Rabu, 24 Oktober 2007

Doris Lessing, Pengarang Besar yang Putus Sekolah

Kamis, 11 Oktober 2007, adalah hari yang paling mengesankan dan memberi makna tersendiri bagi wanita gaek ini. Setelah kurang lebih 77 tahun menekuni dunia tulis-menulis, wanita ini memperoleh penghargaan layak atas karya-karyanya. Sebut saja beberapa karyanya, seperti The Grass is Singing dan Golden Notebook. Atau karya monumentalnya, Children of Violence. Doris Lessing, penulis berdarah Inggris yang lahir di Iran dan dibesarkan di Zimbabwe, pada akhirnya meraih anugrah Nobel Sastra untuk tahun ini (2007).

Tak seorang pun menyangka kalau wanita ini akan terpilih sebagai peraih penghargaan prestisius tersebut. Bahkan, Doris Lessing sendiri juga tidak pernah menyangkanya. Sewaktu penganugrahan nobel tersebut, dia malah sedang asyik belanja untuk keperluan hidupnya.

Apakah anugrah prestisius tersebut sengaja diberikan sebagai kado ulang tahunnya yang ke-88, karena dia memang baru saja merayakannya pada hari Minggu tanggal 7 Oktober lalu? Tentu saja tidak. Dia layak menerima penghargaan tersebut karena karya-karyanya banyak memberikan inspirasi, terutama pandangan-pandangan kritisnya tentang gender dan ras.

Putus Sekolah

Siapa sangka, Doris Lessing, seorang penerima anugrah Nobel Sastra yang sudah pasti sangat prestisius, pernah putus sekolah? Catatan perjalanan hidupnya memang cukup mencengangkan. Pada usia 13 tahun, dia putus sekolah.

Sekalipun demikian, Doris Lessing bukan seorang yang bengal atau urakan. Dirinya putus sekolah bukan karena diberhentikan (drop out). Keputusannya meninggalkan bangku sekolah merupakan hasil dari sebuah perenungan yang dalam. Di sekolah, dia tidak pernah menemukan sesuatu dia cari. Mungkin dia beranggapan bahwa sekolah hanya sekedar pertemuan rutin berupa kegiatan formal yang sudah pasti amat menjemukan.

Bagi Doris Lessing, proses pendidikan mestinya mengarahkan kepada setiap peserta didik agar masing-masing mampu memahami sesuatu tetapi dengan perspektif yang berbeda. Pola pikirnya tak lazim. Caranya memahami proses belajar-mengajar amat berbeda pada umumnya. "Inilah belajar itu: anda tiba-tiba mengerti sesuatu yang telah anda ketahui sepanjang hidup anda, tetapi dengan pemahaman yang berbeda" itulah seucap kata Doris Lessing (Andrias Harefa, 2001).

Putus sekolah, bagi Doris Lessing, tidak membuat masa depannya menjadi suram. Tidak seperti umumnya masyarakat Indonesia, putus sekolah selalu dianggap sebagai preseden buruk bagi masa depan seseorang. Seakan-akan sekolah itu candu. Tetapi bagi Doris Lessing tidak berlaku anggapan seperti itu. Dirinya tidak kecanduan sekolah. Dia melarikan diri dari pendidikan formal sambil terus bergaul dengan buku-buku. Belajar autodidak. Doris Lessing banyak melakukan penelitian dan pengamatan sosial. Baginya, belajar autodidak justru terasa lebih menggairahkan. Untuk menuangkan butir-butir pemikirannya, dia menempuh jalan hidup sebagai pengarang.

Dalam wawancara dengan The Associated Press setahun yang lalu, Doris Lessing mengaku mengawali karir sebagai pengarang pada sekitar tahun 1930-an. Sekalipun skeptis, tetapi dia visioner. Tampaknya, metode skeptisisme menjadi alat paling ampuh untuk merelatifkan segala pengetahuan dan norma. Lain dengan umumnya orang-orang terdidik di Indonesia, mereka asing dengan metode ini. Karena itu, wajar jika orang-orang Indonesia menganggap teori relativisme sangat menyesatkan. Dampaknya, orang-orang Indonesia jadi miskin pemikiran visioner.

Namun tidak demikian bagi Doris Lessing. Jiwa skeptis dan pemikiran visioner membawanya memahami dunia dengan perspektif yang berbeda. Karakter jiwa dan pemikirannya inilah yang kemudian mewarnai setiap karya tulisnya.

Hidupnya yang berpindah-pindah, bahkan telah menjelajahi separoh dunia, menambah luas wawasannya. Kedua orang tua Lessing adalah warga negara Inggris. Tetapi, dia sendiri lahir di Iran. Kemudian, keluarganya pindah ke Zimbabwe dan Doris Lessing dibesarkan di kota ini. Tentu saja pilihan tema dalam karya-karyanya dipengaruhi oleh karakteristik jiwa, pemikiran, dan pengalamannya selama menjelajah separoh belahan bumi ini. Dia memilih untuk mengangkat tema hubungan antara laki-laki dan wanita (gender) dan ras dalam setiap karya tulisnya.

Sekolah Sudah Mati!

Membayangkan gagasan-gagasan Doris Lessing mengingatkan saya pada sosok Margaret Mead dalam buku School is Dead (1971) karya Everett Reimer. Pada sekitar tahun 1970-an, Everett Reimer menggelindingkan sebuah wacana stagnansi pemikiran pendidikan. Kritiknya teramat tajam sampai-sampai membuat skeptis para pakar dan praktisi pendidikan saat itu.

"Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan. Karenanya, dia tidak mengizinkan saya sekolah", begitu ucap Margaret Mead polos. Tentu saja Everett Reimer, lewat tokoh Margaret Mead, dianggap sedang mewartakan kabar mencemaskan bagi dunia pendidikan waktu itu.
Sekolah sudah mati!

Apa yang dikatakan Everett Reimer di 1970-an sudah dirasakan oleh Doris Lessing pada sekitar 1930-an. Ketika dirinya memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah dan menempuh jalan hidup sebagai pengarang. Di sekolah, dirinya tidak pernah menemukan apa yang dia cari. Sekolah hanya sekedar pertemuan rutin formal yang menjemukan. Proses belajar-mengajar hanya sebatas transfer nilai-nilai kemapanan (status quo). Pendidikan "gaya bank!" (banking concept of education)—meminjam istilah Paulo Freire. Padahal, Doris Lessing sendiri ingin melihat dunianya dengan perspektif yang berbeda. Dia ingin bisa mengenali diri, mengembangkan segenap potensi yang dimiliki, dan memperoleh wawasan baru. Namun sayang, semua itu tidak ditemuinya di lembaga pendidikan yang bernama sekolah.

Dengan demikian, pengalaman hidup Doris Lessing merupakan fakta otentik untuk memaknai sebuah fenomena bahwa institusi pendidikan memang sudah mati. Tanda-tanda matinya sekolah bisa dicermati dari visinya yang tidak sejalan dengan karakteristik jiwa dan keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Justru, di sekolah, potensi-potensi emas yang dimiliki oleh setiap peserta didik dibungkam oleh formalitas basa-basi. Atau, proses belajar-mengajar hanya sekedar mencekoki peserta didik dengan pengetahuan-pengetahuan dan norma-norma kuno. Padahal, "rasa ingin tahu" (curiosity) serta keinginan memperoleh pengetahuan yang baru menjadi karakteristik setiap jiwa peserta didik.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa catatan biografi Doris Lessing, peraih Nobel Sastra 2007, adalah sebuah fenomena. Catatan perjalanan hidupnya menambah sederetan tokoh sukses dunia yang pernah gagal di bangku sekolah. Dan, itu berarti telah melengkapi setumpuk fakta bahwa sekolah memang telah mati.

Sayat Baru di atas Luka Lama

Muslianah, istri seorang Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, ditangkap secara semena-mena oleh petugas Rela (semacam Hansip di Indonesia) baru-baru ini. Konon, dia sedang mengambil pakaian hasil jahitan di sebuah pusat perbelanjaan di Chow Kit, Kuala Lumpur. Pada waktu itu, serombongan petugas Rela datang untuk memeriksa identitasnya. Sekalipun dia sudah menunjukkan kartu identitas sebagai anggota keluarga diplomat, tapi tetap saja dikeler layaknya penyelundup atau imigran gelap (Sindo, 9/10/2007).

Ulah petugas Rela yang tidak profesional ini jelas bakal menambah runyam hubungan Indonesia-Malaysia. Apalagi, selama beberapa tahun terakhir, hubungan diplomatik kedua negara serumpun ini makin tak harmonis. Sederetan kasus memalukan telah menodai harga diri bangsa Indonesia. Jika tidak disikapi secara bijaksana, kasus-kasus memalukan tersebut bisa menggugah semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Layaknya bara api dalam sekam.

Titik Api Konflik

AH Mahally (2007) berusaha menunjukkan "titik api" konflik Indonesia-Malaysia. Seraya mengutip analisis Karim Raslan (2007), dia menyebutkan bahwa terdapat tiga masalah besar yang pemicu hubungan tidak harmonis Indonesia-Malaysia. Yaitu, problem Tenaga Kerja Indonesia (TKI), perbatasan teritorial, dan illegal loging.

Terhadap tiga faktor di atas, saya memang tak bisa menyangkalnya. Sampai sejauh ini, jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Ironisnya, dari sejumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 800.000 orang dinyatakan illegal (Syafnijal Datuk Sinaro, 2007). Artinya, banyak TKI selundupan atau imigran gelap yang mencari rizki di negeri jiran ini.

Dari sebanyak 2 juta TKI di Malaysia, tidak semuanya bernasib mujur. Justru, kebanyakan nasib para TKI, khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW), acapkali menjadi sasaran penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan sampai ancaman bakal dibunuh. Sampai artikel ini ditulis, berita TKI tewas di negeri rantau masih terus mewarnai pemberitaan di media massa nasional.

Di antara TKI banyak juga yang tidak digaji. Data yang berhasil dihimpun KBRI di Kuala Lumpur menyebutkan, lebih dari 30% kasus yang menimpa para TKI berkaitan dengan pembayaran gaji (Halim Ambiya, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun bekerja di negeri jiran dengan iming-iming ringgit yang menggiurkan tidak selamanya berbuah kesejahteraan.

Konflik perbatasan antara kedua negara ini juga tak bisa sangkal lagi. Kasus memperebutkan pulau Sipadan dan Ligitan, dua gundukan pasir seukuran 23 hektar, ternyata sudah mencuat ke permukaan sejak 1969 (Orde Baru). Namun, pada 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan dua pulau di pantai timur Pulau Sebatik menjadi milik sah pemerintah Malaysia. Tentu saja keputusan ini sangat mengecewakan bagi bangsa Indonesia.

Terhadap kasus perebutan dua pulau ini, saya mengamati bahwa sejarah bangsa Indonesia telah diabaikan. Ti tahun 1917, ketika pemerintah Inggris menyebut dua pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah ordonasi, pemerintah Hindia Belanda pernah melayangkan protes. Sikap protes Hindia Belanda ini menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut telah direbut oleh Inggris. Sayangnya, protes tersebut tak pernah dihiraukan dan sejarah pun dilupakan (Nono Anwar Makarim, 2003). Pada akhirnya, kasus ini berakhir kekecewaan bagi bangsa Indonesia. Sementara kasus blok Ambalat dan perairan Karang Unarang juga masih belum tuntas.

Terakhir, kasus illegal loging. Tak saya pungkiri bahwa kasus ini pun menjadi salah satu pemicu hubungan kurang harmonis antara Indonesia-Malaysia. Kayu-kayu selundupan hasil pembalakan liar di hutan Riau, Jambi, dan beberapa kawasan di Indonesia, melibatkan pejabat dan konglomerat hitam—baik dari dalam negeri maupun negara tetangga (Malaysia, Singapura). Pencurian kayu-kayu hutan yang telah merugikan negara kira-kira sebesar 45 trilyun per tahun kemudian diselundupkan ke negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Anehnya, pemerintah kedua negara tetangga ini tidak bereaksi atas kasus penyelundupan asset negara Indonesia ini.

Mungkin benar analisis Karim Raslan, pengamat politik Islam asal Malaysia, sewaktu membaca fenomena hubungan tak harmonis antara dua negara bertetangga ini. Hanya saja saya melihat masih banyak faktor yang terlupakan. Faktor sejarah menjadi pemicu utama hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang boleh dibilang hangat-hangat tahi ayam. Selain sejarah, faktor psikologis, khususnya menyangkut rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang terus-menerus dilecehkan, juga amat menentukan.

Kedua faktor inilah yang menurut penulis menjadi pemicu konflik antara Indonesia-Malaysia dan sifatnya laten. Seperti bom waktu, sewaktu-waktu konflik bakal meledak jika tidak disikapi secara bijaksana.

Faktor Sejarah

Setiap bangsa memiliki latarbelakang historis dan kebudayaan tersendiri. Bagi sebuah bangsa merdeka, sejarah dan kebudayaan menjadi identitasnya di pentas peradaban dunia. Sejarah juga menjadi identitas politiknya. Sekalipun kebudayaan Indonesia dan Malaysia serumpun, tetapi catatan sejarah kedua negara ini berbeda. Berarti, identitas politik kedua negara ini berbeda.

Catatan sejarah bangsa Indonesia dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga masa kemerdekaan, menunjukkan bahwa bangsa Malaysia memang serumpun. Bahkan, pada masa pra-kolonial, wilayah Semenanjung Melayu (termasuk teritorial Malaysia dan Brunei Darussalam) menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (Abad 7-14 M). Pada tahun 1331-1364 M, Semenanjung Melayu juga telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit.

Memasuki masa kolonial (1602 M), bangsa yang tadinya disatukan oleh sejarah dan kebudayaan serumpun menjadi terpisah. Kolonialisme Inggris dan Belanda mengangkangi teritorial yang kini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Malaysia. Sepanjang masa kolonialisme, Inggris dan Belanda selalu berebut perbatasan wilayah jajahannya. Tercatat, pada 1917 pemerintah Hindia Belanda melayangkan protes kepada Inggris karena telah mengklaim pulau Sipadan masuk ke dalam wilayah ordonansinya.

Memasuki masa kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah terlibat sengketa politik dengan pemerintah Inggris. Atas nama bangsa Indonesia, proklamator kemerdekaan RI ini menentang pembentukan Federasi Malaysia. Terbakar oleh rasa nasionalisme, apalagi dengan membaca catatan sejarah bangsa Indonesia yang pernah berjaya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, maka pembentukan Federasi Malaysia sama artinya dengan sparatisme. Di samping itu, Soekarno telah membaca skenario Barat, terutama lewat peran Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, untuk mempengaruhi perpolitikan di kawasan Asia. Pada waktu itulah, lewat Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini, lahir semboyan politik yang membahana dan menggetarkan: "Ganyang Malaysia!", "Amerika kita setrika!", "Inggris kita linggis!"

Rasa nasionalisme memang menggetarkan. Soekarno menentang keputusan PBB mengakui kedaulatan Malaysia. Sewaktu negara tetangga ini menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia tegas mengambil sikap. Pada tanggal 20 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Bukan hanya itu. Soekarno malah menggalang kekuatan non PBB sebagai saingan. Apa yang dilakukan Soekarno, atas nama bangsa Indonesia, adalah bukti nyata bahwa dua negara bertetangga tidak akur.

Kita kembali ingat salah satu wejangan bapak proklamator RI ini, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah!)." Rupanya, akhir-akhir ini, bangsa Indonesia memang lupa pada sejarahnya sendiri. Ketika dimaki sebagai "Indon," kehormatan dinodai oleh kekerasan, pelecehan, dan ancaman terhadap para TKI, serta harga diri diinjak-injak oleh tindakan tidak profesional petugas Rela, namun bangsa ini hanya diam. Pemerintah juga hanya bisa prihatin. Barangkali pernyataan pemerintah yang tidak pernah tegas justru menunjukkan bahwa para pemimpin kita memang amat memprihatinkan? Suatu bangsa yang melupakan sejarahnya sendiri akan gagal di masa depan.

Ketegasan Sikap

Malaysia merupakan secuil dari sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Bahkan, Brunei Darussalam juga bagian dari sejarah dan kebudayaan bangsa ini. Dalam catatan sejarah lokal di Sumatra Barat, antara kesultanan Brunei, Serawak (Malaysia), dan Bukittinggi (Pagaruyung), merupakan tiga bangsa serumpun. Sebuah monumen sejarah "tiga serumpun" masih bisa dilihat di Bukittinggi hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah serumpun dengan Malaysia dan Brunei. Setelah memasuki masa-masa kolonial, masing-masing menciptakan sejarahnya secara terpisah.

Pada masa Orde Lama, bangsa Indonesia berhasil membangun citra politik di pentas dunia. Presiden Soekarno adalah sosok fenomenal. Sepak-terjangnya yang tidak pro Barat dan Timur membuat bangsa-bangsa lain terpana. Gagasan-gagasannya brilian membuat para pemimpin bangsa-bangsa lain terpukau. Indonesia pada waktu itu menjadi kekuatan politik alternatif yang kokoh dan amat disegani. Bahkan, terhadap kekuasaan PPB, Soekarno berani membelot. Namun sayang, setelah Indonesia ditinggalkan oleh figur pemimpin fenomenal Soekarno, berangsur-angsur bangsa ini tenggelam ditelan gelombang kepentingan politik bangsa-bangsa lain.

Yang paling menyedihkan dan sekaligus menjengkelkan, bangsa ini malah lupa pada sejarahnya sendiri. Bangsa Indonesia kehilangan jati diri di tengah-tengah persaingan bangsa-bangsa yang lain. Sampai-sampai harus mengemis di negeri orang yang pada hakekatnya adalah sempalan dari sejarah dan kebudayaan sendiri. Lihatlah! Betapa banyak TKI Indonesia yang berbondong-bondong ke Malaysia hanya untuk menjadi "kuli" di kebun-kebun kelapa sawit. Padahal, di negeri sendiri, hamparan kebun kelapa sawit tidak kalah luasnya. Para TKW rela menjadi "babu" di negeri seberang sekalipun mereka terancam tidak dibayar, disiksa, dilecehkan, bahkan sampai dibunuh. Anehnya, sekalipun kasus pembunuhan TKI sudah berkali-kali terjadi, namun bangsa ini masih saja menaruh harapan di negeri jiran.

Apakah mentalitas bangsa Indonesia seperti budak? Mungkinkah bangsa Indonesia bangsa kuli? Saya kembali ingat kritik YB Mangunwijaya semasa hidupnya. Dengan amat kritis, tokoh yang identik dengan "Komunitas Kali Code" (Yogyakarta) ini menyalahkan pemerintah Orde Baru dalam mengurus dan menata sistem pendidikan nasional. Dia berpendapat bahwa pendidikan nasional yang tidak pernah beres hanya mampu melahirkan bangsa dengan mentalitas "babu" dan "kuli" (Singgih Nugroho, 2004). Tampaknya, sekarang, kritik YB Mangunwijaya benar-benar jadi kenyataan.

Di antara mentalitas "babu" dan "kuli" adalah sifat inferior, tidak punya visi ke depan, dan tidak tegas mengambil sikap. Cobalah perhatikan! Kasus penangkapan, penyiksaan, sampai pembunuhan secara keji terhadap TKI hanya ditanggapi sebagai fenomena kewajaran. Maksudnya, kewajaran terhadap sebuah bangsa yang mengais rizki di negeri lain. Sikap semacam ini adalah cermin metalitas budak.

Kemudian, sekalipun tampak fenomena kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan di tanah air, tetapi pemimpin kita tidak punya visi ke depan untuk memperbaikinya. Akibatnya, bangsa Indonesia malah merasa pesimis dapat mencapai kesejahteraan hidup di negeri sendiri. Mereka pun merantau ke negeri orang. Karakteristik semacam ini merupakan cermin dari tipe kepemimpinan tanpa visi. Dan agenda pembangunan di tanah air pun dapat dinyatakan telah gagal.

Adapun pemerintah yang selama ini tak pernah tegas mengambil sikap atas berbagai kasus penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap harga diri bangsa mencerminkan hilangnya rasa nasionalisme. Kadang saya membayangkan, seandainya Soekarno masih hidup, tentu dia akan berang. Rasa nasionalismenya akan terbakar dan segera menyerukan, "Ganyang Malaysia!" Konfrontasi fisik sudah pasti bakal terjadi.

Sekedar mengambil pelajaran. Gunawan Mohammad—dalam Catatan Pinggir I (1982)—mengisahkan sebuah peristiwa menarik. Darius, seorang penguasa besar Persia (abad 5 SM), pernah mengirim seorang utusan (duta) ke Athena. Konon, utusan Persia tersebut diperlakukan tidak pantas. Kepada penguasa Athena, Darius menyatakan perang. Athena pun ditaklukkan. Kemudian, pada abad ke-6 M, Nabi Muhammad pernah mengirim seorang utusan (duta) kepada penguasa Persia (Kisra) di Chtesipon (Madain, Irak). Utusan tersebut justru malah dibunuh sehingga Nabi Muhammad menyatakan perang terhadap Persia.

Lewat dua kisah sejarah ini, saya bukan berarti sedang memanas-manasi pemerintah supaya segera melakukan konfrontasi fisik dengan Malaysia. Sama sekali bukan! Kebijakan perang bukanlah sikap bagi sebuah bangsa beradab. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa biadab. Lewat dua kisah tersebut, saya hanya sedang meyakinkan, bahwa kebijakan dan sikap tegas harus segera ditunjukkan kepada pihak Malaysia. Apalagi, negeri jiran ini sudah nyata-nyata menghina, merendahkan, bahkan melecehkan harga diri bangsa Indonesia.

Saya dukung sikap para dewan yang berencana demo di depan Kedubes Malaysia. Lebih dari itu, saya mengusulkan agar pemerintah segera menarik Duta Besar RI di Malaysia. Pemerintah juga perlu membuat jera negeri jiran ini lewat kebijakan travel warning dan penghentian pengiriman TKI ke Malaysia.

Dengan demikian, pemerintah Malaysia akan jera karena pembangunan negeri jiran ini, sebagian besar, dari hasil keringat dan darah para TKI. Kebijakan tersebut akan mengembalikan kewibawaan dan harga diri bangsa yang sudah dicabik-cabik. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan Malaysia menjadi sebuah ‘luka lama.’ Tetapi, kasus-kasus memilukan dan juga memalukan yang mencuat akhir-akhir ini seakan-akan menjelma menjadi ‘sayat baru di atas luka lama.’

Histeria Budaya Lebaran

Mudik (pulang kampung) dan Lebaran (Idul Fitri). Keduanya sudah menjadi bentuk budaya tersendiri yang unik di Indonesia. Fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjadi tradisi unik yang tidak akan dijumpai di negara-negara lain. Misalnya di Arab Saudi dan Mesir. Sekalipun sama-sama merayakan Idul Fitri, di Arab Saudi dan Mesir, tidak mengenal Lebaran, seperti halnya di Indonesia. Umat Islam di Arab Saudi tidak kenal budaya mudik. Begitu juga umat Islam di Mesir tidak kenal tradisi pulang kampung menjelang Idul Fitri. Atas dasar inilah, mudik dan Lebaran sudah menjadi tradisi yang unik di Indonesia.


Tetapi, fenomena mudik menjelang Lebaran sudah menjelma menjadi "histeria kebudayaan." Ironisnya, mudik justru "sarat beban." Saya menganggap Lebaran sudah menjadi "ajang prestise" bagi para pemudik. Saya juga menyebut mudik "sarat beban." Sebab, secara ekonomis, tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini cenderung memberatkan. Tetapi, anehnya, beban ekonomis tersebut justru dianggap "bukan sebagai beban." Ada "kesadaran magis" menyelimuti kesadaran para pemudik setiap kali menjelang Lebaran (Mu’arif, 2007).


Budaya Lebaran

Sesungguhnya, subtansi Lebaran sama dengan perayaan Idul Fitri di negara-negara lain. Hanya saja, makna Lebaran lebih kontekstual dengan tradisi keindonesiaan. Lebaran adalah perayaan Idul Fitri ala Indonesia.

Dalam filosofi Jawa, kata "lebaran" dipahami secara utuh lewat ungkapan "jaburan", (menu makanan)"lebaran" (luas, lapang), dan "leburan" (luluh, lebur). Ketiga istilah ini merupakan serangkaian makna utuh untuk memahami puasa Ramadhan yang kemudian diakhiri dengan kemenangan setelah masing-masing jiwa menjadi "suci" (fitri).


Istilah "jaburan" merupakan gambaran bagi orang-orang yang menunaikan ibadah puasa. "Jaburan" sendiri adalah menu makanan yang disediakan untuk berbuka puasa. Adapun "lebaran" adalah proses hari raya yang secara khusus dimaknai lewat jalinan silaturahmi antar sanak keluarga. Lewat proses "lebaran," setiap orang meluaskan hati atau melapangkan dada untuk menerima ucapan maaf dan memaafkan dari orang lain. Sementara "leburan" adalah proses luluhnya setiap dosa setelah masing-masing saling memaafkan. Pada puncaknya, setiap orang yang merayakan Lebaran telah kembali suci.


Dengan memahami makna filosofi Lebaran, setiap orang yang berada di perantauan terdorong secara spiritual untuk pulang ke kampung halaman. Semangat Lebaran dan mungkin rasa kangen ingin bertemu keluarga di kampung mendorong para perantau untuk terus melestarikan tradisi mudik.

Para perantau yang umumnya berasal dari kampung memanfaatkan hari raya Idul Fitri (bukan Idul Adha) untuk mudik secara besar-besaran (nasional). Di sinilah letak perbedaan budaya Idul Fitri di Indonesia dengan negara-negara lain. Tradisi mudik hanya bisa ditemukan di Indonesia. Di negara-negara, seperti Arab Saudi dan Mesir, tidak akan ditemui tradisi unik semacam ini.

Histeria Kebudayaan

Tetapi sayang, fenomena mudik, yang hampir menyerupai karnaval tahunan, menjelma menjadi histeria budaya yang sarat beban. Mudik tidak dipahami sebagai kesadaran untuk kembali bertemu bersama keluarga di kampung setelah setahun merantau di kota, tetapi sudah menjadi ajang luapan emosi untuk memuaskan dahaga Lebaran.


Menurut Yasraf Amir Piliang (2004), histeria ialah ekses dari emosi yang tidak dapat dikendalikan. Di sini, saya memandang luapan emosi para pemudik yang ingin pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran sudah tidak terbendung lagi.


Semangat Lebaran telah mendorong luapan emosi para pemudik sampai ke batas paling irrasional. Mereka berlomba-lomba membelanjakan uang. Misalnya, seorang pembantu rumah tangga (babu) berani menghabiskan tabungan selama setahun hanya untuk memuaskan dahaga Lebaran. Atau, seorang kuli bangunan berani memborong barang-barang elektronik mewah, seperti TV, HP, kipas angin, dan lain-lain.


Secara otomatis, pada detik-detik menjelang Lebaran, harga-harga di pasar melambung tinggi tak terkendali. Sebab, permintaan barang-barang selalu meningkat. Sekalipun harga-harga melambung tinggi mencapai dua kali lipat, tetapi seolah-olah tidak menjadi beban bagi para membelinya. Itu semua disebabkan karena dorongan semangat Lebaran.


Fenomena Lebaran memang sungguh dahsyat dan luar biasa. Semangatnya bisa menyihir kesadaran seseorang untuk belanja apa saja, sekalipun harga melambung tinggi. oleh karena itu, benar kata Hendrawan Supratikno (2007), sesungguhnya lebaran adalah ajang demonstrasi daya beli masyarakat.


Bahkan, sudah dianggap fenomena lumrah jika para pemudik berani membelanjakan uangnya tanpa mempertimbangkan harga di pasar. Sebab, mereka menjaga gengsi sebagai perantau untuk membawa oleh-oleh yang berharga selama pulang ke kampung. Setiap orang bepergian memang selalu diharapkan oleh-olehnya.

Puncak histeria budaya pada hari raya Lebaran (1 Syawwal). Setiap keluarga akan memperlihatkan keberhasilan anak-anak mereka selama merantau kepada orang lain. Ada kisah sukses selama merantau di kota. Ada banyak uang dan barang-barang mewah yang jadi buah bibir. Seseorang akan merasa prestise jika mengaku sudah sukses merantau di kota. Lebaran tiba-tiba menjelma menjadi ajang prestise.


Inilah fenomena ketika Lebaran sudah menjelma menjadi histeria kebudayaan.