Senin, 19 November 2007

Mitos “Banjir Besar” dan Fenomena Global Warming

Tiga umat agama Smitik—Yahudi, Nasrani, dan Islam—meyakini peristiwa ‘banjir besar’ pada zaman Nabi Nuh (Noah). Tidak hanya itu. Dalam tradisi bangsa Sumeria, Babilonia, Akkadia, Jerman, Irlandia, dan Yunani juga mengenal kisah ini. Tetapi, bukti-bukti arkeologis yang mendukung kebenaran kisah ini memang tidak atau belum pernah ditemukan. Pada akhirnya, kisah maha hebat tersebut cenderung dianggap sebagai mitos.
Tradisi umat Yahudi dan Nasrani mengandalkan kitab Perjanjian Lama untuk menjelaskan kisah besar ini. Menurut Maurice Bucaille (1979), kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh terdapat dalam Kitab Kejadian Fasal 6, 7 dan 8. Berdasarkan sumber-sumber Biblikal disebutkan dua jenis penyebab banjir: hujan deras dan air tanah yang meluap.
Kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh juga diyakini oleh umat Islam. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat Al-A'raf ayat 64, Al-Qamar ayat 12, Hud ayat 48, Yunus ayat 73, Al-Furqan ayat 37, Al-Ankabut ayat 14, 120, Nuh ayat 25, dan lain-lain.
Berdasarkan sumber Islam, penyebab utama banjir besar adalah mata air di bumi yang terus memancar sehingga mengalir bersatu menjelma menjadi banjir besar (Qs. Al-Qamar: 12). Pada surat lain dijelaskan indikasi bencana alam di masa Nabi Nuh lewat "at-tannur" yang terus meleleh (Qs. Hud: 40).
Kebenaran agama diyakini bersifat mutlak. Ketika kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh masuk ke dalam doktrin agama, maka untuk melacak kebenarannya menjadi teramat sulit. Padahal, dalam perspektif Ilmu Pengetahuan (Science), suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai "peristiwa sejarah" ketika terdapat bukti-bukti arkeologis yang mendukungnya. Oleh karena itu, hingga saat ini, di antara para ilmuwan masih menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh hanya sebatas mitos.
Uniknya, beberapa bangsa di dunia memiliki tradisi mitologi yang boleh dikata sejenis. Seolah-olah kisah banjir besar ini merupakan kejadian maha hebat yang telah menyatukan memori kolektif antarbangsa.
Mitos Banjir Besar
Di luar doktrin agama-agama Smitik, bangsa-bangsa lain di dunia mengenang peristiwa banjir besar dalam bentuk mitologi. Misalnya bangsa Sumeria mengenal mitos Ziusudra. Mitologi ini terdapat dalam Kitab Kejadian Eridu yang konon ditulis pada sekitar abad ke-17 SM. Kisahnya tentang banjir besar di kota Shuruppak yang meluas sampai ke kota Kish. Oleh para pakar mitologi, mitos Ziusudra dianggap padanan dari kisah Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Babilonia juga dikenal epos Gilgames. Bangsa Babilonia memiliki pertalian etnik maupun kultural dengan bangsa Sumeria. Oleh karena itu, epos Gilgames juga memiliki kaitan erat dengan mitos Ziusudra. Sekalipun karakteristik kedua tokoh ini berbeda, tetapi latarbelakang epos Gilgames persis seperti pada kisah Ziusudra, yakni peristiwa banjir besar.
Dalam tradisi bangsa Akkadia yang juga memiliki keterkaitan etnik dan kultural dengan bangsa Babilonia dan Sumeria dikenal epos Atrahasis. Konon, epos ini ditulis kurang lebih pada 1700 SM. Yang cukup unik, sosok Atrahasis hampir mirip seperti figur Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Yunani kuno. Orang-orang Yunani mengenal dua peristiwa banjir besar: Ogigian dan Deukalion. Sumber mitologi ini terdapat dalam The Library karya Apolloardus. Khusus untuk epos Deukalion, kisahnya sangat mirip dengan peristiwa pada zaman Nabi Nuh.
Dalam tradisi bangsa Jerman dikenal mitologi Norse. Kisah ini sama persis seperti dalam mitologi Yunani, Deukalion. Dalam konteks tradisi Jerman, tokoh utamanya diperankan oleh Bergelmir. Pakar mitologi Brian Banston menganggap mitologi bangsa Jerman ini setera dengan kisah banjir bah di zaman Nabi Nuh.
Mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Irlandia. Orang-orang Irlandia kuno menganggap nenek moyang mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa Irlandia kuno dipimpin oleh cucu perempuan Nabi Nuh, Cessair. Sewaktu banjir bah selama 40 hari 40 malam, seluruh bangsa Irlandia tenggelam. Dalam mitologi ini dikisahkan bahwa hanya satu orang saja yang berhasil selamat dari peristiwa banjir besar tersebut (lihat Wikipedia Indonesia).
Kebenaran Mitos
Para ilmuwan masih beranggapan bahwa peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh as. hanya sebatas mitos. Mereka merasa sangsi seandainya menganggap kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh sebagai peristiwa sejarah. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa mitos dijadikan sebagai bukti dalam menelusuri jejak-jejak historis? Bukankah mitos hanya sebatas kisah fiktif?
Mungkin benar bagi mereka yang beranggapan bahwa mitos-mitos yang dimiliki oleh setiap bangsa tidak lain hanya sebatas kisah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingat. Mungkinkah mitos-mitos itu lahir hanya berdasarkan kekuatan imajinasi semata? Dapatkah sebuah ide berdiri sendiri secara independen? Tentu saja tidak. Sekalipun mitos-mitos itu cenderung fiktif, tetapi ide pokok (subtansi) yang melatarbelakangina jelas tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut penulis, terdapat suatu peristiwa penting yang melatarbelakangi keberadaan mitologi-mitologi yang dimiliki oleh beberapa bangsa di atas. Ketika masing-masing bangsa memiliki mitos-mitos yang boleh dikata identik dengan bangsa-bangsa lain, justru di situlah "benang merah" yang dapat menghubungkan memori kolektif antarbangsa. Memori kolektif tersebut bersumber dari sebuah peristiwa maha hebat yang terjadi pada suatu masa, namun tidak jelas diketahui kapan terjadinya. Masing-masing bangsa mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra, baik berupa hymne maupun epos, yang sudah barang tentu amat bervariasi. Identitas bahasa dan latarbelakang sosiologis yang dimiliki oleh sebuah bangsa mengungkapkannya dalam tradisi bertutur dengan sentuhan-sentuhan imajinasi kreatif dari para penyair dan sastrawan.
Terdapat dua kesimpulan penting berdasarkan argumentasi penulis ini. Pertama, setiap mitos yang diciptakan oleh suatu bangsa tidak mungkin terlepas dari latarbelakang historisnya. Kedua, mitos-mitos yang dimiliki oleh banyak suku bangsa, tetapi subtansinya menggambarkan suatu kejadian yang mirip, menjadi sebuah indikasi akan kebenaran faktual di dalamnya. Atas dasar inilah, penulis tetap meyakini bahwa pada suatu masa, di zaman dahulu, telah terjadi peristiwa banjir besar—sebagaimana dalam kisah Nabi Nuh—yang kemudian memusnahkan separoh kehidupan di muka bumi ini.
Mitos Banjir Besar dan Fenomena Global Warming
Penulis menganggap relevan mengangkat kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh berkaitan dengan fenomena "pemanasan global" (global warming) yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan publik dunia. Pemanasan global sudah bukan lagi sebatas wacana. Hampir seluruh negara di dunia telah merasakannya. Perubahan iklim secara drastis menyebabkan musim tak teratur. Di Indonesia, batas antara musim hujan dan kemarau sudah sulit diidentifikasi.
Akibat dari pemanasan global, suhu bumi terus meningkat. Dampaknya, gunung-gunung es di kutub utara dan selatan terus mencair. Otomatis, permukaan air laut terus naik. Jika pemanasan global terus berlanjut, diprediksikan pada tahun 2100 beberapa pulau bakal terancam tenggelam. Fenomena pemanasan global menjadi ancaman bagi masa depan peradaban umat manusia di muka bumi ini.
Perubahan suhu dan iklim yang tidak teratur mengakibatkan munculnya berbagai macam bentuk bencana alam. Banjir besar, angin topan, dan kekeringan merebak di mana-mana. Akibatnya, korban jiwa dan kerugian materi hampir tak terhitung lagi.
Kampanye penyelamatan dunia terhadap ancaman global warming memang sudah dimulai pada tahun 1992. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) sudah menyepakati Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang terus mengancam peradaban manusia. Sebanyak 154 kepala negara telah terlibat dalam penandatanganan Convention on Climate Change ini. Hanya saja, sampai saat ini masih dipertanyakan komitmen masing-masing.
Ancaman global sudah di depan mata, sementara hampir semua pihak malah mengabaikannya. Hanya beberapa LSM dan tokoh pencinta lingkungan saja yang kelihatan serius melihat ancaman global ini. Oleh karena itu, menjelang Conference to the Parties to the Convention (COP) ke-13 di Bali nanti (Desember 2007), perlu digaet beberapa elemen masyarakat dunia agar masing-masing sadar bahwa peradaban umat manusia sedang terancam.
Agama-agama besar dunia yang dalam sumber ajaran masing-masing mengenal kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh perlu mencermati fenomena pemanasan global ini. Dengan menengok kembali kisah maha hebat pada zaman Nabi Nuh, setiap umat beragama akan sadar bahwa dunia sedang dalam ancaman besar. Fenomena alam berupa perubahan iklim secara drastis, suhu bumi yang terus memanas, dan permukaan air laut yang terus naik, menjadi pertanda akan bahaya besar yang sedang mengancam peradaban umat manusia. Fenomena pemanasan global jelas identik dengan kisah pada masa Nabi Nuh.
Oleh karena itu, lewat artikel ini, penulis terus berharap kepada para pemuka agama, baik para rahib, pendeta, ulama dan cendekiawan supaya menengok kembali kejadian besar pada masa Nabi Nuh untuk memahami fenomena global warming dalam perspektif agama-agama. (Mu'arif)

BookMagz, Buku Serasa Majalah

Baju saya masih basah kuyup sewaktu masuk ke salah satu penerbit di Jogja, sore itu. Seperti biasa, saya sedang memasukkan beberapa naskah buku. Kali ini, naskah-naskah hasil revisi. Selesai basa-basi, seorang staf editor menunjukkan kepada saya dua buah buku. Kabarnya, dua buku tersebut hasil kreativitas timnya di penerbit tersebut. Tetapi, terus terang saja, saya sudah sinis duluan melihat buku-buku tersebut. "Buku kok kayak majalah! Di mana letak kewibawaan buku?"
Sambil menunggu hujan reda, saya coba bertanya kepadanya, "Bagaimana respon pasar?" Di luar dugaan! Buku yang didesain layaknya majalah itu malah termasuk kategori bestseller. Tentu saya sadar, standar bestseller penerbit tersebut berbeda dengan penerbit-penerbit lain.
BookMagz: Book Magazine. Sebuah istilah yang sudah pasti asing di telinga saya. Setelah saya amat-amati, di pojok kiri atas pada sampul kedua buku tersebut memang terdapat logo BookMagz: Buku Serasa Majalah. Mungkin maksudnya buku yang jika dibaca seperti rasa majalah: enteng, meriah, dan wah.
Mendengar namanya saja, BookMagz, sudah pasti terbanyang: desain covernya meriah, isinya ringan, penuh gambar/ilustrasi, dan sudah barang tentu warna-warni. Satu lagi, bahasa judulnya gaul abis! Maaf, saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut di sini. Takutnya, nanti saya dikira promosi.
Apa yang baru saya saksikan tersebut tidak lain berupa salah satu bentuk upaya penerbit Jogja untuk tetap eksis di tengah persaingan ketat antarpenerbit. Di zaman modern ini, ketika teknologi makin canggih, setiap usaha penerbitan buku dituntut supaya kreatif dan inovatif. Jika tidak, tunggu saja detik-detik gulung tikarnya.
Ternyata, BookMagz sudah beredar kurang lebih tiga tahun yang lalu. Berarti, saya sudah agak ketinggalan mengikuti perkembangan industri perbukuan di Jogja. Mungkinkah fenomena BookMagz ini yang pernah disinggung-singgung dalam rubrik ini (Di Balik Buku) beberapa tahun yang lalu? Entahlah, saya tidak tahu persis.
Seingat saya, istilah yang sering dipakai untuk fenomena yang satu ini disebut "tabloidisasi buku." Maksudnya, buku yang dikemas layaknya tabloid. Atau, berdasarkan kesaksian saya baru-baru ini, istilah yang dipakai "majalahisasi buku." Maksudnya, buku yang didesain layaknya majalah. Ah, ada-ada saja istilah zaman sekarang!
Sekalipun saya berusaha memahami kreativitas dan inovasi penerbit yang memproduksi BookMagz, tetapi perasaan sinis dan prihatin tetap saja terus menghantui. Saya selalu sinis melihat model kemasan buku yang demikian itu. Buku kok dikemas kayak majalah! Atau, buku kok didesain kayak tabloid! Saya jadi prihatin, "Di mana letak kewibawaan karya intelektual yang selama ini cukup terhormat itu?"
Mungkin saya akan dianggap pengarang kolot yang tidak gaul. Tapi, biarlah orang lain bilang begitu. Dalam benak saya, fenomena BookMagz dan yang sejenisnya benar-benar menjadi sebuah tantangan berat bagi para pengarang buku. Tampaknya, di zaman modern seperti sekarang ini, kata-kata sudah tidak lagi ampuh untuk mengusung ide-ide besar. Para pengarang yang terbiasa mengolah dan menabur kata sedang dalam situasi terpojok. Profesi dan keahlian mereka sedang tersodok. Buktinya, sebuah buku dianggap tidak cukup hanya disajikan dalam bentuk teks. Tapi, sebuah buku harus berupa paduan antara teks dan grafis. Malah ada yang lebih keterlaluan lagi, setiap halaman buku didominasi oleh gambar-gambar ilustrasi. "Ini buku apa komik?" pikirku.
Di tangah-tengah pikiran yang terus berkecamuk, saya mendapati sebuah informasi penting. Tapi, keprihatinan saya bukannya mereda, malah makin berkecamuk. Sewaktu membaca salah satu resensi yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 10/2007), perasaan saya makin menjadi-jadi. Perasaan prihatin dan sekaligus sinis. Ternyata, fenomena BookMagz bukan hanya mewabah di Jogja, tetapi di Amerika Serikat pun juga begitu. Sepertinya, kejenuhan pada teks-teks sudah menjadi kenyataan yang mendunia.
BookMagz memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Tapi, di negeri Paman Sam ini, fenomena berkomunikasi dengan menggunakan perpaduan antara kata-kata dan seni grafis sudah mewabah di sana. Sekalipun sebuah buku berisi tema serius, tetapi kemasannya makin irit teks. Contohnya buku karya Will Eisner, The Plot: The Secret Story of The Protocols of Elder of Zion (2005). Atau misalnya buku karya Sid Jacobson dan Ernie Colon, 9/11 Report: A Graphic Adaptation Based on The 9/11 Commission Report (2006).
Kedua buku ini, sekalipun dikemas seperti buku komik (comic books), tapi lucunya bukan disebut sebagai buku komik. Umberto Eco memberi catatan komentar bahwa buku Will Eisner "bukan buku komik" (comic books), sekalipun kemasannya memang serupa buku komik (untuk membedakan antara buku komik yang lucu dengan buku dengan desain ilustrasi yang tampak serius).
Lewat artikel ini, saya bukannya sedang meremehkan sebuah karya kreatif lagi inovatif, seperti BookMagz atau buku-buku yang serupa komik. Sama sekali bukan! Di satu sisi, saya berusaha untuk menyadari bahwa fenomena yang demikian merupakan tuntutan zaman. Tujuannya agar penerbit-penerbit tetap bisa eksis di tengah-tengah persaingan ketat. Salah satu kuncinya ialah membaca secara cerdas kecenderungan pasar—untuk penerbit profit. Kecenderungan pasar pembaca harus dicermati baik-baik untuk kemudian dijadikan sebagai acuan dalam berkarya secara kreatif dan inovatif.
Tapi, di sisi lain, setelah melihat kecenderungan pasar pembaca yang demikian, perasaan saya makin prihatin. Saya melihat pasar pembaca seakan-akan manja atau enggan bertatapan dengan teks-teks buku konvensional. Seolah-olah mereka malas mengernyitkan dahi untuk bergumul dengan tema-tema serius. Melihat fenomena yang demikian, saya kemudian bertanya-tanya dalam hati, "Apakah mereka sudah enggan berkomunikasi dengan kata-kata?" Saya pun berusaha introspeksi diri, "Mungkin sekarang kata-kata sudah kehilangan ruhnya"
Menghadapi fenomena yang satu ini, para pengarang memang perlu merenungkannya kembali, termasuk juga saya. (Mu'arif)

Kekuatan Politik Indonesia di Pentas Internasional

Sewaktu mendengar berita bahwa Indonesia mulai bulan November ini bakal menjadi ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB), rasa nasionalisme saya langsung tergugah. Akhirnya, bangsa ini punya kesempatan untuk unjuk gigi di pentas internasional. Tetapi, mendadak saya langsung berkecil hati. Sewaktu mendengar pernyataan Amien Rais baru-baru ini, perasaan saya makin pesimis. Sekalipun Indonesia mendapat jatah memimpin Sidang Umum di Dewan Keamanan PBB, tetapi bukan berarti kita bisa memainkan peran-peran strategis di pentas internasional.
Hari Minggu sore (28/10), saya tandang ke kediaman tokoh reformasi ini di Pandean Sari (Yogyakarta). Sore itu, hujan turun untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Namun tekad saya untuk bertemu dengan tokoh reformasi ini tidak luntur. Saya rela menuggu lumayan lama hanya untuk bisa bertemu dengannya. Tepat pukul 17.00, saya baru bisa bertemu dan berbincang-bincang dengannya.
Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menanyakan perihal peluang Indonesia unjuk gigi di pentas internasional. Dengan menempati posisi sebagai ketua Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, tentunya Indonesia bisa memainkan perannya dalam menyelesaikan isu-isu internasional. Konon, jabatan ketua dalam Sidang Umum Dewan Keamanan PPB merupakan jabatan bergilir. Dan, Indonesia mendapatkan kesempatan emas tersebut kali ini.
Sekalipun saya ajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan peran strategis ini, tetapi anehnya Amien Rais tidak banyak menyikapi secara positif. Dia kelihatan agak pesimis. "Sebagai bangsa, kita memang harus realistis. Bobot internasional Indonesia amat enteng" komentarnya.
Amien Rais kembali menjelaskan, "Ada sebuah rumus bahwa politik luar negeri sebuah bangsa merupakan sisi lain dari keadaan dalam negerinya." Saya yang tidak pernah mengenyam pendidikan politik di perguruan tinggi berusaha memahami teori yang disampaikan oleh Amien Rais ini.
"Kalau sebuah negara keadaan ekonominya masih morat-marit, kesejahteraan sosialnya masih "jauh panggang daripada api", kemudian pengangguran makin membengkak dan lain-lain, maka bobot internasionalnya menjadi sangat enteng" kata Amien menjelaskan. "Sementara negara yang kuat ekonominya, stabil politiknya, apalagi sentosa militernya, itu menjadi berat bobot politik internasionalnya" tambahnya.
Sejenak saya langsung sadar. Rasa optimisme saya tiba-tiba menjadi ambyar. Setelah mendengar penjelasan dari Amien Rais, saya memang tidak lagi berharap banyak. Sekalipun Indonesia mendapat peluang emas menjadi ketua Sidang Umum Dewan Keamanan di PBB, tetapi kita tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa bobot politik bangsa ini masih teramat enteng.
Harus saya akui, memang persoalan-persoalan domestik di Indonesia tidak pernah kunjung selesai. Perekonomian masih tergantung kepada kekuatan asing. Di Indonesia, kesejahteraan sosial masih di awang-awang. Angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah warga miskin tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa (15,05%). Sementara di tahun 2006 angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%) (Anwar Hasan, 2007).
Sementara melihat sistem perpolitikan di tanah air, sekalipun pasca reformasi, ternyata belum juga menunjukkan tanda-tanda stabil. Mentalitas para politisi kita juga belum satupun yang menampakkan diri sebagai figur negarawan. Sikap para anggota dewan (DPR) juga masih kekanak-kanakan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat sendiri. Di tengah-tengah himpitan ekonomi sulit, para anggota dewan ramai-ramai merencanakan kenaikan gaji. Sementara beberapa elit politik tidak memiliki jiwa negarawan sehingga setiap pemimpin yang tampil ke pentas nasional selalu diganjal.
Jika melihat sepintas sistem pertahanan nasional kita, ternyata masih amat memprihatinkan. Bayangkan saja, seandainya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura memasuki atau menyerang wilayah teritorial Indonesia, dipastikan bangsa ini akan kalah dalam konfrontasi fisik. Sebab, sistem pertahanan nasional kita masih amat lemah. Persenjataan yang kita miliki juga masih amat terbatas. Padahal, wilayah teritorial Indonesia begitu luasnya. Bahkan, sampai saat ini ternyata masih terdapat kawasan yang belum terjamah oleh kekuatan sistem pertahanan kita. Akibatnya, penyelundupan barang-barang illegal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, begitu leluasa menyerobot masuk ke wilayah perairan kita. Tentu ini sangat memprihatinkan.
Lebih dari itu. Bobot politik internasional suatu bangsa juga ditentukan oleh ketegasan sikap dan karakter kepala negaranya. Memang situasi domestik suatu negara menjadi faktor penentu kekuatan politik internasional suatu bangsa. Tetapi ketegasan sikap dan karakter kepala negara juga amat mempengaruhi kekuatan politik suatu bangsa.
Sewaktu Presiden SBY berpidato di depan Sidang Umum PBB beberapa bulan yang lalu, pemandangan yang cukup tragis terjadi. Beberapa delegasi dari negara-negara lain justru memilih mengosongkan kursi. Kira-kira hanya sekitar 25% saja yang masih bertahan duduk sambil mengikuti pidato presiden SBY. Fenomena semacam ini jelas-jelas menjadi sebuah indikasi bahwa bobot politk luar negeri kita masih enteng. Artinya, kita memang masih dianggap remeh oleh bangsa-bangsa lain.
Pemandangan yang kontras justru terjadi ketika presiden Iran Mahmud Ahmadinejad berpidato depan Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Atau ketika giliran pidato Hugo Chaves (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia). Hampir dipastikan setiap kursi akan penuh diduduki oleh seluruh delegasi dari negara-negara di dunia. Artinya, bobot politik internasional Iran, Venezuela, dan Bolivia diakui oleh dunia.
Mahmud Ahmadinejad dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan memiliki karakter yang kuat. Dirinya berani menentang kebijakan Amerika Serikat yang menjadi simbol kapitalisme. Sementara Hugo Chaves dan Evo Morales adalah figur-figur pemimpin yang dengan lantang menyatakan perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang disponsori oleh Gedung Putih (Amerika Serikat).
Pada bulan November ini, bangsa Indonesia memang mendapat jatah giliran menjadi ketua umum dalam sidang dewan keamanan PBB. Tentu, jabatan tersebut amat berharga. Secara politik, jabatan tersebut juga amat strategis. Lewat Sidang Umum Dewan Keamanan PPB, Indonesia bisa terlibat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan internasional, terutama yang mengangkut kepentingan politik bangsa. Hanya saja saya jadi pesimis setelah melihat kenyataan bahwa politik internasional Indonesia masih kurang diperhitungkan. Bangsa-bangsa lain masih menganggap kita remeh. Dan, anggapan remeh tersebut disebabkan karena kondisi dalam negeri yang carut-marut dan faktor pemimpin yang tidak memiliki karakter tegas. (Mu'arif)

Jika Pendidikan Minus Visi

Dua tahun kebijakan Ujian Nasional (2005), sudah banyak peristiwa memilukan dan sekaligus memalukan mewarnai kebijakan "sarat beban" ini. Cobalah perhatikan baik-baik. Berapa banyak sekolah yang tidak bisa meluluskan siswa-siswinya? Sudah berapa kali demonstrasi para siswa dan guru menolak Ujian Nasional (UN)? Sampai detik ini, sudah berapa banyak kasus siswa bunuh diri karena menanggung rasa malu akibat tidak lulus ujian? Kemudian, seberapa jauh intervensi pemerintah terhadap proses otonomi pendidikan?
Belum lagi tuntas kasus UN sudah diganti dengan kebijakan baru: Ujian Nasional Terintegrasi Ujian Sekolah (UNTUS). Kebijakan ini diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SD/MI. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dalam jumpa persnya di Jakarta, Selasa (13/11), mengeluarkan kebijakan bahwa ujian nasional tingkat SD akan diintegrasikan dengan ujian akhir sekolah. Kebijakan UNTUS berlaku mulai Mei 2008. Di mata saya, kebijakan ini jelas-jelas sarat beban. Saya kira kebijakan ini hanya bakal memicu polemik baru yang akan mewarnai pendidikan nasional.
Kasus UN
Selama ini saya cukup prihatin, mengapa pemerintah (Depdiknas) masih saja mempertahankan kebijakan UN yang diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SMP/SMA? Padahal, kebijakan ini merupakan suatu bentuk inkonsistensi sekaligus arogansi eksekutif (Mendiknas). Sebelum kebijakan UN, Komisi X DPR telah sepakat mencabut Ujian Akhir Nasional (UAN). Tetapi, Mendiknas tetap saja ngotot menggantinya dengan UN (Mu’arif, 2005). Masyarakat Indonesia sudah dikelabuhi oleh kebijakan mengambang ini. Sebab, konsep UN dan UAN sesungguhnya ibarat beda label tapi isi tetap sama. Kebijakan hanya sekedar ganti baju.
Di samping sebagai bentuk inkonsistensi dan arogansi eksekutif, kebijakan UN juga sudah sangat jauh mengintervensi proses pendidikan di daerah-daerah. Konsep otonomi pendidikan telah diabaikan. Kebijakan UN seakan-akan sedang mengembalikan sistem sentralistik yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Dengan menentukan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,25, pemerintah pusat jelas sudah bertindak sewenang-wenang. Pada tahun 2007 standar kelulusan naik menjadi 5,0. Tetap saja intervensi pemerintah sangat dominan. Sementara tahun depan (2008), standar kelulusan dipatok menjadi 5,25. Betapa mudahnya pemerintah pusat menentukan standar kelulusan.
Pada kasus UN, proses penggandaan soal atau bahan ujian dilakukan sebagian besar oleh pemerintah pusat (60%). Selebihnya diserahkan kepada daerah (40%). Apakah pemerintah tidak menyadari bahwa standar ini merupakan bentuk penyeragaman yang jelas-jelas mengabaikan potensi-potensi lokal?
Kebijakan UN jelas sarat beban. Kondisi sekolah di daerah-daerah jelas tidak mungkin diseragamkan. Generalisasi cara pandang seperti ini jelas tidak mungkin diterima. Sebab, tidak semua sekolah di daerah-daerah memiliki fasilitas penunjang UN. Tidak semua siswa di daerah-daerah memiliki tingkat kemampuan menyerap soal-soal yang diajukan pemerintah pusat. Akibatnya, kebijakan ini hanya jadi "momok" yang mengerikan.
Ketika UN berlangsung, kita semua menyaksikan siswa-siswi SMP/SMA yang menghadapi ujian nasional layaknya sedang menghadapi hantu yang menakutkan. Setelah ujian selesai, para siswa-siswi berharap-harap cemas menanti pengumuman kelulusan. Pasca pengumuman kelulusan, kita kemudian banyak disuguhi berita-berita miris di media massa. Ternyata banyak lembaga pendidikan yang tidak mampu meluluskan para siswa-siswinya.
Saya masih ingat betul pada pelaksanaan UN pertama kali di Yogyakarta, sebanyak 18.657 siswa di dinyatakan tidak lulus (Bernas Jogja, 1/7/2005). Padahal, Yogyakarta jadi icon sekaligus barometernya pendidikan di Indonesia. Para siswa-siswi yang tidak lulus juga harus menanggung beban psikologis yang tidak enteng. Begitu juga para orang tua wali murid yang juga kena imbasnya.
UNTUS
Kasus UN belum tuntas sudah muncul lagi kebijakan baru: Ujian Nasional Terintergasi Ujian Sekolah (UNTUS). Dugaan saya pun tidak meleset. Banyak lembaga pendidikan di daerah-daerah yang mengajukan protes.
Mungkin dapat dipahami bahwa kebijakan UNTUS untuk meningkatkan standar kelulusan pada jenjang pendidikan SD/MI. Itikad baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia memang perlu dihargai. Siapapun orangnya pasti setuju dan akan mendukung itikad baik semacam itu. Tetapi kebijakan yang tidak populis, karena cenderung mengabaikan potensi lokal, bisa menjadi bumerang. Itikad baik saja ternyata belum cukup. Perlu strategi khusus yang bijak dalam melihat realitas pendidikan di daerah-daerah.
Berdasarkan pernyataan Mendiknas, komposisi soal yang akan diujikan 25% dari pusat dan selebihnya (75%) diserahkan ke daerah. Mungkin Mendiknas mulai merespon kritik yang selama ini dilayangkan kepada pemerintah dalam kasus UN. Sebab, selama ini intervensi pemerintah pusat terlalu dominan dalam kasus UN. Namun kebijakan Mendiknas ini juga bukan tanpa beban.
Satu persoalan penting: keberadaan sekolah-sekolah di Indonesia sangat beragam. Dalam kasus UNTUS, keberadaan SD-SD antara satu daerah dengan daerah lain tidak mungkin disamakan. Meminjam istilah Ai Deti Heryanti (2007), keberadaan SD di Indonesia memiliki disparitas yang tinggi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Ini jelas harus disadari betul oleh pemerintah pusat.
Sementara membaca skenario kebijakan UTUS, tampaknya pemerintah pusat sedang melakukan proses uji coba. Dari kebijakan UN (SMP/SMA) sampai UNTUS (SD/MI) belum sama sekali menunjukkan kematangan konsep. Yang demikian jelas suatu kegamangan. Dan menurut pandangan saya, apa yang terjadi di balik kasus UN dan UNTUS merupakan manifestasi dari ketidakmatangan visi pendidikan kita. Inilah yang terjadi jika pendidikan minus visi. (Mu'arif)