Kamis, 11 Oktober 2007, adalah hari yang paling mengesankan dan memberi makna tersendiri bagi wanita gaek ini. Setelah kurang lebih 77 tahun menekuni dunia tulis-menulis, wanita ini memperoleh penghargaan layak atas karya-karyanya. Sebut saja beberapa karyanya, seperti The Grass is Singing dan Golden Notebook. Atau karya monumentalnya, Children of Violence. Doris Lessing, penulis berdarah Inggris yang lahir di Iran dan dibesarkan di Zimbabwe, pada akhirnya meraih anugrah Nobel Sastra untuk tahun ini (2007).
Tak seorang pun menyangka kalau wanita ini akan terpilih sebagai peraih penghargaan prestisius tersebut. Bahkan, Doris Lessing sendiri juga tidak pernah menyangkanya. Sewaktu penganugrahan nobel tersebut, dia malah sedang asyik belanja untuk keperluan hidupnya.
Apakah anugrah prestisius tersebut sengaja diberikan sebagai kado ulang tahunnya yang ke-88, karena dia memang baru saja merayakannya pada hari Minggu tanggal 7 Oktober lalu? Tentu saja tidak. Dia layak menerima penghargaan tersebut karena karya-karyanya banyak memberikan inspirasi, terutama pandangan-pandangan kritisnya tentang gender dan ras.
Putus Sekolah
Siapa sangka, Doris Lessing, seorang penerima anugrah Nobel Sastra yang sudah pasti sangat prestisius, pernah putus sekolah? Catatan perjalanan hidupnya memang cukup mencengangkan. Pada usia 13 tahun, dia putus sekolah.
Sekalipun demikian, Doris Lessing bukan seorang yang bengal atau urakan. Dirinya putus sekolah bukan karena diberhentikan (drop out). Keputusannya meninggalkan bangku sekolah merupakan hasil dari sebuah perenungan yang dalam. Di sekolah, dia tidak pernah menemukan sesuatu dia cari. Mungkin dia beranggapan bahwa sekolah hanya sekedar pertemuan rutin berupa kegiatan formal yang sudah pasti amat menjemukan.
Bagi Doris Lessing, proses pendidikan mestinya mengarahkan kepada setiap peserta didik agar masing-masing mampu memahami sesuatu tetapi dengan perspektif yang berbeda. Pola pikirnya tak lazim. Caranya memahami proses belajar-mengajar amat berbeda pada umumnya. "Inilah belajar itu: anda tiba-tiba mengerti sesuatu yang telah anda ketahui sepanjang hidup anda, tetapi dengan pemahaman yang berbeda" itulah seucap kata Doris Lessing (Andrias Harefa, 2001).
Putus sekolah, bagi Doris Lessing, tidak membuat masa depannya menjadi suram. Tidak seperti umumnya masyarakat Indonesia, putus sekolah selalu dianggap sebagai preseden buruk bagi masa depan seseorang. Seakan-akan sekolah itu candu. Tetapi bagi Doris Lessing tidak berlaku anggapan seperti itu. Dirinya tidak kecanduan sekolah. Dia melarikan diri dari pendidikan formal sambil terus bergaul dengan buku-buku. Belajar autodidak. Doris Lessing banyak melakukan penelitian dan pengamatan sosial. Baginya, belajar autodidak justru terasa lebih menggairahkan. Untuk menuangkan butir-butir pemikirannya, dia menempuh jalan hidup sebagai pengarang.
Dalam wawancara dengan The Associated Press setahun yang lalu, Doris Lessing mengaku mengawali karir sebagai pengarang pada sekitar tahun 1930-an. Sekalipun skeptis, tetapi dia visioner. Tampaknya, metode skeptisisme menjadi alat paling ampuh untuk merelatifkan segala pengetahuan dan norma. Lain dengan umumnya orang-orang terdidik di Indonesia, mereka asing dengan metode ini. Karena itu, wajar jika orang-orang Indonesia menganggap teori relativisme sangat menyesatkan. Dampaknya, orang-orang Indonesia jadi miskin pemikiran visioner.
Namun tidak demikian bagi Doris Lessing. Jiwa skeptis dan pemikiran visioner membawanya memahami dunia dengan perspektif yang berbeda. Karakter jiwa dan pemikirannya inilah yang kemudian mewarnai setiap karya tulisnya.
Hidupnya yang berpindah-pindah, bahkan telah menjelajahi separoh dunia, menambah luas wawasannya. Kedua orang tua Lessing adalah warga negara Inggris. Tetapi, dia sendiri lahir di Iran. Kemudian, keluarganya pindah ke Zimbabwe dan Doris Lessing dibesarkan di kota ini. Tentu saja pilihan tema dalam karya-karyanya dipengaruhi oleh karakteristik jiwa, pemikiran, dan pengalamannya selama menjelajah separoh belahan bumi ini. Dia memilih untuk mengangkat tema hubungan antara laki-laki dan wanita (gender) dan ras dalam setiap karya tulisnya.
Sekolah Sudah Mati!
Membayangkan gagasan-gagasan Doris Lessing mengingatkan saya pada sosok Margaret Mead dalam buku School is Dead (1971) karya Everett Reimer. Pada sekitar tahun 1970-an, Everett Reimer menggelindingkan sebuah wacana stagnansi pemikiran pendidikan. Kritiknya teramat tajam sampai-sampai membuat skeptis para pakar dan praktisi pendidikan saat itu.
"Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan. Karenanya, dia tidak mengizinkan saya sekolah", begitu ucap Margaret Mead polos. Tentu saja Everett Reimer, lewat tokoh Margaret Mead, dianggap sedang mewartakan kabar mencemaskan bagi dunia pendidikan waktu itu.
Sekolah sudah mati!
Apa yang dikatakan Everett Reimer di 1970-an sudah dirasakan oleh Doris Lessing pada sekitar 1930-an. Ketika dirinya memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah dan menempuh jalan hidup sebagai pengarang. Di sekolah, dirinya tidak pernah menemukan apa yang dia cari. Sekolah hanya sekedar pertemuan rutin formal yang menjemukan. Proses belajar-mengajar hanya sebatas transfer nilai-nilai kemapanan (status quo). Pendidikan "gaya bank!" (banking concept of education)—meminjam istilah Paulo Freire. Padahal, Doris Lessing sendiri ingin melihat dunianya dengan perspektif yang berbeda. Dia ingin bisa mengenali diri, mengembangkan segenap potensi yang dimiliki, dan memperoleh wawasan baru. Namun sayang, semua itu tidak ditemuinya di lembaga pendidikan yang bernama sekolah.
Dengan demikian, pengalaman hidup Doris Lessing merupakan fakta otentik untuk memaknai sebuah fenomena bahwa institusi pendidikan memang sudah mati. Tanda-tanda matinya sekolah bisa dicermati dari visinya yang tidak sejalan dengan karakteristik jiwa dan keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Justru, di sekolah, potensi-potensi emas yang dimiliki oleh setiap peserta didik dibungkam oleh formalitas basa-basi. Atau, proses belajar-mengajar hanya sekedar mencekoki peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan dan norma-norma kuno. Padahal, "rasa ingin tahu" (curiosity) serta keinginan memperoleh pengetahuan yang baru menjadi karakteristik setiap jiwa peserta didik.
Lewat tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa catatan biografi Doris Lessing, peraih Nobel Sastra 2007, adalah sebuah fenomena. Catatan perjalanan hidupnya menambah sederetan tokoh sukses dunia yang pernah gagal di bangku sekolah. Dan, itu berarti telah melengkapi setumpuk fakta bahwa sekolah memang telah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar