajikan dalam bentuk teks. Tapi, sebuah buku harus berupa paduan antara teks dan grafis. Malah ada yang lebih keterlaluan lagi, setiap halaman buku didominasi oleh gambar-gambar ilustrasi. “Ini buku apa komik?” pikirku.


Di tangah-tengah pikiran yang terus berkecamuk, saya mendapati sebuah informasi penting. Tapi, keprihatinan saya bukannya mereda, malah makin berkecamuk. Sewaktu membaca salah satu resensi yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10/2007), perasaan saya makin menjadi-jadi. Perasaan prihatin dan sekaligus sinis. Ternyata, fenomena BookMagz bukan hanya mewabah di Jogja, tetapi di Amerika Serikat pun juga begitu. Sepertinya, kejenuhan pada teks-teks sudah menjadi kenyataan yang mendunia.


BookMagz memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Tapi, di negeri Paman Sam ini, fenomena berkomunikasi dengan menggunakan perpaduan antara kata-kata dan seni grafis sudah mewabah di sana. Sekalipun sebuah buku berisi tema serius, tetapi kemasannya makin irit teks. Contohnya buku karya Will Eisner, The Plot: The Secret Story of The Protocols of Elder of Zion (2005). Atau misalnya buku karya Sid Jacobson dan Ernie Colon, 9/11 Report: A Graphic Adaptation Based on The 9/11 Commission Report (2006).


Kedua buku ini, sekalipun dikemas seperti buku komik (comic books), tapi lucunya bukan disebut sebagai buku komik. Umberto Eco memberi catatan komentar bahwa buku Will Eisner “bukan buku komik” (comic books), sekalipun kemasannya memang serupa buku komik (untuk membedakan antara buku komik yang lucu dengan buku dengan desain ilustrasi yang tampak serius).


Lewat artikel ini, saya bukannya sedang meremehkan sebuah karya kreatif lagi inovatif, seperti BookMagz atau buku-buku yang serupa komik. Sama sekali bukan! Di satu sisi, saya berusaha untuk menyadari bahwa fenomena yang demikian merupakan tuntutan zaman. Tujuannya agar penerbit-penerbit tetap bisa eksis di tengah-tengah persaingan ketat. Salah satu kuncinya ialah membaca secara cerdas kecenderungan pasar—untuk penerbit profit. Kecenderungan pasar pembaca harus dicermati baik-baik untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam berkarya secara kreatif dan inovatif.


Tapi, di sisi lain, setelah melihat kecenderungan pasar pembaca yang demikian, perasaan saya makin prihatin. Saya melihat pasar pembaca seakan-akan manja atau enggan bertatapan dengan teks-teks buku konvensional. Seolah-olah mereka malas mengernyitkan dahi untuk bergumul dengan tema-tema serius. Melihat fenomena yang demikian, saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Apakah mereka sudah enggan berkomunikasi dengan kata-kata?” Saya pun berusaha introspeksi diri, “Mungkin sekarang kata-kata sudah kehilangan ruhnya”


Menghadapi fenomena yang satu ini, para pengarang memang perlu merenungkannya kembali, termasuk juga saya. (Mu'arif)

Minggu, 23 Desember 2007

“Liberalisasi” dan “Liberalisme” Pemikiran Islam

Sekalipun tema “Liberalisasi” dan “Liberalisme” pemikiran Islam sudah lewat beberapa tahun yang silam, tetapi sampai sejauh ini masih banyak kalangan yang mempersoalkannya kembali. Tulisan terakhir yang mengritisi dua tema ini seperti Haris Booegies dalam “Gemuruh Riuh Islam Liberal” (2007). Tanpa bermaksud membela Islam Liberal (Islib), saya ingin menegaskan di sini bahwa pemikiran Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—dan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki kontribusi positif bagi dinamika pemikiran Islam di Indonesia.
Pemikiran Cak Nur
Cak Nur, cendekiawan Muslim yang patut dijuluki sebagai “Begawan Islam Pluralis” ini, memang membedakan antara ranah agama dan budaya. Islam secara normatif—meminjam istilah Amin Abdullah—sudah baku. Tetapi, secara historis (budaya) bersifat dinamis. Sebab, aspek historisitas berada dalam dimensi temporal (ruang dan waktu). Das sollen, Islam adalah tetap atau sudah baku (normatif). Das sein, Islam harus dinamis mengikuti perkembangan zaman (historis). Di sini, menurut Harun Nasution (2000), Cak Nur telah melakukan proses “rasionalisasi” untuk memisahkan keduanya.
Pemikiran Cak Nur menawarkan “sekulerisasi” (bedakan dengan sekulerisme) sebagai solusi untuk memecah kebuntuan pemikiran Islam. Di mata Cak Nur, umat Islam belum mampu menerjemahkan agama Islam secara nyata ke dalam dunia yang serba temporal. Akibatnya, ajaran-ajaran Islam menjadi kian melangit. Usaha untuk melendingkan gagasan Islam yang melangit diperlukan proses “sekulerisasi” yang sesungguhnya sejalan dengan “rasionalisasi.”
Ketika Cak Nur menerjemahkan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah” menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” (dengan pembeda huruf kapital) sebenarnya ia sedang membedakan secara tegas makna kata yang sering digunakan untuk menyebut “obyek sesembahan” dalam konteks budaya dan makna hakikinya. Jika Abdul Haris Booegies merujuk pendapat Louis Ma’luf Al-Yasu’i bahwa kata “Allah” pada kalimat tauhid merupakan nama yang tak tergantikan oleh apa saja (ismun dzati). Tetapi menurut saya ini menjadi problem semiotik yang belum sempat terjawab. Bahasa Arab itu serumpun dengan bahasa Indo-Eropa seperti Ibrani, Suryani, dan lain-lain. Jika kita menggunakan perspektif ini (budaya), maka nama tuhan “Allah” memiliki banyak arti.
Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks (2004: 83-84), Nabi Ibrahim disinyalir memperkenalkan nama “El” untuk menyebut tuhannya sewaktu tinggal di Palestina (Nablus) pada sekitar 2091 Sebelum Masehi (SM). Penggunaan nama “El” merupakan bentuk akulturasi antara budaya setempat (Kanaan) dengan keyakinan yang dibawa oleh Ibrahim. Orang-orang Kanaan menyebut “El” sebagai “Dewa Ayah.” Dari kata El—yang pada dasarnya setara dengan kata “Tuhan” (sesembahan)—kemudian bermetamorfosa dalam bahasa Indo-Eropa menjadi “Il,” “El,” “Al” (lihat Nurcholish Madjid, 1992: xxii).
Dalam konteks budaya Arab, nama tuhan “Allah” sudah dipakai sebelum masa kenabian Muhammad saw. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” berasal dari kata “Ilah” (ismu fa’il) yang artinya “sesembahan”. Sekalipun demikian, kata ini (Ilah) memiliki dua makna sekaligus (ganda): sebagai “subyek” dan “obyek.”
Saya ambil contoh. Kata “kitab” (ismu fa’il) secara tidak langsung bermakna sebagai “subyek” (pelaku/fa’il) sekaligus “obyek” (sesuatu yang ditulis). Demikian halnya dengan kata “Ilah.” Ia bermakna ganda: subyek sesembahan sekaligus obyek (ma’luh). Di sini problem semiotik masih sering dipersoalkan.
Orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad saw sudah terbiasa menggunakan kata “Allah” untuk “sumpah” (qasam). Seperti kata “Wallahi,” “Tallahi,” “Billahi,” dan lain-lain. Atas dasar inilah, nama Allah termasuk dalam konteks budaya setempat (Arab). Sementara pada makna leksikal berdasarkan latarbelakang historisnya cenderung mengundang konotasi paganisme. Tetapi, perlu diingat, kenabian Muhammad saw telah menyelamatkan kita dari persepsi ketuhanan yang paganistik ini. Dengan memahami Nama-nama (al-asma al-husna) dan Sifat-sifat wajib bagi Allah, persepsi kita telah diselamatkan dari keyakinan paganistik tersebut.
Gagasan Cak Nur sewaktu menerjemahkan kalimat tauhid menjadi “tiada tuhan selain Tuhan” merupakan bentuk takhshish. Sebab, kalimat tauhid jika diterjemah ke dalam bahasa Indonesia memang sangat riskan. Perlu dicermati pula, gagasan Cak Nur ini hanya relevan dalam konteks memahami bahasa dalam bentuk “simbol,” bukan sebagai “ujaran.”
JIL
Sementara gagasan Islam Liberal—sekalipun saya lebih sepakat menyebut pelakunya yang liberal (Muslim Liberal)—merupakan sebuah “stimulus baru” yang bisa memacu dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Mungkin beberapa butir gagasan yang dilontarkan oleh Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 18/11/2002) kurang berkenan di kalangan umat Islam sendiri. Tetapi, saya lebih mengambil hikmahnya ketimbang kontroversinya.
Di ranah pemikiran keislaman, kita tidak bisa bersikap statis. Zaman terus berubah sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia juga senantiasa berubah. Ranah pemikiran keislaman bersentuhan langsung dengan zaman yang terus berubah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan spirit penggerak baru agar pemikiran Islam tidak mengendap lalu mengkristal sehingga ajaran-ajaran Islam makin melangit, tidak membumi.
Sekalipun demikian, para aktivis JIL juga perlu mendapat kritik balik untuk meluruskan. Jika tidak, proses rasionalisasi akan kebablasan menjurus pada “sekulerisme.” Saya melihat peran para aktivis JIL ibarat “gas” yang sewaktu-waktu membutuhkan “rem” dari para ulama atau cendekiawan lain. Tentu saja masing-masing harus mengedepankan sikap saling terbuka dan selalu menggunakan pemikiran jernih agar setiap wacana yang bergulir tidak berujung pada justifikasi “sesat” atau “murtad.”
Di era serba keterbukaan seperti sekarang ini, klaim merasa paling benar (truth claim) sudah tidak mendapat tempat lagi. Kebenaran tidak dimonopoli oleh seseorang atau kelompok tertentu. Kebenaran adalah milik semua dan ia selalu dalam proses pencarian. (Mu'arif)